Tata
Ibadah Hari Minggu HKBP :
Sejarah, Teologi Dan Pemakaiannya
Sejarah, Teologi Dan Pemakaiannya
Oleh : Pdt DR JR Hutauruk
Ephorus HKBP 1998-2004
1. Istilah “Agenda” dalam Buku Tata Ibadah Gereja-gereja Batak.
Agenda: dari bahasa Latin yang
artinya dalam bahasa Inggris menunjukkan sebuah daftar tentang halhal yang akan
dikerjakan; kemudian kata itu digunakan oleh gereja-gereja protestan di Jerman
“Agende” atau “Kirchenagende”, yaitu sebuah buku kumpulan tata ibadah yang
dipakai oleh gereja, a.l kebaktian minggu biasa, kebaktian dengan perjamuan
kudus, dengan babtisan, naik sidi, pemberkatan nikah, pemakaman, ordinasi ( die
Ordination zum Predigtamt), dll. Padanannya sebelum masa Reformasi, a.l.
“Agenda missarum” ( perayaan messe ), “agenda mortuorum” ( perayaan mengenang
para orang mati ), dll. Kumpulan Tata Ibadah HKBP dikenal dengan nama “Agende”
( dulu ) atau “Agenda” ( kini ) sesuai dengan pemakaian kata itu oleh
gereja-gereja asal para misionaris yang bekerja di Tanah Batak ( 1861 – 1940 ).
2. Latar belakang historis.
Sejak awal pekabaran Injil di Tanah
Batak ( 1850-an ) oleh para penginjil ( Protestan ) Eropa keinginan untuk
pengadaan sebuah liturgi atau tata ibadah minggu dan peristiwa-pristiwa
gerejawi lainnya sudah menggema dan upaya untuk itu sudah dilakukan. Ini nampak
dari laporan-laporan para penginjil, seperti yang nampak dari laporan kegiatan
pengabaran Injil di lembah Silindung ( Batak – Toba ) oleh Ingwer Ludwig
Nommensen ( Hutadame) , Peter H.Johannsen ( Pansurnapitu) dan August
.Mohri.(Sipoholon). Mereka di tempat pelayanan masing-masing telah membuat
gagasan-gagasan awal untuk menciptakan tata ibadah minggu, ibadah baptisan,
perjamuan kudus, peneguhan sidi, pernikahan, dll. Dan ini semuanya telah
bermuara pada sebuah buku Agenda, dan besar kemungkinan Agenda edisi pertama
ialah Agenda 1904, yang menjadi acuan bagi paparan kita dalam mencari
dasar-dasar teologis dan praktis sebuah Agenda HKBP untuk dipakai masa
mendatang. Dugaan ini didukung oleh adanya sebuah buku pedoman dan penjelasan
tata ibadah serta kelengkapannya, yang telah dipublikasikan melalui edisi
bahasa Jerman terbit tahun 1906 dan edisi bahasa Batak ( Toba ) tahun 1907.
3 .Urutan mata acara ibadah dalam
Agenda Edisi 1904.
Susunan mata acara ibadah menurut Edisi 1904 adalah sebagai berikut:
Susunan mata acara ibadah menurut Edisi 1904 adalah sebagai berikut:
- Marende ( Menyanyi ).
- Pasu – pasu ( Berkat; “Votum” ).
- Manjaha sada ayat na tongon tu ganup Minggu manang ari pesta sian bag.IIA ( Membaca sebuah nats mingguan atau sebuah nats yang ditentukan dalam bagia IIA Agenda ).
- Martangiang ( Doa dari bag.IID ); Huria mandok ( Jemaat menyambutnya dengan mengucapkan ): Amen!
- Pandita mandok ( Pendeta mengucapkan ) : Didongani Debata ma hamu!; Huria mandok ( Jemaat meresponnya ): Amen! Tangihon hamu ma patik ni Debata ( Dengarkanlah Hukum Allah): ( manang sinungkun angka patik tu na torop I / atau menanyakan isi Hukum itu kepada jemaat yang beribadah).
- Huria mandok di ujung ( jemaat menyambutnya ): “Ale Tuhan Debata! Sai pargogoi ma hami, mangulahon na hombar tu patikmi! Amen!” ( Ya Tuhan Allah! Kuatkanlah kami melakukan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan HukumMu. Amin!)
- Marende huria ( Jemaat menyanyi ): “O Jesus Panondang di portibi on” ( No.24 ) ; manang No.21,3: “Paian Panondangmu ale Panondang i. Ambati ma na lilu di hasiangan i.”; manang ayat ni Ende na asing pinillit, jadi do.
- Panopotion di dosa ( Pengakuan dosa ): Tatopoti ma dosanta! ( Marilah kita mengaku dosa-dosa kita! ) ( Dijaha tangiang on,manang sada na asing taringot tu panopotion, na tarsurat di bag. II B/ membaca doa yang sudah tersedia atau memilih doa pengakuan dosa dari bagian IIB ).
- Pandita mandok: Bege hamu ma baga-baga ni Debata,taringot tu hasesaan ni dosa ( Pendeta mengucapkan: dengarlah janji Allah tentang pengampunan dosa itu ) : “Molo tatopoti angka dosanta, haposan do Ibana jala bonar, manesa dosanta jala paiashon hita sian saluhutna hageduhon i.” ( Kalau kita mengaku dosa-dosa kita, Dia setia dan jujur untuk menghapus jala memurnikan kita dari segala kebohongan kita ). Manang hata baga-baga nasing na tarsurat di bag.II C ( Atau membaca sebuah janji pengampunan dosa dari bag IIC ).
- Huria marende ( Jemaat menyanyi ): “Amen, Amen, Amen na tutu do I, Sai marhasonangan na porsea i. Sesa do dosana salelengna I, Lehonon ni Jesus haposanta i!”
- Pandita mandok ( Pendeta mengatakan ): Tabege ma hata ni Debata turpuk ni ari Minggu on ( Marilah kita mendengar Firman Allah nats untuk hari mInggu ini ): ( jahaon sian Evangelium manang sian Epistel manang sian Padan na Robi, na so sipajojoron di na sadari di parjamitaan / membaca dari kitab Injil atau nats darei Prjanjian Lama yang tidak perlu dihafalkan pada hari itu dari podium khotbah ).
- Pandita mandok ( Pendeta mengatakan ): Martua do angka na tumangihon hata ni Debata, jala na umpeopsa. Amen! ( Berbahagailah orang yang mendengar firman Allah serta memperhatikannya / menyimpannya dalam hati. Amin!
- Huria mandok ( Jemaat menyambut dengan nyanyian ): “Hatami ale Tuhanhu, arta na ummarga I etc.”
- Pandita mandok ( Pendeta mengatakan ) : Tahatindanghon ma hata haporseaonta I ( Marilah kita menyaksikan pengakuan percaya kita ) , ( rap mandok Pandita dohot huria / pendeta mengucapkannya bersama-sama denganjemaat): ….
- Huria marende ( Jemaat menyanyi ) : “Na martungkot sere au etc.” ( No.168 ) ; manang ( atau ) “Ojahan on do ingananhu” etc ( No. 155,6 ); manang ( atau ) “Pos ma ho rohanghu di Debata” etc ( No. 166 ) ; mamang ( atau ) :”Jahowa do haposanghi na, na mangapoi rohanghu” etc ( No. 148 ) ; manang ( atau ): “Loas hutiop Jesushi” etc ( No. 172, 4 ).
- Pandita ro tu parjamitaan, dohononna ma ( Pendeta maju ke podium khotbah serta mengucapkan ):”Dame ni Debata, na sumurung sian saluhut roha, I ma mangaramoti angka ate-atemuna dohot rohamuna, marhute-hite Jesus Kristus. Amen! / Damai Allah yang melebihi segala akal, itulah yang memelihara hati dan pikiranmu melalui Jesus Kristus. Amin!
- Marjamita ( Berkhotbah ) . Dung sun marjamita, martangiang sian roha ( khotbah ditutup dengan doa bebas ).
