Saturday 2 November 2013

Ilustrasi Lima Jari Berdoa

JARI JEMPOL
Jari ini adalah yang paling dekat dengan Anda, ketika Anda sedang melipat tangan dan berdoa. Jadi, mulailah berdoa bagi orang-orang yang sangat akrab dan dekat dengan Anda. Sebutkan nama-nama mereka yang Anda kenal dengan baik. Bagi CS. Lewis, mendoakan orang-orang yang kita kasihi adalah "a sweet duty."

JARI TELUNJUK
Jari berikutnya adalah si telunjuk. Doakan bagi mereka yang mengajar. Ini termasuk hamba-hamba Tuhan, guru, dokter, dan para pendidik lainnya. Mereka butuh dukungan dan hikmat, agar dapat menunjukkan arah yang tepat bagi mereka yang membutuhkan jasa mereka. Doakan mereka selalu.

JARI TENGAH
Ini jari yang paling tinggi, berarti kita harus ingat pada para pemimpin bangsa. Doakan presiden hingga para pejabat dibawahnya. Doakan para pemimpin organisasi sosial maupun bisnis. Mereka sering mempengaruhi bangsa kita dan membimbing opini publik. Mereka sangat butuh bantuan dariNya.

JARI MANIS
Jari keempat adalah jari yang paling lemah. Nah, guru piano pun biasanya cukup kebingungan ketika berhadapan dengan si jari yang lemah ini. Oleh sebab itu, mari kita doakan bagi saudara-saudara kita yang lemah, kena musibah, dan lain-lain. Kita doakan bagi mereka yang dianggap sebagai sampah masyarakat. Mereka sangat membutuhkan doa-doa Anda, baik siang maupun malam. Tapi, bukan cuma doa, lho !

JARI KELINGKING
Jari terakhir ini adalah yang paling kecil diantara jari- jari manusia. Inilah jari yang menggambarkan sikap kita yang seharusnya rendah hati saat berhubungan dengan Tuhan dan sesama. Jadi, jangan lupakan berdoa bagi diri sendiri, agar memiliki buah roh dan meneladani kehidupan Kristus Yesus, Tuhan kita.

Saran yang terakhir, "Saat Anda berdoa bagi keempat kelompok diatas, Anda harus menaruh kebutuhan pribadi Anda dalam perspektif yang tepat, agar Anda bisa mendoakan diri Anda sendiri dengan lebih efektif lagi."

CERITA NATAL

 - Di sebuah kota kecil di Meksiko tampak orang berjalan berduyun-duyun menuju sebuah gereja. Mereka membawa buah-buahan, sayur-sayuran, dan kembang gula untuk dipersembahkan kepada Bayi Yesus. Dari tepi jalan Manuel memperhatikan orang-orang itu. Mereka tertawa gembira dan bernyanyi-nyanyi dengan riang. Mereka semua tampak bahagia.Tetapi Manuel tidak bisa seperti mereka. Ia hanya bisa menangis sedi ketika menatap mereka. Manuel hanyalah seorang anak jalanan yang telah yatim piatu. Ia tidak mempunyai apa-apa untuk dipersembahkan kepada Bayi Yesus.
Beberapa hari yang lalu Manuel meminta-minta sesuatu kepada orang-orang yang lewat di depannya. Ia ingin memiliki sesuatu untuk dipersembahkan pada Bayi Yesus. Namun orang-orang hanya tertawa mendengarnya. “Kalau kami memberimu sesuatu, tidak mungkin engkau mempersembahkannya untuk Bayi Yesus” ejek mereka. “Kami tahu engkau anak yang baik, tapi kami yakin engkau akan memilikinya untuk dirimu sendiri.”
Pernah terlintas di benak Manuel untuk mencuri sesuatu. Tetapi, apakah baik mencuri sesuatu untuk dipersembahkan kepada Bayi Yesus? Lebih baik tidak membawa persembahan daripada memberi persembahan yang didapat dari mencuri. Manuel berjalan menjauh. Orang-orang telah masuk ke dalam gereja dan menutup pintunya rapat-rapat. Manuel mengendap-endap ke dalam gereja dan mengintip ke dalamnya. Di depannya tampak pemandangan yang benar-benar menakjubkan. Lilin-lilin yang menyala, lukisan yang indah, dan berbagai persembahan untuk Bayi Yesus. Ratusan orang berkumpul di sekeliling patung Bayi Yesus dan ibunya.
Makin lama melihatnya, Manuel makin sedih. Akhirnya Manuel berlutut dan berdoa, “Tuhan Yesus aku tidak seperti orang-orang yang di dalam gereja. Aku tidak memiliki apa-pun untuk-Mu di hari Natal ini. Tetapi terimalah doaku, juga air mataku. Hanya itu yang bisa aku berikan untuk-Mu.” Manuel menghapus air matanya, lalu membuka matanya. Ajaib,setiap tetes air mata Manuel yang jatuh ke tanah berubah menjadi bunga. Bunga-bunga itu sangat indah dan belum pernah ada sebelumnya. Bunga itu berwarna kuning keemasan seperti sinar bintang yang menerangi Betlehem. Di sekeliling bunga itu tampak daun-daun warna merah seperti darah.
“Ajaib,” teriak Manuel. Ia mencabut bunga itu sampai ke akarnya lalu berlari masuk ke dalam gereja.
“Lihat!” teriak Manuel kepada orang-orang di dalam gereja. Ini persembahanku untuk Bayi Yesus.”

