Dalam suasana Desember ini banyak perdebatan sesama Protestan mengenai apakah Natal bisa dilaksanakan sebelum 24 Desember , banyak pendapat yang mengatakan Merayakan Natal harus diatas 25 Desember atau dengan kata lain . Mengapa merayakan Natal tanggal 25
Desember
Setiap tahun kita merayakan hari Natal, yaitu Hari Kelahiran Yesus Kristus. Namun mungkin banyak di antara kita yang mempunyai pertanyaan- pertanyaan sehubungan dengan perayaan Natal, setidak-tidaknya seperti tiga buah pertanyaan berikut ini. Pertama, tentang asal-usul perayaan Natal. Kedua, apa perlunya merayakan Natal, mengingat kata Natal tidak disebut dalam Kitab Suci. Ketiga, bolehkah merayakan Natal sebelum tanggal 25 Desember?
Memang ada beberapa teori tentang asal mula hari Natal dan Tahun Baru. Menurut Catholic Encyclopedia, pesta Natal pertama kali disebut dalam “Depositio Martyrum” dalam Roman Chronograph 354 (edisi Valentini-Zucchetti (Vatican City, 1942) 2:17).[3] Dan karena Depositio Martyrum ditulis sekitar tahun 336, maka disimpulkan bahwa perayaan Natal dimulai sekitar pertengahan abad ke-4.
Kita juga tidak tahu secara persis tanggal kelahiran Kristus, namun para ahli memperkirakan sekitar 8-6 BC (Sebelum Masehi). St. Yohanes Krisostomus berargumentasi bahwa Natal memang jatuh pada tanggal 25 Desember, dengan perhitungan kelahiran Yohanes Pembaptis. Karena Zakaria adalah imam agung dan hari silih (Atonement) jatuh pada tanggal 24 September, maka Yohanes Pembaptis lahir tanggal 24 Juni dan Kristus lahir enam bulan setelahnya, yaitu tanggal 25 Desember.
Banyak juga orang yang mempercayai bahwa kelahiran Kristus pada tanggal 25 Desember adalah berdasarkan tanggal winter solstice (25 Desember dalam kalendar Julian). Pada tanggal tersebut matahari mulai kembali ke utara. Dan pada tanggal yang sama kaum kafir /pagan berpesta “Dies Natalis Solis Invicti” (perayaan dewa Matahari). Pada tahun 274, kaisar Aurelian menyatakan bahwa dewa matahari sebagai pelindung kerajaan Roma, yang pestanya dirayakan setiap tanggal 25 Desember.[5] Hal ini juga berlaku untuk tahun baru, yang dikatakan berasal dari kebiasaan suku Babilonia. Semua ini merupakan spekulasi
.
Namun, anggaplah bahwa data historis tersebut di atas benar, dan pesta Natal diambil dari kebiasaan kaum kafir, maka pertanyaannya, apakah kita sebagai orang Kristen boleh merayakannya? Jawabannya YA, dengan beberapa alasan:
Namun, anggaplah bahwa data historis tersebut di atas benar, dan pesta Natal diambil dari kebiasaan kaum kafir, maka pertanyaannya, apakah kita sebagai orang Kristen boleh merayakannya? Jawabannya YA, dengan beberapa alasan:
a. Alasan inkulturasi. Kita tidak harus menghapus semua hal di dalam sejarah atau kebiasaan tertentu di dalam kebudayaan tertentu, sejauh itu tidak bertentangan dengan ajaran dan doktrin Gereja dan juga membantu manusia untuk lebih dapat menerima Kekristenan. Esensi dari perayaan Natal adalah kita ingin memperingati kelahiran Yesus Kristus, yang menunjukkan misteri inkarnasi yaitu Allah menjelma manjadi manusia. Dan karena Yesus adalah Terang Dunia (Lih. Yoh 8:12; Yoh 9:5), maka sangat wajar untuk mengganti penyembahan kepada dewa matahari dengan Allah Putera, yaitu Yesus, Sang Terang Dunia itu. Dan karena Yesus adalah “awal dan akhir” dan datang “untuk membuat semuanya baru” (Why 21:5-6), maka tahun kelahiran Kristus diperhitungkan sebagai tahun pertama atau disebut 1 Masehi. Dengan ini, maka orang-orang yang tadinya merayakan dewa matahari, setelah menjadi Kristen, mereka merayakan Tuhan yang benar, yaitu Yesus Sang Terang Dunia. Dan orang-orang tersebut akan dengan mudah menerima Kekristenan, sedangkan Gereja juga tidak mengorbankan nilai-nilai Kekristenan.
