A. PAKAIAN JABATAN
D. INTERAKSI
Semoga dengan kita mengetahui berbagai symbol dan makna benda-benda yang ada atau sering digunakan dalam liturgy gereja kita menjadi paham dan mengerti arti dan keguanaan symbol-symbol tersebut. Tuhan Yesus Memberkati. Amin.
( Dikutip dari berbagai Sumber)
Toga, Bef, Clergical Collar & Stolla
Kebanyakan gereja-gereja Kristen di Indonesia mengenal semacam Pakaian Jabatan, yang mereka ambil-alih dari Gereja-gereja partner mereka di Barat. Bentuknya hampir sama semacam toga (= gaun) hitam, yang dipakai dengan “bef” (dasi putih) dan dengan atau tanpa stolla (= kain atau pita lebar dan panjang). Fungsinya tidak begitu jelas. Tetapi dalam praktik Gereja-gereja ini, secara sadar atau tidak sadar menganggapnya sebagai Pakaian Jabatan atau Pakaian Liturgis resmi. Oleh karenanya, setiap orang yang memangku jabatan gerejawi harus memakai pakaian jabatannya pada saat ia melayani dalam pelayanan-pelayanan resmi. Hal ini hanya berlaku bagi Pendeta. Bagi Penatua dan Diaken yang umumnya dianggap “kurang setara” dengan Pendeta dibebaskan dari kewajiban di atas.
Pakaian Jabatan ini telah lazim dalam Gereja-gereja Kristen Katolik dan Kristen Protestan Reformasi, sehingga tidak dirasakan lagi sebagai barang/tradisi asing diimpor dari Barat. Namun demikian, pada beberapa dasawarsa terakhir ini ada gereja, antara lain GPIB, yang tidak puas lagi dengan bentuk pakaian jabatan ini dan hendak menggantikannya dengan bentuk lain. Sayangnya, ketidakpuasan para pemimpin gerejawi di GPIB ini lebih banyak disebabkan alasan-alasan kultural dan bukan alasan teologis.
Bentuknya berbeda-beda, yang satu lebih indah dan lebih mewah daripada yang lain. Juga jumlahnya tidak sama. Untuk perayaan Ekaristi umpamanya, Imam Gereja Ortodoks Yunani lebih banyak memakai “pakaian liturgis” daripada Imam Gereja Katolik. Sebagai contoh, Pakaian Jabatan dalam Gereja Katolik terdiri dari “amictus” (= kain bahu dari lenan, dihiasi dengan salib yang disulam dan diikatkan pada dada, di atas gaun-missa yang sebenarnya), “alba” (= kemeja dari lenan, panjangnya sampai di kaki), “stola” (= pita lebar yang dipakai di atas alba, panjangnya sampai ke lutut), “manipulus” (= pita sutera, tidak begitu lebar, digantungkan pada tangan kiri), “pluviale” (= gaun prosesi gerejawi, dahulu hanya dipakai oleh para Klerus rendah, kemudian juga oleh Klerus tinggi) dan “vesti sacerdotalis” (= gaun missa yang sebenarnya)/toga.
B. WARNA KAIN-KAIN LITURGIS
Warna-warna gerejawi telah lama digunakan dalam ruang ibadah kita, terutama untuk taplak meja, kain di mimbr (antependium), kain panjang di kayu salib (stolla besar) dan stolla yang dikenakan Pelayanan Gerejawi. Gereja memakai kain dalam warna-warna yang bergantian sesuai kalender gerejawi.
1. Putih
Adalah lambang dari warna terang, cahaya lilin, warna bagi peran malaikat Allah, para kudus dan warna bagi Kristus yang dimuliakan. Warna yang melambangkan kekudusan dan kebersihan. Oleh sebab itu warna ini digunakan dalam masa raya yang berkenaan dengan Kristus, misalnya Natal, Paskah, Kenaikan Tuhan Yesus, dan masa raya kesukaan misalnya dalam pelayanan Baptisan dan Perjamuan Kudus. Digunakan juga dari masa Natal sampai Minggu sebelum Epifania/Perjamuan Malam/Perjamuan Tuhan (6 Januari) dan hari raya Paskah hingga sebelum minggu Pentakosta.
2. Ungu (lebih tepatnya violet)
Adalah warna tergelap dalam warna gerejawi yang menunjukan penyesalan dan pertobatan yang sungguh-sungguh. Digunakan pada masa 40 hari sebelum Paskah (Minggu sengsara) dan masa-masa menjelang Natal (Minggu Adventus).