Mereka berbisik-bisik dan menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Mereka tidak suka perayaan Natal mereka terhenti. Namun, ketika melihat bunga itu, bisik dan gumam mereka berubah menjadi decak kagum. “Ini benar-benar suatu keajaiban,” kata seorang pastor. “Bunga seperti ini belum pernah kulihat.” Dan sejak saat itu bunga Manuel terkenal dengan nama Bunga Malam Kudus.


Natal… apa yang terbayang dalam benak teman-teman tentang suasana Natal? Pohon cemara lengkap dengan hiasannya? Lilin dan bintang-bintang? Malaikat yang menari-nari? Tidak ketinggalan pasti ada hadiah dengan dibungkus kertas warna-warni. Ya, suasana Natal memang dirasakan sebagai suasana penuh suka cita dan keceriaan dalam menanti kelahiran Yesus, Sang Juru Selamat.
Sesuatu yang juga selalu ada dalam suasana Natal adalah cerita dan dongeng tentang Natal. Baik itu cerita kelahiran Yesus yang diambil dari Injil ataupun cerita tentang tradisi perayaan Natal dan juga dongeng-dongeng legenda seputar Natal, seperti kisah Manuel di atas tadi.
Dalam buku Kumpulan Cerita Natal terdapat cerita dari berbagai negara dan macam-macam budaya. Sungguh mengasyikan, kita jadi tahu cerita tentang pohon Natal pertama, juga kisah si Unta Kecil sebagai pembawa persembahan bagi kanak-kanak Yesus, dan masih banyak lagi cerita-cerita yang lain. Masing-masing cerita itu mempunyai pesan tentang keajaiban dan kegembiraan Natal.