- Tingting ( Warta jemaat ) . Tiningtinghon angka sitingtinghononhon di huria ( pemberitahuan apa-apa yang perlu diketahui dan dilakukan oleh jemaat ).
- Huria marende ( Jemaat menyanyi ). ( Andorang marende mardalan durung-durung / persembahan / menyanyi sambil memberikan persembahan ke kantong persembahan yang diedarkan oleh para penatua )).
- Pandita ro tu jolo ni langgatan, martangiang ( Pendeta datang menuju mezbah dan membacakan doa ): Dijaha ma sada tangiang, na tongon tu minggu manang pesta / doa dipilih dari doa yang ditentukan untuk setiap minggu ( ida di bag.II E di buku on / lihat bag II E Dario Agenda ).
- Udutna luhut huria mandok ( semua jemaat mengucapkan Doa Bapa Kami ): “Ale Amanami na di banua ginjang ….Amen!
- Pasu-pasu ( berkat ) : “Dipasu-pasu jala diramoti ….” Manang / Atau : “Didongani asi ni roha ni Tuhanta Jesus Kristus ….”
- Laho haruar ( ketika saat keluar ibadah ) : marende angka anak dohot boru sikola, sada ende na pinillit hian ( anak-anak sekolah laki-laki dan perempuan menyanyikan sebuah lagu yang sudah dilatih sebelumnya ).
24. 4. Agenda 1904 dan Agenda HKBP terkini 1998.
25.
Melihat susunan mata acara ibadah
1904 tersebut di atas, jika dibandingkan dengan susunan mata acara ibadah dalam
Agenda edisi terkini , misalnya edisi 1998 , maka beberapa diantaranya punya
tempat yang tetap, tetapi ada pula yang sudah bergeser, ada penambahan,
pengurangan, bahkan ada pula penghapusan.
26.
Pertama, dalam satuan Votum: dalam
Agenda 1904 ( nomor 1 – 5 ), mata acara no. 4 dan 5 sudah ditiadakan dalam
Agenda 1998; mungkin sebagai gantinya dalam Agenda 1998 ialah mata acara no 3
di mana jemaat menyambut votum ( dan introitus ) dengan menyanyian Haleluya 3
kali.
27.
Kedua, mata acara tentang pembacaan
Hukum Taurat ( Dasa Titah ) berada dalam posisi yang sama dalam kedua Agenda,
di mana tempatnya sesudah satuan mata acara yang termasuk bagian votum dan
introitus ( Agenda 1904 dalam nomor 5-6 ) sedang dalam Agenda 1998 dalam nomor
6-7 ). Sebagai catatantambahan: mata acara ini tidak disinggung oleh F.Tiemeyer
dalam paparannya tahun 1936 itu. Mungkin perlu juga mencari alasan mengapa
beliau tidak membuat refleksi teologis – praktisnya. Apakah ada keinginan untuk
menghilangkannya dari mata acara ibadah? Cuma ada juga perubahan dalam mata
acara ( no. 8 ) menyanyi dalam Agenda 1904, di mana beberapa nyanyian tertentu
sudah dipilih untuk menyambut Hukum Taurat Tuhan, sedangkan dalam Agenda 1998
nyanyian tersebut dapat dipilih sesuai dengan fungsinya.
28.
Ketiga, satuan mata acara berikut
ialah tentang pengakuan dosa serta janji penghapusan dosa ( Agenda 1904, mata
acara nomor 9-11 dan Agenda 1998,mata acara 9-11 ). Dalam kedua Agenda tersebut
mata acara ini ditempatkan sesudah mendengar Hukum Taurat. Namun dalam mata
acara tentang janji penghapusan dosa, Agenda 1904 telah menyusun doa tertentu
:”Molo itatopoti angka dosanta …!” Doa ini dapat juga diganti oleh salah satu
doa yang tersedia dalam bagian II.C. Doa tersebut sudah dihilangkan dalam
Agenda 1998. Perubahan lain yang terjadi diantara kedua Agenda tersebut ialah
dalam hal menyanyikan nyanyian menyambut mata acara pengakuan dosa dan janji
penghapusan dosa. Agenda 1904 ( mata acara nomor 11 ) mencantumkan nyanyian
tertentu yaitu :”Amen, Amen, Amen, na tutu do I, Sai marhasonangan na porsea i.
Sesa do dosana, salelengna I, Lehonon ni Jesus, haposanta i!” Agenda 1998 tidak
membatasinya, artinya bisa diambil nyanyian yang sesuai dengan mata acara
tersebut.
29.
Keempat, satuan tentang pembacaan
firman Allah ( Epistel ) ditempatkan sesudah pengakuan dosa dan janji
penghapusan dosa dalam kedua Agenda tersebut ( Agenda 1904 dalam mata acara
nomor 12-14, dan dalam Agenda 1998 dalam mata acara nomor 12-13 ). Dalam Agenda
1904, jemaat menyambut pembacaan firman dengan nyanyian yang sudah ditentukan
dalam Agenda, yaitu :”Hatami ale Tuhanku, arta na ummarga etc.” Agenda 1998
tidak membatasinya.
30.
Kelima, satuan mata acara berikut
untuk kedua Agenda ialah jemaat mengucapkan Pengakuan Percaya Rasuli ( Agenda
1904,nomor 15-16 dan Agenda 1998,nomor 14 ). Tetapi Agenda 1998 telah
menambahkan kalimat ajakan liturgis untuk pengucapan secara bersama melalui
kalimat berikut : “….. songon na hinatindanghon ni donganta sahaporseaon di
sandok portibi on. Rap ma hita mandok: …” Agenda 1904 menyebutkan beberapa
nyanyian ( 5 nynyian ) untuk menguatkan pengakuan percaya jemaat tersebut, dan
Agenda 1998 tidak membatasinya.
31.
Keenam, ada perbedaan yang
signifikan dalam mata acara berikutnya. Agenda 1904 ( mata acara nomor 17-19 )
menempatkan mata acara untuk khotbah yang didahului oleh doa peneguhan akan
janji Allah yang telah memberikan damai sejahteraNya dan akan memberikan-Nya lagi
melalui firman Allah yang dikhotbahkan oleh pengkhotbah. Sesudah khotbah,
jemaat mendengar “Tingting” ( warta jemaat: mata acara nomor 19 ); kemudian
dilanjutkan dengan nyanyian menyambut khotbah dan tingting, dan pada saat
bernyanyi jemaat mengumpulkan persembahan ( “durung-durung” ) . Dapat dicatat,
bahwa persembahan dilakukan satu kali, dan dalam Agenda 1998 sebanyak dua
kali.Dan akhir-akhir ini persembahan sudah dilakukan tiga kali ( tiga kantongan
persembahan ). Agenda 1998 menempatkan mata acara tentang “Tingting” ( mata
acara nomor 15 ) sesudah mata acara Pengkuan Iman Percaya, kemudian menyanyi
sebagai penghantar khotbah ( mata acara nomor 17 ) sambil jemaat mengumpulkan
persembahan ( dengan dua kantongan : mata acara nomor 16 ). Khotbah disambut oleh
jemaat dengan menyanyi; dan tanpa dicantumkan dalam mata acara 18, jemaat juga
mengumpulkan persembahan kedua kali ( dengan satu kantongan ).
32.
Dengan demikian nampak adanya
pergeseran tempat dari mata acara “Tingting”: Agenda 1904 menempatkannya sesudah
khotbah, sedang Agenda 1998 menempatkanannya sebelum khotbah. Melalui
penempatan ini, nampak bahwa Agenda 1904 lebih dekat kepada susunan mata acara
ibadah dari Agenda Gereja Injili Union ( Die Evangelische Kirche Der Union di
Prusia, Jerman ).
33.