3. Merah
Adalah warna api. Lambang Roh Kudus yang penuh kekuatan. Maka digunakan pada Perayaan Pentakosta. Warna merah juga melambangkan warna darah, kesetiaan sampai mati, iman yang berapi-api sehingga digunakan dalam peringatan Reformasi, penahbisan rumah ibadah, sidhi, peneguhan Pendeta, Diaken dan Penatua. Juga pada peringatan hari Pekabaran Injil, pengutusan pengijil dan hari-hari raya ekumenis.
4. Hijau
Adalah warna komplemen dari merah. Melambangkan penyembuhan, ketenangan dan pertumbuhan iman. Merupakan warna pengharapan. Hijau memberitakan kemurahan hati, keselamatan dari Allah yang menyembuhkan dan memperbaharui. Digunakan pada hari Minggu Trinitas (Minggu pertama sesudah Pentakosta, kecuali masa sengsara, adventus, dan hari raya Kristen lainnya). Merupakan juga makna dari pertumbuhan iman jemaat baru.
5. Merah Muda
Rose, adalah perlemahan dari violet (ungu tua), lambang penyesalan dan pertobatan yang tertahan. Maksudnya, sengsara boleh sementara waktu digantikan dengan senyuman dalam menyongsong Natal dan Paskah. Digunakan pada Minggu adventus ke-3 dan Minggu sengsara ke-5.
6. Hitam
Adalah warna liturgis yang paling kuno. Lambang keputusasaan. Warna ini sudah tidak dipakai lagi. Perlu juga dipertanyakan tentang warna liturgis yang dikenakan Pendeta yaitu Toga hitam. Pemberitaan firman adalah pemberitaan Kristus yang telah menang, sudah selayaknya mereka dibebaskan dari warna kedukaan. Bahkan dalam pelayanan duka (misalnya pelayanan pemakaman jenazah) sekalipun, sebenarnya warna violet(Ungu) lebih baik daripada hitam, karena kita sudah diperbolehkan hidup dalam kemenangan Kristus.
C. BERBAGAI SIMBOL LAIN
a. Alfa dan Omega,
Adalah huruf pertama dan huruf terakhir alphabet Yunani dan biasanya digunakan sebagai simbol kekekalan Allah dan kuasa Kristus dari penciptaan sampai pada akhirat (Why 22:13 Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terkemudian, Yang Awal dan Yang Akhir”). kedua huruf ini sering digabung dengan simbol-simbol lain, misalnya salib (kekekalan karya keselamatan dalam Yesus Kristus) atau Alkitab (kekekalan Firman Allah).
b. Air
Air adalah sumber kehidupan, tetapi sekaligus dapat mengancam kehidupan (banjir, badai di laut...). Air juga berfungsi untuk mencuci atau membersihkan. Dalam Alkitab, simbol ini sering dihubungkan dengan berkata bahwa Allah sebagai sumber mata air, kesegaran atau sumber kehidupan dan keadilan,dan bahwa Yesus memberi air yang hidup (Yoh 4:14). Yesus juga membasuh kaki murid-muridNya dengan air sebagai tanda pelayanan dan pembersihan dari dosa. Murid-muridNya dipanggil untuk berbuat hal yang sama (Yoh 13:15). Namun ritus pembasuhan kaki masih jarang dipraktekkan dalam ibadah protestan. Air menjadi simbol inti sakramen baptisan sebagai tanda penbersihan (dari dosa, dari kuasa maut); “adam lama” ditenggelamkan dalam air baptisan, dan “adam baru” dilahirkan. Air ini juga menjadi tanda penerimaan Roh Kudus yang menyatukan kita dalam tubuh Kristus, dan tanda anugerah Allah yang dikaruniakan kepada kita tanpa prasyarat. Air disini adalah simbol yang membuat kita merasakan apa yang dilakukan oleh Allah sendiri, dan tidak dipahami secara “magis”, sehingga tidak tergantung pada cara atau kuantitas air (hanya tiga tetes “dalam nama Bapa, anak dan Roh Kudus”, atau dengan menenggelamkan seluruh tubuh seperti dipraktekkan dalam gereja mula-mula dan oleh beberapa denominasi sampai sekarang). Baptisan juga tidak berfokus pada formalitas (“masuk Kristen”) atau pertobatan manusia (seperti ditekankan dalam baptisan dewasa), tetapi pada karya keselamatan Allah sendiri (yang tentu saja tidak terbatas kepada mereka yang telah menerima ritual gereja tersebut).