CERITA NATAL


Pria dan Burung-Burung - Sebuah Kisah Natal

AddThis Social Bookmark Button
Pria dan Burung-Burung - Sebuah Kisah NatalSuatu ketika, ada seorang pria yang menganggap Natal sebagai sebuah takhayul belaka. Dia bukanlah orang yang kikir. Dia adalah pria yang baik hati dan tulus, setia kepada keluarganya dan bersih kelakuannya terhadap orang lain. Tetapi ia tidak percaya pada kelahiran Kristus yang diceritakan setiap gereja di hari Natal. Dia sungguh-sungguh tidak percaya. "Saya benar-benar minta maaf jika saya membuat kamu sedih," kata pria itu kepada istrinya yang rajin pergi ke gereja. "Tapi saya tidak dapat mengerti mengapa Tuhan mau menjadi manusia. Itu adalah hal yang tidak masuk akal bagi saya "
Pada malam Natal, istri dan anak-anaknya pergi menghadiri kebaktian tengah malam di gereja. Pria itu menolak untuk menemani mereka. "Saya tidak mau menjadi munafik," jawabnya. "Saya lebih baik tinggal di rumah. Saya akan menunggumu sampai pulang."
Tak lama setelah keluarganya berangkat, salju mulai turun. Ia melihat keluar jendela dan melihat butiran-butiran salju itu berjatuhan. Lalu ia kembali ke kursinya di samping perapian dan mulai membaca surat kabar. Beberapa menit kemudian, ia dikejutkan oleh suara ketukan. Bunyi itu terulang tiga kali. Ia berpikir seseorang pasti sedang melemparkan bola salju ke arah jendela rumahnya. Ketika ia pergi ke pintu masuk untuk mengeceknya, ia menemukan sekumpulan burung terbaring tak berdaya di salju yang dingin. Mereka telah terjebak dalam badai salju dan mereka menabrak kaca jendela ketika hendak mencari tempat berteduh.
Saya tidak dapat membiarkan makhluk kecil itu kedinginan di sini, pikir pria itu. Tapi bagaimana saya bisa menolong mereka? Kemudian ia teringat akan kandang tempat kuda poni anak-anaknya. Kandang itu pasti dapat memberikan te mpat berlindung yang hangat. Dengan segera pria itu mengambil jaketnya dan pergi ke kandang kuda tersebut. Ia membuka pintunya lebar-lebar dan menyalakan lampunya. Tapi burung-burung itu tidak masuk ke dalam. Makanan pasti dapat menuntun mereka masuk, pikirnya. Jadi ia berlari kembali ke rumahnya untuk mengambil remah-remah roti dan menebarkannya ke salju untuk membuat jejak ke arah kandang. Tapi ia sungguh terkejut. Burung-burung itu tidak menghiraukan remah roti tadi dan terus melompat-lompat kedinginan di atas salju.
Pria itu mencoba menggiring mereka seperti anjing menggiring domba, tapi justru burung-burung itu berpencaran kesana- emari, malah menjauhi kandang yang hangat itu. "Mereka menganggap saya sebagai makhluk yang aneh dan menakutkan," kata pria itu pada dirinya sendiri, "dan saya tidak dapat memikirkan cara lain untuk memberitahu bahwa mereka dapat mempercayai saya. Kalau saja saya dapat menjadi seekor burung selama beberapa menit, mungkin saya dapat membawa mereka pada tempat yang aman."
Pada saat itu juga, lonceng gereja berbunyi. Pria itu berdiri tertegun selama beberapa waktu, mendengarkan bunyi lonceng itu menyambut Natal yang indah. Kemudian dia terjatuh pada lututnya dan berkata, "Sekarang saya mengerti," bisiknya dengan terisak. "Sekarang saya mengerti mengapa KAU mau menjadi manusia."
Diterjemahkan dari: “The Man and the Birds a Christmas Story” oleh Paul Harvey

Situs Teman-Teman

KOMUNIOdotORG
Pusat Informasi Pastoral Keuskupan Surabaya

SEP Surabaya
Wadah untuk belajar melaksanakan Amanat Agung Tuhan Yesus Kristus

KKIT - Indonesia
Kerabat Kerja Ibu Teresa - Indonesia

'Follow' Twitter Kami

'Like' Facebook Kami

ASAL MULA POHON NATAL

Asal-mula Pohon Natal
oleh: Romo William P. Saunders *

Kisah Pohon Natal merupakan bagian dari riwayat hidup St. Bonifasius, yang nama aslinya adalah Winfrid. St. Bonifasius dilahirkan sekitar tahun 680 di Devonshire, Inggris. Pada usia lima tahun, ia ingin menjadi seorang biarawan; ia masuk sekolah biara dekat Exeter dua tahun kemudian. Pada usia empatbelas tahun, ia masuk biara di Nursling dalam wilayah Keuskupan Winchester. St. Bonifasius seorang yang giat belajar, murid abas biara yang berpengetahuan luas, Winbert. Kelak, Bonifasius menjadi pimpinan sekolah tersebut.

Pada waktu itu, sebagian besar penduduk Eropa utara dan tengah masih belum mendengar tentang Kabar Gembira. St. Bonifasius memutuskan untuk menjadi seorang misionaris bagi mereka. Setelah satu perjuangan singkat, ia mohon persetujuan resmi dari Paus St. Gregorius II. Bapa Suci menugaskannya untuk mewartakan Injil kepada orang-orang Jerman. (Juga pada waktu itu St. Bonifasius mengubah namanya dari Winfrid menjadi Bonifasius). St. Bonifasius menjelajah Jerman melalui pegunungan Alpen hingga ke Bavaria dan kemudian ke Hesse dan Thuringia. Pada tahun 722, paus mentahbiskan St. Bonifasius sebagai uskup dengan wewenang meliputi seluruh Jerman. Ia tahu bahwa tantangannya yang terbesar adalah melenyapkan takhayul kafir yang menghambat diterimanya Injil dan bertobatnya penduduk. Dikenal sebagai “Rasul Jerman”, St. Bonifasius terus mewartakan Injil hingga ia wafat sebagai martir pada tahun 754. Marilah kita memulai cerita kita tentang Pohon Natal.

