REFORMASI TEOLOGIS MARTIN LUTHER
Catatan awal
Jerman, pertengahan abad 16, barangkali
menjadi tempat yang tak pernah akan dilupakan sepanjang sejarah
Kekristenan. Di tempat itulah, untuk pertama kalinya, seruan pembaharuan
Gereja digaungkan. Kepemimpinan hierarkis disorot. Kewibawaan
teologis-doktrinal Gereja diguncang dan dipertanyakan. Sosok Martin
Luther[1]
berdiri kokoh di balik seruan pembaharuan Gereja tersebut. Baginya,
reformasi adalah sebuah kemendesakan, bukan sekadar pilihan manasuka
dari pihak Gereja.
Berbeda dengan Calvin dan Zwingli, yang
pada masa itu juga menyerukan gagasan reformasi, Luther dipandang
sebagai epitom dari gerakan reformasi. Setidaknya ada dua alasan yang
mendukung pernyataan tersebut: (1) Luther adalah Reformator yang paling
berpengaruh bagi tokoh sezaman dan sesudahnya. Bahkan Calvin dan Zwingli
pun berhutang inspirasi dari perjuangan dan ajaran Luther; (2)
Lutherlah yang pertama kali paling serius menekankan reformasi teologis,
dimana menuntut perbaikan mendasar dalam ajaran gerejawi, ketimbang
reformasi dalam aspek moral maupun institusional sebagaimana yang
ditekankan reformator sebelumnya (mis: Wycliffe dan Huss). Luther
melihat perubahan praktik dan moral hanyalah mungkin jika ajaran iman
kepercayaan dibenahi dahulu.[2]
Luther memikirikan secara serius perihal
ajaran keselamatan yang dipegang oleh Gereja pada saat itu. Baginya,
perolehan keselamatan, yang melulu digantungkan pada besarnya
usaha-usaha (pekerjaan insani) manusia, adalah sebuah kenaifan. Jika
demikian adanya, bagaimana mungkin orang yang berdosa berat, misalnya,
dapat mengharapkan adanya keselamatan bagi dirinya? Dalam kontkes ini,
maka, pribadi Allah hanya dimengerti sebagai seorang hakim nan kejam
yang kerjanya menimbang jumlah baik-buruk pekerjaan manusia, sementara
pribadi-Nya yang Maharahim dan penuh cinta ditempatkan dalam ruang gelap
pemahaman iman. Luther berpikir sebaliknya. Permenungannya terhadap
tulisan-tulisan Paulus, khususnya Surat Roma, membawanya pada sebuah
pemahaman baru perihal keselamatan. Baginya, keselamatan adalah soal
pemberian rahmat Allah yang diperoleh lewat iman. Hanya dengan iman lah
manusia dapat diselamatkan, dan bukan dengan pekerjaan-pekerjaan insani.
Perbuatan baik manusia hanyalah konsekuensi dari rahmat keselamatan.
Tanpa berpretensi untuk menjadi sebuah
tulisan komprehensif mengenai hal ikhwal dan pengaruh gerakan reformasi
Lutheran bagi dunia Kekristenan. Tulisan ini hendak menyajikan latar
belakang dan pokok pikiran dari tema utama reformasi Lutheran, yakni
ajaran pembenaran oleh iman, juga reaksi gereja menyikapi ajaran
tersebut.
Dalam nuansa gagasn teologis via moderna
Awal kelahiran gagasan Luther mengenai
pembenaran oleh iman sejatinya tidak bisa dilepaskan dari gagasan
teologis yang berkembang pada saat itu. Sekitar abad 14 dan 15, banyak
teolog skolastik, lantaran pengaruh William Ockham, cenderung untuk
mengarahkan perbincangan teologis dalam wadah yang bernama nominalisme.
Pada masa itu, nominalisme, secara nyata, terepresentasi dalam sebuah
gerakan religius yang kerap didefinisikan sebagai via moderna.
