Sunday, 23 February 2014

PENDETA SEBAGAI TELADAN




 Oleh ; Budianto Sianturi



Apakah Pendeta itu Enak, apakah hanya sekedar ganti baju , mengejar jabatan atau pelayanankah? Atau ada hal lainnnya. Mungkin itu sepintas bayangan dari orang-orang atau bisa saja ada yang bilang menjadi Pendeta itu enak, tenang satu kali seminggu berkhotbah dapat balanjo, disediakan rumah dinas dan inventarisasi lainnya,  terhormat, dituakan , disanjung  dsb. Dalam Tulisan ini  saya akan mengangkat bagaimana sebenarnya Tugas Pendeta, adalah tugas dan tanggung jawab yang sangat besar, kalau kita lihat dari Agenda HKBP butir butir tugas dan panggilan pendeta yang merangkup semua ruang lingkup tanggung jawabnya

Ada banyak tugas (red. tanggungjawab) seorang Pendeta yang dirumuskan dalam 7 point di Agenda HKBP. Saya tidak akan memaparkan semuanya disini tapi secara garis besar Pendeta harus menjadi Gembala yang baik bagi jemaat, panutan, menolong anak-anak,, remaja , dewasa, lansia, menolong orang miskin, motivator, counselor, pengkhotbah, dll. menurut pengamatan pribadi saya tidak mampu melakukan semua ini dengan kemampuan atau kekuatan sendiri. Saya sadar manusia yang lemah, tidak layak, tidak kuat, tidak bisa menjadi teladanlah, namun harus di penuhi oleh Roh Kudus, supaya dapat menjalankan semuanya itu


 Kami dilangsungkan pada tanggal 22 Desember 2013  di HKBP Cinere Resort Cinere , Distrik VIII Deboskab. Ini penantian yang dapat dikatakan relativ panjang karena Test Seleksi LPP III samapai pada Tanggal Penahbisan 3 Bulan, yaitu September – Desember, dan memang sangat menyibukkan sekali  dan juga karena kondisi saat itu adalah Masa-masa Advent dan Natal. Disatu sisi mempersiapkan Natalan di Gereja yang dilayani, disatu sisi lagi memikirkan tarnsportasi , karena jarak kotanya lumayan jauh- Sumut- Jawa. Namun Puji Tuhan semua bias teratasi dengan Kuasa Tuhan ( Tuk do Tuhanta Patupahon angka naringkoti) , Sude do Tupa sian keberangkatan sampai kembai pulang ke Gereja tempatt pelayanan. ( Basa do Tuhani) . Terimakasih Tuhan Engkau telah memberikan apa yang perlu bagi hambamu, saya dan kawan kawan seangkatan pasti mengamininya.  Terimakasih Juga buat Jemaat Yang memberangkatkan kami, secara khusus kepada Jemaat HKBP Wahidin Baru, Resort Wahidin Baru, Majelis dan Pendeta Resort, yang telah memberangkatkan dengan doa. Pada Orangtua, sanak dan Famili tentunya Jauh Sebelum Penahbisan saya bertanya dalam hati ? apakah saya layak menjadi seorang pendeta? Bergumul, dan bergumul. dengan tanggung jawab yang begitu besar. apakah saya bias? Melayani Sebagai Guru Jemaat selama + 15 Tahun apakah itu bukan merupakan suatu jaminan kepastian untuk menerima Tahbisan yang baru itu. Itu menjadi pergumulan yang hebat dalam sanubari saya.   Pasti Pelayanan selama ini akan sangat membantu saya dalam estafet pelayanan kemudian .Dari akhir pergumulan yang hebat tersebut saya hanya mampu berdoa : Tuhan. Bila Engkau Melayakkan, itu akan menjadi Layak. layakkan aku Tuhan menjadi hambaMu, layakkan aku Tuhan menjadi gembala di jemaatMu, layakkan aku Tuhan menjadi seorang Pendeta. Kuatkan aku ditengah pergumulanku dan Engkaulah yang senantiasa menguatkanku... terimakasih Tuhan, berkati dan sucikanlah aku oleh darah putraMu Tuhan Yesus Kristus. Ditengah pergumulan itu saya teringat akan Perkataan Nabi Yesaya Karena itu inilah aku.. utuslah aku Tuhan. Memang tugas Pendeta sangat berat namun sunggguh mulia karena semuanya diberi olah Allah sendiri. Menjadi Raja, Nabi, Imam adalah jabatan Kristus yang diembankan kepada seorang Pendeta. Ini sungguh berat..tapi saya bersyukur Tuhan mau memanggil dan memilih kami  menjadi hambaNya bukan karena kuatku, kelayakanku atau hikmatku tapi oleh karena anugerahNya yang besar. Dan dalam Tulisan Ini saya mencoba menuliskan Apakah Sebenarnya Peran dan Tugas Pendeta Itu?

