Monday, 18 November 2013

Potret Pelayan Masa kini Menurut Nabi Yehezkiel







POTRET PELAYAN MASA KINI MENURUT YEHEZKIEL

Yehezkiel 2 :1-10
Oleh ; BUDIANTO SIANTURI
1.      Pengantar
Adapun bentuk tafsiran yang akan saya paparkan disini adalah Tafsiran Historis Kritis, penelitian kanonis dari Yehezkile 2 :1-10 yang berbicara tentang panggilan Nabi Yehezkiel , dan secara khusus penulis menyoroti panggilan dan pengutusan Yehezkiel. Tulisan ini jauh dari sempurna  maka dari itu penulis mengharapkan kritik saran yang bersifat membangun dari rekan-rekan pembaca.
2.      Panggilan Yehezkiel
Yehezkiel adalah seorang dari antara nabi-nabi besar dalam Kitab Perjanjian Lama, seperti halnya Nabi Yesaya dan Yeremia, Yehezkiel hidup pada zaman yang sama dengan Yeremia, akan tetapi ke dua nabi tersebut tidak saling mempengaruhi, tidak ada salaing keterkaitan.[1] Yehezkiel terpanggil menjadi seorang penjaga bangsa Israel ( Utusan Tuhan kepada bangsa Israel), gaya bahasanya sering bersifat gaya pengulangan, salah satu ungkapan yang paling sering dilontarkannya adalah : “Mereka akan mengetahui, bahwa Akulah Tuhan” ungkapan ini muncul sampai 54 kali dalam kitab Yehezkiel.[2]
2.1  Anak Manusia
Sebutan anak manusia “Ben-adam” adalah sebutan khusus kepada Yehzkiel, yang kemungkinan besar penekanannya adalah Yehezkiel yang sama seperti manusia biasa, atau mahluk insane ciptaan yang rendah.[3]. Ungkapan atau gelar ini digunakan untuk menekankan sifat nabi yang adalah sebagai manusia. Nabi Yehezkiellah satu-satunya dari ketiga nabi besar yang mendapat gelar “anak manusia”[4]
D.L Baker mengatakan Panggilan kepada Yehezkiel ini terjadi pada masa pembuangan , dimana dia bersama-sama dengan Raja Yoyakhin dan orang-orang Israel yang terbuang di Tel_Abib dekat sungai Kebar, dalam nubuatannya ia mengatakan bahwa Yerusalem akan musnah karena dosa-dosa mereka, namun orang tidak mengakuinya dengan alas an Allah tidak akan menyerahkan BaitNya kepada musuh, yang ke dua Yehezkiel memberitahukan hukuman Allah kepada bangsa-bangsa Kafir ( Fasal 25-32)[5]
2.2 Hamba Yang Tegas
Orang Isral menganggap Yehezkiel sebagagai pemimpin keagamawian yang baru ( Hamba Tuhan) yang tugasnya menyampaikan pesan dari Tuhan kepada bangsa Israel yang ebrada dalam pembuangan ( Yeh 3:4,11,15 ) Tugasnya sebagai utusan Tuhan adalah untuk memperingatkan orang-orang yang jahat supaya berbalik dari kejahatannya agar ia hidup ( Yeh 3:18 ) kembali ke jalan yang benar, dan tidak murtad lagi. Menegor dan menasehati bangsa yang bebal itu, dan menekankan pertanggungjawaban iman dari setiap orang supaya kembali kepada Allah ( pertobatan ) Yehz 33:11 bnd Amos 5:6a “Carilah Tuhan maka kamu akan hidup” [6]. Sebagai Hamba Tuhan dengan Tegas ia menyatakan bahwa sesungguhnya apa yang dialami bangsa Israel dalam masa pembuangan adalah bagian dari rencana ALLAH yang sangat mulia dan agung, dengan tujuan memulihkan umat-Nya kepada kehidupan  baru yang dipenuhi oleh berkat Tuhan (bnd Yeh 48:35). Dean Tegas ia menyampaikan Firman Allah walaupun bangsa itu tidak mendengar, yakni tentang hari Tuhan dan menubuatkan bahwa kota Yerusalem akan hancur oleh karena dosa-dosa bangsanya ( Yeh 7:5-6, 10,7 ) Nubuatannya yang lebih tegas dan lebih keras dari nabi Yesaya, Yeremia dan Amos[7]