Dengan rombongan pengikutnya yang setia, St. Bonifasius sedang melintasi hutan dengan menyusuri suatu jalan setapak Romawi kuno pada suatu Malam Natal. Salju menyelimuti permukaan tanah dan menghapus jejak-jejak kaki mereka. Mereka dapat melihat napas mereka dalam udara yang dingin menggigit. Meskipun beberapa di antara mereka mengusulkan agar mereka segera berkemah malam itu, St. Bonifasius mendorong mereka untuk terus maju dengan berkata, “Ayo, saudara-saudara, majulah sedikit lagi. Sinar rembulan menerangi kita sekarang ini dan jalan setapak enak dilalui. Aku tahu bahwa kalian capai; dan hatiku sendiri pun rindu akan kampung halaman di Inggris, di mana orang-orang yang aku kasihi sedang merayakan Malam Natal. Oh, andai saja aku dapat melarikan diri dari lautan Jerman yang liar dan berbadai ganas ini ke dalam pelukan tanah airku yang aman dan damai! Tetapi, kita punya tugas yang harus kita lakukan sebelum kita berpesta malam ini. Sebab sekarang inilah Malam Natal, dan orang-orang kafir di hutan ini sedang berkumpul dekat pohon Oak Geismar untuk memuja dewa mereka, Thor; hal-hal serta perbuatan-perbuatan aneh akan terjadi di sana, yang menjadikan jiwa mereka hitam. Tetapi, kita diutus untuk menerangi kegelapan mereka; kita akan mengajarkan kepada saudara-saudara kita itu untuk merayakan Natal bersama kita karena mereka belum mengenalnya. Ayo, maju terus, dalam nama Tuhan!”

Mereka pun terus melangkah maju dengan dikobarkan kata-kata semangat St. Bonifasius. Sejenak kemudian, jalan mengarah ke daerah terbuka. Mereka melihat rumah-rumah, namun tampak gelap dan kosong. Tak seorang pun kelihatan. Hanya suara gonggongan anjing dan ringkikan kuda sesekali memecah keheningan. Mereka berjalan terus dan tiba di suatu tanah lapang di tengah hutan, dan di sana tampaklah pohon Oak Kilat Geismar yang keramat. “Di sini,” St. Bonifasius berseru sembari mengacungkan tongkat uskup berlambang salib di atasnya, “di sinilah pohon oak Kilat; dan di sinilah salib Kistus akan mematahkan palu sang dewa kafir Thor.”

Di depan pohon oak itu ada api unggun yang sangat besar. Percikan-percikan apinya menari-nari di udara. Warga desa mengelilingi api unggun menghadap ke pohon keramat. St. Bonifasius menyela pertemuan mereka, “Salam, wahai putera-putera hutan! Seorang asing mohon kehangatan api unggunmu di malam yang dingin.” Sementara St. Bonifasius dan para pengikutnya mendekati api unggun, mata orang-orang desa menatap orang-orang asing ini. St. Bonifasius melanjutkan, “Aku saudaramu, saudara bangsa German, berasal dari Wessex, di seberang laut. Aku datang untuk menyampaikan salam dari negeriku, dan menyampaikan pesan dari Bapa-Semua, yang aku layani.”

Hunrad, pendeta tua dewa Thor, menyambut St. Bonifasius beserta para pengikutnya. Hunrad kemudian berkata kepada mereka, “Berdirilah di sini, saudara-saudara, dan lihatlah apa yang membuat dewa-dewa mengumpulkan kita di sini! Malam ini adalah malam kematian dewa matahari, Baldur yang Menawan, yang dikasihi para dewa dan manusia. Malam ini adalah malam kegelapan dan kekuasaan musim dingin, malam kurban dan kengerian besar. Malam ini Thor yang agung, dewa kilat dan perang, kepada siapa pohon oak ini dikeramatkan, sedang berduka karena kematian Baldur, dan ia marah kepada orang-orang ini sebab mereka telah melalaikan pemujaan kepadanya. Telah lama berlalu sejak sesaji dipersembahkan di atas altarnya, telah lama sejak akar-akar pohonnya yang keramat disiram dengan darah. Sebab itu daun-daunnya layu sebelum waktunya dan dahan-dahannya meranggas hingga hampir mati. Sebab itu, bangsa-bangsa Slav dan Saxon telah mengalahkan kita dalam pertempuran. Sebab itu, panenan telah gagal, dan gerombolan serigala memporak-porandakan kawanan ternak, kekuatan telah menjauhi busur panah, gagang-gagang tombak menjadi patah, dan babi hutan membinasakan pemburu. Sebab itu, wabah telah menyebar di rumah-rumah tinggal kalian, dan jumlah mereka yang tewas jauh lebih banyak daripada mereka yang hidup di seluruh dusun-dusunmu. Jawablah aku, hai kalian, tidakkah apa yang kukatakan ini benar?” Orang banyak menggumamkan persetujuan mereka dan mereka mulai memanjatkan puji-pujian kepada Thor.

