Foto : hkbp.or.id
Oleh : Ompui Ephorus HKBP : Pdt William Simarmata MA
Pluralitas dan Semangat Perdamaian
Dasar Pemikiran:
Umat
Kristen di tengah-tengah masyarakat berada dalam konteks masyarakat
plural, baik itu dalam hal suku maupun agama. Sering kali pluralitas ini
menjadi sesuatu yang potensial untuk terjadinya konflik yang berbau
SARA.
Permasalahannya
adalah: apakah konflik ini benar-benar terjadi karena faktor perbedaan
suku atau agama? Bukankah setiap ajaran agama mengajarkan kasih dan
perdamaian? Apakah memang benar yang dikatakan oleh Eka Darmaputera
bahwa agama itu berwajah ganda? Di satu sisi dia anggun dan suci. Dia
berbicara mengenai Allah yang penuh kasih dan berbicara tentang
perdamaian. Akan tetapi di sisi yang lain agama adalah kekerasan.
Matanya bisa tiba-tiba menyala penuh kebencian dan mulutnya siap menelan
lawan-lawannya. Tangannya tak segan-segan melempar bom atau menghunus
pedang.
Agar
umat Kristen dapat menjalankan hidup damai di tengah-tengah masyarakat,
maka kita perlu mengenal pluralitas masyarakat Indonesia. Memahami dan
menghayati ajaran iman Kristen yang menuntut setiap manusia untuk hidup
damai.
Tujuan
- Peserta memahami seperti apa konteks pluralitas masyarakat Indonesia.
- Peserta memahami dan menghayati secara alkitabiah arti hidup dalam perdamaian dengan semua orang.
Tahap-Tahap Kegiatan Penelaahan Alkitab
1. Kegiatan Awal (10 menit)
Pilihlah
sebuah benda (bisa benda apa saja, atau bisa juga kita minta salah
seorang peserta untuk maju ke depan), kemudian peserta diminta untuk
mendeskripsikan benda (atau rekan peserta) tersebut melalui kata-katanya
sendiri. Kemudian peserta saling membagi pandangannya tentang hal
tersebut.
Tujuan Kegiatan:
Melalui
deskripsi yang diberikan oleh masing-masing peserta kita bisa melihat
bahwa tiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda. Dari sudut pandang
yang berbeda-beda tersebut, sedikit banyak kita bisa membayangkan
betapa beragamnya manusia dan sudut pandangnya. Setiap orang memiliki
sudut pandang sendiri yang bisa jadi dianggap sebagai kebenaran, namun
kebenaran seseorang belum tentu sama dengan kebenaran orang lain.
Seperti itulah kira-kira konteks keberagamaan yang ada di Indonesia.
2. Pembacaan Alkitab (Lukas 7:1-10)
3. Keterangan
Tokoh
utama dalam cerita ini adalah seorang non-Yahudi yang barangkali
bekerja pada Herodes Antipas (lih. Mat 8:5-13). Dia seorang kaya yang
jujur dalam jajaran kepolisian dan mempunyai cukup uang untuk membantu
pembangunan rumah ibadah di Kapernaum. Wataknya sangat mulia sebagaimana
tampak dari perhatiannya kepada hambanya, sikap hormatnya kepada orang
Yahudi, serta perasaan tak layaknya di hadapan Yesus.
Sebagai
seorang perwira, di satu sisi dia harus taat kepada para perwira
atasannya, namun di sisi lain dia juga dapat memaksakan ketaatan kepada
bawahannya. Dalam konteks seperti ini, dia tahu bahwa dalam diri Yesus
ada kekuasaan dari Allah untuk menaklukkan dan menyembuhkan penyakit.
Mutu imannya terlihat dari keyakinannya bahwa Yesus berkuasa
menyembuhkan walau dengan sepatah kata perintah saja. Yesus menghargai
iman semacam itu dan mengatakan bahwa iman seorang non-Yahudi telah
melebihi orang Yahudi (ayat 9).
Teks
ini adalah salah satu cerita tentang perjumpaan Yesus dengan orang
non-Yahudi. Di dalam berbagai pertemuan semacam ini, Yesus tidak
mempersoalkan masalah agama melainkan masalah iman (lih. Mat 15:21-28).
Yesus tidak datang untuk meluruskan doktrin atau agama. Ajaran-Nya
merupakan manifestasi kehidupan yang mengandalkan Allah secara total.
Totalitas ini melahirkan hidup yang sejahtera (syalom).