ARTI DAN MAKNA SPIRITUALITAS BAGI PENDETA
Dalam Sebuah Artikel Pdt Midian KH Sirait M.Th Menuliskan
Sukidi dalam buku New Age-nya mengutip perkataan Schumacher penulis buku Small Is Beautiful : “Segala krisis justru berangkat dari krisis spiritual dan krisis pengenalan diri kita terhadap yang absolut, Tuhan”. Kalau kita renungkan perkataan ini ada benarnya. Tidak dapat dipungkiri, bahwa Gereja menginginkan supaya Pendetanya berpendidikan tinggi, namun bukan hanya itu satu-satunya yang menjadi syarat utama, tetapi disamping itu harus memiliki spiritualitas ataupu “Marpartondion”. Apabila seseorang Pendeta tidak memiliki spiritualitas yang tinggi akan berakibat fatal terhadap diri, tugas pelayanannya, juga terhadap gereja kita. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita memelihara dan meningkatkan hidup spiritualitas kita sebagai Pendeta yang mengandung arti dan makna penting bagi diri, tugas kita sebagai pelayan, mencakup hubungan kita sesama pelayan. Tidak baik kalau kita hanya menggembalakan anggota jemaat melalui kotbah dan pengajaran, tetapi tidak menggembalakan diri kita sendiri dalam arti tidak memelihara dan meningkatkan hidup spiritualitas kita. Dalam Matius 7 : 29 dikatakan; “Sebab Ia (Yesus) mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat-Ai marsahala do pangajarionna…!”. Yesus ‘marsahala’ karena kotbahNya sepadan dengan hidupNya.
Kalau tidak salah mengingat, itulah sebabnya ompui DR.J.Sihombing(+) pernah mengatakan; “Jamitana i do dihangoluhon, jala ngolunai do dijamitahon”. Banyak hal-hal yang menyebabkan seseorang hamba Tuhan jatuh. Salah satu diantaranya ialah karena dia tidak memiliki spiritualitas yang tinggi, dan tidak memiliki iman yang tangguh sehingga tidak mampu mengendalikan diri dan hawa nafsunya. Memang kita bukan manusia sempurna, tetapi setidaknya kita seharusnya menampilkan seperti itu. Demikian dikatakan oleh Merlin Carothers. Oleh karenanya, sebagai seorang Pendeta yang memiliki spiritualitas yang tinggi kita harus bisa menampilkan diri kita sebagai TELADAN.
Dalam Tata Kebaktian Penahbisan Pendeta dikatakan ; …..Hendaklah menjadi teladan bagi mereka yang dipercayakan bagi saudara. Pendeta tua dapat menempatkan diri mereka sebagai teladan kepda yang lebih muda, dan pendeta yang muda bersikap hormat kepada yang lebih tua misalnya. Supaya kita dapat menjadi teladan, kita harus memandang kepada Yesus, dimana Dia datang bukan untuk dilayani tetapi melayani (Mat.20 : 28, Mark.10 : 45) Selanjutnya, sebagai hamba Tuhan, kita harus mampu menampilkan diri kita sebagai ‘pelopor kasih’. Ompui DR.J.Sihombing(+) dalam ceramahnya pada rapat Pendeta mengutip ucapan Martin Luther; “Ia holong, ido puncu, ido mual ni nasa na targoar hadaulaton”. Didok muse; Sahalak Pandita na so adong holong ido na gabe basir-basir di dirina, ulaonna pe ndang tagamon marparbue. Ai nang pe godang halojaonna, godang parbinotoanna, malo marorganisasi, magopo do sudenai molo so adong holong. Kemudian seorang Pendeta harus mampu menunjukkan sikap yang penuh kerendahan hati. Ketika Yesus membasuh kaki murid-muridNya dengan sukarela dan rendah hati Dia mengambil peran seorang hamba (Yoh.13 : 1-7). Hal ini merupakan contoh bukan saja hanya kepada murid-muridNya tetapi juga kepada para Pendeta. Bagaikan seorang pelayan yang menghidangkan makanan di atas meja, demikianlah Pendeta menghidangkan makanan rohani anggota jemaat melalui pemberitaan firman Tuhan Allah.
TERCIPTANYA HUBUNGAN YANG HARMONIS ANTAR PELAYAN
Sejak dahulu sudah merupakan suatu kommit, bahwa hubungan sesama Pendeta HKBP adalah didalam hubungan “PARHAHAMARANGGION” tanpa memandang latar belakang kehidupan dan pendidikan. Hal ini perlu mendapat perhatian dari kita bersama; apakah masih tebal ‘parhahamaranggion’ atau apakah sudah semakin menipis (erosi). Tidak dapat dipungkiri, bahwa kadar spiritualitas seorang Pendeta sangat menentukan bagaimana dia bersikap kepada temannya Pendeta juga kepada sesama teman pelayan lainnya, apakah dia tinggal di kota metropolitan, kota dan semi kota, di huta-huta atau di pispisri. Apabila seseorang Pendeta memiliki spiritualitas yang tinggi, dia itu tidak pernah melihat dirinya lebih hebat atau lebih super dari temannya (Band.Pil.2 : 3), melainkan jauh dari segala bentuk kesombongan, keangkuhan, dan kecongkakan yang adalah merupakan racun didalam pergaulan. Selanjutnya, seorang Pendeta hendaknyalah memiliki spiritualitas yang tinggi yang didalamnya terkandung kerendahan hati. Dan didalam kerendahan hati sesama Pendeta ataupun sesama pelayan dapat saling menerima, saling menghargai, dan saling menghormati, sehingga terciptalah hubungan yang harmonis antar pelayan. Sehingga secara tidak langsung hilanglah anggapan orang; Ai so binoto be angka pandita on, ai nasida pe ndang sada be, ndang masihormatan be, isara na umposo tu na matua, jala nunga olo masiparoaan. Walaupun ada anggapan seperti itu, semuanya itu akan hilang apabila setiap Pendeta tetap menjaga dan memelihara hubungan ataupun parhahamaranggion yang harmonis.
