Dialah murid, yang memberikan kesaksian tentang semuanya ini,
dan yang telah menuliskannya, dan kita tahu bahwa kesaksiannya itu benar.
Yohanes 21:24
Selain itu, kalau kita mengacu pada Yoh 7:38-39 seperti sudah disinggung di atas,
saat penyaliban Yesus adalah saat pemuliaan sehingga Dia bisa menyerahkan Roh-Nya!
( V. Indra Sanjaya, hal 128)
Paham mengenai gambaran ideal kemuridan dan teologi
salib menurut Yohanes dikupas dalam buku Yesus, Orang Nazaret, Raja
Orang Yahudi dengan cukup menarik, mudah dipahami dan inspiratif. Saya
sangat menikmati bacaan tersebut terutama karena gaya bahasa yang
sederhana dan enak dibaca untuk sebuah buku yang mengupas Injil Yohanes.
Selain karena tugas kuliah, saya merasa bahwa pendalaman pada tema
kemuridan dan teologi salib membuka suatu cakrawala baru bagi saya. Oleh
karena itu, saya akan mencoba mendalami dua tema tersebut dengan
sedikit sistematis dan kritis sehingga menjadi kekayaan khazanah
pemahaman sidang pembaca.
Murid yang Dikasihi: Murid yang Ideal
Begitu mendengar kata murid-murid Yesus, tentu dengan
seketika perhatian kita akan berfokus pada Simon Petrus dan murid-murid
yang lain. Dengan mudah kita akan memberikan penilaian bahwa merekalah
murid-murid Yesus yang asli. Tentu kita pun akan dengan mudah memberikan
sebuah referensi bahwa merekalah murid-murid yang ideal. Benarkah
demikian? Yohanes Penginjil ternyata mempunyai kriteria lain berkaitan
dengan murid yang ideal. Yohanes menampilkan sosok misterius yaitu murid
yang dikasihi Yesus. Identitas tersebut tetaplah misterius. Yohanes
juga tidak menyebutkan identitas murid yang dikasihi-Nya dengan terbuka.
Memang Yohanes menempatkan murid yang dikasihi-Nya dengan Petrus (bdk:
Yoh 13:23-24, Yoh18:15-18, Yoh 19:26-27, Yoh 20:2-10, Yoh 21,7 dan Yoh
21: 20-23).
[1]
Romo Indra mencatat bahwa murid yang dikasihi inilah yang menjadi saksi
otoritatif komunitas Yohanes. Dia merupakan saksi istimewa akan
peristiwa salib.
Untuk itu, kiranya kita dapat
mencoba meneliti lebih jauh mengenai ciri-ciri kemuridan yang ideal.
Murid Yesus yang ideal menurut Yohanes mempunyai beberapa kriteria
[2]
antara lain: mengikuti Yesus sampai ke kaki salib (bdk. hlm 104) ,
bukan dari dunia ini (bdk hlm105), pengganti Yesus yang wafat (bdk hlm.
107), mempunyai hubungan spiritual, bukan hanya karena hubungan darah
(bdk hlm. 108), memperkenalkan /membawa orang kepada Yesus (28). Untuk
lebih memperdalam kiranya, kita perlu merumuskan dalam 3 ciri utama
murid Yesus yang ideal, yaitu:
Pertama, seorang murid yang ideal
adalah mengikuti Yesus sampai ke kaki salib. Memang untuk mencapai
tujuan tersebut banyak ujian yang harus dialami oleh murid Yesus.
Sebagai contoh, Petrus yang dalam arti tertentu gagal untuk sampai ke
salib Yesus karena menyembunyikan identitas kemuridannya di hadapan
penjaga. Justeru murid yang lain –yang dikenal oleh Imam Besar- berhasil
sampai di bawah kaki Salib Yesus. Setelah murid itu bersama dengan
Simon Petrus (Yoh 18:15-16), ia merupakan satu-satunya murid lelaki yang
sampai ke kaki salib. Menurut Yoh 19:33, dia merupakan saksi mata dari
peristiwa penyaliban tersebut. (bdk hlm 104)
Kedua, murid yang ideal
adalah pengganti Yesus yang wafat. Dalam konteks relasi Ibu Yesus dengan
murid, Ibu Yesus disejajarkan dengan Hawa, yang menjadi ibu semua yang
hidup (Kej 3:20). Kini dengan menerima murid yang dikasihi, Ibu Yesus
menjadi ibu semua murid Yesus, yang memberikan hidup kekal pada mereka.