2.2  Hamba yang dibekali dan di teguhkan Allah
Dalam pemanggilan dan pengutusan Tuhan kepada nabi Yehezkiel , Tuhan berbicara dengan Yehezkiel, dan Yehezkiel sadar bahwa ia hanya manusia biasa, yang di topang oleh Roh Kudus dan berbicara menuruti Perintah Allah.[8] Tuhan mengutusnya kepada Bangsa Pemberontak, kepada keturunan yang keras kepala dan tegar hati, ketengah-tengah onak dan duri dan tinggal dekat dengan kalajengking. Tuhan memberikan Rahmat yang besar, Tuhan membekali dia dengan pekataan “ Bangunlah dan berdiri “ karena bangsa itu sudah memberontak, perkataan itu mengandung arti supaya Yehezkiel tetap teguh dan tegar menghadapi bangsa itu, dia dituntut untuk bernubuat, berbicara mengatakan, memberitakan dan juga mengadakan ratapan. Dalam Yeh 3: 8 Tuhan berkata kepada Yehezkiel “ Aku meneguhkan hatimu untuk melawan mereka yang berkepala batu”[9] Tuhan meneguhkan hatinya supaya “giat” dan tidak “takut” dalama jabatan yang ia pegang, demi menyuarakan “Demi Aku yang Hidup” ( Demi Allah yang hidup ) supaya mereka kembali kepada Allah. “ Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya supaya ia hidup” Yeh 33:11.[10]

3.      Hamba Yang menderita dan peka terhadap bangsanya
Sekalipun Yehezkiel menyatakan hukuman dan teguran yang keras namun dibalik itu maksudnya adalah baik, yaitu untuk lebih meyakinkan kaum yang terbuang itu ( Bangsa Israel ) tentang keberadaan mereka sebagai bangsa pilihan Tuhan yang akan mewarisi Janji-janji Allah.[11]. Yehezkiel juga dapat disebut sebagai nabi yang peka , peka terhadap nasib bangsanya, dimana sewaktu kota Yerusalem dikepung, nabi Yehezkiel menjadi bisu. C.Vriezen mengatakan kebisuan itu meupakan suatu sikap symbol yang diambilnya ketika ia mendengar bahwa Yerusalem sudah hancur, dan demikian juga sewaktu isterinya meninggal ia tidak meratap, rasa duka karena Yerusalem telah hancur dicampur dengan rasa duka setelah isterinya meninggal menimbulkan luka yang dalam, itulah yang menjadikannya bisu ( Yeh 3:22-27;24:25-27;33:21;24:15) hal ini dapat di artikan bahwa Yehzkiel sungguh menderita akibat beban derita malapetaka itu.[12]
3.1  Hamba Yang Melayani
Pada awalnya Yehezkiel di utus untuk mencela, menghukum dan mengancam dan menentang kaum pemberontak yakni Israel, namun demikian pada akhirnya Tuhan menantang kaum pemberontak itu. Tuhan menugaskan Yehezkiel unuk berbicara kepada Israel bahwa Tuhan adalah sebagai “Penjaga, Pemelihara, dan menyelamatkan”. Sebagai Gembala yang baik Yeh 3: 11-31 “Aku sendiri akan memperhatikan dombadomba-Ku dan akan mencarinya…Aku akan menjadi hakim diantara domba dengan domba, membebaskan kawanan domba yang terpukul, masa Eskatologia ( 34:12) Tuhan akan menghncurkan para penindas ( 34:20). Mengangkat seorang gembala yakni Daud Yeh 34:-23-24. Yehezkiel melayani Israel sama seperti Gembala yang menggembalakan domba-dombanya, mencari yang sesat dan mengumpulkan domba-domba yang tersesat itu.[13]
