Thursday, 23 January 2014

Mengapa Tata Letak Mimbar Khotbah Kita Tidak Seragam?

 

 

Mengapa Tata Letak Mimbar Khotbah Kita Tidak Seragam?

Judul di atas merupakan pertanyaan yang sering dilontarkan anggota jemaat, penatua juga rekan sekerja kepada penulis. Memang pada kenyataannya di gereja kita GKPI - juga gereja-gereja tetangga yang sealiran - tata letak mimbar khotbah tidak seragam, ada yang letaknya ditengah-tengah dan ada yang letaknya di sebelah kanan altar. Mengapa bisa demikian? Dalam tulisan ini penulis mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut dari sudut pandang sejarah dan makna teologisnya. Tentu kebenarannya tidaklah mutlak. Diharapkan tulisan ini mendapat tanggapan positif dari para pembaca.

Pendahuluan
GKPI yang lahir dari gereja asalnya HKBP, merupakan bagian dari persekutuan gereja-gereja Lutheran sedunia. Namun jika kita melihat tata letak altar, khususnya mimbar khotbah di gereja kita, pada umumnya tidak menggambarkan pemahaman gereja Lutheran. Gereja Lutheran menempatkan mimbar pemberitaan firman di sebelah kanan altar (jemaat melihatnya sebelah kiri). Sementara itu tata letak mimbar khotbah gereja-gereja kita banyak juga yang mengadopsi tata letak gereja Calvinis, dimana mimbar khotbah berada di tengah-tengah altar.

Ini menunjukkan bahwa pemahaman kita tentang tata letak itu tidak seragam. Jemaat yang membangun gereja juga arsitek yang merancang interiornya awam tentang hal itu, sehingga yang sering menjadi pertimbangan mereka hanya nilai estetika, tanpa didasari pandangan teologis. Banyak anggota jemaat, bahkan para pelayan pun yang tidak mengerti maknanya. Namun demikian tidak bisa diabaikan bahwa besar atau kecilnya ruangan gereja juga mempengaruhi tata letak altar itu, seperti jemaat-jemaat di wilayah Jakarta dan sekitarnya yang banyak menempati ruko (rumah toko) sebagai tempat beribadah.

Tata Letak Mimbar Khotbah Gereja Lutheran
Gereja-gereja Lutheran adalah gereja-gereja yang berasaskan ajaran Martin Luther, tokoh reformasi gereja pada abad ke-16 di Jerman. Beberapa tulisan yang menjelaskan ajaran yang dikembangkan Martin Luther dihimpun dalam Buku Konkord. Ajaran Luther menjadi acuan pokok dalam perumusan ajaran dan tata gereja Lutheran. Setelah beberapa dasa warsa, gereja-gereja Lutheran, khususnya di Jerman, telah menjadi gereja yang mapan, ajarannya terumus lengkap, organisasinya mantap dan mendapat dukungan penuh dari negara. Di Indonesia, gereja-gereja yang mendapat pengaruh kuat Lutheran  antara lain; HKBP, HKI, GKPS, GKPA, GKPI, GKLI, GPKB, GKPPD, BNKP, ONKP, AMIN, GKPM.

Ibadahnya berpusat pada khotbah, bukan pada perjamuan kudus (ekaristi). Dalam setiap Minggu harus ada pemberitaan Firman yang murni (hanya dari Alkitab), sedangkan perjamuan kudus tidak selalu diadakan pada setiap ibadah Minggu melainkan tergantung gereja masing-masing sesuai dengan situasinya. Pelayan khotbah di gereja haruslah mereka yang telah ditahbiskan untuk itu. (lih. Konfesi Ausburg; pasal tentang Iman dan Ajaran).