Bak cendawan di musim hujan, gerakan via moderna menyerbu masuk dan bertumbuh sumbur di banyak universitas pada masa itu, khusunya universitas-universitas di Eropa Utara.[3] Lantaran Luther pernah belajar di Universitas Erfrut – dimana suasana akedemisnya diwarnai oleh pemikiran via moderna – dan lagi, setelah masuk biara Agustinian, ia berkonsentrasi pada teologi via moderna, maka tidak sedikit pengaruh yang ditularkam oleh via moderna dalam diri Luther. Dalam gerakan via moderna,
optimisme pada kemampuan-kemampuan manusia begitu diunggulkan. Dengan
kata lain, manusia dimungkinkan untuk mengerjakan segala sesuatu yang
perlu guna masuk dalam suatu hubungan dengan Allah. Karena itu, bisa
dimengerti bahwa dalam perjalanan batinnya, Luther sempat disibukkan
dengan urusan mengejar prestasi kesalehan individual demi pencapaian
keselamatan. Segala amalan yang mungkin dilakukan oleh manusia, ia
kerjakan. Dalam artian ini, maka, gerakan via moderna tak jarang disebut sebagai pelagian lantaran banyak mengadopsi gagasan pelagius[4] dalam memahami arti pembenaran/keselamatan.
Ciri utama soteriologi via moderna
adalah adanya perjanjian antara Allah dengan manusia. Perjanjian ini
menghasilkan syarat-syarat yang diperlukan untuk pembenaran.[5]
Artinya, jika manusia mendambakan agar ia diselamatkan, maka ia harus
memenuhi tuntuan tertentu guna mendapat status orang benar di hadapan
Allah. Tuntutan tersebut menyuratkan adanya usaha atau perbuatan (baik)
yang harus dikerjakan oleh manusia. Semakin besar usaha dan perbuatan
baik yang manusia kerjakan, maka semakin besar pula peluang manusia
untuk mendapat pembenaran (=diselamatkan) oleh Allah.
Gagasan semacam itu membawa konsekuensi
yang serius bagi teologi pengampunan. Peran Allah, dalam pengampunan
dosa, diredusir menjadi sebatas pemberi ganjaran terhadap prestasi
manusia. Parahnya, pada masa Luther, teologi pengampunan semacam itu,
dalam prakteknya, malah dipelintir demi kepentingan materialis Gereja.
Peran manusia dalam pengampunan dosa melulu disempitkan dalam rupa
pembelian surat indulgensi.[6]
Terebosan teologis yang ’menggairahkan’
Penekanan yang
berlebihan pada prestasi atau cara-cara insani guna memeroleh
keselamatan, pada akhirnya malah membuat Luther jatuh dalam jurang
keputusasaan. Gagasan mengenai Allah sebagai hakim yang menimbang atau
pemberi ganjaran perbuatan baik-buruk manusia menjadi sebuah ancaman
yang serius bagi Luther. Ia sendiri merasa bahwa sebanyak apa pun
perbuatan baik yang dilakukan oleh manusia, tetaplah tidak bisa
mengurangi kedosaan yang selalu ada dalam diri manusia. Sebab, manusia
itu sama sekali busuk lantaran dosa asal, dan setiap apa yang dilakukan
manusia tidak dapat lain kecuali berdosa.[7]
Lebih jauh, setelah kejatuhan Adam ke dalam dosa, manusia dari dirinya
sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. Apa saja yang berasal dari manusia
melulu sebagai “konkupensi,” yakni terkait dengan egoisme dan cinta
diri.[8]
Namun, kegelisahan Luther akhirnya
terjawab setelah ia mendapat pencerahan dari pembacaan tulisan-tulisan
Paulus, khusunya surat Roma, di dalam sebuah pengalaman menara. Dalam
Roma 3:28, ia menemukan “…bahwa manusia dibenarkan karena iman…” Lebih
jauh, dengan merujuk pada Roma 1:17, Luther menulis:
“God finally took pity on me, so that I
was able to comprehend the inner connection between the two expressions,
‘The righteousness of God is revealed in the Gospel’ and ‘The just
shall live by faith.’ Then I began to comprehend the ‘righteousness of
God’ trough which the rigtheous are saved by God’s grace, namely, trough
faith…”[9]
Kebenaran Allah, dengan demikian,
dipandang oleh Luther sebagai anugerah yang mengalir dari iman. Iman,
dengan demikian, adalah kunci utama dalam keselamatan. Hanya karena
imanlah manusia dapat diselamatkan dan mendapat status sebagai orang
benar.