3.2  Hamba Yang menubuatkan Mesianik  ( Pemberita Keselamatan )
Dalam penglihatan Yehezkiel tentang Bait Allah yang baru, ia juga memberikan gambaran Negara baru tersebut, ia mengatakan : masa kedatangan Mesias telah tiba, orang-orang Israel akan kembali ke tanah yang dijanjikan. Yehezkiel menunjuk seorang keturunan Daud sebagai penguasa, nubuat mengenai Mesias itu bukan mempunyai kekuasaan duniawi melainkan dating sebagai Raja kedamaian, bukan sebagai Mesias yang politis, tetapi Mesias yang sebenarnya-Mesias yang meyelamatkan.[14]

3.3  Hamba yang menentang ketidak adilan/Praktek Ibadah yang salah
Yehezkiel menentang dan mengecam segala jenis ketidak adilan dan penindasan hokum yang merajalela, mengecam umat Israel telah berbalik dari Tuhan (tidak setia), memperingatkan para raja Israel, pemuka dan tua-tua supaya kembali ke jalan yang benar, dijalan yang digariskan oleh Tuhan semesta alam, Israel sudah melakukan kejahatan  dan pelanggaran kepada perintah  Allah ( Yeh 22:6-31 ) . Orang Israel telah memberontak kepada Allah, memeras orang miskin. Dengan tegas Yehezkiel memperingatkan bangsa pemberontak itu, bahwa praktek ibadah dan bidang agama, susila dan social tidak diperdulikan lagi, mereka telah meyembah berhala-berhala, bahkan Yehezkiel mengatakan bahwa umat Israel telah “Bersundal dan Mendurhaka” terhadap Tuhan ( Yeh 16, 20)[15]
4.      Potret Hamba/Pelayan pada masakini ( Pendeta, Guru Huria, Bibelvrow, Diakones, Evangelis dan Sintua)
4.1  Harus Tegas dalam Pemberitaan
Sama seperti Yehezkiel para Pelayan adalah seorang yang dipanggil uhan dan diutus oleh Tuhan sebagai hamba yang melayaniNya. Seorang Pelayan harus berani dan tegas menubuatkan Firman Tuhan kepada jemaat yang dilayaninya, Menyatakan yang benar sesuai dengan Firman Tuhan, menegor dan menasehati jemaat yang murtad dari ALLAH supaya kembali ke jalan yang benar. Rela menderita , peka terhadap kehidupan jemaat serta menggembalakan jemaat sesuia dengan Tohonan yang diterimanya.
4.2  Giat dan Takut akan Allah
Giat dan Takut dfalam jabatan yang dia pegang. Karena Tuhanlah yang meneguhkan untuk menyampaikan hukuman sekaligus keselamatan yang dari Tuhan. Pelayan diharapkan supaya menjadi Yehezkile-Yehezkiel Mas kini. Sekalipun diutus kepad umat pemberontak ( angka ruas na jugul, pangarekkes di daerah Tradisional, transisional, sipispis ri, metropolitan, dan megapolitan ) keras kepala dan tegar hati, bahkan ketengah-tengah onak duri dan dekat kalajengking. Sebagai Pelayan tidak usah takut dan gentar, Karena Tuhan telah membekali dan meneguhkan kita
4.3  Gembala yang menjadi Teladan
Harus mempu menjadi teladan dalam persekutuan , kesaksian dan pelayanan ( Koinonia, Marturia dan Diakonia) Karena Pelayan adalah sebagai Imam, hamba, maka dengan demikian seorang pelayan harus memperhatikan dan mencari domba domba yang hilang. Menuaraka suara kenabian  kepada penguasa dunia apabila terjadi ketidak adilan, penindasan. Gerja melalui pelayan-pelayannya adalah “Lidah” dan perpanjangan tangan Tuhan di dunia ini sebagai “Penjaga dan pemelihara “ Jemaat. Memperhatikan dan peka terhadap keluhan/kehidupan Jemaat.