c. Altar
Altar gereja mengingatkan baik pada tempat persembahan korban dalam Perjanjian Lama maupun pada meja perjamuan Paskah Yesus dengan muridmuridnya pada malam sebelum ia disalibkan. penggunaan altar baik sebagai meja perjamuan kudus maupun sebagai tempat persembahan (kolekte) masih mencerminkan makna ganda tersebut. Selain itu, altar biasanya dihias dengan simbol-simbol lain seperti salib, alkitab, lilin, bunga dsb.; Dalam arsitektur gereja, altar sering ditempatkan langsung di depan atau di bawah mimbar untuk menekankan kesatuan antara sakramen (perjamuan kudus/altar) dan firman (khotbah/mimbar).
d. Bendera
Tidak ada bendera khusus yang digunakan sebagai symbol agama kristen, namun banyak negara dan institusi-institusi lain terutama menggunakan symbol salib dalam bendara atau lambang mereka untuk mensimbolkan nilai-nilai Kristiani sebagai dasar identitas negara atau kelompok, meskipun hal ini juga dapat dinilai sebagai penyalahgunaan symbol agama yang “mengatasnamakan Tuhan” demi kepentingan tertentu. Dalam kebanyakan gereja dan negara, pemasangan simbol-simbol negara seperti bendera nasional dalam ruang ibadah atau pada gedung gereja tidak lazim atau bahkan ditolak sama sekali, untuk menekankan pemisahan antara kepentingankepentingan politik dan misi universal gereja.
e. Lilin
Lilin biasanya dinyalakan dalam setiap ibadah, paling tidak pada ibadah-ibadah natal dan ibadah-ibadah paskah (lilin paskah) sebagai simbol Kristus yang hidup dan menjadi “terang dunia” (Yoh 8:12, bdk Yoh 1 dll.). Lilin juga mengingatkan kita pada panggilan untuk menjadi “garam dan terang dunia” (Mat 5:13-16); lilin secara umum bisa menjadi simbol kehidupan manusia yang mengorbankan diri demi panggilannya untuk menerangi kegelapan. Dalam ibadah dukacita lilin juga mewakili kehidupan kekal, bahwa orang yang telah meninggal sekarang adalah di tangan Tuhan. Keempat lilin dalam “krans adven” adalah simbol pengharapan yang menantikan kelahiran terang dunia (dalam minggu pertama adven, satu lilin dinyalakan, dalam minggu kedua dua dst.). Sementara ketujuh lilin dalam “Menorah” (yang juga menjadi symbol agama Yahudi) sering diidentifikasi dengan “ketujuh anugerah Roh” (Yes 11:2; bdk Paulus)
f. Lonceng
Bunyi lonceng adalah simbol perhatian dan panggilan beribadah dan juga mengingatkan akan pengadilan Allah. Lonceng digunakan baik dalam sukacita (paskah, memuji tuhan dalam ibadah...) maupun dukacita (orang meninggal, bencana...). Secara kontekstual, lonceng juga bisa diganti oleh alat musik yang lain, misalnya alat music tiup atau gendang
g. Merpati
Burung merpati dalam tradisi Kristen terutama dipahami sebagai symbol kehadiran Roh Kudus yang mengingatkan kita pada peristiwa baptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis (Mat 3:16 bdk Mrk, Luk dan Yoh). Seekor burung merpati dengan sebuah ranting zaitun telah menjadi simbol universal untuk perdamaian dan mengingatkan pada kisah Nuh (Kej 8:11), di mana sehelai daun zaitun menjadi tanda bahwa air bah telah surut dan simbol untuk perjanjian Allah dengan umat manusia dan segala ciptaan-Nya. Kadang-kadang, dua ekor burung merpati juga digunakan sebagai simbol cinta kasih
h. Minyak
Minyak (minyak zaitun, minyak wangi atau minyak berharga lain) dalam alkitab adalah symbol berkat dan pemberian otoritas oleh Allah misalnya dalam ritus pentahbisan raja Israel. Minyak juga digunakan untuk meminyaki orang mati. Kedua arti ini merupakan latar belakang simbolis waktu Yesus diurapi oleh seorang perempuan (Mat 26:7) dan para perempuan ingin meminyaki jenazah Yesus. Minyak juga mingingatkan kita pada perumpamaan tentang gadis-gadis yang bijaksana dan yang bodoh (Mat 25; minyak untuk pelita sebagai simbol kesiapan untuk kedatangan Yesus). Dalam ibadah (atau pelayanan kepada orang sakit), minyak sebagai simbol berkat kebanyakan digunakan dalam tradisi katolik, tetapi kadangkadang juga dalam ibadah protestan atau ekumenis.