Dalam pemahaman semacam ini, maka
karya-karya insani manusia tidak lagi mendapat tempat dalam bingkai
keselamatan. Sebab, dalam pembenaran orang berdosa, Allah dipandang
sebagai pribadi yang aktif menganugerahkan keselamatan, sementara
manusia bertindak pasif – penerima anugerah keselamatan lewat iman.
Dengan demikian, berbeda dengan pemikiran teologis jamannya, Luther
menyatakan bahwa keselamatan itu bukan merupakan sebuah imbalan dan
terjadi tanpa ada jasa dari pihak manusia! Sementara itu, harus dipahami
bahwa pemberian status orang benar pada manusia yang berdosa tidaklah
membawa manusia pada suatu pembaruan batin secara ontologis: manusia
telah dan tetap berdosa.[10] Hanya saja, Allah menutupi dosa-dosa manusia dengan kebenaranNya.
Gagasan semacam itu sungguh menjadi
sebuah terobosan teologis yang “menggairahkan,” terlebih bila mengingat
beban psikologis-teologis yang dipikul oleh banyak orang pada waktu itu
demi mengejar sebuah ganjaran keselamatan dari Allah. Sosok Allah,
dengan demikian, tidak lagi dipikirkan sebagai hakim yang kejam, namun
sebagai pribadi yang Maha Pemurah dan penuh rahmat yang memberikan
status orang benar kepada orang-orang berdosa sebagai anugerah.
Tanggapan Gereja Roma[11]
Reformasi teologis yang
digaungkan oleh Luther rupanya membuat Gereja Roma terguncang. Tak
ayal, Gereja pun mempertahankan diri dari “serangan” Luther. Dalam
Konsili Trente (1545-1563), Gereja Roma memperbincangkan dengan serius
apa yang digagas oleh Luther. Ada beberapa keberatan yang kemudian
diajukan oleh Gereja berkaitan dengan ajaran Luther mengenai pembenaran
oleh iman.
Pertama, Luther cenderung memahami
pembenaran sebagai sebuah peristiwa dibenarkan daripada sebuah proses
menjadi benar. Sebagai sebuah peristiwa, maka pembenaran semata hanya
dilihat dalam kerangka pemberian rahmat Allah dan cenderung menafikan
perbuatan baik yang wajib pula dikerjakan manusia. Bagi Konsili,
perolehan status orang benar dari Allah mengharuskan pula sikap untuk
terus menjadi benar. Artinya, kehendak baik dari Allah untuk
membenarkan/menyelamatkan manusia tidak serta merta mengeksklusi
kewajiban manusia untuk melakukan tindakan-tindakan kebaikan.
Kedua, Luther melulu memandang bahwa
orang berdosa tidak mempunyai apa pun di dalam diri mereka sendiri yang
dapat dianggap sebagai dasar keputusan Allah untuk membenarkan mereka.
Dengan demikian, pembenaran, bagi Luther dipandang sebagai sesuatu yang
eksternal, yang dinyatakan dari atas. Menolak gagasan itu, Konsili
menyatakan bahwa tiap orang memiliki kebenaran internal yang ditanamkan
oleh Allah di dalam diri mereka masing-masing. Penanaman kebenaran itu
sendiri adalah sebuh tindakan anugerah.
