Pomparan ni Raja Parmassahati Sianturi
Pengetahuan mengenai sejarah marga adalah sangat penting
bagi semua marga-marga Batak karena sejarah marga merupakan bagian dari sejarah
suku bangsa Batak yang termasuk salah satu bagian sejarah kebudayaan bangsa
Indonesia seperti sejarah Melayu, Sriwijaya, Pagaruyung Minangkabau, Sunda,
Singosari dan Mojopahit (Jawa). Selain kontribusinya terhadap sejarah
kebudayaan Nasional, sejarah marga penting untuk dipahami oleh setiap individu masyarakat
Batak, hal ini terkait dengan sejarah marga yang pada hakekatnya tidak terpisahkan
dengan ”tarombo” atau silsilah marga yang mutlak harus
dikuasai karena merupakan dasar dari ”ADAT
BATAK” sebagai etika pergaulan (aturan perilaku) masyarakat Batak yang berlandaskan tarombo Dalihan Na Tolu.
Mengutip buku Sejarah Batak sebagai referensi (SEJARAH
BATAK, Batara Sangti, Balige 1977) dinyatakan bahwa ”tidak ada suatu karya adat
Batak dalam segala aspek kehidupan baik dalam suka maupun duka dapat berjalan tanpa tarombo Dalihan
Natolu” dan dinyatakan pula bahwa orang-orang yang tidak mengetahui tarombonya
atau sejarahnya dicap sebagai orang tidak tahu asal-usul (jolma
nalilu). Hal ini menekankan sangat pentingnya pemahaman
tarombo dan sejarah marga yang tidak terlepas dari sejarah nenek moyang.
Menyikapi pentingnya arti pemahaman sejarah marga
tersebut sebagaimana diuraikan di atas, maka marga Sianturi khususnya Keluarga Besar
Turunan (Pomparan Ni) Parmassahati Sianturi, Boru, Bere/Ibebere seluruh dunia berniat untuk memperdalam
pengetahuan tentang sejarah nenek moyang dan memelihara pusaka peninggalannya melalui
kegiatan Napak Tilas sekaligus merayakan Natal Bersama di Muara, Tapanuli Utara
pada Tanggal 29 – 30 Desember Tahun 2007. Melalui penyelenggaraan Natal Bersama
dan Napak Tilas tersebut diharapkan seluruh Pomparan Parmassahati Sianturi
lebih mengetahui sejarah nenek moyang Parmassahati Sianturi yang selanjutnya
dapat meningkatkan pengenalan diri sendiri (jati diri), memupuk perilaku saling
menghargai sesama Pomparan Sianturi, dan saling kasih mengasihi dalam semua
aspek hidup dan kehidupan serta melestarikan Adat Batak sebagai etika perilaku
hubungan kekerabatan (sistem kemasyarakatan suku Batak) yang secara turun
termurun telah diaplikasikan sebagaimana diajarkan dengan baik oleh nenek moyang sukubangsa
Batak.
Berdasarkan literatur yang ada, antara lain buku SEJARAH BATAK, 1997 (halaman 421 – 430) dan
buku DALIHAN NA TOLU NILAI BUDAYA SUKU BATAK, 1992 (halaman 142 – 145); dapat dikemukakan secara garis besar sejarah
marga Sianturi, bahwa Raja Sianturi
merupakan turunan generasi ke VI dari si Raja
Batak yang diperkirakan hidup pada awal Abad XIV (Tahun 1300 an), yaitu
anak kedua dari Raja Simatupang (generasi
ke V) dari 3 bersaudara: Togatorop, Sianturi,
dan Siburian. Selanjutnya berdasarkan tarombo Sianturi, bahwa Raja Sianturi
memperanakkan Raja Simangonding,
Raja Lumban Gambiri, dan Raja Lumban Mataniari. Seterusnya Raja Simangonding
memperanakkan Raja Siharinuan dan
Raja Siatalasiak. Selanjutnya Raja Siharinuan
memperanakkan 7 orang yaitu 4 orang laki-laki dari permaisurinya Siharinuan
Boru Manurung yaitu Raja Mandosiraja, Raja Bonanionan, Raja Parmassahati, dan Raja Tuan Dihorbo; sedangkan melalui
permaisrurinya yang kedua yaitu Boru Manalu memperanakkan 3 orang (2 orang laki-laki dan 1 orang perempuan)
yaitu Raja Mangoringdolok, Raja Mangihutraja, serta boru Sinampean.
Mengacu pada perhitungan yang digunakan dalam buku Sejarah
Batak tersebut di atas bahwa Ompung kita Raja Siharinuan Sianturi
yang merupakan cucu langsung dari
Sianturi dengan anaknya Raja Parmassahati
Sianturi diperkirakan hidup antara
Abad XVI – XVII yaitu Tahun 1500 an –
Tahun 1600 an (Catatan: perhitungan tahun
sejarah didasarkan atas penelitian secara ilmiah dengan mempelajari data-data
dan fakta-fakta tarombo serta tarikh dinasti Tuan Singa Mangaraja).