Ketujuh, mata acara ibadah diakhiri
dengan doa penutup dan berkat oleh Pendeta yang berkhotbah, namun caranya
berbeda-beda. Dalam Agenda 1904 liturgis mengambil sebuah doa yang dapat
dipilih dari bagian II E, kemudian mengundang jemaat bersama-sama mngucapkan doa
“Bapa Kami..!”, kemudian ditutup dengan pengucapan Berkat ( mata acara 21-22 ),
dan jemaat mendengar sebuah nyanyian dari para anak-anak sekolah Dasar ( mata
acara 23 ). Dalam Agenda 1998, Pendeta / Liturgis membacakan doa persembahan (
mata acara nomor 19 a ), kemudian membacakan “Doa Bapa Kami” ( mata acara 19b
), dan bagian terakhir dari Doa tersebut dinyanyikan oleh jemaat : “Karena
Engkau yang punya kerajaan …” ( mata acara nomor 20 ), dan diakhiri dengan
ucapan Berkat ( mata acara nomor 21 ) serta disambut oleh jemaat dengan
menyanyikan “Amin, Amin, Amin!” ( mata acara nomor 22 ). Dalam mata acara untuk
hari-hari raya gerejawi tertentu ( Paskah dll ), diucapkan juga sebuah doa
khusus untuk itu yang diambil dari Agenda bagian II E ), dan tempatnya sebelum
pengucapan Doa Bapa Kami.
34.
Kedelapan, dalam Agenda 1904 ada
tata ibadah Minggu yang khusus untuk jemaat muda yang dipimpin oleh seorang
Guru Jemaat ( Guru ). Ada beberapa mata acara yang ditiadakan, yaitu mata acara
tentang votum dan introitus, pengakuan dosa dan janji penghapusan dosa, serta
doa yang menghantar Doa Bapa Kami, demikian juga pengucapan Berkat. Besar
kemungkinan alasannya ialah bahwa mata acara tersebut hanya dapat dilayankan
oleh Pendeta sebagai liturgis. Namun nampak bahwa penghapusan ini sudah
mengurangi esensi teologis dari mata acara ibadah itu, dan hal ini tidak
disinggung oleh F.Tiemeyer dalam paparannya di atas. Artinya yang dihilangkan
itu tidak lagi dihargai sebagai bagian yang esensial dari sebuah ibadah injili.
Dalam Agenda 1998, susunan tata ibadah untuk jemaat muda sudah ditiadakan.
Namun dalam Agenda 1998, masih ada sisa pemahaman tentang perbedaan pelayanan
ibadah oleh pendeta dan non-pendeta. Ini nampak dalam sapaan yang berbeda
antara pendeta dan non-pendeta dalam pemberian berkat, antara kata “engkau” /
“ho” untuk pendeta sebagai liturgis dan “kita” / “hita” untuk yang non-pendeta
( Guru atau Sintua, atau Diakones atau Bibelvrouw) . Ada baiknya pembedaan ini
dipikirkan, apakah pembedaan itu bisa dibenarkan dari sudut teologi Martin
Luther, yang menghilangkan pembedaan antara klerus / imam dan non-klerus.
Fungsi imam dalam Perjanjian Lama sudah digenapi oleh jabatan rajani setiap
orang Kristen dan khusunya oleh ketiga jabatn Yesus Kristus yang sudah bangkit
itu.
35. 5. Tinjauan F.Tiemeyer 1936.
36.
Sebuah ceramah tentang ibadah HKBP,
yang disampaikan oleh Misionaris F.Tiemeyer pada Konferensi Tahunan para
misionaris Jerman ( RMG ) tahun 1936 di Padangsidempuan, jadi 72 tahun lampau.
. Konferensi para misionaris RMG 1936 sedang membicarakan konsep baru dari
Agenda HKBP dan mencari apa-apa saja yang harus ditambah atau dikurangi Agenda
1904 . Tetapi F.Tiemeyer tidak bermaksud memasuki tugas tersebut, bagi beliau
yang lebih utama ialah untuk mengkaji kembali apa sebenarnya dasar teologis
dari sebuah liturgy ibadah gereja yang evangelis ( injili ) atau dengan kata
lain apa saja yang paling fundamental dari sebuah agenda gerejawi yang
berdasarkan teologi reformatories M.Luther atau J.Calvin maupun para reformator
lainnya. Dasar teologis yang sangat fundamental menurut beliau ialah bahwa
karya Tuhan Allah sendiri yang selalu mendominasi sebuah tata ibadah yang
otentik ( sebagaimana ditemukan kembali oleh para reformator M.Luther dan
J.Calvin. Beliau mengedepankan pendirian beliau yang mengatakan bahwa upaya
mencari makna dan hakekat sebuah “tata ibadah evangelis” ( “evangelische
Gottesdienst” ) atau istilah yang lebih kita kenal dengan kata “injili” (
ibadah injili, dan kita memakai istilah ini untuk selanjutnya ) ialah memperlihatkan
aksi jemaat yang menuinjukkan kepatuhannya terhadap Allah yang hidup itu.
Karena arti tata ibadah yang paling mendasar ialah perbuatan Allah bersama
jemaatNya ( umatNya ). TeguranNya dan pemberianNya, dan bukan kedatangan (
kehadiran ) kita dan itu terjadi selalu dalam sikap pertobatan dan iman. Di
mana terjadi sebuah ibadah gerejawi ( “Gottesdienst” = ibadah Allah ), entah
itu tarjadi dalam khotbah, sakramen atau liturgy, di sana selalu terjadi dalam
nama Allah Tritunggal. Allah muncul di atas pentas. Allah bertindak, berbicara
dan menghibur. Allah menghukum dan menghajar. Allah menengur dan mengampuni.
Tetapi kalau kita mengatakan Allah, itu berarti bahwa kita tidak mengatakan
manusia sekalipun yang nampak ialah manusia sendiri. Manusia yang nampak bekerja
dalam sebuah ibadah, tetapi Allahlah yang hidup dan kudus itulah yang
bertindak. Dan dalam hal ini kita harus mengatakan, bahwa tidak ada perbedaan
antara pendeta ( pengkhotbah = “Prediger” ) dan liturgis. Di sini pendeta dan
liturgis sebagai manusia biasa tidak bakal melewati batas antara Allah dan
manusia. Allah telah menyatakan diriNya kepada manusia dan tidak bakal
membagikan kemuliaan-Nya dengan siapapun dari antara manusia, termasuk bagi
manusia yang melayankan ibadah gerejawi itu. Di sini terjadi suatu ketegangan (
teologis-liturgis ) didalam proses peribadahan evangelis itu ( “Spannung des
evangelischen Gottesdienstes” ). Ketegangan itulah yang harus dicermati oleh
setiap liturgi dan egenda gerejawi, termasuk liturgy dan agenda HKBP. Setiap upaya
untuk membicarakan sebuah liturgy dan agenda gerejawi, hendaknya berawal dari
perhatian akan ketegangan teologis – liturgis ini.
37.
Sekilas pemantauan histories
berbagai tata ibadah gerejawi yang pernah dipakai oleh Gereja – gereja
sepanjang abad, telah dipaparkan oleh F.Tiemeyer dengan tujuan untuk
menunjukkan bahwa sepanjang sejarahnya Gereja-gereja itu selalu jatuh bangun
dalam mempertahankan hal-hal yang fundamental dari sebuah tata ibadah seperti
beliau kepdepankan tadi, yaitu yang paling utama ialah tindakan Allah, Allah
yang bertindak, Allah yang hadir dan manusia merespons kehadiran Allah yang
mulia dan agung itu. Dalam lima periode, beliau melihat Gereja-gereja itu jatuh
bangun dalam mempergumulkan ke-evangelisan dari tata ibadah kristiani itu. Beliau
mengibaratkan perjalanan dari tata ibadah evangelis itu telah melalui lima
setasi / persinggahannya secara histories: Yerusalem, Roma, Wittenberg dan
Geneva.
38.
