Tuesday 4 February 2014

Sianturi Parmassahati




Pengetahuan mengenai sejarah marga adalah sangat penting bagi semua marga-marga Batak karena sejarah marga merupakan bagian dari sejarah suku bangsa Batak yang termasuk salah satu bagian sejarah kebudayaan bangsa Indonesia seperti sejarah Melayu, Sriwijaya, Pagaruyung Minangkabau, Sunda, Singosari dan Mojopahit (Jawa). Selain kontribusinya terhadap sejarah kebudayaan Nasional, sejarah marga penting untuk dipahami oleh setiap individu masyarakat Batak, hal ini terkait dengan sejarah marga yang pada hakekatnya tidak terpisahkan dengan ”tarombo” atau silsilah marga yang  mutlak  harus dikuasai karena merupakan dasar dari ”ADAT BATAK” sebagai etika pergaulan (aturan perilaku)  masyarakat Batak yang berlandaskan  tarombo Dalihan Na Tolu.
Mengutip buku Sejarah Batak sebagai referensi (SEJARAH BATAK, Batara Sangti, Balige 1977) dinyatakan bahwa ”tidak ada suatu karya adat Batak dalam segala aspek kehidupan baik dalam suka maupun  duka dapat berjalan tanpa tarombo Dalihan Natolu” dan dinyatakan pula bahwa orang-orang yang tidak mengetahui tarombonya atau sejarahnya dicap sebagai orang tidak tahu asal-usul (jolma
nalilu). Hal ini menekankan sangat pentingnya pemahaman tarombo dan sejarah marga yang tidak terlepas dari sejarah nenek moyang.  
Menyikapi pentingnya arti pemahaman sejarah marga tersebut sebagaimana diuraikan di atas, maka marga Sianturi khususnya Keluarga Besar Turunan (Pomparan Ni)  Parmassahati Sianturi, Boru, Bere/Ibebere  seluruh dunia berniat untuk memperdalam pengetahuan tentang sejarah nenek moyang dan memelihara pusaka peninggalannya melalui kegiatan Napak Tilas sekaligus merayakan Natal Bersama di Muara, Tapanuli Utara pada Tanggal 29 – 30 Desember Tahun 2007. Melalui penyelenggaraan Natal Bersama dan Napak Tilas tersebut diharapkan seluruh Pomparan Parmassahati Sianturi lebih mengetahui sejarah nenek moyang Parmassahati Sianturi yang selanjutnya dapat meningkatkan pengenalan diri sendiri (jati diri), memupuk perilaku saling menghargai sesama Pomparan Sianturi, dan saling kasih mengasihi dalam semua aspek hidup dan kehidupan serta melestarikan Adat Batak sebagai etika perilaku hubungan kekerabatan (sistem kemasyarakatan suku Batak) yang secara turun termurun telah diaplikasikan sebagaimana diajarkan  dengan baik oleh nenek moyang sukubangsa Batak.
Berdasarkan literatur yang ada, antara lain  buku SEJARAH BATAK, 1997 (halaman 421 – 430) dan buku DALIHAN NA TOLU NILAI BUDAYA SUKU BATAK, 1992 (halaman 142 – 145);  dapat dikemukakan secara garis besar sejarah marga Sianturi, bahwa Raja Sianturi merupakan turunan generasi ke VI dari si Raja Batak yang diperkirakan hidup pada awal Abad XIV (Tahun 1300 an), yaitu anak kedua dari Raja Simatupang (generasi ke V) dari 3 bersaudara: Togatorop, Sianturi, dan Siburian. Selanjutnya berdasarkan tarombo Sianturi, bahwa Raja Sianturi memperanakkan Raja Simangonding, Raja Lumban Gambiri, dan Raja Lumban Mataniari. Seterusnya Raja Simangonding memperanakkan Raja Siharinuan dan Raja Siatalasiak.  Selanjutnya Raja Siharinuan memperanakkan 7 orang yaitu 4 orang laki-laki dari permaisurinya Siharinuan Boru Manurung yaitu Raja Mandosiraja, Raja Bonanionan, Raja Parmassahati, dan Raja Tuan Dihorbo; sedangkan melalui permaisrurinya yang kedua yaitu Boru Manalu memperanakkan 3 orang  (2 orang laki-laki dan 1 orang perempuan) yaitu Raja Mangoringdolok, Raja Mangihutraja, serta boru Sinampean. 
Mengacu pada perhitungan yang digunakan dalam buku Sejarah Batak tersebut di atas  bahwa  Ompung kita  Raja Siharinuan Sianturi yang  merupakan cucu langsung dari Sianturi dengan anaknya Raja Parmassahati Sianturi diperkirakan hidup  antara Abad XVI – XVII  yaitu Tahun 1500 an – Tahun 1600 an (Catatan: perhitungan tahun sejarah didasarkan atas penelitian secara ilmiah dengan mempelajari data-data dan fakta-fakta tarombo serta tarikh dinasti Tuan Singa Mangaraja).
Dari berbagai referensi secara tertulis maupun informasi lisan sejarah secara turun temurun dari para tua-tua, diketahui bahwa Raja Siharinuan Sianturi semasa hidupnya sangat disegani oleh seluruh negeri sekitar Tapanuli Utara karena kesaktiannya, ksatria dan perkasa berdarah perwira (ulu balang)  dalam masa peperangan (gora), arif (pattas marroha), bijaksana dan adil dalam menyelesaikan perselisihan serta menerapkan adat batak dengan baik (paradat). Selain hal-hal tersebut, terdapat peristiwa-peristiwa sejarah yang mengandung nilai supranatural sebagaimana dicatat dalam cerita-cerita sejarah marga, antara lain: 
1.    Peristiwa pernikahan Raja Siharinuan Sianturi  dengan Ompung Harinuan Boru Manurung  yang juga sama nama dan memiliki kesaktian yang hebat, dimana pada proses perjodohan tersebut memerlukan ujian-ujian yang ternyata dapat dilaksanakan oleh Raja Siharinuan Sianturi yang sebenarnya mustahil dari segi kemanusiaan;
2.      Peristiwa ditinggalkannya Muara oleh Raja Siharinuan menuju Dolok Sanggul yang ternyata mengakibatkan terjadinya kekeringan yang hebat di seluruh Muara selama lebih dari 1 tahun;  
3.     Peristiwa kematian Raja Siharinuan Sianturi yang sangat unik dan berbeda dengan manusia biasa, yaitu terbakar oleh kekuatan alam di Tao Silom dan meninggalkan minyak jasad sebanyak 7 guci (hudon) sebagai pusaka bagi semua turunannya, yang hingga saat ini masih ada dan terbukti memiliki khasiat; yaitu sebanyak 3 guci berada di Dolok Sanggul masing-masing milik pusaka Mangoring Dolok Sianturi, Mangihut Raja Sianturi,  dan Sinampean Br. Sianturi yang kawin (muli) ke marga Manullang, sedangkan 4 guci masih berada di Muara, masing-masing milik pusaka bagi Mandosiraja Sianturi, Bonanionan Sianturi, Parmassahati Sianturi, dan Tuandihorbo Sianturi.
4.  Peristiwa meninggalnya Ompung Boru Harinuan Br. Manurung, yang berdasarkan sejarah terjadi pada saat beliau pergi ke puncak Muara meratapi nasibnya karena tidak dapat melihat si Raja Siharinuan wafat di Tao Silom, lalu berdoa kepada Tuhannya agar penderitaannya berakhir. Pada saat itu terjadilah gemuruh memecah, halilintar menyambar-nyambar, lalu tanah yang dipijaknya terbelah dua dan Ompung Boru Manurung masuk kedalam tanah itu, kemudian tanah itu tertutup kembali seperti biasa; itulah sebabnya hingga saat ini tidak ditemukan kuburannya (tambak).
Demikian juga sejarah nenek moyang kita Oppu  PARMASSAHATI yang memiliki 5 (lima) anak laki-laki yang masing-masing bernama : Mangguru Datu, Babiat Nainggol, Porhas Manibung, Sihombang Ulu dan Mangasa Tulang serta 1 (satu) orang perempuan yang bernama Mangiring Omas yang menikah dengan seorang Marga Hasibuan. Dari kelima anak laki-laki tersebut, hanya tinggal 2 (dua) yang meneruskan/membawa Parmassahati yakni  Babiat Nainggol dan Porhas Manibung.