i. Pohon dan Tumbuhan
Pohon secara umum adalah symbol kehidupan dan dalam Alkitab (bersama dengan tumbuhan-tumbuhan lain) sering dihubungkan dengan kehidupan seseorang yang diberkati, sesuai dengan kehendak Allah dan memberi buah. Mendekorasi gereja dengan tumbuhan-tumbuhan hijau maupun bungabunga sebagai tanda kehidupan dan pujian atas keindahan ciptaan Allah adalah suatu hal yang sangat wajar. Daun palem misalnya sebagai symbol penyembahan, syukur dan penghormatan kepada Tuhan mengingatkan kita pada Yesus yang dieluelukan di Yerusalem dengan “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel” (Yoh 12:13). Secara khusus, pada hari natal, gerejagereja maupun rumah-rumah dan tempat umum lainnya dihias dengan pohon-pohon pinus dan rantingranting hijau lainnya, yang dihias dengan lilin, bintang-bintang, buah, kapas sebagai salju dll (“pohon natal”, “pohon terang”...). Pohon pinus adalah simbol lama dalam budaya Eropa untuk kehidupan bahkan di tengah-tengah kondisi yang sulit, karena inilah satusatunya pohon yang daunnya tidak gugur tetapi ia tetap hijau selama musim dingin (musim salju). Simbol non-Kristen ini diangkat oleh tradisi Kristen dan dihubungkan dengan simbol-simbol lain (terang, bintang...) sebagai simbol pengharapan dan kehidupan melalui Yesus Kristus yang lahir di tengahtengah dunia yang gelap dan tidak ramah. Pohon natal bukan semestinya sebuah pohon pinus, tetapi bisa juga pohon lain yang mewakili arti simbolis di atas. Hanya sedikit kontradiktif dengan “simbol kehidupan” jika dipakai pohon yang sudah tidak ada daunnya atau pohon dari plastik.
j. Salib
Salib adalah simbol yang paling terkenal sebagai simbol Kristiani yang menunjuk kepada kematian Yesus Kristus di kayu salib di Golgata. Bentuk historis alat eksekusi tersebut dengan kemungkinan besar adalah bentuk “T” (salib “Tau”), dan kemudian menjadi salib yang kita kenal (biasanya disebut “salib Latin”). Tanda salib atau silang telah dikenal dalam banyak budaya dan agama pra-Kristen dengan berbagai makna, a.l. kekekalan, kesempurnaan atau hubungan kosmis antara dunia dan yang transenden, tetapi juga sebagai tanda perpisahan dll.; Salib dalam tradisi Kristen menjadi simbol kematian dan kehidupan. Salib mencerminkan solidaritas Allah dengan manusia dalam penderitaan dan merupakan puncak.
k. XP
Simbol ini adalah simbol lama untuk Kristus (dan juga untuk orang Kristen) yang dibentuk dari dua huruf pertama nama “Kristus” dalam bahasa Yunani. Simbol ini dalam beberapa variasi kemudian sering disebut “salib/silang Kristus” (“cross of Christ”).
l. Simbol-simbol Adat
Budaya-budaya Indonesia sangat kaya dengan simbol-simbol yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan dan keterikatan dengan yang Ilahi. Praktek Gereja yang kontekstual akan mencoba untuk memahami simbol-simbol tersebut secara mendalam dan melihat maknanya dalam terang Injil. Dengan demikian, kehidupan spiritual akan sangat diperkaya. Hal ini akan melanjutkan tradisi Kristen untuk mengangkat memaknai simbol-simbol non-Kristen guna menemukan ekspresi iman yang otentik dan relevan. Contohnya adalah rumah-rumah adat (mis. Tongkonan dalam budaya Toraja, Baruga dalam beberapa budaya Sulsel, rumah batak, rumah gadang , jambur dsb.) sebagai simbol kerukunan, atau simbol yang digunakan dalam ritus-ritus paguyuban dan rekonsiliasi (mis. lingkaran rotan “Kalosara” dalam adat Tolaki-Mekongga, Tumpengan dalam adat Jawa, binatang �� kurban dalam beberapa tradisi dsb.). Tantangan adalah mentransformasi simbol-simbol tersebut dengan pemahaman yang menerobos eksklusivisme suku, pemahaman magis, dan merespon pada karya keselamatan Allah dalam Yesus Kristus.
