Wednesday 20 November 2013

Pluralitas dan Semangat Perdamaian

 

 Foto : hkbp.or.id

Oleh : Ompui Ephorus HKBP : Pdt William Simarmata MA

Pluralitas dan Semangat Perdamaian
Dasar Pemikiran:
Umat Kristen di tengah-tengah masyarakat berada dalam konteks masyarakat plural, baik itu dalam hal suku maupun agama. Sering kali pluralitas ini menjadi sesuatu yang potensial untuk terjadinya konflik yang berbau SARA.
Permasalahannya adalah: apakah konflik ini benar-benar terjadi karena faktor perbedaan suku atau agama? Bukankah setiap ajaran agama mengajarkan kasih dan perdamaian? Apakah memang benar yang dikatakan oleh Eka Darmaputera bahwa agama itu berwajah ganda? Di satu sisi dia anggun dan suci. Dia berbicara mengenai Allah yang penuh kasih dan berbicara tentang perdamaian. Akan tetapi di sisi yang lain agama adalah kekerasan. Matanya bisa tiba-tiba menyala penuh kebencian dan mulutnya siap menelan lawan-lawannya. Tangannya tak segan-segan melempar bom atau menghunus pedang.
Agar umat Kristen dapat menjalankan hidup damai di tengah-tengah masyarakat, maka kita perlu mengenal pluralitas masyarakat Indonesia. Memahami dan menghayati ajaran iman Kristen yang menuntut setiap manusia untuk hidup damai.
Tujuan
  1. Peserta memahami seperti apa konteks pluralitas masyarakat Indonesia.
  2. Peserta memahami dan menghayati secara alkitabiah arti hidup dalam perdamaian dengan semua orang.
Tahap-Tahap Kegiatan Penelaahan Alkitab
1. Kegiatan Awal (10 menit)
Pilihlah sebuah benda (bisa benda apa saja, atau bisa juga kita minta salah seorang peserta untuk maju ke depan), kemudian peserta diminta untuk mendeskripsikan benda (atau rekan peserta) tersebut melalui kata-katanya sendiri. Kemudian peserta saling membagi pandangannya tentang hal tersebut.
Tujuan Kegiatan:
Melalui deskripsi yang diberikan oleh masing-masing peserta kita bisa melihat bahwa tiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda. Dari sudut pandang yang berbeda-beda tersebut, sedikit banyak kita bisa membayangkan betapa beragamnya manusia dan sudut pandangnya. Setiap orang memiliki sudut pandang sendiri yang bisa jadi dianggap sebagai kebenaran, namun kebenaran seseorang belum tentu sama dengan kebenaran orang lain. Seperti itulah kira-kira konteks keberagamaan yang ada di Indonesia.
2. Pembacaan Alkitab (Lukas 7:1-10)
3. Keterangan
Tokoh utama dalam cerita ini adalah seorang non-Yahudi yang barangkali bekerja pada Herodes Antipas (lih. Mat 8:5-13). Dia seorang kaya yang jujur dalam jajaran kepolisian dan mempunyai cukup uang untuk membantu pembangunan rumah ibadah di Kapernaum. Wataknya sangat mulia sebagaimana tampak dari perhatiannya kepada hambanya, sikap hormatnya kepada orang Yahudi, serta perasaan tak layaknya di hadapan Yesus.
Sebagai seorang perwira, di satu sisi dia harus taat kepada para perwira atasannya, namun di sisi lain dia juga dapat memaksakan ketaatan kepada bawahannya. Dalam konteks seperti ini, dia tahu bahwa dalam diri Yesus ada kekuasaan dari Allah untuk menaklukkan dan menyembuhkan penyakit. Mutu imannya terlihat dari keyakinannya bahwa Yesus berkuasa menyembuhkan walau dengan sepatah kata perintah saja. Yesus menghargai iman semacam itu dan mengatakan bahwa iman seorang non-Yahudi telah melebihi orang Yahudi (ayat 9).
Teks ini adalah salah satu cerita tentang perjumpaan Yesus dengan orang non-Yahudi. Di dalam berbagai pertemuan semacam ini, Yesus tidak mempersoalkan masalah agama melainkan masalah iman (lih. Mat 15:21-28). Yesus tidak datang untuk meluruskan doktrin atau agama. Ajaran-Nya merupakan manifestasi kehidupan yang mengandalkan Allah secara total. Totalitas ini melahirkan hidup yang sejahtera (syalom).