Kata kunci teks ini adalah iman. Seorang perwira, yang notabene bukan
orang Yahudi, percaya kepada Yesus yang sanggup menyembuhkan. Iman
bukan agama. Kisah sang perwira ini membuktikan bahwa iman dapat
menembus batas-batas agama. Tanpa menjalani ritus untuk menjadi seorang
penganut agama Yahudi (agama Yesus), dia langsung beriman kepada
Kristus. Yesus juga tidak menuntut bahwa sang perwira harus menganut
agama tertentu agar permintaannya dikabulkan.
‘Agama’
dan ‘iman’ bisa jadi menimbulkan salah pengertian dalam hidup kita.
Pengertian 'iman' bisa disempitkan menjadi 'agama'. Akhirnya, konflik
dan pertikaian atas nama agama meruak karena ada pihak-pihak yang
memaksakan kebenaran 'agama' dengan mengabaikan bahasa iman. Seperti
kegiatan awal tadi, setiap orang bisa saja memiliki pandangan tertentu
tentang sebuah hal. Dalam hal ini setiap orang akan merasa benar
meskipun kebenaran yang diungkapkannya belum tentu kebenaran yang
sesungguhnya. Karena itu, setiap orang beragama perlu membangun
kesadaran bahwa kebenarannya belum menjadi kebenaran bagi orang beragama
lain. Jika ini terbangun dengan baik konflik yang berawal dari
pemaksaan kehendak bisa dihindari atau paling tidak diminimumkan.
Di
Indonesia ini kita hidup di dalam konteks keberagaman agama.
Penghormatan akan pluralitas ini berarti bahwa di dalam hidup
keberagamaan warga, tidak boleh ada pihak yang mengklaim bahwa dirinya
memiliki kebenaran satu-satunya. Beriman bukan berarti mendominasi
kebenaran religius melainkan suatu keputusan eksistensial untuk
mengarahkan diri kepada sesuatu yang dianggapnya benar. Jika setiap
orang memaksakan kebenaran yang ada pada dirinya bagi orang lain maka
yang terjadi adalah konflik, pertikaian, bahkan perang yang pada
akhirnya melahirkan kerugian, penderitaan, bahkan kematian yang tidak
semestinya yang pada hakikatnya bertentangan dengan iman itu sendiri.
Penghargaan
atas pluralitas membutuhkan kerukunan di antara mereka yang memiliki
perbedaan. Perjumpaan Yesus dengan orang lain dibangun tanpa
mempersoalkan embel-embel keagamaan. Dia justru memberikan penekanan
terhadap masalah iman.
Sebagai
orang Kristen, kita wajib meneladani Yesus dalam membangun perjumpaan
yang sehat dengan orang beragama lain. Jika masyarakat yang berbeda
agama ini saling menghargai dan hormat-menghormati niscaya bangsa ini
dapat menjadi teladan bagi bangsa lain dalam membangun pluralitas yang
sehat. Mengapa agama yang begitu mulia harus direndahkan menjadi sarana
kebencian, kekerasan, dan perang? Membangun kehidupan yang sehat dalam
konteks pluralitas, setiap umat beragama mestinya mencamkan ucapan Yesus
yang dikenal sebagai golden rule dalam Matius 7:12: Segala
sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah
demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab
para nabi.
4. Pertanyaan Untuk Diskusi
- Berdasarkan Lukas 7:1-10 ini, apa pendapat Saudara mengenai iman sang perwira kepada Yesus, meskipun sang perwira memiliki latar belakang agama yang berbeda dari para pengikut Yesus dan bahkan dari Yesus sendiri? Bagaimana sikap Yesus terhadap hal tersebut?
- Menurut Saudara, bagaimana kita bisa mencapai iman yang sesungguhnya kepada Yesus Kristus, dengan bercermin kepada iman sang perwira yang telah melampaui batas-batas berpegang kepada kebenaran diri sendiri?
- Bagaimana caranya kita bisa mengaplikasikan hukum emas Matius 7:12 ke dalam kehidupan yang penuh dengan keberagaman terutama dalam konteks kehidupan beragama kita? Hambatan apa yang bisa kita temui? Berbagilah di antara sesama peserta mengenai bagaimana cara menghadapinya!
- Organisasi kemahasiswaan yang berdasarkan agama cukup eksis di negara kita, misalnya GMKI, HMI, PMKRI, dll. Bagaimana GMKI bisa menembus batas-batas agama untuk menjalin perdamaian sesama anak bangsa?
Pearaja Tarutung, Paskah 2004
Pdt W.T.P. Simarmata, MA