Salah satu ajaran Martin Luther adalah mengenai konsep “Dua Kerajaan”. Ajaran Dua Kerajaan (ADK) ini menghunjuk pada etika politik Martin Luther dan menjadi sangat mempengaruhi sikap politik gereja-gereja Lutheran di seluruh dunia. ADK membicarakan hubungan antara Gereja dan Negara. Sama seperti rasul Paulus, Luther memandang Negara sebagai sesuatu yang berasal dari Allah. Luther memandang bahwa gereja dan pemerintahan sipil sama-sama dipakai oleh Allah sebagai alat pelayanan-Nya di tengah-tengah dunia.

Menurut Luther, pekerjaan Allah di bidang politik, ekonomi dan lembaga-lembaga kebudayaan (pemerintahan sipil atau kerajaan dunia) adalah pekerjaan “tangan kiri Allah” dan pekerjaan Allah dalam bidang kerohanian, penginjilan dan gereja (kerajaan gereja) dinamakan sebagai “tangan kanan Allah”. Kedua tangan ini bekerja dalam harmoni dan dalam perbedaan. Pembedaan ini bukanlah pemisahan. Tangan kiri memang berbeda dari tangan kanan, tetapi keduanya sama-sama tangan yang berfungsi untuk memegang sesuatu. Namun justru di dalam perbedaan inilah terletak nilai yang tinggi dari kerjasama kedua kerajaan itu.

“Ajaran Dua Kerajaan” Luther inilah yang mungkin mempengaruhi tata letak altar di gereja-gereja Lutheran, yang menempatkan mimbar khotbah di sebelah kanan (biasanya lebih besar dan lebih tinggi) dan mimbar umum di sebelah kiri altar.

Tata Letak Mimbar Khotbah Gereja Calvinis
Gereja-gereja Calvinis adalah gereja-gereja yang berasaskan ajaran Calvinisme. Calvinisme adalah sebuah sistem teologis dan pendekatan kepada kehidupan Kristen yang menekankan “kedaulatan pemerintahan Allah atas segala sesuatu”. Gerakan ini dinamai sesuai dengan nama reformator Perancis, Yohanes Calvin. Pengaruh Yohanes Calvin dan peranannya sangat besar dalam perdebatan konfesional dan gerejawi di masa reformasi sepanjang abad ke-17 di Eropa.

Jemaat-jemaat Protestan pengikut Calvin pertama terbentuk di Swiss dan Perancis. Pada tahun 1559 telah berlangsung sidang sinode pertama Gereja Reformed Perancis. Di situ diterima pengakuan iman dan tata gereja yang dirancang Calvin sehingga gereja Protestan di Perancis benar-benar bercorak Calvinis.  Pada tahun-tahun berikutnya, jemaat-jemaat Reformed Perancis ini mengalami hambatan. Perkembangan yang sangat pesat justru berlangsung di Belanda.  Dari Belanda inilah Calvinisme dibawa ke Indonesia, baik oleh para pendeta Gerevormerde Kerk pada jaman VOC maupun oleh para zendeling dari berbagai badan zending (lembaga misi/penginjilan). Di Indonesia, gereja-gereja yang mendapat pengaruh kuat Calvinis  antara lain; GBKP, GKI, GPIB, GMIM, GKJ, GKJTU, GKS, GPM.

Dalam gereja-gereja Calvinis, ibadah gereja berpusat pada khotbah dan perjamuan kudus (tidak  berpusat pada sakramen seperti dalam gereja Katolik Roma). Pengaruh Calvinisme, yang menekankan “kedaulatan pemerintahan Allah atas segala sesuatu”-lah yang mungkin mempengaruhi tata letak altar di gereja-gereja Calvinis, dimana mimbar khotbah berada di tengah-tengah altar dan umumnya berada pada posisi yang tinggi.

Perkembangan Kekristenan di Tanah Batak
Bangsa Belanda yang saat itu sudah +226 tahun menjajah Indonesia, senantiasa berusaha memajukan usaha dagangnya (VOC). Dalam waktu yang bersamaan, mereka melihat bahwa penduduk di Indonesia masih lebih banyak yang belum beragama, selain agama suku. Keadaan ini mereka beritakan kepada gereja-gereja di Belanda. Atas dasar berita ini, Gereja Belanda melalui Badan Zending NZG (Nederlandsche Zending Genotschap) mulai mengutus penginjil ke Indonesia. Mereka memulai penginjilan itu dari Batavia (sekarang Jakarta) ke daerah-daerah yang telah ditaklukkan oleh VOC karena dianggap lebih aman.