Ketika suara-suara itu telah reda, Hunrad mengumumkan, “Tak satu pun dari hal-hal ini yang menyenangkan dewa. Semakin berharga persembahan yang akan menghapuskan dosa-dosa kalian, semakin berharga embun merah yang akan memberi hidup baru bagi pohon darah yang keramat ini. Thor menghendaki persembahan kalian yang paling berharga dan mulia.”       

Dengan itu, Hunrad menghampiri anak-anak, yang dikelompokkan tersendiri di sekeliling api unggun. Ia memilih seorang anak laki-laki yang paling elok, Asulf, putera Duke Alvold dan isterinya, Thekla, lalu memaklumkan bahwa anak itu akan dikurbankan untuk pergi ke Valhalla guna menyampaikan pesan rakyat kepada Thor. Orang tua Asulf terguncang hebat. Tetapi, tak seorang pun berani berbicara.

Hunrad menggiring anak itu ke sebuah altar batu yang besar antara pohon oak dan api unggun. Ia mengenakan penutup mata pada anak itu dan menyuruhnya berlutut dan meletakkan kepalanya di atas altar batu. Orang-orang bergerak mendekat, dan St. Bonifasius menempatkan dirinya dekat sang pendeta. Hunrad kemudian mengangkat tinggi-tinggi palu dewa Thor keramat miliknya yang terbuat dari batu hitam, siap meremukkan batok kepala Asulf yang kecil dengannya. Sementara palu dihujamkan, St. Bonifasius menangkis palu itu dengan tongkat uskupnya sehingga palu terlepas dari tangan Hunrad dan patah menjadi dua saat menghantam altar batu. Suara decak kagum dan sukacita membahana di udara. Thekla lari menjemput puteranya yang telah diselamatkan dari kurban berdarah itu lalu memeluknya erat-erat.  

St. Bonifasius, dengan wajahnya bersinar, berbicara kepada orang banyak, “Dengarlah, wahai putera-putera hutan! Tidak akan ada darah mengalir malam ini. Sebab, malam ini adalah malam kelahiran Kristus, Putera Bapa Semua, Juruselamat umat manusia. Ia lebih elok dari Baldur yang Menawan, lebih agung dari Odin yang Bijaksana, lebih berbelas kasihan dari Freya yang Baik. Sebab Ia datang, kurban disudahi. Thor, si Gelap, yang kepadanya kalian berseru dengan sia-sia, sudah mati. Jauh dalam bayang-bayang Niffelheim ia telah hilang untuk selama-lamanya. Dan sekarang, pada malam Kristus ini, kalian akan memulai hidup baru. Pohon darah ini tidak akan menghantui tanah kalian lagi. Dalam nama Tuhan, aku akan memusnahkannya.” St. Bonifasius kemudian mengeluarkan kapaknya yang lebar dan mulai menebas pohon. Tiba-tiba terasa suatu hembusan angin yang dahsyat dan pohon itu tumbang dengan akar-akarnya tercabut dari tanah dan terbelah menjadi empat bagian.

Di balik pohon oak raksasa itu, berdirilah sebatang pohon cemara muda, bagaikan puncak menara gereja yang menunjuk ke surga. St. Bonifasius kembali berbicara kepada warga desa, “Pohon kecil ini, pohon muda hutan, akan menjadi pohon kudus kalian mulai malam ini. Pohon ini adalah pohon damai, sebab rumah-rumah kalian dibangun dari kayu cemara. Pohon ini adalah lambang kehidupan abadi, sebab daun-daunnya senantiasa hijau. Lihatlah, bagaimana daun-daun itu menunjuk ke langit, ke surga. Biarlah pohon ini dinamakan pohon kanak-kanak Yesus; berkumpullah di sekelilingnya, bukan di tengah hutan yang liar, melainkan dalam rumah kalian sendiri; di sana ia akan dibanjiri, bukan oleh persembahan darah yang tercurah, melainkan persembahan-persembahan cinta dan kasih.”  

