Narsisus
Oh, tentunya semua orang tahu dengan kata “narsis”. Kata ini
menjadi gaya atau bahasa yang sering dipakai di setiap kalangan, kecuali
orang yang sangat sangat tua. Bisa dikatakan artinya “suka diri”. Tetapi apakah kita tahu tentang asal mula kata ini?
Kata ini berasal dari seorang tokoh fiksi Yunani yang bernama Narsisus. Singkat cerita, ia merupakan tokoh fantasi yang entah karena kutukan atau kenapa, jika setiap memandang wajahnya sendiri di permukaan air, ia kagum. Ia sangat menyukai dengan ketampanan parasnya. Ia jatuh cinta pada dirinya sendiri. Orang lain tidak ia abaikan. Ia sampai ingin wajahnya itu menjadi nyata sehingga ia bisa memandangnya kapanpun itu. Dan tentu, setelah ia tahu bahwa, ia tidak dapat memiliki wajahnya sendiri (karena memang hanya bayangannya saja di air), ia menjadi stress dan mengalami keterpurukan dalam hidupnya. Terakhir ia berkata sambil memandang mesra ke permukaan air, “Selamat tinggal, wajah yang aku cintai dengan sia-sia!” Lalu maut menjemputnya.
Pelajaran yang dapat diambil adalah mencintai diri sendiri itu baik tapi asal jangan sampai berlebihan. Kita tidak dapat meminta wajah kita secantik atau setampan siapa, tubuh kita apakah proporsional atau tidak ataupun kehidupan kita seperti apa kepada Tuhan. Karena hidup kita itu benar-benar ditentukan dan diatur oleh Tuhan sendiri. Kita hidup di Negara apa, jenis kelamin apa, berapa bersaudara, memiliki karakter yang bagaimana, dan lain-lain.
Yang perlu kita lakukan adalah bersyukur dengan segala apa yang ada pada diri kita, mau seperti apapun itu. Lalu mengembangkannya agar serupa dengan panutan hidup kita, Yesus Kristus. Mencari tahu mengapa kita bisa ditempatkan dan hidup di dunia seperti ini.
Kita tahu bahwa manusia memiliki 4 karakter (Sanguinis, Melankolis, Koleris, Phlegmatis) syukurilah itu apabila kita memiliki salah satu karakter, karena masih banyak di luar sana orang yang tidak waras atau gila serta kelainan sejak lahir (contohnya autisme).
Kita tahu bahwa ada orang yang bertubuh tinggi, pendek, gemuk, kurus, pesek, mancung, mata minus/plus, normal. Syukurilah itu, karena orang di luar sana banyak yang tidak punya tangan atau kaki, cebol atau gigantisme, obesitas (kegemukan) atau kekurusan (kurang gizi), buta, lumpuh, dan lain-lain! Kita patut menjaga dan merawat tubuh kita dengan baik apabila diberikan oleh Tuhan tubuh yang normal, sehingga tidak sakit dan menyinyiakannya, kemudian meperhatikan kesehatan dengan makan-makanan yang bergizi, menghindarkan dari segala apapun yang membuat diri kita menjadi rusak.
Nah, bila paras kita cantik / tampan, kita bertubuh normal, memiliki banyak talenta yang orang lain tidak dapat lakukan. Lalu, kita jarang berbuat dosa, banyak melakukan firman Tuhan dengan baik, pokoknya sempurna dah. Kemudian oleh karena ini kita begitu mencintai diri kita, Bukannya bersyukur karena Tuhan yang mengizinkan itu terjadi, malah sombong dan berpikir bahwa itu usaha sendiri. Maka kita itu seperti kaum farisi, mereka berdoa bersyukur karena bisa taat beribadah, tidak seperti pencopet/perampok, pembunuh, atau orang-orang jahat. Apakah yang Tuhan rasakan? Tuhan mengecam orang seperti itu, Tuhan jijik dengan orang yang seperti itu. Dan kita harus sadar diri akan hal itu.
Intinya adalah mari kita bersyukur / tidak usah bersungut-sungut maupun iri dengan keadaan orang lain, tetapi kita juga tidak boleh bangga apabila diri kita lebih baik dari orang lain. Akan tetapi saling membantu, saling mendorong untuk serupa dengan Tuhan kita, Yesus Kristus. Amin
Amsal 31:30a
“Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia” tetapi orang yang inner beauty-nya memancar karena sungguh takut akan Tuhan karena perbuatanNya yang luar biasa dan ajaib, dipuji-puji.