Ketiga, Luther kukuh berpendapat bahwa
hanya oleh iman manusia dapat diselamatka. Baginya, perbuatan-perbuatan
baik manusia itu mengikuti pembenaran (konsekuensi logis dari
pembenaran), tapi tidak pertama-tama menyebabkan pembenaran. Gagasan ini
direaksi secara keras dalam sidang Konsili. Konsili kuatir bahwa semua
orang akan percaya bahwa mereka dapat dibenarkan hanya oleh iman tanpa
ada keharusan untuk terus melakukan pembaharuan spiritual yang terekam
dalam tindakan-tindakan amal-kasih.
Keempat, keyakinan Luther (juga para
reforamtor lain) akan keselamatan yang bakal diperoleh oleh tiap orang
hanya dengan iman, dipandang oleh Konsili sebagai sebuah kenaifan.
Sebab, bagi Konsili, tidak ada seorang pun yang dapat dengan pasti
mengatakan bahwa dia telah memeroleh anugerah Allah. Keyakinan semacam
itu dapat dipandang sebagai sebuah entusiasme religius yang berlebihan.
Catatan akhir
Ecclesia semper reformanda.
Demikianlah dalam perjalanan sejarahnya, Gereja terus berusaha untuk
memperbaharui diri. Apa yang dikerjakan oleh Martin Luther sebenarnya
adalah sebuah upaya untuk pembaharuan Gereja – meski dalam kenyataannya
berakhir “tragis”, sebab gaung reformasi yang ia suarakan ternyata
membawa Gereja pada sebuah perpecahan. Tanpa ada orang yang lantang
bersuara seperti Martin Luther, Gereja akan merasa mapan dan aman dalam
keadaannya, serta hanya hidup dalam gairah yang kosong. Jika demikian
halnya Gereja lambat laun akan mati perlahan dilindas arus jaman – jaman
berubah sementara Gereja tidak berubah!
Gebrakan reformasi yang dilancarakan oleh
Luther setidaknya membawa Gereja untuk mengkoreksi apa-apa saja yang
tidak beres dalam tubuhnya sendiri. Sebagai contoh, Konsili Trente yang
dilangsungkan oleh Gereja, sejatinya tidak hanya membahas soal tanggapan
atas pandangan-pandangan Luther. Dalam konsili ini dibahas pula soal
masalah-masalah dogmatis, disipiner, dan organisatoris lain yang juga
urgen, misalanya: tentang Kanon Kitab Suci dan Tradisi, sakramen,
larangan untuk mengumpulkan harta kekayaan bagi klerus, penataan kembali
paroki, dsb. Kesemua hal itu membawa Gereja pada peremajaan kembali
semangatnya yang telah kendor, akibat masalah-masalah baik intern maupun
ekstern yang tak pernah selesai.
Daftar Pustaka
Berkhof, Dr. H. dan Dr. I. H. Enklaar. Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986.
Estep, William R. Renaissance and Reformation. Michigan: William B. Eerdmans, 1986.
http://www.sarapanpagi.org/martin-luther, diakses tanggal 3 Mei 2009.
Kristiyanto, Eddy, OFM. Reformasi dari Dalam: Sejarah Gereja Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
McGarth , Alister E. Sejarah Pemikiran Reformasi, terj. Liem Sien Kie. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
[1]
Luther lahir pada tanggal 10 November 1483, di Eisleben, Saxonia. Buah
cinta pasangan Hans Luder dan Margaret Ziegler. Ketika Luther dewasa,
ayahnya berkeinginan agar ia menjadi ahli hukum. Namun, berlawanan
dengan kehendak ayahnya, ia malah memutuskan untuk masuk biara – menjadi
anggota Ordo Sancti Augustini Eremitae di Erfrut. Keputusan
ini tak lepas dari kegelisahannya akan keselamatan jiwanya. Pada tahun
1507, ia ditahbiskan menjadi imam di Gereja Wittenberg. Beberapa tahun
sesudahnya, ia mendapat tugas mengajar dan ditetapkan sebagai doktor
teologi di Universitas Wittenberg. Sementara mengajar, pada tahun
1515-1517, Luther mengalami krisis rohani. Ia memikirkan secara mendalam
masalah rahmat, yustifikasi, dan predestinasi. Ia menggugat pemikiran
nominalisme, yang berkembang saat itu, dimana pekerjaan insani dipandang
sebagai sesuatu yang rigorus, mutlak perlu guna memeroleh keselamatan.