Namun di satu sisi, Gereja tidak pernah berkompromi terhadap hari Tuhan, yang kita peringati setiap hari Minggu. Di sini Gereja mengetahui secara persis, bahwa kematian Tuhan Yesus di kayu salib jatuh pada hari Jumat, dan kebangkitan-Nya adalah hari Minggu. Pada masa Gereja awal, ada sekelompok orang yang memaksakan untuk mengadakan hari Tuhan pada hari Sabat (mulai hari Jumat sore sampai Sabtu malam). Namun beberapa Santo di abad awal mempertahankan bahwa hari Tuhan adalah hari Minggu dengan alasan: 1) Yesus bangkit pada hari Minggu, 2) Yesus memperbaharui hukum dalam Perjanjian Baru dengan hukum yang baru. Dengan dasar inilah Gereja tetap teguh mempertahankan hari Minggu sebagai hari Tuhan. Namun dalam hal perayaan Natal, tidak ada yang tahu secara persis hari kelahiran Tuhan Yesus, sehingga perayaannya ditentukan dengan pertimbangan tertentu, sebagaimana disebutkan di atas, tanpa mengorbankan prinsip ajarannya.
b. Kalau kita amati, manusia dalam relung hatinya mempunyai keinginan untuk menemukan Penciptanya. Penyembahan kepada dewa matahari merupakan perwujudan bahwa menusia mengakui bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi daripada dirinya, dan mereka menganggap ‘sesuatu’ itu adalah matahari, yang dipandang dapat memberikan kehidupan bagi mahluk hidup pada waktu itu. Namun sesuai dengan prinsip “grace perfects nature atau rahmat menyempurnakan sifat alamiah”[6] , maka tidak ada salahnya untuk mengadopsi tanggal yang sama, dengan menyempurnakan konsep yang salah sehingga menjadi benar, dalam hal ini, penyembahan terhadap dewa terang/ matahari dialihkan kepada penyembahan kepada Yesus, Sang Sumber Terang, yang menciptakan matahari dan segala ciptaan lainnya.
c. Adalah baik untuk mempunyai tanggal tertentu (dalam hal ini 25 Desember untuk perayaan Natal), yang setiap tahun diulang tanpa henti sampai pada akhir dunia. Tanggal ini senantiasa akan mengingatkan kita akan kelahiran Yesus Kristus. Kalau kita mengadakan angket di seluruh dunia, dengan pertanyaan “Kita memperingati apakah pada tanggal 25 Desember?”, kita dapat yakin bahwa hampir semua jawaban akan mengatakan “Hari Natal, atau kelahiran Kristus” dan bukan merayakan dewa matahari, ataupun perayaan lainnya.
d. Untuk umat Katolik, melalui masa Adven, Gereja menginginkan agar seluruh umat Katolik mempersiapkan diri menyambut datangnya Sang Raja. Dari sini kita melihat bahwa Gereja Katolik justru mendorong kita semua untuk mengambil bagian dalam persiapan Natal, yaitu dengan pertobatan, agar hati kita siap menyambut kedatangan-Nya yang kita rayakan pada tanggal 25 Desember.