5.      Kesimpulan
Tunaikan lah Tugas Pelayananmu ( Sahat Ula Tohonanmi) Jadilah Sebagai Yehezkiel Yehezkiel masa kini.  Tegas dalam pemberitaan, peka terhadap Jemaat, Menubuatkan Mesianik dan Menentang ketidak adilan. Giat serta takut akan ALLAH
Kepustakaan
1.      Alkitab “Lembaga Alkitab Indonesia” Jakarta 2008
2.      Baker DL ‘Sejarah Kerajaan Allah 1” Jakarta BPK GM 2005
3.      Blommendl J DR “ Pengantar kepada perjanjian Lama” Jakarta BPK GM 2009
4.      Barth CH Dr ‘ Teologi Perjanjian Lama 4” Jakarta BPK GM 2005
5.      Hinson F David “Sejarah Israel Pada Zaman Alkitab” Jakarta BPK GM 2009
6.      Keiser Walter Jr ‘Teolog Perjanjian Lama” Malang Gandum Mas 2004
7.      Lasor WS dkk ‘Pengantar Perjanjian Lama 2” Jakarta BPK GM 2009
8.      Siahaan SM Pdt Dr “Pengharapan Mesias dalam Perjanjian Lama” Jakarta BPK GM 2008
9.      Vriezen  c.Th ‘Agama Israel Kuno” Jakarta BPK GM 2008




[1] Blommendal J.DR “ pengantar kepada Perjanjian Lama” Jakarta BPK GM 200 hlm 122-123
[2] Keiser Walter C,Jr “ “Teologi Perjanjian Lama” Malang Gandum Mas 2004, hlm 300
[3] Bartch C Dr “ Teologi Perjanjian Lama 4” BPK GM 2009 hlm 85
[4] Lasor WS “Pengantar Perjanjian Lama 2” Jakarta BPK GM 2009 hlm 383
[5] Baker DL “Sejarah Kerajaan Allah 1” Jakarta BPK GM hlm 692-693
[6] Barth C Dr “Teologi Perjanjian Lama 4” Jakarta BPK GM 2005 lm 93
[7] Barth C Dr Op_Cit Hlm 87
[8] Vriezen C.Th “ Agama Israel Kuno” Jakrta BPK GM  2003 hlm 268
[9] Lasor WS Op-Cit hlm 392
[10] Hinson F David “ Sejarah Israel Kepada Zaman Alkitab” Jakarta BPK G 2009 hlm 196
[11] Barth C Dr p-Cit Hlm 93
[12] Vriezen C.Th Op-Cit hlm 269
[13] Keiser C Walter Jr  Op-Cit hlm 304-305
[14] Siahaan SM Pdt Dr “ Pengharapan Mesias dalam Kitab Perjanjian Lama” BPK GM 2008 hlm 46-47
[15] C. Barth dr Op-Cit hlm 89-90

MOMENTO MORI " Ingot Ari Hamamatem "

MOMENTO MORI

MEMENTO MORI: Kajian singkat tentang MINGGU ”PARNINGOTAN DI ANGKA NAUNG MONDING”

1. Pada hari Minggu ini, 22 November 2009, sesuai dengan kalender Gerejawi HKBP, akan menyelenggarakan Ibadah Akhir Tahun (“Ujung Taon Parhuriaon”) sekaligus “Parningotan di angka naung monding”. Ibadah Akhir Tahun berarti bahwa HKBP akan memasuki masa-masa Advent. Kata “Advent” berasal dari bahasa Latin, yaitu: “Adventus” yang berarti kedatangan Allah. Istilah ini dahulu dipakai dalam kekaisaran Romawi untuk menyambut kedatangan kaisar yang dianggap sebagai dewa, kemudian dipakai oleh pengikut-pengikut Kristus untuk menyatakan bahwa bagi mereka bukan kaisar, melainkan Kristus adalah Raja dan Tuhan. Masa Advent adalah masa persiapan sebelum Natal, yakni masa persiapan untuk menghayati makna kedatangan Kristus, sesuai dengan penantian Mesias oleh umat Israel yang terungkap dalam Alkitab Perjanjian Lama, juga sehubungan dengan kedatanganNya pada akhir Zaman. Namun, bukan Minggu Advent yang hendak dijelaskan dalam tulisan ini, tetapi Minggu “Parningotan di angka naung monding”.