Kebanyakan gereja-gereja Kristen di Indonesia mengenal semacam Pakaian Jabatan, yang mereka ambil-alih dari Gereja-gereja partner mereka di Barat. Bentuknya hampir sama semacam toga (= gaun) hitam, yang dipakai dengan “bef” (dasi putih) dan dengan atau tanpa stolla (= kain atau pita lebar dan panjang). Fungsinya tidak begitu jelas. Tetapi dalam praktik Gereja-gereja ini, secara sadar atau tidak sadar menganggapnya sebagai Pakaian Jabatan atau Pakaian Liturgis resmi. Oleh karenanya, setiap orang yang memangku jabatan gerejawi harus memakai pakaian jabatannya pada saat ia melayani dalam pelayanan-pelayanan resmi. Hal ini hanya berlaku bagi Pendeta. Bagi Penatua dan Diaken yang umumnya dianggap “kurang setara” dengan Pendeta dibebaskan dari kewajiban di atas.
Pakaian Jabatan ini telah lazim dalam Gereja-gereja Kristen Katolik dan Kristen Protestan Reformasi, sehingga tidak dirasakan lagi sebagai barang/tradisi asing diimpor dari Barat. Namun demikian, pada beberapa dasawarsa terakhir ini ada gereja, antara lain GPIB, yang tidak puas lagi dengan bentuk pakaian jabatan ini dan hendak menggantikannya dengan bentuk lain. Sayangnya, ketidakpuasan para pemimpin gerejawi di GPIB ini lebih banyak disebabkan alasan-alasan kultural dan bukan alasan teologis.
Bentuknya berbeda-beda, yang satu lebih indah dan lebih mewah daripada yang lain. Juga jumlahnya tidak sama. Untuk perayaan Ekaristi umpamanya, Imam Gereja Ortodoks Yunani lebih banyak memakai “pakaian liturgis” daripada Imam Gereja Katolik. Sebagai contoh, Pakaian Jabatan dalam Gereja Katolik terdiri dari “amictus” (= kain bahu dari lenan, dihiasi dengan salib yang disulam dan diikatkan pada dada, di atas gaun-missa yang sebenarnya), “alba” (= kemeja dari lenan, panjangnya sampai di kaki), “stola” (= pita lebar yang dipakai di atas alba, panjangnya sampai ke lutut), “manipulus” (= pita sutera, tidak begitu lebar, digantungkan pada tangan kiri), “pluviale” (= gaun prosesi gerejawi, dahulu hanya dipakai oleh para Klerus rendah, kemudian juga oleh Klerus tinggi) dan “vesti sacerdotalis” (= gaun missa yang sebenarnya)/toga.
B. WARNA KAIN-KAIN LITURGIS
Warna-warna gerejawi telah lama digunakan dalam ruang ibadah kita, terutama untuk taplak meja, kain di mimbr (antependium), kain panjang di kayu salib (stolla besar) dan stolla yang dikenakan Pelayanan Gerejawi. Gereja memakai kain dalam warna-warna yang bergantian sesuai kalender gerejawi.
1. Putih
Adalah lambang dari warna terang, cahaya lilin, warna bagi peran malaikat Allah, para kudus dan warna bagi Kristus yang dimuliakan. Warna yang melambangkan kekudusan dan kebersihan. Oleh sebab itu warna ini digunakan dalam masa raya yang berkenaan dengan Kristus, misalnya Natal, Paskah, Kenaikan Tuhan Yesus, dan masa raya kesukaan misalnya dalam pelayanan Baptisan dan Perjamuan Kudus. Digunakan juga dari masa Natal sampai Minggu sebelum Epifania/Perjamuan Malam/Perjamuan Tuhan (6 Januari) dan hari raya Paskah hingga sebelum minggu Pentakosta.
2. Ungu (lebih tepatnya violet)
Adalah warna tergelap dalam warna gerejawi yang menunjukan penyesalan dan pertobatan yang sungguh-sungguh. Digunakan pada masa 40 hari sebelum Paskah (Minggu sengsara) dan masa-masa menjelang Natal (Minggu Adventus).
3. Merah
Adalah warna api. Lambang Roh Kudus yang penuh kekuatan. Maka digunakan pada Perayaan Pentakosta. Warna merah juga melambangkan warna darah, kesetiaan sampai mati, iman yang berapi-api sehingga digunakan dalam peringatan Reformasi, penahbisan rumah ibadah, sidhi, peneguhan Pendeta, Diaken dan Penatua. Juga pada peringatan hari Pekabaran Injil, pengutusan pengijil dan hari-hari raya ekumenis.