Disinilah perlunya peningkatan hidup spiritualitas bagi seorang Pendeta. Kemudian di pihak lain, Yesus menunjukkan persaudaraan yang lebih dekat karena firman Allah daripada persaudaraan karena hubungan darah (Luk.8 : 18-21). Hal ini memberikan suatu gambaran bagi kita; Alangkah indahnya hubungan sesama pelayan apabila didasari dan dilandasi kedekatan kepada Tuhan melalui penghayatan yang mendalam akan firmanNya yang intinya adalah kasih. Apabila para Pendeta memiliki hidup spiritualitas atau hidup kerohanian yang tinggi-marpartondion, sudah barang tentu hubungan kita sesama Pendeta ataupun antar pelayan akan diikat cinta kasih, dan kita jauh dari saling menjelek-jelekkan, tetapi sebaliknya saling mencintai, seperasaan-sapangkilalaan, solidaritas atau kesetiakawanan semakin nampak dan nyata. ( Catatan : Sebuah Artikel dari Pdt Midian KH Sirait M.Th)
Antara Pendeta dengan Kecerdasan, Motivasi, Gambaran Diri, dan Frustasi
Seorang pendeta bukan hanya menjadi seorang pelayan atau orang yang berbicara tentang Alkitab dari mimbar kemimbar atau rumah kerumah, namun pendeta memiliki ruang lingkup penugasan yang lebih dari pada itu. Pendeta adalah seorang pemimpin sekaligus guru bagi jemaatnya. Ia harus mampu untuk melayani sekaligus memimpin dan mengajar jemaatnya mengenai kebenaran Firman Tuhan, perilaku yang benar, cara bersikap, berpikir dan berkata-kata. Pendeta juga harus menjadi teladan bagi banyak orang, tak peduli berapapun usia sang pendeta, masih muda ataukah ia sudah tua, yang jelas ia harus bisa menjadi teladan, bersikap dewasa, mampu berpikir secara matang, dan memiliki akhlak moral serta budi pekerti yang baik. Mungkin hal ini kedengarannya sangat menuntut dan sepertinya berat, namun sekali lagi yang harus diingat oleh seorang pendeta bahwa ia adalah seorang pemimpin, seorang guru, seorang sahabat, dan seorang gembala untuk jemaat-jemaatnya.
Oleh karena itu ada banyak hal yang harus diketahui dan dimiliki oleh seorang pendeta, diantaranya adalah kecerdasan, motivasi, gambaran diri, dan frustrasi.
  • Kecerdasan
Kecerdasan merupakan suatu kemampuan seorang individu dalam memahami dan mengerti mengenai berbagai hal yang ada di sekitarnya ataupun juga yang dialaminya. Kecerdasan ini dapat dipengaruhi oleh hal-hal dari dalam dan luar diri individu itu sendiri. Kecerdasan bisa juga merupakan suatu pembawaan sejak kecil namun juga bisa didapat ketika telah berlatih untuk menjadi pandai/cerdas. Pada hakikatnya, kecerdasan ada pada tiap orang, tergantung mereka mau tidaknya untuk mengelola dan mengembangkan kecerdasan yang mereka miliki itu. Untuk seorang pendeta, hendaknya ia juga memiliki kecerdasan, karena itu akan sangat membantu dalam karya pelayanannya.
Menurut saya, ada beberapa jenis kecerdasan yang bermanfaat bagi seorang pendeta, yakni :
  1. Kecerdasan Linguistik.
         Merupakan kecerdasan dalam mengolah kata. Komponen intinya adalah kepekaan terhadap bunyi, struktur, makna fungsi, kata, dan bahasa. Kecerdasan ini sangat berkaitan dengan kemampuan membaca, menulis, berdiskusi, beragumentasi, dan berdebat serta mahir dalam mengingat fakta.
         Seorang pendeta sangatlah memerlukan kecerdasan ini, karena dengan memiliki kecerdasan ini, ia akan dengan sangat mudah dapat untuk menyusun kata-kata dalam khotbahnya maupun ketika ia diminta untuk menulis sebuah renungan. Jika ia sudah memiliki kecerdasan ini, hendaklah agar ia terus mengasah dan mengembangkannya.
  1. Kecerdasan Logis-Matematis.
         Merupakan kecerdasan dalam angka dan logika serta kemampuan mengolah alur pemikiran yang panjang. Berkaitan dengan kemampuan berhitung, nalar, dan berpikir logis. Berfikir dengan pola sebab-akibat, menciptakan hipotesis, mencari keteraturan konseptual atau pola numerik, dan memecahkan masalah.
         Kecerdasan ini membantu seorang pendeta untuk dapat berpikir secara logis dan sistematis. Ketika ia memiliki kecerdasan ini, segala sesuatu akan dipaparkan secara logis, kritis, terkonsep, dan masuk akal.
  1. Kecerdasan Spasial.