Di Gereja HKBP, Minggu “Parningotan di angka naung monding” dilaksanakan pada Minggu ketiga bulan November atau minggu terakhir sebelum Minggu Advent I (tahun ini pada tanggal 22 November 2009). Di Gereja Roma Katolik, hal ini dilaksanakan pada tanggal 2 November (lih. Pdt. DR. A.A. Sitompul, Bimbingan Tata Kebaktian Gereja: Suatu studi perbandingan, BPK-GM, Jakarta, 1993, hl. 87).
Di kalangan Gereja Evangelis pesta ini dimulai sejak pemerintahan raja Friderich Wilhelm III tahun 1816 yang mengadakan pesta peringatan bagi orang-orang yang meninggal dunia dalam masa perang kemerdekaan. Pada masa sekarang ini minggu tersebut diadakan pada minggu akhir gerejawi (bulan November) dan di Eropa minggu ini disebut dengan minggu abadi, di mana minggu itu tidak hanya berhubungan dengan saat-saat terakhir sebelum kematian tetapi juga menunjuk kepada hari-hari penggenapan janji Allah pada akhir dunia ini, sehingga di dalamnya terdapat berita penghiburan dan berita kesukaan.
2. Apa yang mendasari Gereja Roma Katolik melaksanakan Peringatan bagi orang-orang yang meninggal dan apakah perbedaannya dengan HKBP? Menurut Y. Dwi Harsanto, Pr., (lih. http://via-veritas.com/memento-mori/) dasar berpijak Gereja Roma Katolik adalah sebagai berikut:
a. Maut tidak memutus relasi
Y. Dwi Harsanto, Pr menitikberatkan pada surat rasul Paulus dalam 1 Tesalonika 4:13-18 yang mengenai orang-orang yang sudah meninggal sebagai tanda harapan akan keselamatan dalam Kristus dan karenanya orang Kristen diminta saling menghibur. Kematian tidak memutuskan relasi antar-kita dalam iman akan Yesus Kristus yang bangkit dari alam maut dan mempersatukan orang percaya. Relasi setelah kematian berupa doa, kenangan dan inspirasi, bukan lagi relasi fisik dan verbal.
Hal itu dihubungkan dengan Pengakuan Iman Rasuli bagian III: “Aku percaya akan Communio Sanctorum yang diterjemahkan sebagai “persekutuan para kudus”. Selanjutnya menurut Y. Dwi Harsanto Pr., sebenarnya, Communio Sanctorum punya dua arti: Pertama, Orang-orang Kudus, yakni orang-orang yg sudah dibaptis, baik yang masih hidup maupun yg sudah meninggal. Mereka adalah orang-orang yang sudah “dikuduskan” atau dikhususkan untuk Allah. Arti kedua adalah hal-hal kudus (sakramen-sakramen Gereja). Maka setelah baptisan dan perayaan sakramen khususnya ekaristi, kita dipersatukan satu sama lain berkat iman dalam Gereja sampai kekal.
b. Ekaristi: Tanda Cinta Abadi
Menurut Gereja Roma Katolik, mereka yang masih hidup dapat membantu jiwa-jiwa yang menderita kerinduan di api penyucian dengan doa, amal, perbuatan-perbuatan baik, dan khususnya dengan Perayaan Ekaristi. Tindakan-tindakan mereka itu dapat membantu mengurangi “masa tinggal” mereka di api penyucian. Mereka percaya bahwa jika seseorang meninggal dunia dengan iman kepada Tuhan, tetapi dengan menanggung dosa-dosa ringan dan luka / rusak relasi akibat dosa, maka Tuhan dalam kasih dan kerahiman Ilahi-Nya akan terlebih dahulu memurnikan jiwa. Setelah pemurnian dilakukan sempurna, maka jiwa akan mendapatkan kekudusan dan kemurnian yang diperlukan agar dapat ikut ambil bagian dalam kebahagiaan abadi di surga.