Zaman Israel. Pada setasi pertama di
Yerusalem nampak, bahwa ibadah pada bait suci memperlihatkan kehadiran Allah
yang hidup itu. Sepanjang perjalanan sejarah bangsa Israel selalau nampak bahwa
sebuah tempat tertentu ( sebuah kemah nomadis tabut pada zaman perjalanan di
gurun pasir atau sebuah tempat yang menetap pada zaman sebelum dan sesudah
pembuangan ), fenomenanya tetap sama, yaitu “Allah hadir, mari kita sujud di
hadapan-Nya!”, demikian yang terjadi pada awalnya. Ketika batas antara Allah
dan manusia dilewati, maka para imam Israel atas kekuatan / kekuasaan
jabatannya, mereka telah membangun ibadah untuk Allah, dan pada saat itulah
menghilang kehadiran Allah. Kehadiran Allah telah menghilang, dan sebagai
gantinya ialah ibadah ( “Gottesdienst” ) tanpa Allah. Kemudian utusan Allah
yaitu Kristus datang memasuki sejarah bangsa Isarel. Firman Allah menjadi
daging. Tetapi Kristus tidak diterima, manusia ingin menguasai Allah dalam bait
suci. Kristus menjatuhkan hukuman. Bait Suci di Yerusalem musnah, tinggal
puing-puing. Demikian F.Tiemeyer menggambarkan perubahan makna ibadah di
Yerusalem, yang tadinya berpusat pada kehadiran Allah, tetapi oleh kehadiran
para imam Israel tempat Allah telah direbut oleh para imam. Imam jadi pusat
ibadah.
39.
Zaman Kekristenan. Zaman Israel
digantikan oleh zaman Kekristenan. F.Tiemeyer merujuk ke nats Alkitab Mat. 7,
yang untuk beliau nats ini menunjukkan karakteristik dari pemberitaan Yesus :
“sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli
Taurat mereka” ( 7:29 ). Demikian beliau mengutibnya serta menambahkan, bahwa
Yesus menerima kewibawaan / kuasa dari Allah; Yesus bukan mengandalkan wibawa /
kuasa sendiri. Kini Allah kembali hadir dan bertindak dalam ibadah yang
dipimpin oleh Yesus. Kehadiran Allah dipertegas lagi oleh nats Alkitab Luk.4:
21 :” Lalu Ia memulai mengajar mereka, kata-Nya: ‘Pada hari ini genaplah nas
ini sewaktu kamu mendengarnya’”. Dan pada akhir hidup-Nya, demikian Tiemeyer –
Yesus mendirikan Perjamuan Kudus ( “Abendmahl” ) sebagai ibadah. Rasul Paulus
melanjutkan ibadah yang mengedepankan kehadiran Allah dalam ibadah Perjamuan
Kudus: “ dan sesudah itu Ia mengucap syukur atasnya; Ia memecah-mecahkannya dan
berkata: "Inilah tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini
menjadi peringatan akan Aku! ( 1 Kor. 11:24 ) Inilah menurut beliau bentuk yang
sangat sederhana yang dilayankan oleh Yesus, yaitu makan ( roti ) dan minum (
anggur ); bentuk yang sangat sederhana ini dipakai oleh Yesus untuk
mencerminkan kebesaran dan kehadiran Allah yang berbuat itu. Inilah suatu
ketegangan yang indah, yang nampak dalam ibadah yang dipimpin oleh Yesus:
ketegangan antara unsur ( roti dan anggur ) yang bersifat sementara itu dan
dalam bentuknya yang sederhana itu ( kata-kata yang biasa tanpa seremoni )
dengan kemuliaan yang abadi dari Tuhan Allah yang hidup itu. Namun ketegangan
ini akhirnya sirna oleh ulah manusia yang tidak sabar dan rindu akan kehadiran
Tuhan Allah. Lagi-lagi terjadi penyimpangan oleh ulah dan perbuatan para
pejabat gerejawi abad ke-2. Kehadiran Allah dalam ibadah telah digantikan oleh
kegiatan seremonial para pejabat gerejawi itu. Kehadiran Allah dalam Perjamuan
Kudus telah digantikan oleh unsur-unsur yang diilahikan ( roti dan anggur ;
“die vergotteten Elemente Brot und Wein”). Artinya, kini yang bertindak ialah
manusia bukan lagi Allah. Imam maju ke depan dan mengorganisasi ibadah itu,
menguasainya, bertindak dan memutuskan melalui seremonial yang saleh. Dalam hal
ini, Tiemeyer menyimpulkan bahwa kini yang terjadi ialah: Ibadah – tanpa Allah
( “Gottesdienst – ohne Gott” ).
40.
Zaman Romawi. Pusat ibadah Gereja
Katolik Roma ialah Messe, yang pada hakekatnya adalah Perjamuan Kudus. Dalam
Messe,menurut pemahaman beliau, Allah telah dimaterialisasikan ( “Gott ist
dinglich geworden” ) dalam sebuah peti sacral yang dikenal dengan nama Hostie (
tempat roti yang sudah berubah jadi tubuh Kristus ). Melalui pelayanan ritus
seorang imam, maka roti dan anggur itu telah diilahikan ( “vergotten” ).
Ketegangan antara Allah dan manusia telah dihancurkan. Gereja yang merayakan
itu memiliki, berkuasa atas Allah dalam peti sacral hostie. Kristus telah hadir
salam peti tersebut. Gereja telah menguasai Allah. Gereja telah berkuasa atas
Allah, bukan lagi sebaliknya Allah mengasai Gereja. Kejatuhan dalam dosa telah
kembali terjadi di tempat kudus. Sekali lagi terjadilah : Kebaktian – tanpa Allah.
41.
Zaman Reformasi abad ke-16. Menurut
pemahaman Tiemeyer, tujuan para reformator ( M.Luther, J.Calvin, dll. )
bukanlah mereformasi kehidupan kultis gereja , sekalipun mereka menilai Messe
itu sebagai suatu pengilahian ( “Abgotterei” ) dan oleh karenanya perlu
ditiadakan. Bagi kedua reformator, Luther dan Calvin, adalah suatu hal yang
sangat mendasar, bahwa tindakan Allah sendiri yang terjadi dalam sebuah ibadah
dan hendaknya jangan ada yang merampok kemuliaan Allah dalam tempat suci.
Ketegangan antara Allah dan manusia harus ditegakkan kembali: “Allah tidak
bertempat tinggal di rumah bait suci buatan manusia” ( Kis.17 : 24 ), demikian
beliau mengutib nas Alkitab. Dalam ibadah itu harus nyata adanya perbedaan
kualitatif antara Allah dan manusia, dan keduanya jangan dicampuradukkan,
melainkan dalam ibadah itu harus nampak kekuatan dan anugerah Allah, bahwa Dia
yang kudus itu mendekatkan diri kepada orang-orang berdosa dan Dia memang
membutuhkan orang-orang berdosa dalam pelayanannya masing-masing. Dengan
demikian Allah yang kembali hadir dalam ibadah sebagai Hakim dan juga sebagai
Juru Selamat. Suara Allah yang mengatakan Tidak pada tindakan-tindakan penuh
dosa kembali terdengar nyaring dalam ibadah, tetapi juga suaraNya yang
mengatakan Ya berlaku bagi orang berdosa. Bagaimana caranya hal sedemikian rupa
dapat terjadi dalam ibadah injili buat para reformator itu? Beliau mengatakan
bahwa hal ini dapat terjadi hanya melalui firman Allah dan bukan melalui Messe.
Sekali lagi beliau mengulangi, bahwa melalui Messe, dalam roti dan anggur yang
telah diilahikan itu, Gereja telah menampilkan diri sebagai pemilik, sebagai
yang mempunyai. Tetapi fireman Allah itu tak akan pernah dapat dimiliki atau
dikuasai oelh siapapun, melainkan firman Allah itu mengajar supaya sabar dan
berpengharapan. Beliau mengutib nas Alkitab Rom 8: 24 :” Sebab kita
diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan
pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang
dilihatnya.” ( “Wir leben im Glauben und nicht im Schauen” = Kita hidup dalam
iman dan bukan dalam melihat dengan organ mata ). Menurut beliau, semua
reformator sependapat akan arti dan makna sebuah ibadah yang injili / evangelis
itu. Mereka beda hanya dalam menentukan bentuk luarnya. Perbedaan antara
Luther, Calvin dan Zwingli hanya dalam bentuk luarnya, bukan secara kualitatif
tetapi hanya secara kuantitatif.
42.