         Kecerdasan Spasial adalah kemampuan seseorang untuk melihat secara rinci gambaran visual yang terdapat disekitarnya. Mereka mempunyai kepekaan tajam terhadap detail visual, menggambarkan sesuatu dengan begitu hidup dengan mudah menyesuaikan orientasi dalam ruang tiga dimensi dan juga dalam hal desain.
         Pendeta yang memiliki kecerdasan yang satu ini akan menjadi sangat mudah ketika ia harus menghubungkan khotbahnya dengan realitas masa kini. Ia dapat menggambarkan apa yang sedang terjadi di dalam kehidupan berjemaat dengan terperinci, sehingga kebutuhan jemaat mengenai kerelevansian Firman Tuhan dengan masa sekarang dapat terjawab.
  1. Kecerdasan Musikal.
         Kecerdasan Musikal adalah kepekaan dan kemampuan menciptakan dan mengapresiasikan irama, pola titik nada dan warna nada serta apresiasi untuk bentuk ekspresi emosi musikal. Mempunyai kepekaan tajam terhadap nada, dapat menyanyikan lagu dengan tepat, dan dapat mengikuti irama musik.
         Pendeta sebagai pemimpin jemaat juga harus bisa memimpiin jemaat dalam menyanyi, oleh karena itulah, kecerdasan musikal merupakan kecerdasan yang sangat di perlukan oleh setiap pendeta (walaupun tidak setiap pendeta memiliki kecerdasan ini).
  1. Kecerdasan Antar Pribadi (Interpersonal).
         Pendeta adalah orang yang banyak berinteraksi dalam kehidupan pelayanannya, ia akan berinteraksi dengan berbagai lapisan masyarakat, tua muda, miskin kaya. Oleh karena itu, ia harus bisa untuk menjadi pribadi yang menyenangkan bagi setiap orang yang berinteraksi dengannya. Kecerdasan ini menuntut kemampuan untuk menyerap dan tanggapan terhadap suasana hati, perangai, niat dan hasrat orang lain ketika sedang melakukan interaksi.
  1. Kecerdasan Intra Pribadi (Intrapersonal).
         Kecerdasan Intra Pribadi (Intrapersonal) adalah kecerdasan dalam diri sendiri, hal ini diperlihatkan dalam bentuk kemampuan dalam membangun persepsi yang akurat tentang diri sendiri dan menggunakan kemampuan tersebut dalam membuat rencana dan mengarahkan orang lain.
         Pendeta bukan saja bisa dipengaruhi oleh orang disekitarnya, namun ia juga harus bisa untuk mempengaruhi orang yang ada disekitarnya. Oleh karena itulah, ia harus menjadi teladan bagi orang disekitarnya, sehingga ia bisa membawa pengaruh dirinya yang baik dan menularkannya bagi orang lain.
     Kecerdasan lainnya yang dipandang perlu adalah
  1. Kecerdasan Spiritual
         Ia harus memiliki kecerdasan spiritualitas, artinya ia harus benar-benar mantap dalam relasi atau hubungan pribadinya dengan Tuhan. Hal ini penting dan wajib utnuk dimiliki oleh karena pendeta merupakan pemimpin rohani jemaat dan ia menuntun atau membentuk spiritulitas jemaatnya, sehingga sebelum ia melakukan itu, ia harus terlebih dahulu memiliki spiritual yang baik.
  1. Kecerdasan Emosi
         Ketika seseorang sudah lepas dari bangku pendidikan, IQ dinyatakan hanya memiliki peranan kecil jika dibandingkan dengan EQ. Seorang pendeta sekalipun, ia tidak hanya harus pintar secara intelektual, namun ia juga harus pintar dalam mengendalikan emosinya. Mungkin kecerdasan emosi ini berkaitan dengan kecerdasan antar pribadi, yakni mengenai bagaimana seseorang dalam berinteraksi dengan sesamanya.
Jemaat tentu akan senang  memiliki pendeta  yang memiliki kecerdasan tinggi, karena dengan demikian pelayanannya akan penuh kuasa dan wibawa sebab dalam ia berbicara atau berinteraksi ditengah jemaat, ia akan berbicara secara logis, rasional, sistematis, dan dapat di percaya. Ia juga memiliki berbagai keahlian atau kemampuan yang dapat diandalkan (Amsal 8:12 “Aku, hikmat, tinggal bersama-sama dengan kecerdasan, dan aku mendapat pengetahuan dan kebijaksanaan” ).
Namun itu saja tidak cukup, aspek intelektualnya itu dibutuhkan untuk mendukung  dan menopang layanan spiritual/ rohaninya. Pada hakikatnya, seorang pendeta adalah pemimpin jemaat, ia adalah pemimpin rohani bagi jemaat. Oleh sebab itu, ia juga wajib untuk memiliki cerdas spiritualitas, sebab sebagai pemimpin  spiritual/ rohani, maka hal-hal   spiritual dan rohanilah yang perlu tampil dari dalam diri pendeta (ia terlebih dahulu harus seperti yang di katakan dalam II Korintus 5:17 Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.)
Selain itu juga, ia harus cerdas dalam mengendalikan emosinya sebagaimana yang dikatakan dalam Yakobus 1:19 “Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah”.
Demikianlah pentingnya kecerdasan bagi seorang pendeta sebagai pemimpin jemaat. Ada banyak jenis kecerdasan yang bisa dikuasai oleh pendeta untuk menunjang pelayanannya, namun dua hal yang sangat vital yakni, emosi dan spiritualitas.