Namun, bukankah Natal tidak pernah disebutkan dalam Kitab Suci? Mengapa kita tetap merayakan Natal? Kita tahu, bahwa tidak semua hal disebutkan di dalam Kitab Suci (lih. Yoh 21:25), termasuk kata Inkarnasi, Trinitas, Natal. Jangan lupa juga bahwa Kitab Suci pun tidak pernah menuliskan larangan untuk merayakan Natal. Satu hal yang pasti adalah kelahiran Yesus disebutkan di dalam Kitab Suci. Merayakan misteri Inkarnasi, merayakan Tuhan datang ke dunia dalam rupa manusia, merayakan bukti cinta kasih Allah kepada manusia adalah esensi dari perayaan Natal. Dengan demikian, perayaan Natal adalah hal yang sangat baik, karena seluruh umat Allah memperingati belas kasih Allah. Kalau memperingati ulang tahun anak kita adalah sesuatu yang baik – karena mengingatkan akan kasih Allah yang memberikan anak di dalam keluarga kita, maka seharusnya memperingati ulang tahun Sang Penyelamat kita adalah hal yang amat sangat baik, bahkan sudah seharusnya dilakukan.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah boleh merayakan Natal sebelum tanggal 25 Desember atau sesudah lewat masa Natal? Sebenarnya, dari pemahaman makna Adven, kita, umat Katolik, tidak dianjurkan untuk merayakan Natal sebelum hari Natal. Sebab justru karena kita menghargai hari Natal sebagai hari yang sangat istimewa, maka kita perlu mempersiapkan diri untuk menyambutnya. Persiapan ini kita lakukan dengan masa pertobatan selama 4 minggu, yaitu mengosongkan diri kita dari segala dosa yang menghalangi kita menyambut Sang Juru Selamat; agar pada hari kelahiran-Nya, kita dapat mengalami lahir-Nya Kristus secara baru di dalam hati kita. Dengan demikian, kalau kita ingin merayakan Natal bersama keluarga, mari kita rayakan setelah Malam Natal, setelah hari Natal, selama dalam 8 hari (Oktaf Natal). Gereja Katolik memang merayakan Natal sejak Malam Natal sampai hari Epifani (Minggu Pertama setelah Oktaf Natal) dan bahkan gereja-gereja memasang dekorasi Natal sampai perayaan Pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis (hari Minggu setelah tanggal 6 Januari)
Di Gereja Protestan, Kapan Perayaan Natal Dilakukan?
Setiap menjelang Natal, ada pertanyaan yang mengganjal dalam diri saya yaitu berkenaan dengan mengadakan Perayaan Natal. Bagi pemeluk Kristen Protestan, Perayaan Natal boleh diadakan sebelum tanggal 25 Desember, sedangkan bagi pemeluk Katolik, perayaan Natal baru boleh dilakukan setelah tanggal 25 Desember.Mengapa demikian, apakah ada perbedaan yang mendasar dalam merayakan Natal antara agama Protestan dan Katolik? Terima kasih atas penjelasan Bapak.
Pdt. Rudianto Djajakartika:
Sejujurnya saya tidak tahu apakah memang ada peraturan khusus dari gereja RK untuk melarang merayakan Natal sebelum tanggal 25 Desember. Tetapi seandainya peraturan itu ada, bukan berarti ada perbedaan yang signifikan antara perayaan natal gereja RK dengan gereja-gereja Protestan. Persoalannya lebih antara konsistensi pada kalender gerejawi dengan pola berpikir pragmatis (tetapi tetap ada pertimbangan teologisnya).
Kalau kita mau konsisten pada kalender gerejawi, memang selayaknya Natal tidak dirayakan sebelum tanggal 25 Desember, karena itu masih merupakan masa adventus. Secara liturgis memang terasa aneh jika pada masa adventus, apalagi awal adventus sudah dibacakan teks-teks tentang kelahiran Yesus Kristus. Tetapi orang yang berpikir teologis-pragmatis memandang bahwa Natal seharusnya tidak dibatasi oleh tanggal 25 Desember dengan beberapa alasan:
- Natal, kelahiran Yesus Kristus di hati kita seharusnya terjadi setiap hari sepanjang tahun.
- Penetapan hari Natal pada tanggal 25 Desember lebih berhubungan dengan masuknya agama kristen ke Eropa ketimbang tanggal persis kelahiran Yesus. Ada yang memperkirakan Yesus justru lahir pada bulan April (dihitung 9 bulan setelah penampakan malaikat Gabriel pada Maria – Lk. 1:26, berdasarkan penanggalan Ibrani yang dimulai dari bulan Maret).
