Mengapa Tata Letak Mimbar Khotbah Kita Tidak Seragam?
Judul
di atas merupakan pertanyaan yang sering dilontarkan anggota jemaat,
penatua juga rekan sekerja kepada penulis. Memang pada kenyataannya di
gereja kita GKPI - juga gereja-gereja tetangga yang sealiran - tata
letak mimbar khotbah tidak seragam, ada yang letaknya ditengah-tengah
dan ada yang letaknya di sebelah kanan altar. Mengapa bisa demikian?
Dalam tulisan ini penulis mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut
dari sudut pandang sejarah dan makna teologisnya. Tentu kebenarannya
tidaklah mutlak. Diharapkan tulisan ini mendapat tanggapan positif dari
para pembaca.
Pendahuluan
GKPI
yang lahir dari gereja asalnya HKBP, merupakan bagian dari persekutuan
gereja-gereja Lutheran sedunia. Namun jika kita melihat tata letak
altar, khususnya mimbar khotbah di gereja kita, pada umumnya tidak
menggambarkan pemahaman gereja Lutheran. Gereja Lutheran menempatkan
mimbar pemberitaan firman di sebelah kanan altar (jemaat melihatnya
sebelah kiri). Sementara itu tata letak mimbar khotbah gereja-gereja
kita banyak juga yang mengadopsi tata letak gereja Calvinis, dimana
mimbar khotbah berada di tengah-tengah altar.
Ini menunjukkan
bahwa pemahaman kita tentang tata letak itu tidak seragam. Jemaat yang
membangun gereja juga arsitek yang merancang interiornya awam tentang
hal itu, sehingga yang sering menjadi pertimbangan mereka hanya nilai
estetika, tanpa didasari pandangan teologis. Banyak anggota jemaat,
bahkan para pelayan pun yang tidak mengerti maknanya. Namun demikian
tidak bisa diabaikan bahwa besar atau kecilnya ruangan gereja juga
mempengaruhi tata letak altar itu, seperti jemaat-jemaat di wilayah
Jakarta dan sekitarnya yang banyak menempati ruko (rumah toko) sebagai
tempat beribadah.
Tata Letak Mimbar Khotbah Gereja Lutheran
Gereja-gereja Lutheran adalah gereja-gereja yang berasaskan ajaran Martin Luther, tokoh reformasi gereja pada
abad ke-16 di Jerman. Beberapa tulisan yang menjelaskan ajaran yang
dikembangkan Martin Luther dihimpun dalam Buku Konkord. Ajaran Luther
menjadi acuan pokok dalam perumusan ajaran dan tata gereja Lutheran.
Setelah beberapa dasa warsa, gereja-gereja Lutheran, khususnya di
Jerman, telah menjadi gereja yang mapan, ajarannya terumus lengkap,
organisasinya mantap dan mendapat dukungan penuh dari negara. Di
Indonesia, gereja-gereja yang mendapat pengaruh kuat Lutheran antara
lain; HKBP, HKI, GKPS, GKPA, GKPI, GKLI, GPKB, GKPPD, BNKP, ONKP, AMIN,
GKPM.
Ibadahnya
berpusat pada khotbah, bukan pada perjamuan kudus (ekaristi). Dalam
setiap Minggu harus ada pemberitaan Firman yang murni (hanya dari
Alkitab), sedangkan perjamuan kudus tidak selalu diadakan pada setiap
ibadah Minggu melainkan tergantung gereja masing-masing sesuai dengan
situasinya. Pelayan khotbah di gereja haruslah mereka yang telah
ditahbiskan untuk itu. (lih. Konfesi Ausburg; pasal tentang Iman dan
Ajaran).
Salah satu
ajaran Martin Luther adalah mengenai konsep “Dua Kerajaan”. Ajaran Dua
Kerajaan (ADK) ini menghunjuk pada etika politik Martin Luther dan
menjadi sangat mempengaruhi sikap politik gereja-gereja Lutheran di
seluruh dunia. ADK membicarakan hubungan antara Gereja dan Negara. Sama
seperti rasul Paulus, Luther memandang Negara sebagai sesuatu yang
berasal dari Allah. Luther memandang bahwa gereja dan pemerintahan sipil
sama-sama dipakai oleh Allah sebagai alat pelayanan-Nya di
tengah-tengah dunia.