4. Hijau
Adalah warna komplemen dari merah. Melambangkan penyembuhan, ketenangan dan pertumbuhan iman. Merupakan warna pengharapan. Hijau memberitakan kemurahan hati, keselamatan dari Allah yang menyembuhkan dan memperbaharui. Digunakan pada hari Minggu Trinitas (Minggu pertama sesudah Pentakosta, kecuali masa sengsara, adventus, dan hari raya Kristen lainnya). Merupakan juga makna dari pertumbuhan iman jemaat baru.
5. Merah Muda
Rose, adalah perlemahan dari violet (ungu tua), lambang penyesalan dan pertobatan yang tertahan. Maksudnya, sengsara boleh sementara waktu digantikan dengan senyuman dalam menyongsong Natal dan Paskah. Digunakan pada Minggu adventus ke-3 dan Minggu sengsara ke-5.
6. Hitam
Adalah warna liturgis yang paling kuno. Lambang keputusasaan. Warna ini sudah tidak dipakai lagi. Perlu juga dipertanyakan tentang warna liturgis yang dikenakan Pendeta yaitu Toga hitam. Pemberitaan firman adalah pemberitaan Kristus yang telah menang, sudah selayaknya mereka dibebaskan dari warna kedukaan. Bahkan dalam pelayanan duka (misalnya pelayanan pemakaman jenazah) sekalipun, sebenarnya warna violet(Ungu) lebih baik daripada hitam, karena kita sudah diperbolehkan hidup dalam kemenangan Kristus.
C. BERBAGAI SIMBOL LAIN
a. Alfa dan Omega,
Adalah huruf pertama dan huruf terakhir alphabet Yunani dan biasanya digunakan sebagai simbol kekekalan Allah dan kuasa Kristus dari penciptaan sampai pada akhirat (Why 22:13 Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terkemudian, Yang Awal dan Yang Akhir”). kedua huruf ini sering digabung dengan simbol-simbol lain, misalnya salib (kekekalan karya keselamatan dalam Yesus Kristus) atau Alkitab (kekekalan Firman Allah).
b. Air
Air adalah sumber kehidupan, tetapi sekaligus dapat mengancam kehidupan (banjir, badai di laut...). Air juga berfungsi untuk mencuci atau membersihkan. Dalam Alkitab, simbol ini sering dihubungkan dengan berkata bahwa Allah sebagai sumber mata air, kesegaran atau sumber kehidupan dan keadilan,dan bahwa Yesus memberi air yang hidup (Yoh 4:14). Yesus juga membasuh kaki murid-muridNya dengan air sebagai tanda pelayanan dan pembersihan dari dosa. Murid-muridNya dipanggil untuk berbuat hal yang sama (Yoh 13:15). Namun ritus pembasuhan kaki masih jarang dipraktekkan dalam ibadah protestan. Air menjadi simbol inti sakramen baptisan sebagai tanda penbersihan (dari dosa, dari kuasa maut); “adam lama” ditenggelamkan dalam air baptisan, dan “adam baru” dilahirkan. Air ini juga menjadi tanda penerimaan Roh Kudus yang menyatukan kita dalam tubuh Kristus, dan tanda anugerah Allah yang dikaruniakan kepada kita tanpa prasyarat. Air disini adalah simbol yang membuat kita merasakan apa yang dilakukan oleh Allah sendiri, dan tidak dipahami secara “magis”, sehingga tidak tergantung pada cara atau kuantitas air (hanya tiga tetes “dalam nama Bapa, anak dan Roh Kudus”, atau dengan menenggelamkan seluruh tubuh seperti dipraktekkan dalam gereja mula-mula dan oleh beberapa denominasi sampai sekarang). Baptisan juga tidak berfokus pada formalitas (“masuk Kristen”) atau pertobatan manusia (seperti ditekankan dalam baptisan dewasa), tetapi pada karya keselamatan Allah sendiri (yang tentu saja tidak terbatas kepada mereka yang telah menerima ritual gereja tersebut).