- Pemanfaatan waktu dan tempat, serta pertimbangan hari libur setelah Natal.
Kebiasaan
merayakan Natal pada 25 Desember adalah suatu tradisi sejak abad IV, karena
pada tanggal tersebut orang-orang Romawi sebelum kekristenan biasa merayakan
kelahiran ”Sol Invincibilis” (pesta matahari yang tak terkalahkan). Tanggal
tersebut bertepatan dengan peralihan musim gugur ke musim dingin serentak saat
dimulainya siang yang lebih panjang daripada malam. Suatu kemenangan matahari
atas kegelapan, karena dalam 6 bulan sebelumnya siang lebih pendek daripada
malam. Oleh orang-orang Kristen, Yesus dianggap Sang Matahari Sejati yang
memberi terang atas manusia.
Banyak Gereja Kristen Protestan merayakan Natal
sebelum tanggal 25 Desember, karena saudara-saudara kita kristen tidak
melanjutkan tradisi Gereja Katolik yang sudah dirayakan sejak abad IV. Ada juga
alasan lain, misalnya Gereja Kristen pada umumnya tidak menggunakan kalender
liturgi seketat seperti dalam Gereja Katolik. Pertanyaannya, kalau ada undangan
dan ajakan untuk merayakan Pesta Natal pada masa Adven? Kita hendaknya
mempunyai sikap tegas terhadap pesta Natal sebelum tanggal 25 Desember dengan
mengatakan “tidak”. Kita hendaknya menghindari sikap kompromi dengan alasan
demi persahabatan atau tidak ada kesempatan lagi merayakannya setelah tanggal
25 Desember karena banyak orang akan mengadakan liburan. ( Protestan tidak sama dengan Katolik dalam Hal ini )
Gereja Katolik melarang pesta Natal pada Masa
Adven karena Masa Adven merupakan masa pertobatan, sebagai persiapan menyambut
kedatangan Tuhan. Bertobat berarti kita meratakan hati kita yang lekuk-lekuk
oleh rupa-rupa dosa, seperti kebencian, irihati, dan dendam dengan cara
menerima Sakramen Pengampunan Dosa di lingkungan-lingkungan atau di gereja.
Dalam Sakramen Tobat itu, kita tidak hanya menyesali dosa-dosa kita, tetapi
kita juga membuka diri terhadap pimpinan Roh Kudus sehingga kita mau diubah
untuk menjadi manusia baru. Terus menerus berusaha menjadi manusia baru
merupakan persiapan yang pantas untuk menyambut kedatangan Sang Raja ke dalam
jiwa dan hati kita. Karena itu, perayaan Natal yang sangat meriah dan hebat,
tetapi tanpa pertobatan adalah tidak berarti dan kosong. Dengan kata lain,
kehilangan adven berarti kehilangan Natal, karena kita kehilangan sukacita
Natal yang sesungguhnya, yaitu Lahir Baru di dalam Tuhan (Jawaban dikutip dari
berbagai sumber)
Memang Tahun Liturgi mengatakan Merayakan Natal harus dilaksanakan setelah 25 Desember , itu adalah dari Tahun Liturgi katolik.
Boleh kita Merayakannya sebelum 24 Desember , ya Boleh jawabannya singkat saja : Yaitu karena belum ada larangan atau keputusan Protestan tentang itu, Contohnya HKBP , Tak ada satupun Aturannya yang menyatakan Tidak Boleh Natal sebelum 24 Desember , karena itu belum harga mati. Kalau HKBP atau gereja Protestan lainnya telah mendogmakan itu sebagai aturan greja yang harus di ikuti. Jadi Sah sah saja Merayakan Natal sebelum 25 Desember, dan tentu sangat bagus untuk merayakannya di atas 24 Desember.
( Tulisan ini di angkat dari Berbagai sumber untuk menyikapi Pro dan Kontra Perayaan Natal Pra 25 Desember dan Pasca 25 Desember ) dan ini hanya bersifat pribadi untuk menamnbah wawasan saja