Murid yang dikasihi Yesus lalu menjadi pengganti Yesus yang segera akan
wafat seperti yang dikatakan Hawa dalam Kej 4:25 ,” Allah telah
mengaruniakan kepadaku anak lain sebagai ganti Habel; sebab Kain telah
membunuhnya.” (bdk hlm. 105). Dengan demikian ditegaskan pula bahwa
murid yang ideal tidak berasal dari dunia ini. (Yoh 17,14).
Ketiga,
murid Yesus yang ideal mempunyai relasi iman dengan Yesus sendiri.
Relasi kemuridan tidak pertama-tama berupa ikatan darah melainkan ikatan
spiritual dan ketaatan kepada kehendak Allah (bdk Mark 3:31-35, Mat
12:46-50 dan Luk 8:19-21). Melalui kata-kata terakhir Yesus, Ibu Yesus
yang mewakili hubungan darah diterima dalam kelompok yang menekankan
hubungan spiritual dengan Yesus, yang diwakili oleh murid yang dikasihi
Tuhan. Dengan demikian dibuka kemungkinan bahwa mereka yang berada dalam
garis hubungan darah dengan Yesus menjadi kelompok yang dicirikan
hubungan rohani (kelompok murid-murid Yesus). Hal ini misalnya terjadi
pada diri Yosef Arimatea dan Nikodemus.
Murid yang Dikasihi Versus 12 Rasul
Menurut Romo Indra, murid yang dikasihi adalah tokoh
utama komunitas Yohanes. Memang dalam Injil Yohanes, kita menemukan
persaingan terselubung antara murid yang dikasihi dengan Petrus yang
merupakan jagonya komunitas kristen yang utama. Menurut Yohanes, murid
yang dikasihi selalu menang. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa
juga dalam menerima Roh Yesus, murid yang dikasihi mendapatkan
prioritas. Baru nanti sesudah kebangkitan, Yesus menghembuskan RohNya
pada para murid (kelompok 12) yang berkumpul di suatu tempat yang
pintu-pintunya terkunci. (lihat hlm 129). Murid yang ideal menurut
Yohanes, adalah murid yang hadir di bawah kaki salib. Oleh karena itu
kemuridan Yesus mempunyai konteks dalam peristiwa penyaliban. Bagaimana
ini dapat dipahami? Tentu kita akan mencoba menelaah makna salib dalam
teologi Yohanes, sehingga kita dapat melihat bagaimana kemuridan dalam
Yohanes mempunyai suatu konteks yang baru.
Teologi Salib: Penyaliban sebagai Pemuliaan
Setiap orang akan memandang bahwa peristiwa penyaliban
sebagai suatu penderitaan dan kegagalan. Namun demikian Yohanes
mempunyai pemikiran teologis yang berbeda. Penyaliban Yesus Kristus
menurut Yohanes adalah pemuliaanNya. Bagaimana gagasan teologi salib
Yohanes ini dipahami?
Menurut Romo Indra, sejak dari
permulaan, Yohanes menampilkan Yesus sebagai tokoh yang berkualitas
ilahi. Dia adalah firman yang ada sejak semula, yang bersama-sama dengan
Allah dan yang adalah Allah – yang menjadi daging dan memasang kemah di
antara kita. Selain itu, kalau kita mengacu pada Yoh 7:38-39, saat
penyaliban Yesus adalah saat pemuliaan sehingga Dia bisa menyerahkan
Roh-Nya.