c. Altar
Altar gereja mengingatkan baik pada tempat persembahan korban dalam Perjanjian Lama maupun pada meja perjamuan Paskah Yesus dengan muridmuridnya pada malam sebelum ia disalibkan. penggunaan altar baik sebagai meja perjamuan kudus maupun sebagai tempat persembahan (kolekte) masih mencerminkan makna ganda tersebut. Selain itu, altar biasanya dihias dengan simbol-simbol lain seperti salib, alkitab, lilin, bunga dsb.; Dalam arsitektur gereja, altar sering ditempatkan langsung di depan atau di bawah mimbar untuk menekankan kesatuan antara sakramen (perjamuan kudus/altar) dan firman (khotbah/mimbar).
d. Bendera
Tidak ada bendera khusus yang digunakan sebagai symbol agama kristen, namun banyak negara dan institusi-institusi lain terutama menggunakan symbol salib dalam bendara atau lambang mereka untuk mensimbolkan nilai-nilai Kristiani sebagai dasar identitas negara atau kelompok, meskipun hal ini juga dapat dinilai sebagai penyalahgunaan symbol agama yang “mengatasnamakan Tuhan” demi kepentingan tertentu. Dalam kebanyakan gereja dan negara, pemasangan simbol-simbol negara seperti bendera nasional dalam ruang ibadah atau pada gedung gereja tidak lazim atau bahkan ditolak sama sekali, untuk menekankan pemisahan antara kepentingankepentingan politik dan misi universal gereja.
e. Lilin
Lilin biasanya dinyalakan dalam setiap ibadah, paling tidak pada ibadah-ibadah natal dan ibadah-ibadah paskah (lilin paskah) sebagai simbol Kristus yang hidup dan menjadi “terang dunia” (Yoh 8:12, bdk Yoh 1 dll.). Lilin juga mengingatkan kita pada panggilan untuk menjadi “garam dan terang dunia” (Mat 5:13-16); lilin secara umum bisa menjadi simbol kehidupan manusia yang mengorbankan diri demi panggilannya untuk menerangi kegelapan. Dalam ibadah dukacita lilin juga mewakili kehidupan kekal, bahwa orang yang telah meninggal sekarang adalah di tangan Tuhan. Keempat lilin dalam “krans adven” adalah simbol pengharapan yang menantikan kelahiran terang dunia (dalam minggu pertama adven, satu lilin dinyalakan, dalam minggu kedua dua dst.). Sementara ketujuh lilin dalam “Menorah” (yang juga menjadi symbol agama Yahudi) sering diidentifikasi dengan “ketujuh anugerah Roh” (Yes 11:2; bdk Paulus)
f. Lonceng
Bunyi lonceng adalah simbol perhatian dan panggilan beribadah dan juga mengingatkan akan pengadilan Allah. Lonceng digunakan baik dalam sukacita (paskah, memuji tuhan dalam ibadah...) maupun dukacita (orang meninggal, bencana...). Secara kontekstual, lonceng juga bisa diganti oleh alat musik yang lain, misalnya alat music tiup atau gendang
g. Merpati
Burung merpati dalam tradisi Kristen terutama dipahami sebagai symbol kehadiran Roh Kudus yang mengingatkan kita pada peristiwa baptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis (Mat 3:16 bdk Mrk, Luk dan Yoh). Seekor burung merpati dengan sebuah ranting zaitun telah menjadi simbol universal untuk perdamaian dan mengingatkan pada kisah Nuh (Kej 8:11), di mana sehelai daun zaitun menjadi tanda bahwa air bah telah surut dan simbol untuk perjanjian Allah dengan umat manusia dan segala ciptaan-Nya. Kadang-kadang, dua ekor burung merpati juga digunakan sebagai simbol cinta kasih
h. Minyak
Minyak (minyak zaitun, minyak wangi atau minyak berharga lain) dalam alkitab adalah symbol berkat dan pemberian otoritas oleh Allah misalnya dalam ritus pentahbisan raja Israel. Minyak juga digunakan untuk meminyaki orang mati. Kedua arti ini merupakan latar belakang simbolis waktu Yesus diurapi oleh seorang perempuan (Mat 26:7) dan para perempuan ingin meminyaki jenazah Yesus. Minyak juga mingingatkan kita pada perumpamaan tentang gadis-gadis yang bijaksana dan yang bodoh (Mat 25; minyak untuk pelita sebagai simbol kesiapan untuk kedatangan Yesus). Dalam ibadah (atau pelayanan kepada orang sakit), minyak sebagai simbol berkat kebanyakan digunakan dalam tradisi katolik, tetapi kadangkadang juga dalam ibadah protestan atau ekumenis.
