Upaya Menghormati Leluhur Raja Simatupang
Ditulis Oleh Redaksi Hari Jumat, 15 November 2013 | Pukul10.57
Medan, LintasPeristiwa – Pernahkan Anda kesulitan mencari tiket
pesawat terbang padahal bukan musim liburan? Salah satunya, saat musim
Sembahyang Kubur (Cheng Beng). Sepanjang dua minggu sebelum 5 April
tiket selalu full booked. Pulang kampung untuk jiarah, menghormati
leluhur.
Dalam ribuan tahun tradisi Tiongkok, menghormati leluhur sudah menyatu dengan keyakinan masyarakat modern. Dalam Islam, ada tahlilan yang berlanjut menjadi haul. Maknanya sama, menghormati lehuhur atau tokoh tertentu.
Di Nagano (Jepang), di kuil Suwa-Taisha, setiap April selalu diselenggarakan festival tradisional Ontohsai, mementaskan kisah Ibraham yang hendak memotong korban (anaknya sendiri). Pementasan ini adalah untuk menghormati Abraham, sang lehuhur. The "Ontohsai" festival, held since ancient days, is judged to be the most important festival of "Suwa-Taisha."
“Orang yang masih hidup menghormati leluhur. Tak bisa lupa, karena leluhur yang membuka kehidupan,” begitulah esensi Cheng Beng. Walau, jasa lehuhur (orangtua) tetap tak akan tertebus dengan penghormatan macam apa pun.
Keturunan Raja Simatupang (Togatorop, Sianturi dan Siburian), Suku Batak, kini berusaha menghormati lehuhur dengan mengadakan napak tilas. Berbagai prosesi unik digelar. Agaknya, sungguh suatu fenomena baru, karena ada penafsiran ulang.
“Kami membuat 7 perahu (solu bolon) di Pahae, 6 di antaranya akan dibawa ke Muara, Sabtu 7 Desember 2013,” ungkap Jusman Sianturi (Amani Arta Pesta Ria), Ketua Pelaksana. Mulai besok, panitia yang membuka pengumuman di www.simatupang.net.
Seperti perahu jaman dulu, terbuat dari kayu utuh. Perahu Simatupang, sepanjang 21 m, lebar 1,1 m, tinggi 0,7 m. Perahu dibuat di hutan, 10 sampai 14 km dari jalan raya. Sebanyak 333 orang akan menggotong ke-7 perahu ke jalan raya, dibawa dengan truk ke Muara, 60 km lebih.
Tekad kuat keturunan Raja Simatupang, menggali dan melestarikan warisan leluhur. Di Sitabungan (Parranginan) yang kini di Kabupaten Humbang Hasundutan, dibangun rumah doa, panjang 21 m, lebar 18 dan tinggi 21 m. Tahun 2010 silam, sudah diresmikan tugu.
Untuk peresmian puncak 21-22-23 Desember 2013, telah disiapkan 3.333 ulos sampe-sampe dan parorot, 630 ulos (kain) tali-tali, ditenun 77 orang keturunan Simatupang. Di sekitar rumah doa, ditanam 7.777 pohon buah. Juga 3.333 salapa (tempat penyimpanan sesuatu).
Sesuai tradisi Batak, jenis ulos adalah simbol khusus. Parorot misalnya, simbol penjaga, kain yang digunakan menggendong bayi. Memberi ulos parorot, adalah simbolisasi doa agar ada yang melindungi dan penerima ulos senantiasa diiringi Tuhan Maha Kuasa.
Sekedar menyegarkan ingatan, nenek-moyang orang Batak adalah Si Raja Batak, diyakini diciptakan langsung oleh Tuhan (Mula Jadi Na Bolon). Si Raja Batak, punya dua anak, Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon.
Guru Tatea Bulan mempunyai 5 putra, Raja Biakbiak (Raja Uti), Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja dan Silau Raja. Saribu Raja punya 2 anak, Raja Lontung (dari istri Siboru Pareme), dan Raja Borbor (dari isteri Nai Mangiring Laut).
Raja Lontung mempunyai 7 orang putra: Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang dan Siregar. Simatupang punya 3 putra, Togatorop, Sianturi dan Siburian. Generasi Simatupang sekarang ini, antara generasi 15 sampai 19.
Meski Simatupang merupakan marga persatuan, tak sedikit yang menggunakan marga Simatupang. Kita kenal pahlawan nasional TB Simatupang, sastrawan/eksistensialis Iwan Simatupang, kelompok penyanyi Simatupang Sister dan banyak lagi.
“Untuk acara membawa perahu 7 Desember, peresmian 21-22-23 Desember 2013, kami sungguh mengharapkan kehadiran seluruh keturunan Simatupang dari seluruh penjuru dunia,” kata Jusman, telepon 0813 7604 6540.
Keseluruhan proses keturunan Raja Simatupang, adalah upaya melawan lupa leluhur, melawan lupa identitas kultural. Jumlah dengan angka unik, sombolisasi tradisi nenek-moyang, di mana angka 3 menjadi angka sakral, setara dengan angka 9 di Jawa, angka 8 di Tiongkok.