[3] Beberapa gagasan pendukung gagasan teologi Yohanes tentang salib kiranya dapat dirangkum demikian:
Pertama,
berdasarkan Yoh 12,33 dan Yoh 18,32 muncullah suatu penegasan bahwa
kematian Yesus adalah peninggianNya di kayu salib. Dengan disalib, bumi
justeru akan meninggikan Dia! Oleh karena itu, bagi orang beriman, salib
Yesus lalu menjadi naiknya Yesus ke tahta kerajaan dengan penuh
kemenangan ( hlm 59).
Kedua, dapat dilihat penetapan tulisan ‘Yesus,
orang Nazaret raja orang Yahudi”. Tulisan di atas kepala Yesus
dikukuhkan oleh Pilatus sebagai sebuah pernyataan kebenaran. Dalam Yoh
19,15, orang Yahudi mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai raja selain
Kaisar. Ironisnya, wakil kaisar sendiri yang sekarang memaklumkan
seorang raja yang lain yang jauh lebih agung daripada kaisar (bdk, hlm
97 dan diperkuat hlm 73).
Ketiga, di akhir hidupNya, tak seorang pun
pengarang Injil menggunakan kata wafat atau mati. Yohanes merumuskan
demikian: Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya
(harafiah: RohNya). Dengan berdasarkan pada Yoh 10,30 dan Yoh 16,32 maka
tafsiran Yohanes bisa dibahasakan demikian: Yesus menundukkan kepalaNya
kepada Maria – ibuNya dan murid yang dikasihiNya. Karena Ia dan Bapa
adalah satu, Ia menyerahkan Roh-Nya pada Ibu-Nya dan murid yang
dikasihiNya. (lihat hlm 128).
Keempat, penikaman lambung Yesus yang
mengeluarkan darah dan air disejajarkan dengan kutipan Za 12,10.
Kutipan ini mau mengatakan tentang Allah yang mencurahkan Roh sejajar
dengan ungkapan darah dan air yang mengalir dari lambung Yesus, yang
juga mempunyai makna pencurahan Roh (lihat hlm 148).
Penutup
Salib
yang merupakan batu sandungan bagi orang-orang Yahudi maupun suatu
kebodohan bagi orang-orang bukan Yahudi ( I Kor 1,23) ternyata menjadi
sarana penobatan Yesus sebagai Sang Raja Agung. Dengan salib Kristus,
penderitaan manusia dapat mempunyai arti. Kita dapat memaknai
penderitaan sekaligus melihatnya dengan mata iman. Salib bukan merupakan
suatu tanda kebinasaan, kekalahan dan kehancuran, tetapi justeru
menjadi sarana untuk sampai kepada kemuliaan, yaitu suatu kemuliaan yang
bukan dari dunia ini. Kiranya makna salib sebagai pemuliaan menjadi
suatu dorongan untuk menjadi murid yang dikasihi Yesus.
[1] Secara lebih detail dapat dicermati pada buku Yesus, Orang Nazaret, Raja Orang Yahudi, hlm 129-130)
[2]
Kriteria tersebut merupakan rangkuman dari analisa Romo Indra seputar
kualitas hidup yang nampak dalam diri Murid yang dikasihi-Nya. Oleh
karena itu, dasar dari kriteria murid yang ideal pada Yohanes terletak
pada sosok misterius murid yang dikasihi-Nya.
[3]
Namun demikian Yohanes juga menempatkan kematian Yesus dalam konteks
teologi korban. Dengan memperhatikan Yoh 1,29 dan 19,28 muncul suatu
inklusi yang menggambarkan perjanalan Anak Domba Allah yang menghapus
dosa dunia melalui wafat-Nya di kayu salib. Dilihat dari perspektif lain
Yesus sebagai Anak Domba Paskah yang baru menjadi pemenuhan dan
penyempurnaan teologi korban dalam Perjanjian Lama (lihat hlm 121-122).
Namun demikian saya lebih menegaskan gagasan dasar teologi Yohanes yang
menempatkan penyaliban sebagai pemuliaan.