Luther berpijak pada tradisi lama
yaitu liturgi Messe ketika dia memperkenalkan tata ibadahnya, yaitu Messe
Jerman ( “Deutsche Messe” = Messe berbahasa Jerman bukan lagi berbahasa Latin
). Tetapi bagi Luther Messe Jerman ini bukan dianggap bersifat hukum / aturan
ibadah yang harus dipatuhi atau dilaksakan. Rujukan beliau untuk itu ialah kata
pengantar buku Messe Jerman itu ( hal 227 cetakan I ).
43.
Lain halnya dengan Calvin, karena
Calvin mengambil pijakannya dari tradisi alkitabiah. Dalam hal ini, beliau
tidak sependapat dengan orang yang mengatakan bahwa karakteristika dari tata
ibadah calivinis adalah kebeningannya ( “Nuechternheit” ). Beliau mengetahui,
bahwa ketika Calvin melayani di Strassburg beliau sudah mengenal sebuah buku
nyanyian yang dikenal dengan nama Nyanyian Mazmur, dan buku nyanyian ini beliu
perkenalkan kepada jemaatnya di Geneva sebagai “Nyanyian rakyat” ( Volksgesang
). Buku liturgi karangan Calvin tahun 1545 memanfaatkan Nyanyian Mazmur
tersebut. Penilaian akan sebuah tata ibadah yang bening atau cerah, menurut
Tiemeyer lebih tepat diberikan pada Zwingli yang menyusun sebuah tata ibadah
yang berpusat pada firman Allah dan bukan pada nyanyian. Tetapi perdebatan ini
diakhiri beliau dengan kutiban dari nas Alkitab dari 2 Kor. 4: 7: “ Tetapi
harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan
yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami.” Aspek
kuantitatif dari sebuah tata ibadah adalah relative dan tidak mengurangi
esensinya atau istilah yang beliau pakai “kualitasnya” sebuah tata ibadah.
44.
Zaman pasca-reformasi. Menurut
beliau terjadi juga penyimpangan dalam Gereja zaman pasca-reformasi di kalangan
Gereja reformasi. Aliran Ortodoksi telah menjadikan tata ibadah itu sebagai
suatu pemberitaan ajaran ( “Lehrverkuendigung” ). Firman Allah telah menjadi
buku hukum / aturan ( “Gesetzbuch” ). Dan isinya telah disimpan dalam sebuah
lemari buatan roh manusia. Tetapi, demikian beliau, Roh Allah tidak identik
dengan roh manusia. Roh Allah berembus ke mana Dia inginkan. Roh Allah tidak
mau berkompromi dengan roh manusia sekalipun ajaran yang benar itu dibutuhkan.
45.
Aliran Ortodoksi ketika itu berseberangan
dengan aliran Pietisme. Struktur pemikiran pietisme ialah “Mistik dan Injil”.
Berangkat dari pemikiran inilah maka kaum Pietisme selalu menekankan kehidupan
( “Leben” ) dan tidak ajaran ( “Lehre”). Dan sikapnya terhadap Gereja resmi (
arus utama ) tidaklah besahabat, malahan anti-gereja, demikian beliau. Yang
diutamakan bukan ajaran ortodoksi, tetapi kehidupan jiwa-jiwa dalam hubungan
pribadi yang sangat hangat dan emosional dengan Allah, dengan kata-kata yang
membelai seperti : “‘Yesus sang bayi yang cantik, buah hati yang setia.’” (
“’lieben Jesulein’, dem ‘treuen Herzlein’” ). Kembali beliau jumpai di sini
suatu pencampuradukan perbedaan kualitatif antara Allah dan manusia. Dosa
dirasakan sangat menekan dan ini terjadi secara mistis. Dalam hal ini kebenaran
hanya oleh iman sudah sangat menurun. Yang menjadi pergumulan pokok dalam
kehidupan ini ialah bagiamana seseorang dapat meraih kekudusan / kesalehan.
Dalam hal ini beliau mengatakan, bahwa yang terjadi di sini ialah bahwa
manusialah yang mengambil prakarsa dan yang ingin memisahkan diri dari “’Dunia,
Gereja dan Dosa’”, tetapi hasilnya ialah bahwa manusia tetap tinggal sebagai
orang yang ditipu oleh dosa. Demikian penyimpangan yang terjadi dalam aliran
atau kaum Pietisme.
46.
Tetapi bukan hanya dalam gerakan
kegerejaan, seperti dalam Pietisme itu terjadi penyimpangan; penyimpangan
terjadi juga akibat aliran atau semangat Rasionalisme dan Kulturprotestantisme,
sebagaimana masih menguasai pemikiran dan pola pikir manusia Barat sezaman para
misionaris Jerman yang melayani di Tanah Batak. Atas kenyataan maka Tiemeyer
tidak perlu membahasnya secara menditel, karena masih bagian pergumulan masa
kininya mereka yang dalam Konferensi 1936 itu. Beliau hanya ingin mengangkat
yang paling pokok dari kedua aliran itu yang mempengaruhi pola pikir dan sikap
menggereja atau beragama ketika itu. Misalnya nilai-nilai kemanusiaan seperti
kebaikan ( Tugend ), kesejahteraan ( Wohlfahrt ), solidaritas persaudaraan (
Bruederlichkeit ) dianggap sebagai ibadah – pengganti / ibadah – serap (
Ersatz-Gottesdienst ) manusia Barat saat itu, yang memang adalah anggota Gereja
di Jerman saat itu. Dan sejak Schleiermacher ( seorang tokoh teolog abad ke-19
di Jerman ), demikian beliau, terjadilah pemutarbalikan: Allah yang bertindak
bersama jemaat telah digeser oleh perbuatan jemaat yang sedang dipentaskan
bersama Allah. Asumsi beliau yang beliau sampaikan ke tengah konferensi itu
ialah: pola pikir Schleiermacher sangat menguasai diskusi tentang tata ibadah
dan sedang mempengaruhi pola pikir teologis para pendeta di Jerman termasuk
para misionaris Jerman di Tanah Batak, artinya juga mereka yang sedang
mendiskusikan pembaharuan tata ibadah untuk Gereja Batak HKBP. Alasan beliau
berbicara demikian ialah bahwa lahirnya Agenda Union yang lama ( die alte
Unionsagende buat Gereja Senegeri Prusia atau lazim disebut Gereja Evangelis
Union ) sangat banyak dipengaruhi oleh Teologi Schleiermacher, yang berpusat
pada perasaan manusia yang sangat bergantung pada suatu kekuasaan diatasnya
atau diluarnya ( “das schlechthinnige Abhaengigkeitsgefuehl” ). Dan menurut
beliau, Agenda Union itulah yang dipakai saat menyusun tata ibadah Gereja Batak
( HKBP ) edisi pertama. Kapan edisi pertama dari Agenda HKBP diterbitkan,
mencarinya masih tugas kita bersama.
47.
Tiemeyer mengakhiri uraian histories itu dengan mengajukan dua hal yang perlu diperhatikan saat membicarakan revisi Agenda HKBP. Pertama bentuk apapun nanti yang dihasilkan oleh konferensi, maka yang penting ialah mempertahankan roh sejati dari tata ibadah Evangelis / Injili. Kedua harus jelas bahwa siapapun tidak memiliki wewenang seolah-olah dapat memiliki atau mengendalikan Allah, sebaliknya haruslah dikedepankan bahwa Allah yang bertindak dan kita manusia bukanlah orang yang benar tetapi yang dibenarkan melalui anugerahNya.
Tiemeyer mengakhiri uraian histories itu dengan mengajukan dua hal yang perlu diperhatikan saat membicarakan revisi Agenda HKBP. Pertama bentuk apapun nanti yang dihasilkan oleh konferensi, maka yang penting ialah mempertahankan roh sejati dari tata ibadah Evangelis / Injili. Kedua harus jelas bahwa siapapun tidak memiliki wewenang seolah-olah dapat memiliki atau mengendalikan Allah, sebaliknya haruslah dikedepankan bahwa Allah yang bertindak dan kita manusia bukanlah orang yang benar tetapi yang dibenarkan melalui anugerahNya.
6. Dasar teologis tata ibadah Minggu HKBP menurut
F.Tiemeyer.