Maka, mereka mengambil pohon cemara itu dan membawanya ke desa. Duke Alvold menempatkan pohon di tengah-tengah rumahnya yang besar. Mereka memasang lilin-lilin di dahan-dahannya, dan pohon itu tampak bagaikan dipenuhi bintang-bintang. Lalu, St. Bonifasius, dengan Hundrad duduk di bawah kakinya, menceritakan kisah Betlehem, Bayi Yesus di palungan, para gembala, dan para malaikat. Semuanya mendengarkan dengan takjub. Si kecil Asulf, duduk di pangkuan ibunya, berkata, “Mama, dengarlah, aku mendengar para malaikat itu bernyanyi dari balik pohon.” Sebagian orang percaya apa yang dikatakannya benar; sebagian lainnya mengatakan bahwa itulah suara nyanyian yang dimadahkan oleh para pengikut St. Bonifasius, “Kemuliaan bagi Allah di tempat mahatinggi, dan damai di bumi; rahmat dan berkat mengalir dari surga kepada manusia mulai dari sekarang sampai selama-lamanya.”

Sementara kita berkumpul di sekeliling Pohon Natal kita, kiranya kita mengucap syukur atas karunia iman, senantiasa menyimpan kisah kelahiran Sang Juruselamat dalam hati kita, dan menyimak nyanyian pujian para malailat. Kepada segenap pembaca, saya mengucapkan Selamat Hari Raya Natal yang penuh berkat dan sukacita!


* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Christmas Tree Origins” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2002 Arlington Catholic Herald.  All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

                                                                                                                                                                                                                                                                                                           

Marsiajar ma tu Porhis

Guru na METMET do tutu ia porhis, alai na TIMBO do Parbinotoanna
Oleh : Siman Hutahaean
Haringgason, i do tutu siguruhononhon sian porhis. Ai nasida ma tutu na tardok na ruminggas sian angka ragam ni binatang.
Adong do asar ni porhis i, i do songon tano hagodangan nasida manang ‘negarana.’ Tipak do dipauli asarna sian duhutduhut, sian hauhau dohot sian bulungbulung. “Arsitek” na malo do nasida paulihon asarna, marbilutbilut do dibahen, adong do dalan humaliang dalan haruar dohot dalan masuk, adong bilut inganan ni bohal, adong inganan ni rapanrapan.
Na “marorganisasi do nasida, ai adong do di nasida pambagian ni ulaon na tangkas. Ai deba nasida martugas mangalului sipanganon, deba martugas manjaga asarna i, deba manjaga musu sian ruar, laho mampartahanhon punguannasida. Molo maradian donganna, ndang ditugan manang dibadai. Ganup hali pajumpang dohot donganna, sai masitabean manang “masijalangan” do. Ganup do nasida masipangke gogona be mangula, ndang pola ringkot mandur manang pandasdas nasida mula ulaon. Sandok ndang dihirim pangurupion sian na asing, tung diparhanalom do gogona sandiri. Apala angka bangko si songon i ma siparateatehononta manang siguruhononta sian porhis. Songon sada bangso na marhahamaranggi do nasida di asarna i, na dipataridahon sian ulaonna. Ndang adong nanggo sada sian nasida, isara songon ampodi rupani, holan ruangna sandiri do dipauli, jala holan dirina sandiri do disarihon. Sai diparatehon do dia ma bahenonna tu donganna (dao sian tahitahi: dia ma sibuatonna).
Hira so adong do dohonon siusungon na sundat dihindat porhis nang pe umbalga i sian dagingna. Nang pe borat sihindaton i, saroha do angka porhis rap manuhukonsa. Ia molo so tartahuk, maradu disaratsarat. Ndang masipasombuan porhis i. Jala musengani sai dipadiri do bohalna jala dipapungupungu do sipanganonna (antisipasinya kuat, gigih kerja keras) di partaonan logo ni ari. Jala ndang holan i, ndang “senin kamis, sinari manogot suda botari, ia ngolu na hinalojahon ni porhis. Dipapungupungu do sipanganonna di hamamasa ni gotilon. Malo do nasida marpangontik bahen bohalna. I ma angka porhis, sada bangso na so margogo nian, alai diparade do bohalna di partaonan logo ni ari.