Menurut
Luther, pekerjaan Allah di bidang politik, ekonomi dan lembaga-lembaga
kebudayaan (pemerintahan sipil atau kerajaan dunia) adalah pekerjaan
“tangan kiri Allah” dan pekerjaan Allah dalam bidang kerohanian,
penginjilan dan gereja (kerajaan gereja) dinamakan sebagai “tangan kanan
Allah”. Kedua tangan ini bekerja dalam harmoni dan dalam perbedaan.
Pembedaan ini bukanlah pemisahan. Tangan kiri memang berbeda dari tangan
kanan, tetapi keduanya sama-sama tangan yang berfungsi untuk memegang
sesuatu. Namun justru di dalam perbedaan inilah terletak nilai yang
tinggi dari kerjasama kedua kerajaan itu.
“Ajaran Dua
Kerajaan” Luther inilah yang mungkin mempengaruhi tata letak altar di
gereja-gereja Lutheran, yang menempatkan mimbar khotbah di sebelah kanan
(biasanya lebih besar dan lebih tinggi) dan mimbar umum di sebelah kiri
altar.
Tata Letak Mimbar Khotbah Gereja Calvinis
Gereja-gereja Calvinis adalah gereja-gereja yang berasaskan ajaran Calvinisme. Calvinisme adalah sebuah sistem teologis dan pendekatan kepada kehidupan Kristen yang menekankan “kedaulatan pemerintahan Allah atas segala sesuatu”. Gerakan ini dinamai sesuai dengan nama reformator Perancis,
Yohanes Calvin. Pengaruh Yohanes Calvin dan peranannya sangat besar
dalam perdebatan konfesional dan gerejawi di masa reformasi sepanjang abad ke-17 di Eropa.
Jemaat-jemaat
Protestan pengikut Calvin pertama terbentuk di Swiss dan Perancis. Pada
tahun 1559 telah berlangsung sidang sinode pertama Gereja Reformed
Perancis. Di situ diterima pengakuan iman dan tata gereja yang dirancang
Calvin sehingga gereja Protestan di Perancis benar-benar bercorak
Calvinis. Pada tahun-tahun berikutnya, jemaat-jemaat Reformed Perancis
ini mengalami hambatan. Perkembangan yang sangat pesat justru
berlangsung di Belanda. Dari Belanda inilah Calvinisme dibawa ke
Indonesia, baik oleh para pendeta Gerevormerde Kerk pada jaman VOC
maupun oleh para zendeling dari berbagai badan zending (lembaga
misi/penginjilan). Di Indonesia, gereja-gereja yang mendapat pengaruh
kuat Calvinis antara lain; GBKP, GKI, GPIB, GMIM, GKJ, GKJTU, GKS, GPM.
Dalam
gereja-gereja Calvinis, ibadah gereja berpusat pada khotbah dan
perjamuan kudus (tidak berpusat pada sakramen seperti dalam gereja
Katolik Roma). Pengaruh Calvinisme, yang menekankan “kedaulatan
pemerintahan Allah atas
segala sesuatu”-lah yang mungkin mempengaruhi tata letak altar di
gereja-gereja Calvinis, dimana mimbar khotbah berada di tengah-tengah
altar dan umumnya berada pada posisi yang tinggi.
Perkembangan Kekristenan di Tanah Batak
Bangsa Belanda yang saat itu sudah +226
tahun menjajah Indonesia, senantiasa berusaha memajukan usaha dagangnya
(VOC). Dalam waktu yang bersamaan, mereka melihat bahwa penduduk di
Indonesia masih lebih banyak yang belum beragama, selain agama suku.