c. Tanda Harapan Sepanjang Sejarah
Katekismus Gereja Katolik menyatakan, “Sudah sejak zaman dahulu Gereja menghargai peringatan akan orang-orang mati dan membawakan doa dan terutama kurban misa/Ekaristi untuk mereka, supaya mereka disucikan dan dapat memandang Allah dalam kebahagiaan” (no. 1032). Sebenarnya “zaman dahulu” ini berakar bahkan dalam Perjanjian Lama, sebagaimana dihubungkan dengan Kitab Makabe yang Kedua. Di dalamnya dituliskan bagaimana Yudas Makabe mempersembahkan kurban penghapus dosa dan doa-doa bagi para prajurit yang meninggal dengan mengenakan jimat-jimat, yang dilarang oleh hukum Taurat; “Mereka pun lalu mohon dan minta, semoga dosa yang telah dilakukan itu dihapus semuanya.” (12:42) dan “Dari sebab itu maka [oleh Yudas Makabe] disuruhnyalah mengadakan korban penebus salah untuk semua orang yang sudah mati itu, supaya mereka dilepaskan dari dosa mereka” (12:45).
3. Dalam Konfesi HKBP tahun 1996 pasal 15 tentang PERINGATAN AKAN ORANG YANG MENINGGAL mengatakan sebagai berikut:
Kita mempercayai dan menyaksikan:
Kematian adalah akhir dari hidup manusia di dunia ini, dia berhenti dari segala pekerjaannya. Ada keselamatan bagi orang yang percaya. Yesus Kristus yang telah bangkit itulah yang membangkitkan orang dari kematian, Dialah Tuhan dari orang yang hidup dan yang mati (Rm. 14:7-9).
Berbahagialah orang yang mati di dalam Tuhan yang setia sampai akhir (Why.14:13).
Gereja menyelenggarakan peringatan bagi orang yang meninggal untuk menyadarkan iman kita supaya kita mengingat akan akhir hidup kita sendiri serta meneguhkan pengharapan akan kemenangan Kristus mengalahkan kematian, demikian juga pengharapan akan kerajaan sorga sebagai tujuan jiwa-roh kita dan persekutuan orang percaya dengan Tuhan Allah hingga kedatangan Yesus Kristus yang kedua kali.
Dengan ajaran ini:
Kita menekankan pengharapan keselamatan manusia dari antara orang yang mati di dalam Yesus Kristus. Kita menentang pandangan yang mengatakan bahwa orang yang hidup dapat menerima berkat dari orang mati.
Kita menentang pandangan yang mengatakan bahwa orang yang mati dapat berhubungan dengan orang yang hidup dengan mendoakan arwah-arwah. Kita menentang pandangan yang mengatakan bahwa haruslah mendirikan tugu untuk menghormati orang yang mati sebagai cara menerima berkat bagi keturunannya.
Dan dengan ajaran ini:
Kita menolak semua bentuk ajaran agama kekafiran terutama ajaran tentang roh yang mengatakan: roh orang yang meninggal itu hidup, dan roh orang meninggal itu menjadi hantu dan roh leluhur (sumangot).
Pada waktu peringatan orang yang meninggal, baiklah kita mengingat untuk mengucap syukur kepada Allah, akan segala perbuatannya yang baik pada waktu masih hidup, tetapi tidak untuk memohon berkat dan tanda kesurupan dari yang telah meninggal itu.
4. Jelas sekali bahwa Gereja Roma Katolik berbeda dengan Gereja HKBP dalam memahami Minggu “Parningotan di angka naung Monding”. Gereja Roma Katolik memahami bahwa ada relasi antara orang yang meninggal dengan orang hidup dengan dasar berpijak kepada 1 Tes.4:13-18 dan Pengakuan Iman Rasuli bagian III, ekaristi dan tanda harapan sepanjang sejarah. Sementara HKBP menentang pandangan yang mengatakan bahwa orang yang mati dapat berhubungan dengan orang yang hidup dengan mendoakan arwah-arwah (itu berarti tidak ada relasi/hubungan sama sekali). Gereja HKBP menyelenggarakan peringatan bagi orang yang meninggal untuk menyadarkan iman kita supaya kita mengingat akan akhir hidup kita sendiri serta meneguhkan pengharapan akan kemenangan Kristus mengalahkan kematian, demikian juga pengharapan akan kerajaan sorga sebagai tujuan jiwa-roh kita dan persekutuan orang percaya dengan Tuhan Allah hingga kedatangan Yesus Kristus yang kedua kali.