Untuk menjadikan dasar teologis tata
ibadah Minggu HKBP, F.Tiemeyer mengambil alih dasar teologis tata ibadah injili
sebagaimana beliau temukan dalam sejarah tata ibadah - tata ibadah terdahulu
dalam lima zaman yang beliau paparkan di atas, mulai dari zaman umat Yahudi
hingga zaman pasca-Reformasi. Kesimpulan beliau ialah bahwa tata ibadah Injili
selalu mengedepankan tindakan Allah bersama jemaat-Nya.
Itulah yang diisyaratkan ibadah yang
diawali oleh rumusan “’Dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus’” ( Votum ). Ibadah
Injili bukan dibuka oleh sebuah nyanyian ( oleh jemaat ). Ini mau menjelaskan ,
bahwa manusia ( dalam hal ini liturgis ) bukan bertindak atas kekuatan atau
wibawa jemaat atau pribadi sendiri tetapi atas penugasan Allah yang berindak
itu. Dan makna serta arti sebuah nyanyian yang dinyanyikan bersama oleh jemaat
dan pendeta ( liturgis ) hendaknya mengisyaratkan pernyataan bersama akan
kehadiran Allah dan kerelaan jemaat untuk sujud dan berdoa di hadapan Allah.
Suara Allah yang gemuruh hendaknya bergaung untuk menyadarkan manusia supaya
rela melepaskan diri dari roh yang selalu ingin menguasai ( Allah ). Suara
Allah seperti itu pernah didengar oleh Musa saat dia menggembalakan ternak
mertuanya Yetro : “’Janganlah datang dekat-dekat: tanggalkanlah kasutmu dari
kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus.’” (
Kel. 3:5 ). Kutiban ini mau mengingatkan setiap orang yang mau menyusun atau
membaharui tata ibadah ( HKBP ) agar selalu mewaspadai bahwa pengaruh kehadiran
Allah selalu membangkitkan rasa terkejut ( Erschrecken ), penyesalan ( Reue )
dan pertobatan ( Busse ). Itulah sebabnya dalam ibadah nampak unsur pengakuan
dosa dari pihak jemaat ( bersama liturgis ). Baik liturgis maupun jemaat
sama-sama pihak yang berdosa di hadapan Allah. Ketergerakan hati dan pikiran
mengaku dosa mendorong manusia untuk rindu menerima pengampunan dosa melalui
janji anugerah melalui pembacaan firman Allah ( yang dikutib dari Alkitab ).
Setiap orang akan tergerak hatinya mengatakan: “ya Tuhan Yesus, seandainya
Engkau tidak ada dekatku, apalah saya ini!” Pengakuan dosa dan pengampunan dosa
tersebut dilanjutkan oleh sebuah doa jemaat. Doa tersebut akan mengantar pengkhotbah
yang akan memberitakan firman Tuhan, artinya pengkhotbah bertindak sebagai
mulut Allah pada hal dia juga adalah orang berdosa ; dan itulah sebabnya jemaat
mendoakan pengkhotbah dan jemaat itu sendiri, agar Allah sendiri yang akan
membuka hati, mulut dan telinga mereka untuk memahami dan menerima firman
Tuhan. Doa ini dilanjutkan dengan sebuah nyanyian khusus untuk menghantar
khotbah yang akan segera disampaikan oleh pengkhotbah. Melalui khotbah Allah
berbicara kepada jemaat yang datang dalam sikap penyesalan dan rasa serba
kekurangan. Allah datang melalui firman yang disampaikan melalui khotbah. Allah
menyampaikan pengampunan dosa terhadap jemaat yang berhimpun itu. Allah
menyampaikan seluruh kekayaan anugerahnya kepada jemaat. Ini pula yang
diisyaratkan salam anugerah dari pengkhotbah. Inti sari dari khotbah ialah:
firman Allah selalu punya kekuatan untuk mengikat ( bindend ) dan membebaskan (
loesend ). Jemaat terikat untuk tetap setia terhadap tuntutan Allah: “’engkau
adalah milik-Ku!”. Allah membebaskan orang-orang yang telah menyesali
dosa-dosanya :”’pergilah dalam damai, imanmu telah menolong engkau!’”. Kemudian
pengkhotbah dan jemaat mengucapkan doa ucapan terimakasih kepada Allah yang
mencurahkan anugerahnya yang melimpah itu dan ini diakhiri dengan sebuah
nyanyian. Memang anugerah Allah tidak akan berkesudahan. Setiap hari kasih
karunianya selalu baru. Dalam situasi yang demikian, jemaat bangkit berdiri
untuk mengucapkan Pengakuan Percaya ( Kredo = Aku percaya ). Artinya, melalui
firman Allah yang disampaikan melalui khotbah, jemaat dipanggil kembali untuk
mengucapkan pengakuan umat Allah sepanjang abad kepada Allah bersama-sama
dengan seluruh umat Allah di dunia ini, baik jemaat terdahulu, maupun jemaat
terkini dan jemaat yang akan datang. Bersama-sama dengan umat Allah sepanjang
zaman, jemaat yang berkumpul itu patut mengucapkan kembali Pengakuan Percaya
yang universal itu. Menurut Tiemeyer, di sini yang berbicara bukan perasaan (
Gefuehl ) yang sangat subjektif itu, tetapi Pengakuan yang walaupun dengan
kata-kata yang diulangi dan dengan pikiran yang cerah. Kemudian jemaat
bernyanyi. Melalui nyanyian itu, jemaat diingatkan akan tanggungjawab jemaat
terhadap kehidupan orang-orang yang berkekurangan, terhadap tanggungjawab
jemaat terhadap tugas pelayanan Allah di seluruh dunia ( diakonia ). Itulah
alasannya maka jemaat mengumpulkan persembahan ( “Kollekte” ). Kemudian
dilanjutkan dengan doa penutup. Jemaat menyampaikan doa pujian dan terimaksih
atas perbuatan Tuhan Allah di dalam dan melalui firman-Nya dan kepedulian Allah
kepada Gereja-Nya dalam segala kekuatan dan kekurangannya, dan atas kesempatan
yang diberikan oleh Allah kepada jemaat-Nya untuk menyampaikan persembahannya
ke hadapan takhta Tuhan Allah yang mulia itu; dan ini semuanya permohonan itu
dirangkum dalam doa “Bapa kami”. Dan di dalam berkat Allah dan janji
perlindungan-Nya bagi jemaat yang selalu menghadapi berbagai cobaan, serta
diakhiri nyanyian permohonan : Sai tiop ma tanganhu ( “So nimm denn meine
Haende” ), maka jemaat kembali ke dunia sehari-hari, menjalani kehidupan
sehariannya, dan di sana akan mempelajari, bahwa seluruh hidup ini adalah
sebuah ibadah kepada Tuhan Allah ( “Gottesdienst” ), bahwa hidup kita seutuhnya
adalah sebuah pertobatan.
Semua yang beliau paparkan di atas
itu didorong oleh kemauan dan komitmen bukan untuk mengejar sebuah bentuk atau
bahkan sebuah bentuk baru tata ibadah, tetapi lebih banyak didorong oleh minat
dan kerinduan supaya tata ibadah tetap berazaskan tindakan Tuhan Allah,
kehadiran Tuhan Allah ditengah-tengah jemaat yang beribadah itu. Beliau
mengulangi lagi bahwa Yesus tetap berada di dalam bait suci Israel, tetapi
kemudian meruntuhkannya. Martin Luther telah mengambil alih bentuk liturgi
Messe yang lama ( Gereja Katolik Roma ), tetapi kemudian merombaknya untuk
Gereja Reformasi. Beliau mengutib ungkapan reformatoris ini :”’Roh itulah yang
menghidupi’”. Kemudian kutiban ini dilanjutkan oleh kalimat yang dialektis,
bahwa kita masih hidup dalam daging dan dalam sebuah bentuk yang nyata, dan
oleh karena itulah dalam bentuk yang bersifat sementara itu, kita wajib mencari
sebuah bentuk ( tata ibadah ), yang dalam bentuk yang fana itu kita akan
menyimpan isi yang mendekati kepenuhan yang diharapkan. Demikian F.Tiemeyer
mengakhiri paparannya tahun 1936.