Kata ini berasal dari seorang tokoh fiksi Yunani yang bernama Narsisus. Singkat cerita, ia merupakan tokoh fantasi yang entah karena kutukan atau kenapa, jika setiap memandang wajahnya sendiri di permukaan air, ia kagum. Ia sangat menyukai dengan ketampanan parasnya. Ia jatuh cinta pada dirinya sendiri. Orang lain tidak ia abaikan. Ia sampai ingin wajahnya itu menjadi nyata sehingga ia bisa memandangnya kapanpun itu. Dan tentu, setelah ia tahu bahwa, ia tidak dapat memiliki wajahnya sendiri (karena memang hanya bayangannya saja di air), ia menjadi stress dan mengalami keterpurukan dalam hidupnya. Terakhir ia berkata sambil memandang mesra ke permukaan air, “Selamat tinggal, wajah yang aku cintai dengan sia-sia!” Lalu maut menjemputnya.
Pelajaran yang dapat diambil adalah mencintai diri sendiri itu baik tapi asal jangan sampai berlebihan. Kita tidak dapat meminta wajah kita secantik atau setampan siapa, tubuh kita apakah proporsional atau tidak ataupun kehidupan kita seperti apa kepada Tuhan. Karena hidup kita itu benar-benar ditentukan dan diatur oleh Tuhan sendiri. Kita hidup di Negara apa, jenis kelamin apa, berapa bersaudara, memiliki karakter yang bagaimana, dan lain-lain.
Yang perlu kita lakukan adalah bersyukur dengan segala apa yang ada pada diri kita, mau seperti apapun itu. Lalu mengembangkannya agar serupa dengan panutan hidup kita, Yesus Kristus. Mencari tahu mengapa kita bisa ditempatkan dan hidup di dunia seperti ini.
Kita tahu bahwa manusia memiliki 4 karakter (Sanguinis, Melankolis, Koleris, Phlegmatis) syukurilah itu apabila kita memiliki salah satu karakter, karena masih banyak di luar sana orang yang tidak waras atau gila serta kelainan sejak lahir (contohnya autisme).
Kita tahu bahwa ada orang yang bertubuh tinggi, pendek, gemuk, kurus, pesek, mancung, mata minus/plus, normal. Syukurilah itu, karena orang di luar sana banyak yang tidak punya tangan atau kaki, cebol atau gigantisme, obesitas (kegemukan) atau kekurusan (kurang gizi), buta, lumpuh, dan lain-lain! Kita patut menjaga dan merawat tubuh kita dengan baik apabila diberikan oleh Tuhan tubuh yang normal, sehingga tidak sakit dan menyinyiakannya, kemudian meperhatikan kesehatan dengan makan-makanan yang bergizi, menghindarkan dari segala apapun yang membuat diri kita menjadi rusak.
Nah, bila paras kita cantik / tampan, kita bertubuh normal, memiliki banyak talenta yang orang lain tidak dapat lakukan. Lalu, kita jarang berbuat dosa, banyak melakukan firman Tuhan dengan baik, pokoknya sempurna dah. Kemudian oleh karena ini kita begitu mencintai diri kita, Bukannya bersyukur karena Tuhan yang mengizinkan itu terjadi, malah sombong dan berpikir bahwa itu usaha sendiri. Maka kita itu seperti kaum farisi, mereka berdoa bersyukur karena bisa taat beribadah, tidak seperti pencopet/perampok, pembunuh, atau orang-orang jahat. Apakah yang Tuhan rasakan? Tuhan mengecam orang seperti itu, Tuhan jijik dengan orang yang seperti itu. Dan kita harus sadar diri akan hal itu.
Intinya adalah mari kita bersyukur / tidak usah bersungut-sungut maupun iri dengan keadaan orang lain, tetapi kita juga tidak boleh bangga apabila diri kita lebih baik dari orang lain. Akan tetapi saling membantu, saling mendorong untuk serupa dengan Tuhan kita, Yesus Kristus. Amin
Amsal 31:30a
“Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia” tetapi orang yang inner beauty-nya memancar karena sungguh takut akan Tuhan karena perbuatanNya yang luar biasa dan ajaib, dipuji-puji.