5. Memento Mori. Kalimat itu kurang lebih berarti berarti ”Ingatlah akan kematian”. Pepatah bijak itu mengingatkan kita akan hakikat kehidupan. Memang, kematian adalah sebuah kepastian bagi setiap manusia. Datangnya maut adalah sebuah janji di akhir kehidupan. Manusia yang berakal budi dan bereligiositas mempunyai kesadaran yang mendalam tentang kepastian akan kematian dan maut. Maka, kata filsuf Heidegger, hidup adalah suatu ziarah menuju liang lahat. Maut adalah the void within. Artinya, maut adalah suatu kekosongan yang menganga di pusat kehidupan semua manusia yang setiap saat dapat menenggelamkan manusia ke dalam jurang ketiadaan.
Kematian yang sifatnya pasti bagi setiap manusia, dikatakan filsuf Karl Jaspers, tidak lain sebagai “situasi-situasi batas” (Grenz-situationen), yaitu momen ketika orang tahu harus berbuat sesuatu, tapi nyatanya ia tidak mampu lagi melakukan apa pun. Suatu pengalaman manusia tentang ketidakmampuan asasi yang sifatnya eksistensial. Epicuros menulis soal ketidakberdayaan manusia itu, selama kita masih hidup, kematian itu belum ada, tapi tatkala kematian itu tiba, kita tidak ada lagi.
Kematian sebagai realitas universal yang sifatnya pasti itu hingga kini pun terus menjadi misteri yang menggugah nalar dan perhatian hampir setiap orang. Dalam khazanah filsafat, teologi, sastra, dan psikologi, topik tentang kematian terus ditelaah serta diperdebatkan. Para filsuf, teolog, sastrawan, dan psikolog tidak henti-hentinya menjadikan kematian menu utama refleksinya.
Pemikir eksistensi manusia, Albert Camus, menegaskan, selain mengapa manusia bertahan hidup, kematian merupakan persoalan filosofis dan teologis terpenting sekaligus terpelik.
Beberapa sastrawan juga memandang kematian sebagai kekalahan yang tidak dapat dihindari sebagai ujung yang mengerikan sekaligus mengagungkan dari perjuangan mengarungi hidup. Chairil Anwar memberi kesan bahwa hidup hanya menunda kekalahan. “Memento mori”, mengingatkan kita kepada kematian dan kefanaan hidup.
Karena kematian itu ibarat misteri yang menggetarkan eksistensi manusia, dan menganga di pusat kehidupan manusia, kematian layak merembet ke seluruh rana refleksi filsafat, teologi, sastra, psikologi, dan sosial. Kematian kerap menjadi pembuka cakrawala kehidupan manusia, masa lampau, masa kini, dan masa depan. Bahkan ia dapat membuka jalan bagi pembaruan filsafat, teologi, sastra, psikologi, dan sosial itu sendiri.
Dari perspektif teologi, ia telah membuka jalan bagi telaah teologi yang bersentuhan dengan soal-soal eskhata atau hal-hal terakhir dalam hidup manusia yang bisa menjadi awal kebahagiaan kekal atau kematian kekal. Sebab, dalam teologi, pembicaraan seputar kematian tidak terlepas dari surga dan neraka, di samping perbincangan perihal eskatologi (eskaton) masa depan kehidupan manusia.
Yang menjadi bahan diskusi di kalangan para teolog, seperti aliran teologi proses (process theology) yang dimotori John Cobb, David R. Griffin, dan Norman Pittenger, adalah bukan hanya menyangkut pemaknaan hidup sehari-hari, melainkan lebih berfokus pada soal bagaimana dalam sejarah kehidupan ini terjadi apa yang kerap disebut realisasi “rencana-rencana” Allah yang menciptakan dan memelihara lalu menyelamatkan manusia. Atau, secara lebih jelas dalam teologi, pertama-tama bukan lagi mau bicara tentang apa itu kematian atau hidup sesudah mati (after life), melainkan tentang bagaimana janji-janji Sang Khalik itu akhirnya mengena pada kepenuhan hidup manusia.