7. Pdt.Dr/.Justin Sihombing.
Masih ada penjelasan tentang susunan
mata cara tata ibadah minggu yang harus diperhatikan, yakni dari kalangan para
pendeta HKBP masa kepemimpinan para misionaris RMG dan pada awal masa
kemandirian HKBP ( sejak 10-11 Juli 1940 ). Diantara mereka ialah Pdt. M.
Pakpahan dan Pdt. Dr.Justin Sihombing, Ephorus Emeritus kedua dari kalangan
pendeta HKBP ( 1942-1962 ).
Pada kesempatan ini cukup kalau
diambil pikiran dan penjelasan dari Justin Sihombing, yang dalam usia lanjut
masih menyeselaikan sebuah buku tentang khotbah dan tata ibadah HKBP tahun
1963. Beliau melihat bahwa sedikitnya ada empat hal yang mendasar yang harus
dipenuhi oleh sebuah tata ibadah Minggu.
Pertama, tata ibadah itu harus
mencerminkan makna dan arti dari persekutuan kristiani,yakni “parsaoran ni
Debata dohot huria-Na dohot parsaoran ni huria dohot Debata.” Artinya,
persekutuan Allah dengan gereja-Nya dan persekutuan gereja dengan Allah.”
Segala sesuatu yang tidak mendukung unsur hakiki, hendaknya dijauhkan,
sebaliknya segala sesuatu yang mendukungnya hendaknya diupayakan. Lebih jauh
lagi, beliau menekankan bahwa persektuan gereja dengan Allah, bukanlah
persekutuan seseorang dengan Allah, karena itu apa yang hanya menguntungkan
orang per-orang hendaknya jangan dilakukan dalam ibadah itu, tetapi segala
sesuatu yang terjadi dalam ibadah, hendaknya berkaitan dengan kepentingan
“hatopan” ( umum / public ). Beliau sangat mengedepankan arti dan makna sebuah
“huria”, sebuah Gereja, persekutuan orang-orang percaya; Gereja yang aktif,
bukan individunya orang –perorang. Ketika pemberitaan firman diberikan melalui
khotbah, maka yang menjawab bukan individu, tetapi jemaat sekalipun bukan
dengan suara yang kedengaran, tetapi melalui suara hati para pendengar khotbah
itu. Beliau menjelaskan makna yang terdalam dari persekutuan itu dengan
menerapkannya akan apa arti sebuah nyanyian atau paduan suara dalam ibadah.
Beliau mengatakan, bahwa “rapna I do pangkal manang ojahan ni parendeon di
bagasan parpunguan Kristen, ndada holan ende ni angka koor. Ai ndada holan na
marende na arga, alai na rap marende I do. .. ai ia merande pe angka koor ala
na dipasahat huria I do tu nasida…. Ingkon domu do parendeonnasida tu
pangkilaan ni hria na mangutus nasida taringot tu ganjang ni ende, loguna dohot
hata ni ende i. Asa ndang na bebas nasida mambahen lomo-lomona. ” Misalnya,
dalam sebuah doa, kata yang digunakan ialah kata “kami”, bukan “saya”
Kedua, adapun caranya Allah
bersekutu dengan gereja /jemaat-Nya ialah melalui manusia yang Allah utus bagi
jemaat itu. Dan cara yang dipakai oleh utusan Allah hanya satu, yakni melalui
pemberitaan firman itu ( “marhite sian na mangkatahon hata I sambing. ) Masih
ada pendukungnya, yakni berupa symbol untuk lebih menekankan arti dan makna
firman itu sendiri. Pada saat melayankan kedua sakramen, di sana muncul juga
bebagai bahasa atau gerakan simbolis, misalnya pada saat memercikkan air
baptisan dan mempersiapkan tanda-tanda nyata perjamuan kudus dalam rupa roti
dan anggur, atau pada saat liturgis mengangkat kedua tangannya saat
menyampaikan berkat Tuhan Allah; juga pada saat jemaat berdiri. Semuanya itu
punya muatan simbolis. Beliau menekankan, bahwa muatan-muatan simbolis itu
bukan untuk mensahkan apa yang dilayankan itu, hanya sebagai alat menolong
penghayatan atau penerimaan sakramen itu.
Ketiga, dia yang berbicara
ditengah-tengah persekutuan yang beribadah itu bertindak sebagai wakil jemaat
untuk berbicara kepada Tuhan Allah melalui doa, atau sebagai wakil Allah
menyapa jemaat itu melalui khotbah . Dan menurut beliau, mereka yang bertindak
sebagai wakil Allah dan juga sebagai wakil jemaat, tidak perlu harus seorang
pendeta atau guru , tetapi dia harus yang diangkat ( “pinabangkit” ) oleh jemaat
itu; artinya, dia yang diberi oleh jemaat wewenang dan tugas untuk
melakukannya. Seseorang tidak berhak mengangkat dirinya untuk berdiri di depan
jemaat sebagai wakil Allah dan sekaligus sebagai wakil jemaat. Allah itu adalah
Allah yang cinta keteraturan.
Keempat ( terakhir ), segala sesuatu
yang terajdi dalam ibadah harus sesuai dengan kehadiran atau keberadaan (
“haadongon” ) Allah dalam persekutuan itu. Jemaat harus merasakan bahwa Allah
hadir dari awal hingga akhir ibadah, bahwa jemaat itu bersekutu di hadapan
Allah. Untuk itu,hedaknya diupayakan supaya ibadah itu dapat berjalan dengan
keteduhan, jangan ada orang yang keluar masuk, jangan ada orang yang duluan
keluar.
Beliau dalam memberikan penjelasan
dan arti dari setiap mata acara ibadah , beliau mengacu pada tata ibadah dalam
Agenda HKBP terakhir ( misalnya edisi 1998 ). Beliau tidak memberikan
penjelasan kritis secara teologis-praktis sebagaimana dilakukan oleh
F.Tiemeyer, tetapi menyampaikan penjelasan-penjelasan yang medukungnya dan
mengingatkan jemaat khusunya para liturgis / pengkhotbah; sikap tidak
sungguh-sungguh dan acak-acakan hendaknya dijauhkan. Misalnya, ketika jemaat
bernyanyi, hendaklah jemaat merasakan bahwa melalui nyanyian itu jemaat ingin
berbicara dengan Allah. Mustahil jemaat berbiacara dengan Allah dengan suara
yang dilagukan secara tidak baik; makanya setiap anggota jemaat harus
mengetahui melodi dari nyanyian dalam Buku Ende HKBP, karena itulah harta yang
sangat berharga. Atau, ketika liturgis menyampaikan votum, “patut tarsunggul di
bagasan rohana nang di roha ni huria I, angka na binahen ni Debata Ama na
tarsurat di Padan na Robi sahat ro di nuaeng.” Artinya, mendengar nama Allah
Tritunggal itu, maka liturgis dan jemaat terus merasakan dalam batin mereka
alangkah besarnya dan banyaknya tindakan Allah demi keselamatan umat-Nya
sepanjang zaman.
8. Tugas kita kini.
Beberapa masalah teologis dan
praktis yang diliput dari paparan-paparan diatas, menjadi tugas Gereja masa
kini. Di bawah ini akan disebut beberapa yang paling penting.
Pertama, adanya kecenderungan kearah
pemahaman yang bersifat individualistis dan moralistis tentang “pengakuan dosa”
dan tentang “Hukum Taurat” , seperti tercermin dalam doa-doa. Pertanyaan yang
mungkin diajukan ialah, di mana akarnya mengapa demikian? Apakah karena
pengaruh kehidupan yang “pietistic” abad-abad ke-18 dan ke-19, sekalipun
F.Tiemeyer ingin menghindar dari bahaya Pietisme itu? Apakah ketegangan (
dialektis ) dari Injil dan Taurat masih tercermin dalam keseluruhan mata acara
ibadah itu? Apakah tata ibadah hari Minggu (HKBP ) terlampau “cerah” (
“nuechtern” ) seperti diinginkan oleh J.Calvin - menurut pantauan Tiemeyer?