  • Motivasi
Motivasi adalah pendorong bagi manusia untuk melakukan sesuatu/perbuatan (motif). Dengan motivasi, seseorang dapat menjadi bersemangat untuk melakukan apa yang harus ia lakukan. Tindakan motivasi memiliki tujuan untuk menggerakkan atau menggugah seseorang agar timbul keinginan dan kemauan untuk melakukan sesuatu hingga dapat memperoleh hasil atau mencapai tujuan tertentu.
Pendeta sebagai  motivator jemaat akan membawa perubahan bagi jemaat dan dalam kehidupan warga jemaat. Kata atau kalimat yang diucapkan, baik dalam pembelajaran atau dalam interaksi sehari-hari,  memiliki dampak dan pengaruh yang besar bagi warga jemaat. Sebab kata-kata yang diucapkan tersebut memiliki energi, kekuatan dan kuasa yang kuat untuk membuat seseorang tergerak hatinya.
Menurut saya pribadi, ada tiga hal yang perlu untuk diketahui mengenai motivasi ini bagi seorang pendeta :
  1. Pendeta punya motivasi
       Maksudnya disini adalah seorang pendeta harus memiliki motivasi pribadi tentang mengapa ia ingin menjadi pendeta, mengapa ia ingin melayani. Waktu yang tepat untuk merumuskan motivasi ini adalah ketika ia masih berada di bangku kuliah dan kemudian diperbarui pada saat awal ia melayani. Mengapa pendeta harus memiliki motivasi pribadi? Hal ini agar ia dapat bersemangat untuk melakukan pelayanannya, misalnya saja motivasi pribadi seorang pendeta adalah “hidup jadi berkat, mati masuk surga”, motivasi inilah yang akan membuat ia bersemangat melayani, berusaha menjadi teladan, berbuat kebaikan, menaati perintah Tuhan, meningkatkan spiritualitasnya, dan sebagainya.
  1. Pendeta memotivasi
       Sebagai seseorang yang memiliki posisi dihormati adalah suatu kewajiban seorang pendeta untuk bisa memotivasi orang-orang disekitarnya. Memotivasi dari segenap lapisan jemaatnya (anak-anak, remaja, pemuda, ibu-ibu, bapak-bapak, lansia), dan mungkin bukan dalam ruang lingkup jemaatnya saja, namun menyebar keluar dari jemaat (termasuk orang-orang yang memeluk agama lain).
  1. Pendeta dimotivasi
       Satu hal yang perlu disadari oleh jemaat, pendeta bukan manusia super ataupun robot, akan ada waktunya ia mengalami putus asa, kebosanan, kejemuan, pergumulan, permasalahan bahkan juga krisis rohani. Disaat inilah ia juga butuh untuk dimotivasi oleh orang-orang terdekatnya (keluarga, penatua/diakon, dan jemaat), sehingga ia menjadi bersemangat kembali dalam melakukan pelayanannya.
Demikianlah, pentingnya motivasi itu dalam kehidupan seorang pendeta. Garis besarnya ialah ia harus bisa memotivasi orang lain seperti yang dikatakan dalam Titus 3:8 “Perkataan ini benar dan aku mau supaya engkau dengan yakin menguatkannya, agar mereka yang sudah percaya kepada Allah sungguh-sungguh berusaha melakukan pekerjaan yang baik” dan ia juga memerlukan motivasi dari orang-orang disekitarnya, sebagaimana yang dikatakan kitab Galatia 6:2a “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu”.
  • Gambaran Diri
Gambaran diri adalah mengenai bagaimana seseorang menganggap atau memandang dan merasakan tentang dirinya sendiri. Gambaran diri seseorang mengandung dua hal yakni perasaan seseorang terhadap dirinya sendiri yang disadari dan yang tidak disadari. Gambaran diri adalah tanggapan dan perasaan individu tentang siapa, apa, dan dimana sebenarnya dia berada. Gambaran diri biasa juga disebut dengan citra diri.
Gambaran tersebut bisa berupa yang sebenarnya, bisa juga hanya sekedar harapan atau citraa diri yang diharapkan atau yang diinginkannya. Apapun gambaran tersebut, itu pasti akan mempengaruhi tingkah lakunya sehari-hari.
Seorang pemimpin jemaat yang baik haruslah memiliki konsep yang kuat dan jelas mengenai gambaran dirinya. Siapakah saya? Itu adalah pertanyaan yang harus ia tanyakan dan jawab. Ia harus dapat menilai dirinya sendiri menurut apa yang ia rasakan. Dengan menetapkan konsep yang kuat dan jelas mengenai gambaran dirinya, maka secara otomatis dari dalam dirinya pasti akan keluar respon terhadap keinginan dan tujuan tersebut.
Ketika gambaran dirinya yang ia tanamkan didalam dirinya adalah gambaran yang negatif, maka secara otomatis respon yang hadir adalah respon yang negatif pula. Karena gambaran diri kita sendiri, kita sendiri pula yang mengonsepnya. Sehingga dengan gambaran yang ia dapatkan ia dapat menilai kelebihan dan kekurangan dalam dirinya. Kelebihan tersebut dapat ia kembangkan lagi dan kekurangan tersebut dapat ia singkirkan, sehingga ia benar-benar dapat menjadi seorang pelayan yang berkarakter dan dapat diandalkan. Gambaran diri yang benar akan memudahkannya dalam berinteraksi dengan orang lain dan dalam pergaulan serta pelayanannya.
Selain itu, seorang pendeta dituntut untuk terus membentuk gambaran diri yang baik pada dirinya, karena ia adalah teladan untuk jemaat yang dilayaninya. Ada pernyataan yang mengatakan “perbuatan berbicara lebih keras daripada perkataan”, demikian pulalah yang berlaku dalam kehidupan pelayanan. Seseorang pendeta akan dihormati bukan hanya karena ia cerdas dan berwibawa, namun juga dari perbuatannya setiap hari. Tidak ada gunanya titel sarjana S.Th, M.Min, M.Th, M.Div, dan titel lainnya jika perbuatannya setiap hari bukan perbuatan yang baik dan sesuai dengan perintah Tuhan.
Seperti yang dikatakan oleh Paulus kepada Timotius “Jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.” (I Timotius  4:12), demikianlah juga berlaku untuk kita. Gambaran diri kita haruslah gambaran diri yang baik dan bukan hanya sekedar gambaran diri, namun dapat kita aplikasikan dalam kehidupan kita hari lepas hari.
Gambaran diri bukan hal mutlak yang tidak bisa diubah. Jika kita mau, kita masih bisa untuk mengubah gambaran diri kita, semua tergantung pada kita, karena gambaran diri adalah konsepsi kita sendiri.
Bahkan Isteri Pendeta pun Harus mempunyai Peranan yang sangat Penting di sini ada sebuah puisi tentang Isteri Seorang Pendeta
Istri Seorang Pendeta