Peninggalan-peninggalan fisik Oppu PARMASSAHATI yang menunjukkan bukti keberadaannya serta kesaktiannya semasa hidup seperti  adanya sumber mata air (Hobban) di Liang (Huta Sihilap, Kecamatan Muara) dan tempat pemakaman (Tambak) yang sampai saat ini dipercayai masih memiliki khasiat untuk kebaikan apabila dibutuhkan (sejarah lebih lengkap akan dibuatkan dalam satu buku).


Sejarah nenek moyang semakin perlu diketahui dan dihayati serta  dipahami maknanya untuk selanjutnya dipelihara kelestariannya oleh semua turunan (pomparan ni) Sianturi khususnya Parmassahati sehingga dapat mempererat tali persuadaraan sesama, meningkatkan rasa saling kasih mengasihi diantara semua turunan (pomparan anak, boru, bere/ibebere) serta saling hormat menghormati dengan mempertahankan citra marga Sianturi sebagai manusia-manusia baik dan maju. Tuhan kiranya terus memberkati seluruh Pomparan Ni Raja PARMASSAHATI SIANTURI di seluruh dunia di mana pun Tuhan tempatkan untuk berkarya dan menjadi berkat bagi sekelilingnya.  http//sianturi.parmassahati.blogspot.com ( Luhut Tunggul Sianturi ) Sekretaris Umum Parmassahati Sejabodetabek
0

Add a comment