Kata kunci teks ini adalah iman. Seorang perwira, yang notabene bukan orang Yahudi, percaya kepada Yesus yang sanggup menyembuhkan. Iman bukan agama. Kisah sang perwira ini membuktikan bahwa iman dapat menembus batas-batas agama. Tanpa menjalani ritus untuk menjadi seorang penganut agama Yahudi (agama Yesus), dia langsung beriman kepada Kristus. Yesus juga tidak menuntut bahwa sang perwira harus menganut agama tertentu agar permintaannya dikabulkan.
‘Agama’ dan ‘iman’ bisa jadi menimbulkan salah pengertian dalam hidup kita. Pengertian 'iman' bisa disempitkan menjadi 'agama'. Akhirnya, konflik dan pertikaian atas nama agama meruak karena ada pihak-pihak yang memaksakan kebenaran 'agama' dengan mengabaikan bahasa iman. Seperti kegiatan awal tadi, setiap orang bisa saja memiliki pandangan tertentu tentang sebuah hal. Dalam hal ini setiap orang akan merasa benar meskipun kebenaran yang diungkapkannya belum tentu kebenaran yang sesungguhnya. Karena itu, setiap orang beragama perlu membangun kesadaran bahwa kebenarannya belum menjadi kebenaran bagi orang beragama lain. Jika ini terbangun dengan baik konflik yang berawal dari pemaksaan kehendak bisa dihindari atau paling tidak diminimumkan.
Di Indonesia ini kita hidup di dalam konteks keberagaman agama. Penghormatan akan pluralitas ini berarti bahwa di dalam hidup keberagamaan warga, tidak boleh ada pihak yang mengklaim bahwa dirinya memiliki kebenaran satu-satunya. Beriman bukan berarti mendominasi kebenaran religius melainkan suatu keputusan eksistensial untuk mengarahkan diri kepada sesuatu yang dianggapnya benar. Jika setiap orang memaksakan kebenaran yang ada pada dirinya bagi orang lain maka yang terjadi adalah konflik, pertikaian, bahkan perang yang pada akhirnya melahirkan kerugian, penderitaan, bahkan kematian yang tidak semestinya yang pada hakikatnya bertentangan dengan iman itu sendiri.
Penghargaan atas pluralitas membutuhkan kerukunan di antara mereka yang memiliki perbedaan. Perjumpaan Yesus dengan orang lain dibangun tanpa mempersoalkan embel-embel keagamaan. Dia justru memberikan penekanan terhadap masalah iman.
Sebagai orang Kristen, kita wajib meneladani Yesus dalam membangun perjumpaan yang sehat dengan orang beragama lain. Jika masyarakat yang berbeda agama ini saling menghargai dan hormat-menghormati niscaya bangsa ini dapat menjadi teladan bagi bangsa lain dalam membangun pluralitas yang sehat. Mengapa agama yang begitu mulia harus direndahkan menjadi sarana kebencian, kekerasan, dan perang? Membangun kehidupan yang sehat dalam konteks pluralitas, setiap umat beragama mestinya mencamkan ucapan Yesus yang dikenal sebagai golden rule dalam Matius 7:12: Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.
4. Pertanyaan Untuk Diskusi
  1. Berdasarkan Lukas 7:1-10 ini, apa pendapat Saudara mengenai iman sang perwira kepada Yesus, meskipun sang perwira memiliki latar belakang agama yang berbeda dari para pengikut Yesus dan bahkan dari Yesus sendiri? Bagaimana sikap Yesus terhadap hal tersebut?
  2. Menurut Saudara, bagaimana kita bisa mencapai iman yang sesungguhnya kepada Yesus Kristus, dengan bercermin kepada iman sang perwira yang telah melampaui batas-batas berpegang kepada kebenaran diri sendiri?
  3. Bagaimana caranya kita bisa mengaplikasikan hukum emas Matius 7:12 ke dalam kehidupan yang penuh dengan keberagaman terutama dalam konteks kehidupan beragama kita? Hambatan apa yang bisa kita temui? Berbagilah di antara sesama peserta mengenai bagaimana cara menghadapinya!
  4. Organisasi kemahasiswaan yang berdasarkan agama cukup eksis di negara kita, misalnya GMKI, HMI, PMKRI, dll. Bagaimana GMKI bisa menembus batas-batas agama untuk menjalin perdamaian sesama anak bangsa?
Pearaja Tarutung, Paskah 2004
Pdt W.T.P. Simarmata, MA