Keadaan ini mereka beritakan kepada gereja-gereja di Belanda. Atas dasar
berita ini, Gereja Belanda melalui Badan Zending NZG (Nederlandsche
Zending Genotschap) mulai mengutus penginjil ke Indonesia. Mereka
memulai penginjilan itu dari Batavia (sekarang Jakarta) ke daerah-daerah
yang telah ditaklukkan oleh VOC karena dianggap lebih aman.
Selain
Gereja Belanda, Gereja Baptis Amerika Serikat juga mengutus dua orang
misionaris untuk bekerja di Indonesia. Akan tetapi hingga akhir
pelayanannya kedua misionaris itu belum berhasil menyebarkan Injil ke
‘Tanah Batak’. Sepuluh tahun kemudian, tahun 1834, Gereja Boston Amerika
Serikat mengutus dua orang lagi penginjil untuk bekerja di Tanah Batak,
yaitu Munson dan Lyman. Setelah menempuh jarak kira-kira 100 km dari
suatu daerah yang benama Barus dengan berjalan kaki melewati rawa-rawa,
gunung-gunung batu terjal, dan hutan belukar, mereka sampai di Sisangkak
Lobupining kira-kira 10 km dari Tarutung ke arah Sibolga. Kedua orang
misionaris ini ditolak dan dibunuh oleh penduduk setempat tanggal 28
Juni 1834.
Setelah
beberapa tahun Badan Zending Belanda NZG bekerja di Batavia, merekapun
mulai melakukan penginjilan ke tanah Batak dengan mengutus seorang
Misioanaris bernama Pdt. Van Asselt. Mereka memulainya dari arah selatan
(Sipirok). Van Asselt disusul oleh dua orang Misioanaris dari Badan
Zending Jerman “Reinische Missions Gesellschaft” (RMG), yaitu Pdt. Heine
dan Pdt. Klammer ke Sipirok. Sebelumnya kedua misionaris ini pertama
kali diutus oleh Badan Zending RMG bekerja ke Borneo (Kalimantan), akan
tetapi, mereka ditolak di sana kemudian kembali ke Batavia lalu diutus
ke Tanah batak (Sipirok).
Pada 7
Oktober 1861, yang menjadi hari lahirnya Huria Kristen Batak Protestan
(HKBP), ditandai dengan berundingnya empat orang Missionaris, Pdt.
Heine, Pdt. J.C. Klammer, Pdt. Betz dan Pdt. Van Asselt. Keempat tenaga
zending ini mengadakan rapat di Sipirok untuk membicarakan pembagian
wilayah pelayanan di Tapanuli.
Satu tahun
kemudian, RMG mengutus seorang misionaris, Pdt. I.L. Nommensen, yang
akhirnya digelari sebagai Rasul Orang Batak. Ia sampai di Barus pada
tanggal 14 Mei 1862 dan terus ke Sipirok bergabung dengan misionaris
Pdt. Heine dan Pdt. Klammer. Setelah berdiskusi dengan kedua Misionaris
ini, disepakati pembagian wilayah pelayanan, bahwa Nommensen akan
bekerja di Silindung.
Dari
sejarah singkat di atas dapat kita pahami bahwa gereja-gereja Batak
bukanlah penganut aliran Lutheran yang murni. Pengaruh Lutheran - yang
dibawa oleh pendeta-pendeta zending RMG - memang lebih dominan. Namun
demikian, pengaruh Calvinis - yang dibawa pendeta-pendeta zending NZG -
juga tidak bisa diabaikan, termasuk soal tata letak altar dan mimbar
khotbah di gereja-gereja Batak pada tahun-tahun berikutnya.
Pdt. Anthony L Tobing
----------------
Sumber:
1. Aritonang, J.S, “Berbagai Aliran Di Dalam Dan Di Sekitar Gereja”, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1995
2. Simorangkir, Mangisi S.E, “Ajaran Dua Kerajaan Luther Dan Relevansinya Di Indonesia”, P.Siantar, Kolportase Pusat GKPI, 2008
3. Tappert,
Theodore G, “Buku Konkord Konfesi Gereja Lutheran”, Penyunting: Mangisi
S.E. Simorangkir, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004