Ada seorang pribadi di dalam gereja kami
Seseorang yang mengenal kehidupan pengkotbah kami
Seseorang yang menangis, dan tersenyum dan berdoa bersamanya
Dan ia adalah istri seorang pendeta

Banyak orang yang telah melihatnya dalam kekuatannya
Ketiga memegang pedang Allah yang tajam
Di bawah naungan panji Allah
 Dia menghadapi gerombolan iblis

Tetapi jauh di dalam hatinya,  wanita itu mengetahuinya
Waktu yang jarang didepan
Dia membantu pendeta untuk mendoakan agar kemuliaan turun
Di balik pintu yang tertutup

Dia mendengar rintihan pendeta di dalam jiwa pendetanya
Ketika kepahitan mengamuk,
Dengan bergandengan tangan, dia berlutut bersamanya
Karena dia adalah istri pendeta

Kamu memberitahukan kisah dari keberanian nabi-nabi
Yang berbaris melewati dunia
Dan mengubah pelajaran sejarah
Dengan kata-kata yang membara mereka tertantang

Dan aku akan memberitahu engkau dibalik mereka semua
Beberapa wanita yang tinggal dalam hidupnya
Seseorang yang menangis bersamanya dan tersenyum bersamanya
Dia adalah istri seorang pendeta



Tidaklah terlalu mudah atau gampang untuk memberi nasehat, anjuran atau petuah kepada seorang atau orang banyak (umum) jika dirinya tidak sesuai dengan apa yang dikatakan dan apa yang diperbuatnya. Memberikan nasehat haruslah seimbang / sesuai dengan perkataan dan perbuatan agar bisa menjadi teladan atau petuah bagi orang lain. Apalagi seorang Hamba Tuhan / Pendeta yang selalu menyuarakan kebenaran Firman Tuhan. Mengapa ? Karena Pendeta adalah Hamba Tuhan yang sekaligus itu merupakan jabatan yang merupakan karunia dari Tuhan Allah. Seperti yang diuraikan oleh Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat Efesus (Efesus 4), bahwa Tuhan Allah telah memberikan jabatan itu sebagai pengkhotbah / pengajar kepada gereja. Jadi gereja dan jabatan yang diemban seorang Pendeta yang tidak dapat dipisahkan. Disamping itu juga jabatan Pendeta juga merupakan suatu pengikat dalam hubungan organisasi gereja dan mempunyai tugas dan fungsi tertentu. Hubungan Pendeta dan gereja atau jemaat sangatlah erat karena Gereja dalah pemberiaan Allah. Dan gereja adalah merupakan suatu organisasi ditengah-tengah masyarakat dan gereja adalah merupakan suatu badan yang melakukan fungsinya yang istimewa diantara umat manusia yang peranan Pendeta sangat perlu.

Jabatan Pendeta itu sangat penting, tetapi juga sangat sukar. Janganlah hendaknya kita menyambut jabatan itu sembarangan saja. Untuk menjadi Pendeta perlu keyakinan yang sungguh-sungguh bahwa Tuhan sendiri yang telah memanggil kita dan kita harus menaati dan menuruti suara panggilan itu. Hanya Roh Tuhan saja yang dapat mengaruniakan kita kepastian dan keberanian yang kita butuhkan untuk menerima tugas yang mahamulia itu didalam gereja dan masyarakat.


Sebagai Pendeta harus menjadi pusat kehidupan dan keaktifan jemaat. Dialah yang dipercaya sebagai pimpinannya. Dialah yang tampil kemuka dan memegang peranan yang penting dalam segala gerak-gerik jemaat itu. Dipandang dari sudut kemanusiaan, kemajuan dan perkembangan hidup rohani orang kristen lain bergantung kepada kerajinan dan kecakapan Pendeta: begitu pula pelaksanaan tugas gereja di dalam dunia, dialah yang menentukannya.