PENERJEMAHAN ALKITAB KE KEBERBAGAI BAHASA DAERAH

 


Penting sekali bahwa Firman Allah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, yakni alat perhubungan antar daerah yang kemudian berkembang menjadi bahasa nasional. Tetapi penting juga bahwa Firman Allah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa daerah, yang sungguh dapat mengetuk pintu hati orang.

Konon, jumlah bahasa di Indonesia banyak sekali. Menurut laporan Lembaga Alkitab Indonesia tahun 1977, tidak kurang dari 500 bahasa yang sekarang ada di tanah air kita. Mustahil dalam buku ini kita dapat menyoroti semua bahasa itu yang pernah digarap oleh penterjemah Kitab Suci. Mari kita meneropong hanya satu contoh saja, yaitu: bahasa Jawa, yang dipakai oleh lebih banyak orang daripada bahasa-bahasa daerah lainnya. Terjemahan Alkitab ke dalam bahasa daerah itu akan kita selidiki, bukan hanya karena penting, melainkan juga karena yang paling awal dalam sejarah terjemahan.Yang pertama-tama berjasa besar demi Firman Allah dalam bahasa Jawa itu bukan orang Jawa, juga bukan orang Belanda: Dia itu orang Jerman.



Dari Jerman ke Jawa

Gottlob Bruckner lahir di daerah Saksen pada tahun 1783. Ia merasa dipanggil Tuhan untuk menjadi utusan Injil, dan belajar di sekolah-sekolah zending di Jerman dan Belanda. Tetapi karena keadaan perang di Eropa pada zaman Napoleon itu, ia tak diizinkan pergi kemana-mana. Akhirnya pada tahun 1812 terbukalah kesempatan. Ia dengan dua kawannya harus naik kereta pos dari Belanda ke Jerman, lalu dari Jerman ke Denmark. Kemudian mereka harus naik kapal dari Denmark ke Swedia, dan dari Swedia ke Inggris. Karena harus dapat mengelakkan diri dari penguasa-penguasa yang tak mengizinkan perjalanan antar negeri, mereka tidak boleh membawa peti atau koper, hanya satu bungkusan masing-masing. Bahkan badan pengutusan Injil yang mengirim mereka tidak berani menitipkan surat perkenalan kepada saudara-saudara seiman di negeri Inggris. Setibanya di sana, mereka harus menjelaskan sendiri siapa mereka dan apa urusannya. Syukurlah, perjalanan yang sembunyi-sembunyi itu mencapai kesudahan yang baik. Setelah dua bulan, tibalah mereka di Inggris. Dan orang-orang Kristen di sana senang menerima mereka.

Akan tetapi, sebelum umat Kristen di Inggris mau mengirim mereka sebagai utusan Injil, mereka harus menempuh ujian dulu. Mungkin karena ujian itu diberikan dalam bahasa Inggris, mereka tidak lulus. Maka kembali mereka diharuskan mulai sekali lagi belajar di sekolah Zending. Sementara itu ada perubahan politik lagi di benua Eropa. Sebagai akibatnya, peti-peti berisi buku-buku dan barang lainnya milik ketiga calon utusan Injil itu dapat disusulkan ke negeri Inggris. Tetapi sayang, waktu tiba di sana, benda-benda itu semua habis terbakar ketika ada kebakaran besar di sebuah gudang.

Setelah dididik satu tahun lebih di negeri Inggris, siaplah ketiga orang itu untuk dikirim ke luar negeri, Gottlob Bruckner dan kedua kawannya itu ditahbiskan sebagai pendeta pengantar Injil yang akan dikirim ke Indonesia. Tepat pada tanggal 1 Januari 1814, berangkatlah mereka. Kapal itu hampir tenggelam di tengah lautan, tapi berhasil mencapai Afrika Selatan. Dari sana mereka naik kapal lagi, menuju ke sebelah Timur. Setibanya di Jakarta, bruckner dan kawan-kawan sekerjanya diundang makan oleh Gubernur Raffles yang tersohor. Beberapa hari kemudian, Raffles pun mengetahui rapat pembentukan Lembaga Alkitab Jawa. tentu kejadian itu tak terlupakan oleh Bruckner pada saat ia berlayar lagi menuju Semarang. Perjalanan itu sangat berbahaya. Dua kali kapalnya diserang oleh bajak laut. Di daratan pun Bruckner harus melintasi hutan tempat berkeliaran harimau. Di Semarang Gottlob Bruckner mulai melayani jemaat orang-orang Eropa di Indo. Tak lama kemudian ia menikah dengan putri seorang pendeta Belanda. tetapi ia juga rindu akan orang-orang Jawa sekitarnya. Rupanya mereka itu tidak dilayani secara rohani oleh siapa pun jua.