Dari berbagai referensi secara tertulis maupun informasi
lisan sejarah secara turun temurun dari para tua-tua, diketahui bahwa Raja Siharinuan
Sianturi semasa hidupnya sangat disegani oleh seluruh negeri sekitar Tapanuli
Utara karena kesaktiannya, ksatria dan perkasa berdarah perwira (ulu
balang) dalam masa peperangan (gora),
arif (pattas marroha), bijaksana dan adil dalam menyelesaikan perselisihan
serta menerapkan adat batak dengan baik (paradat). Selain hal-hal tersebut,
terdapat peristiwa-peristiwa sejarah yang mengandung nilai supranatural
sebagaimana dicatat dalam cerita-cerita sejarah marga, antara lain:
1. Peristiwa pernikahan Raja Siharinuan Sianturi dengan Ompung Harinuan Boru Manurung yang juga sama nama dan memiliki kesaktian
yang hebat, dimana pada proses perjodohan tersebut memerlukan ujian-ujian yang
ternyata dapat dilaksanakan oleh Raja Siharinuan Sianturi yang sebenarnya
mustahil dari segi kemanusiaan;
2. Peristiwa ditinggalkannya Muara oleh Raja Siharinuan menuju Dolok Sanggul yang
ternyata mengakibatkan terjadinya kekeringan yang hebat di seluruh Muara selama
lebih dari 1 tahun;
3. Peristiwa kematian Raja Siharinuan Sianturi yang sangat unik dan berbeda
dengan manusia biasa, yaitu terbakar oleh kekuatan alam di Tao Silom dan
meninggalkan minyak jasad sebanyak 7 guci (hudon) sebagai pusaka bagi semua
turunannya, yang hingga saat ini masih ada dan terbukti memiliki khasiat; yaitu
sebanyak 3 guci berada di Dolok Sanggul masing-masing milik pusaka Mangoring
Dolok Sianturi, Mangihut Raja Sianturi, dan
Sinampean Br. Sianturi yang kawin (muli) ke marga Manullang, sedangkan 4 guci
masih berada di Muara, masing-masing milik pusaka bagi Mandosiraja Sianturi,
Bonanionan Sianturi, Parmassahati Sianturi, dan Tuandihorbo Sianturi.
4. Peristiwa meninggalnya Ompung Boru Harinuan Br. Manurung, yang berdasarkan
sejarah terjadi pada saat beliau pergi ke puncak Muara meratapi nasibnya karena
tidak dapat melihat si Raja Siharinuan wafat di Tao Silom, lalu berdoa kepada
Tuhannya agar penderitaannya berakhir. Pada saat itu terjadilah gemuruh
memecah, halilintar menyambar-nyambar, lalu tanah yang dipijaknya terbelah dua
dan Ompung Boru Manurung masuk kedalam tanah itu, kemudian tanah itu tertutup
kembali seperti biasa; itulah sebabnya hingga saat ini tidak ditemukan
kuburannya (tambak).
Demikian
juga sejarah nenek moyang kita Oppu
PARMASSAHATI yang memiliki 5 (lima) anak laki-laki yang masing-masing
bernama : Mangguru Datu, Babiat Nainggol, Porhas Manibung, Sihombang Ulu dan
Mangasa Tulang serta 1 (satu) orang perempuan yang bernama Mangiring Omas yang
menikah dengan seorang Marga Hasibuan. Dari kelima anak laki-laki tersebut,
hanya tinggal 2 (dua) yang meneruskan/membawa Parmassahati yakni Babiat Nainggol dan Porhas Manibung.
Peninggalan-peninggalan
fisik Oppu PARMASSAHATI yang menunjukkan bukti keberadaannya serta kesaktiannya
semasa hidup seperti adanya sumber mata
air (Hobban) di Liang (Huta Sihilap, Kecamatan Muara) dan tempat pemakaman (Tambak)
yang sampai saat ini dipercayai masih memiliki khasiat untuk kebaikan apabila
dibutuhkan (sejarah lebih lengkap akan dibuatkan dalam satu buku).
Sejarah
nenek
moyang semakin perlu diketahui dan dihayati serta dipahami maknanya
untuk selanjutnya dipelihara
kelestariannya oleh semua turunan (pomparan ni) Sianturi khususnya
Parmassahati
sehingga dapat mempererat tali persuadaraan sesama, meningkatkan rasa
saling
kasih mengasihi diantara semua turunan (pomparan anak, boru,
bere/ibebere)
serta saling hormat menghormati dengan mempertahankan citra marga
Sianturi
sebagai manusia-manusia baik dan maju. Tuhan kiranya terus memberkati
seluruh Pomparan Ni Raja PARMASSAHATI SIANTURI di seluruh dunia di mana
pun Tuhan tempatkan untuk berkarya dan menjadi berkat bagi
sekelilingnya. http//sianturi.parmassahati.blogspot.com ( Luhut Tunggul Sianturi ) Sekretaris Umum Parmassahati Sejabodetabek
Add a comment