Pendetalah yang memberitakan dan menerangkan iman krisiten kepada anggota jemaat. Dialah wajib memberi teladan tentang sikap hidup dan kelakuan kristen. Pendeta mewakili jemat dan bertanggungjawab atas pelaksanaannya jadi pertaliannya dengan jemaat sangat erat.
Tuhan Yesus mengibaratkan perhubungan itu dengan seorang gembala dan domba-dombanya. Sebagai seorang Pendeta / Gembala bukan saja mengantar kawanan dombanya melainkan juga memberi makan kepadanya, ia membelanya bahkan ia rela menyerahkan hidupnya sendiri guna mereka. Paulus menyinggung pula hal ini dalam surat-suratnya sambil menegaskan bahwa ia mau memberikan seluruh pribadinya bahkan sekalipun untuk kepentingan jemaat jika dituntut Tuhan. Oleh karena itu, jabatan Pendeta menurut wujudnya dan didalam prakteknya pekerjaannya berlainan benar dari segala pangkat yang lain dalam masyarakat. Jabatan itu mempercayakan kepada dia tanggungjawab dan fungsi pemimpin yang tak ada taranya.

Akan tetapi disamping itu, Pendeta juga memangku suatu fungsi yang sangat penting dalam masyarakat umum. Didlam pergaulan hidup Pendeta mewakili agama kristen dan asas-asas Kristen. Kaum bukan-Kristen mendengar teliti bagaimana ia sebagai Pendeta menyampaikan iman kristen. Mereka memperhatikan dan membandingkan apakah tingkah lakunya sesuai dengan kabar yang diberikannya atau tidak. Mereka meneliti kelakuannya sebagai pribadi dan suasana dalam rumah tangganya. Ada baiknya jika seorang Pendeta selalu sadar bahwa ia lebih menarik perhatian khalayak ramai daripada orang kristen lainnya dan bahwa orang menilai dia dalam kedudukan yang tinggi.

Justru pada perkembangan zaman ini, Pendeta harus berani menghadapi banyak pengaruh akan dunia perkembangan hingga penyuaraan kebenaran sering dan jangan ditiadakan atau dapat dikatakan bahwa apa yang disampaikan kepada jemaat mengenai kebenaran Firman Tuhan itu harus sesuai dengan apa yang diberitakan atau disampaikannya kepada jemaat. Jadi dalam hal ini perlu diperhatikan seorang Pendeta dalam menyampaikan Firman Tuhan sesuai dengan Prilaku kehidupannya sehari-hari.




B. Pendeta Sebagai Pengkhotbah / Pemberita Firman Tuhan
Pendeta adalah Hamba Tuhan yang dipanggil dan diuarapi oleh Tuhan dan melayani bersama dengan Umat Tuhan dengan menyuarakan kebenaran Firman Tuhan. Kita melihat Pendeta menyampaikan Firman Tuhan kepada jemaat adalah sebagai pengkhotbah / pengajar.

Dalam hal ini pertama-tama kita terkenang akan mimbar, karena justru dalam khotbahnya pada tiap-tiap hari Minggu terletak kesempatan yang paling indah bagi Pendeta untuk mengajar kaum kristen agar iman jemaat makin diperdalam. Didalam khotbah maka Tuhan sendiri telah memberikan kepada Pendeta suatu kesempatan yang amat istimewa untuk menyampaikan Firman Tuhan kepada akal dan hati sanubari umatNya. Alangkah beruntungnya orang yang boleh berkhotbah, dibanding dengan orang lain.

Setiap orang yang berkhotbah, bukan untuk mencari nafkahnya dnegan pekerjaannya itu melainkan oleh sebab Roh Tuhan sendiri mendorongnya. Karena didorong oleh Roh Tuhan maka didalam diri Pendeta yang berkhotbah tentu akan mengalami dua macam perasaaan. Yaitu rasa gembira, oleh karena ia boleh melakukan tugas itu dan rasa rendah hati sebab ia merasa ketidak-layakan dan ketidak-sanggupannya bagi pekerjaan itu.

Jikalau kita menginsafi berita yang maha hebat yang harus kita kabarkan, tetapi disamping itu kita sadar akan kelemahan kita sendiri, pastilah kita merasa malu dan tak sanggup. Namun demikian, Allah mau memakai justru kita yang lemah ini seabgai pemberita InjilNya. Dan sebab itu, kita senantiasa boleh yakin dan percaya bahwa Tuhan akan mengaruniakan hikmat dan kesanggupan yang secukupnya.

Mengingat itu, bolehlah kita dengan berani dan penuh kepercayaan pada Tuhan mengajarkan segala kebenaran yang indah-mulia mengenai iman kristen didalam khotbah kita. Kita sendiri harus yakin bahwa inilah pengetahuan yang terpentiing , yang dapat diperoleh dan dimiliki manusia didalam dunia ini. Tak ada seorang guru pada sekolah lanjutan atau seorang guru besar di universitas yang mengajarkan pokok terpenting ini tentang Firman Tuhan karena Pendeta mengajarkan / berkhotbah tentang Firman Tuhan yang berpokok pada perkara-perkara abadi, khotbah kita menyampaikan pengetahuan tentang Allah dengan rancangan keselamatanNya, khotbah kita memasukan jemaat kedalam persekutuan dengan Tuhan dan Roh dan FirmanNya, khotbah kita mengarahkan manusia untuk mangabadikan segenap hidup kepada pelayananNya.