Semoga upaya keturunan Raja Simatupang menghormati lehuhur, memperjelas indentitas kultural, menjadi orientasi baru. Melawan lupa. (Sihol Manullang)
Dalam ribuan tahun tradisi Tiongkok, menghormati leluhur sudah menyatu dengan keyakinan masyarakat modern. Dalam Islam, ada tahlilan yang berlanjut menjadi haul. Maknanya sama, menghormati lehuhur atau tokoh tertentu.
Di Nagano (Jepang), di kuil Suwa-Taisha, setiap April selalu diselenggarakan festival tradisional Ontohsai, mementaskan kisah Ibraham yang hendak memotong korban (anaknya sendiri). Pementasan ini adalah untuk menghormati Abraham, sang lehuhur. The "Ontohsai" festival, held since ancient days, is judged to be the most important festival of "Suwa-Taisha."
“Orang yang masih hidup menghormati leluhur. Tak bisa lupa, karena leluhur yang membuka kehidupan,” begitulah esensi Cheng Beng. Walau, jasa lehuhur (orangtua) tetap tak akan tertebus dengan penghormatan macam apa pun.
Keturunan Raja Simatupang (Togatorop, Sianturi dan Siburian), Suku Batak, kini berusaha menghormati lehuhur dengan mengadakan napak tilas. Berbagai prosesi unik digelar. Agaknya, sungguh suatu fenomena baru, karena ada penafsiran ulang.
“Kami membuat 7 perahu (solu bolon) di Pahae, 6 di antaranya akan dibawa ke Muara, Sabtu 7 Desember 2013,” ungkap Jusman Sianturi (Amani Arta Pesta Ria), Ketua Pelaksana. Mulai besok, panitia yang membuka pengumuman di www.simatupang.net.
Seperti perahu jaman dulu, terbuat dari kayu utuh. Perahu Simatupang, sepanjang 21 m, lebar 1,1 m, tinggi 0,7 m. Perahu dibuat di hutan, 10 sampai 14 km dari jalan raya. Sebanyak 333 orang akan menggotong ke-7 perahu ke jalan raya, dibawa dengan truk ke Muara, 60 km lebih.
Tekad kuat keturunan Raja Simatupang, menggali dan melestarikan warisan leluhur. Di Sitabungan (Parranginan) yang kini di Kabupaten Humbang Hasundutan, dibangun rumah doa, panjang 21 m, lebar 18 dan tinggi 21 m. Tahun 2010 silam, sudah diresmikan tugu.
Untuk peresmian puncak 21-22-23 Desember 2013, telah disiapkan 3.333 ulos sampe-sampe dan parorot, 630 ulos (kain) tali-tali, ditenun 77 orang keturunan Simatupang. Di sekitar rumah doa, ditanam 7.777 pohon buah. Juga 3.333 salapa (tempat penyimpanan sesuatu).
Sesuai tradisi Batak, jenis ulos adalah simbol khusus. Parorot misalnya, simbol penjaga, kain yang digunakan menggendong bayi. Memberi ulos parorot, adalah simbolisasi doa agar ada yang melindungi dan penerima ulos senantiasa diiringi Tuhan Maha Kuasa.
Sekedar menyegarkan ingatan, nenek-moyang orang Batak adalah Si Raja Batak, diyakini diciptakan langsung oleh Tuhan (Mula Jadi Na Bolon). Si Raja Batak, punya dua anak, Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon.
Guru Tatea Bulan mempunyai 5 putra, Raja Biakbiak (Raja Uti), Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja dan Silau Raja. Saribu Raja punya 2 anak, Raja Lontung (dari istri Siboru Pareme), dan Raja Borbor (dari isteri Nai Mangiring Laut).
Raja Lontung mempunyai 7 orang putra: Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang dan Siregar. Simatupang punya 3 putra, Togatorop, Sianturi dan Siburian. Generasi Simatupang sekarang ini, antara generasi 15 sampai 19.
Meski Simatupang merupakan marga persatuan, tak sedikit yang menggunakan marga Simatupang. Kita kenal pahlawan nasional TB Simatupang, sastrawan/eksistensialis Iwan Simatupang, kelompok penyanyi Simatupang Sister dan banyak lagi.
“Untuk acara membawa perahu 7 Desember, peresmian 21-22-23 Desember 2013, kami sungguh mengharapkan kehadiran seluruh keturunan Simatupang dari seluruh penjuru dunia,” kata Jusman, telepon 0813 7604 6540.
Keseluruhan proses keturunan Raja Simatupang, adalah upaya melawan lupa leluhur, melawan lupa identitas kultural. Jumlah dengan angka unik, sombolisasi tradisi nenek-moyang, di mana angka 3 menjadi angka sakral, setara dengan angka 9 di Jawa, angka 8 di Tiongkok.
Semoga upaya keturunan Raja Simatupang menghormati lehuhur, memperjelas indentitas kultural, menjadi orientasi baru. Melawan lupa. (Sihol Manullang)