Kegelisahannya diperkuat lantaran praktek penjualan surat indulgensi
yang merebak saat itu. Seruan untuk reformasi pun akhirnya ia suarakan.
Sayangnya, seruannya dipandang secara konfrontatif oleh pihak Gereja.
Akhirnya, tahun 1524, ia memutuskan untuk keluar dari biara dan menikahi
Katherina von Bora, yang daripadanya lahir 6 anak. Pada tanggal 18
Februari 1546, Luther wafat. Tapi, gagasan reformasinya terus meluas
dan gaungnya keras terdengar di mana-mana. (Bdk., Eddy Kristiyanto, OFM,
Reformasi dari Dalam: Sejarah Gereja Zaman Modern,Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm. 35-38).
[2] http://www.sarapanpagi.org/martin-luther, diakses tanggal 3 Mei 2009.
[3] Bdk., Alister E. McGarth, Sejarah Pemikiran Reformasi, terj. Liem Sien Kie, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000, hlm. 95.
[4]
Pelagius merupakan sosok yang berkonfrontasi dengan Agustinus perihal
gagasan pembenaran bagi orang berdosa. Keduanya sepakat bahwa keberadaan
manusia tidak bisa dilepaskan dari dosa. Tapi, mengenai bagaimana
manusia bisa diselamatkan dan keluar dari jerat dosa tersebut, keduanya
berbeda pendapat. Bagi Agustinus, usaha dari manusia untuk memeroleh
keselamatan adalah perbuatan yang sia-sia. Keselamatan orang berdosa
hanya dimungkinkan karena inisiatif Allah yang memberi anugerah
pembenaran. Anugerah itu adalah pemberian cuma-cuma (hadiah) dari Allah,
tanpa ada satu pun usaha dari manusia. Berbeda dengan Agustinus,
Pelagius mengajarkan bahwa manusia memliki kemampuan untuk menyelamatkan
diri. Keselamatan adalah ganjaran Allah atas perbuatan baik yang
dilakukan manusia. (Lih., Ibid., hlm. 93-94).
[5] Ibid., hlm. 96.
[6]
Penting diketahui bahwa pada awal abad 16, surat indulgensi merupakan
sumber utama penghasilan Paus. Uang hasil penjualan surat indulgensi
tersebut merupakan sumber dana untuk pembangunan gedung gereja St.
Petrus, juga untuk pembiayaan perang salib. Karenanya, tak salah bila
kemudian Paus Leo X menyarankan pada Uskup Agung Albercht dari Mainz
untuk mengadakan penjualan surat indulgensi secara besar-besaran di
wilayahnya, dengan prinsip bagi hasil, demi mengatasi kesulitan keuangan
yang ia alami. Wakil mencolok dari pretensi Gereja tersebut adalah
Johannes Tetzel. Secara naif, ia berseru: “Kalau uang berdenting di
dalam peti, maka melompatlah jiwa itu ke dalam sorga!” (Bdk., Dr. H.
Berkhof dan Dr. I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986, hlm. 126-127)
[7] Eddy Kristiyanto, OFM, Op. Cit., hlm. 39
[8] Ibid., hlm. 55.
[9] William R. Estep, Renaissance and Reformation, (Michigan: William B. Eerdmans), 1986, hlm. 116.
[10] Eddy Kristiyanto, OFM, Op. Cit., hlm. 55.
[11] Tanggapan Gereja berkaitan dengan ajaran Luther disarikan dari Al =
No comments:
Post a Comment