Untuk itulah seorang Pendeta dituntut untuk menunaikan tugas dan harus layak menyampaikan Firman Tuhan itu dengan keperibadiannya. Seperti yang dinasihatkan Paulus kepada Timotius, yang berbunyi: “Usahakanlah supaya engkau layak dihadapan Allah, sebagai pekerja yang tidak usah malu, yang berterus terang memberitakan perkataan kebenaran itu” (2 Timotius 2 : 15). Paulus menasehati dengan maskud tertentu, agar ia mengajar orang lain pula karena ia dapat dikatakan menjadi teladan bagi banyak orang khusus kristen.

Memang dalam kehidupan kita sehari-hari sering kita kita mendengar kata teladan bahkan kata teladan dijadikan orang sebagai nama jalan, nama sekolah, nama universitas, nama gereja, nama usahanya dan ada juga yang memberikan nama anaknya. Dengan harapan dan doa dapat ditiru, baik untuk dicontoh melalui kata dan perbuatan. Meneladani berarti dapat memberi teladan. Sehingga sering ada kalimat mengatakan bahwa guru atau orangtua harus dapat menjadi teladan bagi murid dan anak-anaknya apalagi seorang Pendeta. Nasihat inilah yang disampaikan oleh Paulus kepada Titus ribuan tahun lalu dan juga kepada jemaat sekarang terlebih kepada seorang Pendeta agar menjadikan dirinya sebagai teladan dalam berbuat baik. Basis utama agar dapat menjadi teladan harus dimulai dari diri sendiri, dari lingkungan rumah tangga masing-masing kemudian kepada yang lain disekitar lingkungan masyarakat. Komitmen menjadi teladan harus lahir dari diri sendiri dan tetap konsisten. Seirama kasih dan perbuatan, tidak lain dibibir lain dihati. Lain hari ini, lain esok atau lusa. Tidak sama seperti bunglon yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Atau kemana air mengalir artinya tidak mempunyai prinsip dan tekad bulat dalam dirinya.

Memang harus diakui tidak gampang menjadi teladan dalam kata dan perbuatan. Memang tidak gampang mempunyai integritas atau kejujuran apalagi pada zaman ini. Karena orang jujur dan bersih pada umumnya sudah banyak dikucilkan sebagian besar orang. Sudah banyak berlaku etika situasi artinya situasi dan kondisilah yang menentukan. Akibatnya etika tanggungjawab dan moral sudah sering diabaikan.

Tidaklah hal ini yang terjadi ditengah-tengah lingkungan, digereja dan di masyarakat. Dalam situasi dan kondisi yang gelap dan kacau inilah sebagai Hamba Tuhan atau pendeta yang setia dan sejati kita harus tampil sebagai teladan dan jujur (ya diatas ya, dan tidak diatas tidak). Dengan meneladani sikap dan ajaran Tuhan Yesus Kristus menjadi teladan harus selalu berusaha dan berjuang dan selalu meminta pertolongan dan pimpinan Roh Kudus. Karena seorang Pendeta harus menjadi teladan melalui khotbah yang disampaikan ditengah-tengah gereja, lingkungan masyarakat dan ditengah-tengah keluarga dan itu pula didalam diri seorang Pendeta menjadi gambaran hidupnya dalam melayani Tuhan.
Menjadi Pendeta  adalah menjadi “hamba”. Menjadi pendeta adalah menjadi “budak” (slaves) atas orang lain. Dan yang terbesar dari seorang pendeta adalah ketika ia berhasil melayani dan mau menjadi “jongos” (baca: budak) bagi orang lain. Itu semua adalah definisi k versi Sang Pemimpin-Hamba Sejati. Dan Dia tidak sekedar mendefinisikan, tetapi juga menjadi model yang nyata bagi definisi kepemimpin/pelayanan-Nya tersebut: ”Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani…
Dan itu sangat sulit  karena manusia seringkali membangun sebuah menara piramida yang dibangun atas dasar ”aku,” ”milikku,” dan ”diriku sendiri.”
 Semangat kesuksesan demi pemujaan diri masih begitu melekat di dalam diri kita. Bahkan diakui atau tidak, disadari atau tidak, jiwa narsistik (memuja diri sendiri) seringkali menjangkiti banyak orang yang mengaku pengikut Kristus.
Apakah ”motivasi pelayanan”  agar  bisa bergaya? Apakah untuk menunjukkan atau membuktikan ”Who’s the Boss?”– siapa ”boss”, siapa ”jongos”? Sama sekali salah!” Motivasi pelayanan” adalah justru untuk menyatakan ketaatankepada Tuhan.
Jadi, bagi para pendeta termasuk saya, pendeta itu tidak sinonim dengan menjadi tuan. Panggilan kita adalah untuk melayani, bukan untuk menguasai. Panggilan kita adalah menjadi hamba bukan menjadi raja. Memang benar, kepemimipinan mustahil tanpa otoritas tertentu. Tanpa itu siapapun tak bisa memimpin.  Juga para pendeta jemaat masa kini,  harus dihormati karena kedudukan mereka sebagai pemimpin jemaat (1 Tesalonika 5:12 dst). Bahkan harus ditaati (lbrani 13:17). Namun, titik berat yang diletakkan Yesus bukanlah atas otoritas pemimpin-penguasa, melainkan atas kerendahan hati pemimpin-hamba.