Sementara itu, tiba di Semarang Thomas Trowt, seorang utusan Injil Baptis dari Inggris. Dengan rajin mulailah dia belajar bahasa Jawa. Bruckner merasa tertarik kepada Pdt. Trowt, dan lebih-lebih merasa tertarik kepada azas kepercayaannya. Makin lama ia makin pasti bahwa orang Kristen seharusnya dibaptiskan setelah ia mengaku percaya, dan bukan sebelumnya. Akhirnya pada tahun 1816 Bruckner meninggalkan gereja negara yang digembalakannya, dan menggabungkan diri dengan Thomas Trowt dan umat Baptis. Sayang, hanya enam bulan kemudian meninggallah utusan Injil Baptis itu. Bruckner lalu ditunjuk oleh badan zending sebagai pengganti almarhum kawannya. Gottlob Bruckner adalah keturunan petani, rakyat jelata; ia sendiri tidak dianggap berpendidikan tinggi. Namun dengan gigih ia berjuang agar dapat menguasai bahasa setempat. Sejak menjadi dewasa, ia sudah berhasil berturut-turut belajar bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan bahasa Melayu. Sekarang tugasnya lebih berat lagi, karena bahasa Jawa rumit sekali, lebih-lebih untuk orang asing. Bruckner bukanlah seorang dari golongan sarjana yang duduk-duduk di meja tulis saja. Ia sering berkeliling di kota-kota dan desa-desa Jawa Tengah, sambil bercakap-cakap dengan banyak orang dan berusaha meyakinkan mereka tentang kebenaran Injil. Taip minggu ia berkhotbah dalam bahasa Melayu. Tetapi hampir tiada seorang pun yang menyambut baik kesaksiannya. Ia dan istrinya sering sakit, dan separuh dari delapan anak mereka meninggal ketikan masih muda.

Namun Gottlob Bruckner pantang mundur. Apakah suku Jawa tidak mau menerima Kabar Baik secara lisan? Baiklah! Ia akan memberi mereka Kabar Baik secara tulisan. Dengan bantuan beberapa orang Jawa, mulailah dia menterjemahkan Kitab Perjanjian Baru. Tahun 1819 keempat Injil sudah selesai; tahun 1821 seluruh Perjanjian Baru sudah selesai; tahun 1823 naskah terjemahan itu sudah diteliti kembali dan siap ditawarkan kepada Lembaga Alkitab Jawa di Jakarta. Baik di Jawa maupun di Belanda ataupun di Inggris, semua lembaga Alkitab setuju bahwa hasil karya Bruckner sebaiknya diterbitkan. Namun demikian, hal itu rupanya tak dapat dilaksanakan. Pada tahun 1825 Pangeran Diponegoro mulai memberontak terhadap penindasan kaum penjajah. Banyak orang kuatir bahwa peredaran Firman Tuhan dalam bahasa Jawa akan lebih memanaskan lagi keadaan yang sudah cukup panas.

Aksara Jawa di Negeri India. 

Ketika Bruckner hampir putus asa, ia menerima sepucuk surat dari India. Surat itu dari William Carey, tokoh Baptis yang terkenal sebagai perintis pengutusan Injil. Dr. Carey mengajak Bruckner untuk datang ke Serampore dan mencetak di sana Perjanjian Baru bahasa Jawa. Dengan gembira Bruckner menerima tawaran itu. Ia meninggalkan istrinya dan kedua putrinya di Semarang; dengan kedua putranya ia bertolak ke India pada pertengahan tahun 1828. Di Serampore kawan-kawan sekerja William Carey membuat alat-alat cetak baru yang berbentuk aksara-aksara Jawa. Hanya Bruckner saja yang dapat mengawasi seluruh proyek itu, karena hanya dialan yang dapat membaca bahasa tersebut. Banyak rintangan selama ia merantau: Ia sakit keras, dan untuk sementara waktu harus mengungsi ke Malaka. Lalu putra sulungnya, yang sudah berumur 13 tahun, jatuh sakit dan meninggal. Lama sekali Bruckner harus membanting tulang dan menderita di tempat yang asing baginya. Akhirnya pada permulaan tahun 1831 ia dapat menuju pulau Jawa lagi. Dekat pulau Kalimantan kapalnya ditimpa badai. Nahkoda berseru: "Tidak ada harapan lagi!" Bruckner, dengan satu-satunya putra yang masih hidup, terpaksa memegang tiang layar agar jangan terbawa hanyut oleh angin keras dan gelombang besar. Tetapi Bruckner lebih kuatir lagi mengenai muatan kapal itu: Beribu-ribu eksemplar Kitab Perjanjian Baru bahasa Jawa, yaitu buah tangannya yang sudah menghabiskan 15 tahun dari hidupnya.