Selain Gereja Belanda, Gereja Baptis Amerika Serikat juga mengutus dua orang misionaris untuk bekerja di Indonesia. Akan tetapi hingga akhir pelayanannya kedua misionaris itu belum berhasil menyebarkan Injil ke ‘Tanah Batak’. Sepuluh tahun kemudian, tahun 1834, Gereja Boston Amerika Serikat mengutus dua orang lagi penginjil untuk bekerja di Tanah Batak, yaitu Munson dan Lyman. Setelah menempuh jarak kira-kira 100 km dari suatu daerah yang benama Barus dengan berjalan kaki melewati rawa-rawa, gunung-gunung batu terjal, dan hutan belukar, mereka sampai di Sisangkak Lobupining kira-kira 10 km dari Tarutung ke arah Sibolga. Kedua orang misionaris ini ditolak dan dibunuh oleh penduduk setempat tanggal 28 Juni 1834.

Setelah beberapa tahun Badan Zending Belanda NZG bekerja di Batavia, merekapun mulai melakukan penginjilan ke tanah Batak dengan mengutus seorang Misioanaris bernama Pdt. Van Asselt. Mereka memulainya dari arah selatan (Sipirok). Van Asselt disusul oleh dua orang Misioanaris dari Badan Zending Jerman “Reinische Missions Gesellschaft” (RMG), yaitu Pdt. Heine dan Pdt. Klammer ke Sipirok. Sebelumnya kedua misionaris ini pertama kali diutus oleh Badan Zending RMG bekerja ke Borneo (Kalimantan), akan tetapi, mereka ditolak di sana kemudian kembali ke Batavia lalu diutus ke Tanah batak (Sipirok).

Pada 7 Oktober 1861, yang menjadi hari lahirnya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), ditandai dengan berundingnya empat orang Missionaris, Pdt. Heine, Pdt. J.C. Klammer, Pdt. Betz dan Pdt. Van Asselt. Keempat tenaga zending ini mengadakan rapat di Sipirok untuk membicarakan pembagian wilayah pelayanan di Tapanuli.

Satu tahun kemudian, RMG mengutus seorang misionaris, Pdt. I.L. Nommensen, yang akhirnya digelari sebagai Rasul Orang Batak. Ia sampai di Barus pada tanggal 14 Mei 1862 dan terus ke Sipirok bergabung dengan misionaris Pdt. Heine dan Pdt. Klammer. Setelah berdiskusi dengan kedua Misionaris ini, disepakati pembagian wilayah pelayanan, bahwa Nommensen akan bekerja di Silindung.

Dari sejarah singkat di atas dapat kita pahami bahwa gereja-gereja Batak bukanlah penganut aliran Lutheran yang murni. Pengaruh Lutheran - yang dibawa oleh pendeta-pendeta zending RMG - memang lebih dominan. Namun demikian, pengaruh Calvinis - yang dibawa pendeta-pendeta zending NZG - juga tidak bisa diabaikan, termasuk soal tata letak altar dan mimbar khotbah di gereja-gereja Batak pada tahun-tahun berikutnya.

Pdt. Anthony L Tobing
----------------
Sumber:
1.   Aritonang, J.S,  “Berbagai Aliran Di Dalam Dan Di Sekitar Gereja”, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1995
2.   Simorangkir, Mangisi S.E, “Ajaran Dua Kerajaan Luther Dan Relevansinya Di Indonesia”, P.Siantar, Kolportase Pusat GKPI, 2008
3.   Tappert, Theodore G, “Buku Konkord Konfesi Gereja Lutheran”, Penyunting: Mangisi S.E. Simorangkir, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004
8.       http://suplemengki.com