Dalam konteks inilah pandangan teolog asal Jerman, Karl Rahner, menemukan kebenaran bahwa eskatologi sesungguhnya adalah sebuah antropologi teologik, dengan pandangan tentang kematian juga mencerminkan jiwa, pandangan hidup, serta struktur sosial budaya. Artinya, proses mengerti perihal kematian sebagai suatu nilai hidup yang eksistensial juga harus merupakan suatu faktor yang inheren pada manusia. Kita lalu melihat, kematian dalam ungkapan pengalaman manusia, baik dari pergumulan filsafat maupun teologi, bukan hanya menjadi suatu “sosok” yang menakutkan, melainkan juga sebagai “peristiwa” iman yang mengagungkan. Dalam lirik musik, film-film, dan ritual-ritual penguburan, tampak bahwa orang begitu gembira. Banyak suku menghayati kematian sebagai peristiwa yang menggembirakan, sehingga tatkala kematian menyergap orang-orang tercinta, langsung disambut dengan ritual-ritual kegembiraan yang diiringi musik dan nyanyian.
Teolog L. Boros pernah menulis bahwa kematian adalah pengalaman sangat istimewa ketika manusia secara definitif dan jelas menentukan sikapnya kepada Allah. Itu karena kematian membawa setiap manusia pada refleksi tentang hidup. Dan sebagai manusia yang memiliki religiositas, tentu lahir suatu fakta yang mengeksplisitkan sebuah imperatif mengenai mutlak perlunya refleksi iman atas peristiwa kematian itu sendiri. Maka di dalamnya tak jarang pula muncul kepasrahan. Atau, menurut Karl Jaspers, surrender is readiness to live, no matter, how to accept life whatever happens.
Kematian, sebagaimana juga hidup, adalah pasti. Ia juga begitu akrab sebagai bagian dari proses alam yang wajar. Maka kini bergantung pada manusia dalam memahami dan menghadapi kematian; entah menakutkan, menggetarkan, mengagungkan, entah menggembirakan. Semuanya akan berjalan sekarang dan di depan manusia. Seperti kata Heidegger di atas, maut itu adalah suatu kekosongan yang menganga di pusat kehidupan kita. Kekosongan itu semakin lama semakin lebar, hingga akhirnya akan menelan kita ke dalam jurang ketiadaan.
Lebih dari itu, adanya kematian setidaknya memberi inspirasi bagi semua orang untuk mau tidak mau harus berbuat baik, bekerja keras untuk mengabdi, agar kematian itu menjadi akrab dan diterima dengan senyum, ceria, serta disyukuri. Minimal, setiap manusia dapat menghadapi kematiannya sendiri dengan sigap dan berani. Memento mori, “ingot ma ari hamamatem”.

Manusia takut pada kematian sebagaimana anak-anak takut pergi ke kegelapan; dan sebagaimana ketakutan alami bertambah karena cerita-cerita, demikian juga hal-hal lainnya.
Francis Bacon (1561-1626) Filsuf Inggris
Setiap manusia sejatinya merasa akan hidup abadi; mungkin dia tahu bahwa dia menuju kematian, tapi dia takkan pernah tahu bahwa dia telah mati.
Samuel Butler (1835-1902) Penyair Inggris
Ketika mati, kamu mati. Begitu saja.
Marlene Dietrich (1901-1992) Aktris Hollywood
Anak-anak yang sehat tak akan takut hidup, jika orang tua mereka memiliki cukup integritas untuk tak takut mati.
Erik H. Erikson (1902-1994) Psikolog Amerika
Manusia yang tak mau menyabung nyawa untuk sesuatu tak layak hidup.
Martin Luther King, Jr. (1929-1968) Peraih Nobel Perdamaian
Kematian tak lebih dari perpindahan dari satu kamar ke kamar lain. Tapi ada perbedaan bagiku, kamu tahu kan, karena di kamar lain itu aku akan mampu melihat.
Helen Keller (1880-1968) Penulis Amerika Serikat yang buta.
Namun, ingatlah perkataan Rasul Paulus,
Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan
(Filipi 1:21)