Syukur, kapal itu masih kuat melawan topan. Bruckner dna putranya sempat bertemu lagi dengan istri dan ibu mereka, serta kedua putri yang sudah lama ditinggalkan di Semarang. Segera Bruckner mulai membagi-bagikan surat-surat selebaran dalam bahasa Jawa, yang juga telah dicetak di Serampore. Dalam lima hari saja sudah ada tujuh ribu helai yang disebarkan. Tetapi akibatnya sial, karena pemerintah setempat mulai kuatir dan menyita sisanya. Kitab-kitab Perjanjian Baru itu juga mereka ambil. Di Jakarta, Lembaga Alkitab Jawa mengajukan permohonan kepada gubernur. Tetapi gubernur Belanda itu pun melarang peredaran bahan Kristen dalam bahasa Jawa. Pemberontakan Diponegoro baru saja reda; siapa tahu, buku-buku itu mungkin akan mengobarkan perang lagi. Alangkah menyedihkan! Perjanjian Baru dan surat selebaran hasil karya Gottlob Bruckner dikunci dalam lemari-lemari besar di Gereja Portugis kuno di Jakarta. Tetapi Bruckner masih tetap tidak mau mengaku kalah. Dengan bantuan dari luar negeri, di Semarang ia menerbitkan surat-surat selebaran dan mengedarkannya di mana-mana. Ia sempat mengunjungi sekelompok umat Kristen di Jawa Timur yang telah menjadi orang percaya karena mereka membaca salah satu tulisannya itu. Dan ia pun mengirimi raja Belanda dan raja Prusia dua buah Perjanjian Baru yang lolos dari penyitaan. Kedua raja itu memuji prestasi Bruckner, dan mendesak para pengurus penjajahan agar Firman Allah dibebaskan dari tahanan. Lambat laun hal itu dilakukan, dan suku jawa dapat mulai membaca Alkitab dalam bahasa mereka sendiri.

Sedikit sekali orang Jawa yang dimenangkan kepada Kristus sebagai akibat langsung dari usaha Gottlob Bruckner. Namun besar sekali jasanya demi penginjilan suku Jawa; semua pengabar Injil dan penterjemahan Alkitab yang menyusul, pasti merasakan manfaatnya. Ia sendiri tidak pernah sombong atas hasil karyanya. Menjelang ajalnya pada tahun 1857, Bruckner menulis: "Selama 20 tahun terjemahan saya beredar di antara orang Jawa, tetapi sekarang telah diganti oleh terjemahan yang lebih baik, hasil karya saudara saya yang tercinta, Tuan Gericke."

Lain Daerah, Lain Pengalih Bahasa 

Selama abad ke19, banyak orang Indonesia dan orang asing bekerja keras agar Firman Allah disalin ke dalam berbagai-bagai bahasa daerah. Hal itu dinyatakan pada bagan di halaman 30. Tahun-tahun yang dideretkan adalah tahun penerbitan Perjanjian Baru yang pertama, dan tahun penerbitan seluruh Alkitab yang pertama. Perhatikan bahwa di samping penterjemahan yang dari bunyi namanya jelas adalah orang Indonesia, juga H. N. van der Tuuk adalah seorang putra Nusantara karena ibunya seorang Indo; ia dilahirkah di Malaka dan dibesarkan di Surabaya. Kerja sama yang agak luar biasa telah diwujudkan oleh orang Timur dan orang Barat yang mula-mula menghasilkan Alkitab dalam bahasa Ngaju (Dayak). Pada thun-tahun 1850an di Kalimantan Selatan, A. F. A. Herdeland rajin menterjemahkan Perjanjian Lama dari bahasa aslinya (bahasa Ibrani). Sekaligus Timotheus Marat rajin menterjemahkan Perjanjian Lama dari versi Leydekker (Bahasa Melayu Tinggi).

Kedua terjemahan itu kemudian dibandingkan, pasal demi pasal. Setelah disatukan, versi bahasa Ngaju itu diuji dengan jalan dipakai oleh anak-anak Dayak di sekolah. Lalu Nikodemus Tomonggong menolong Hardeland dengan revisinya yang terakhir. Perhatikanlah bahwa bagan di halaman 30 umumnya hanya memperlihatkan hasil karya para penterjemah dari abad ke-19 saja. Dalam abad ke-20 ini, sudah berlipatgandalah terjemahan-terjemahan Alkitab dalam bahasa-bahasa daerah. Namun masih banyak orang Indonesia yang belum mempunyai Firman Allah dalam bahasa mereka sendiri. 
( Dikutip : Dari berbagai Sumber, Sejarah Kristen )

Seminarium Sipoholon