i. Pohon dan Tumbuhan
Pohon secara umum adalah symbol kehidupan dan dalam Alkitab (bersama dengan tumbuhan-tumbuhan lain) sering dihubungkan dengan kehidupan seseorang yang diberkati, sesuai dengan kehendak Allah dan memberi buah. Mendekorasi gereja dengan tumbuhan-tumbuhan hijau maupun bungabunga sebagai tanda kehidupan dan pujian atas keindahan ciptaan Allah adalah suatu hal yang sangat wajar. Daun palem misalnya sebagai symbol penyembahan, syukur dan penghormatan kepada Tuhan mengingatkan kita pada Yesus yang dieluelukan di Yerusalem dengan “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel” (Yoh 12:13). Secara khusus, pada hari natal, gerejagereja maupun rumah-rumah dan tempat umum lainnya dihias dengan pohon-pohon pinus dan rantingranting hijau lainnya, yang dihias dengan lilin, bintang-bintang, buah, kapas sebagai salju dll (“pohon natal”, “pohon terang”...). Pohon pinus adalah simbol lama dalam budaya Eropa untuk kehidupan bahkan di tengah-tengah kondisi yang sulit, karena inilah satusatunya pohon yang daunnya tidak gugur tetapi ia tetap hijau selama musim dingin (musim salju). Simbol non-Kristen ini diangkat oleh tradisi Kristen dan dihubungkan dengan simbol-simbol lain (terang, bintang...) sebagai simbol pengharapan dan kehidupan melalui Yesus Kristus yang lahir di tengahtengah dunia yang gelap dan tidak ramah. Pohon natal bukan semestinya sebuah pohon pinus, tetapi bisa juga pohon lain yang mewakili arti simbolis di atas. Hanya sedikit kontradiktif dengan “simbol kehidupan” jika dipakai pohon yang sudah tidak ada daunnya atau pohon dari plastik.
j. Salib
Salib adalah simbol yang paling terkenal sebagai simbol Kristiani yang menunjuk kepada kematian Yesus Kristus di kayu salib di Golgata. Bentuk historis alat eksekusi tersebut dengan kemungkinan besar adalah bentuk “T” (salib “Tau”), dan kemudian menjadi salib yang kita kenal (biasanya disebut “salib Latin”). Tanda salib atau silang telah dikenal dalam banyak budaya dan agama pra-Kristen dengan berbagai makna, a.l. kekekalan, kesempurnaan atau hubungan kosmis antara dunia dan yang transenden, tetapi juga sebagai tanda perpisahan dll.; Salib dalam tradisi Kristen menjadi simbol kematian dan kehidupan. Salib mencerminkan solidaritas Allah dengan manusia dalam penderitaan dan merupakan puncak.
k. XP
Simbol ini adalah simbol lama untuk Kristus (dan juga untuk orang Kristen) yang dibentuk dari dua huruf pertama nama “Kristus” dalam bahasa Yunani. Simbol ini dalam beberapa variasi kemudian sering disebut “salib/silang Kristus” (“cross of Christ”).
l. Simbol-simbol Adat
Budaya-budaya Indonesia sangat kaya dengan simbol-simbol yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan dan keterikatan dengan yang Ilahi. Praktek Gereja yang kontekstual akan mencoba untuk memahami simbol-simbol tersebut secara mendalam dan melihat maknanya dalam terang Injil. Dengan demikian, kehidupan spiritual akan sangat diperkaya. Hal ini akan melanjutkan tradisi Kristen untuk mengangkat memaknai simbol-simbol non-Kristen guna menemukan ekspresi iman yang otentik dan relevan. Contohnya adalah rumah-rumah adat (mis. Tongkonan dalam budaya Toraja, Baruga dalam beberapa budaya Sulsel, rumah batak, rumah gadang , jambur dsb.) sebagai simbol kerukunan, atau simbol yang digunakan dalam ritus-ritus paguyuban dan rekonsiliasi (mis. lingkaran rotan “Kalosara” dalam adat Tolaki-Mekongga, Tumpengan dalam adat Jawa, binatang �� kurban dalam beberapa tradisi dsb.). Tantangan adalah mentransformasi simbol-simbol tersebut dengan pemahaman yang menerobos eksklusivisme suku, pemahaman magis, dan merespon pada karya keselamatan Allah dalam Yesus Kristus.
D. INTERAKSI
Semoga dengan kita mengetahui berbagai symbol dan makna benda-benda yang ada atau sering digunakan dalam liturgy gereja kita menjadi paham dan mengerti arti dan keguanaan symbol-symbol tersebut. Tuhan Yesus Memberkati. Amin.