Bagaimana caranya menerapkan apa yang diharapkan Tiemeyer, supaya firman Allah
yang dikhotbahkan itu benar-benar “mengikat” dan sekaligus “membebaskan”?
Inilah beberapa pertanyaan teologis dan praktis yang dituntut oleh refleksi
akan dasar-dasar teologis dari tata ibadah edisi dulu ( 1904 ) dan kini ( 1998
). Suatu masalah yang sulit untuk dikritik oleh F.Tiemeyer yaitu tentang
ajaran-ajaran katekisasi yang berpusat pada upaya untuk merubah pikiran,
karakter dan mental orang-orang Kristen ( Batak ) yang masih kuat dikuasai oleh
hidup “kekafiran” yang memang mereka sudah tinggalkan secara formal melalui
berbagai ibadah, baptisan kudus dan perjamuan kudus, dan melalui penggerejaan
seluruh penggalan kehidupan mereka mulai lahir hingga kematian, sebagaimana
tercermin dalam berbagai tata ibadah dalam Agenda 1904. Prioritas utama bagi
setiap misionar ialah bagaimana supaya hidup setiap orang Kristen itu dapat
digarami dan disinari oleh Injil dari dalam diri mereka masing-masing. Dengan
tujuan merubah kehidupan dari dalam, dan bukan hanya dari luarnya. Dan mungkin
semangat pietisme dari Eropa menjadi dambaan para misionaris,namun hanya dari
segi pertobatan secara individualistic tanpa ada kepedulian pada dunia sekitar
yang dilanda banyak maslah social dan ketidakadilan itu. Pertanyaan-pertanyaan
yang sangat pribadi yang tercantum dalam tata ibadah baptisan, perjamuan kudus,
dan juga pembacaan Hukum Taurat setiap Minggu mengisyaratkan tujuan penginjilan
yang moralistic – individualistic itu. F.Tiemeyer tidak mengajukan pemikiran
yang kritis tentang hal ini, tetapi sudah mengajukan dasar-dasar teologis yang
bukan pististik moralistic, tetapi mengedepankan Injil yang mengikat dan
sekaligus membebaskan itu, seperti beliau canangkan dalam ceramahnya 1936 itu.
Tetapi beliau secara tidak langsung sudah merindukan adanya revisi tata ibadah
yang lebih mengacu pada dasar-dasar teologis dan praktis yang lebih
reformatories, bukan yang tetap melekat pada semangat penginjilan yang
pietistic – moralistis, yang cenderung sangat menekankan Hukum ketimbang Injil.
Asumsi kita ialah bahwa situasi jemaat-jemaat HKBP 2008 sudah berbeda dengan
situasi jemaat-jemaat 1936. HKBP 1936 persis merayakan 75 tahun HKBP, dan tahun
2011 mendatang HKBP akan merayakan jubileum 150 tahun hari jadi HKBP yang
sekaligus 150 tahun pengkristenan di Tanah Batak. Tata ibadah mendatang harus
memperlihatkan semangat yang lebih mencerminkan kuasa Injil ketimbang kuasa
Hukum, karena RohTuhan berembus kemana Roh itu inginkan.
Kedua, adanya kecenderungan untuk
menyesuaikan cara pemakaian tata ibadah yang cenderung ingin memenuhi kebutuhan
( “selera” ) jemaat yang menginginkan sebuah ibadah yang lebih menyentuh budaya
hidup yang didominasi pesta budaya / adat Batak, yang dinikmati bukan oleh
pikiran tetapi oleh hati yang merasa. Diskusi kea rah ini sudah pernah
disinggung oleh Rapat / Konferensi para misionaris Jerman tahun 1936 di Sipoholon.
Antara lain disebutkan, bahwa dalam Konferensi tersebut muncul beberapa pikiran
kritis: supaya diadakan beberapa model tata ibadah ( liturgy ), mwnghias
dinding gereja dengan beragai gambar-gambar dari cerita Alkitab , supaya
memperbanyak yanyanyian gereja , membuat tata ibadah di mana porsi khotbah
dikurangi,dan mengedepankan aspek merayakan dalam ibadah, bentuk gedung gereja
yang lebih megah, membuatkan ibadah gerejawi buat perayaan musim panen dan
musim menanam. Inilah beberapa usul perbaikan tahun 1936. Dan usul perbaikan
tahun 2008 ini akan memperhitungkan kritik jemaat terhadap tata ibadah hari
Minggu HKBP serta upaya HKBP untuk menyambut keinginan jemaat akan sebuah tata
ibadah yang lebih santai, lebih dekat pada persaan hati ketimbang pada pikiran.
Berapa jauh Gereja dapat dan harus memasuki jiwa mistik dan misteri yang
dijiwai oleh manusia Indonesia? Aspek mistik dan misteri ini diduga bakal
semakin kuat oleh karena pengaruh ibadah / kultus Islam di Indonesia dan juga
oleh pengaruh tata ibadah Kristen Kharismatik. Mungkin khotbah dan pengajaran
yang disajikan itu terlampau didominasi oleh pikiran yang dingin dan kurang
mempedulikan emosi ( “Gemuet” ) para pendengarnya, sebagaimana diungkapkan oleh
sebagian anggota jemaat gereja-gereja arus utama tarmasuk HKBP. Demikian
beberapa pemikiran yang disampaikan, yang perlu dikaji ulang pada kesempatan
ini. Pikiran kritis tahun 1936 dan tahun 2008 ini dapat menjadi kekuatan bagi
para pelayan HKBP dalam membentuk beberapa bentuk tata ibadah hari minggu
tetapi selalu menghargai hal-hal yang fundamental bagi sebuah tata ibadah
injili. Hal ini akan dilihat lebih lanjut dari uraian berikutnya dalam paparan
ini.
Ketiga, Pertanyaan yang menyoroti
cara-cara pemakaian yang tidak lagi mendukung hakekat injili dari ibadah
Minggu, seperti terjadi tahun 1936 itu, semakin mengemuka dan semakin nyaring
pada zaman, di mana kita hidup, terutama sejak gerakan Kristen Kharismatik
memasuki kehidupan beribadah anggota-anggota jemaat dari gereja-gereja arus
utama di Indonesia sejak tahun 1970-an. Memudarnya keheningan yang berpusat
pada kehadiran Tuhan Allah yang bertindak dan respon manusia yang berdosa
sekaligus diampuni dosanya, manusia yang bebas oleh Injil dan sekaligus terikat
oleh tuntutan Hukum Allah ( Taurat ). Penyebabnya, a.l. banyaknya paduan suara
yang mempersembahkan lagu-lagu pujian yang tidak mendukung mata acara ibadah,
warta jemaat yang terlampau bertele-tele, kesiapan para liturgis untuk
membacakan sekaligus menghayati mata acara ibadah, banyaknya pengumpulan dana
melalui kantong-kantong persembahan, khotbah yang kurang focus dan terlampau
dogmatis, praktek lelang yang melelahkan dan menonjolkan kompetisi antara yang
melakukan lelang, dll. Pertanyaan yang harus dijawab ialah, bagaimana caranya
mengembalikan keheningan itu, keteraturan, kehadiran Allah yang bertindak,
pelayanan Yesus Kristus yang tidak suka dilayani, gerakan Roh Kudus yang
seperti angin, yang tidak bisa dikendalikan upaya manusia secara ritus atau
mistis, sehingga mata acara ibadah itu mengalir seperti air yang menyejukkan
pikiran dan hati para pengunjung ibadah, sehingga mereka benar-benar bertemu
dengan Tuhan Allah yang mengundang mereka memasuki rumah Allah? Bagaimana
membentuk sebuah tata ibadah yang mencerminkan keseimbangan antara makanan
pikiran ( dogmatis / teologis ) dan makanan hati / emosi, kesembangan antara
yang cerah dan yang emosional – selebritis, keseimbangan antara yang penuh
keheningan dan yang bersemangat perayaan penuh suka cita? Bentuk tata ibadah
yang tetap hikmat dan mulia masih diinginkan oleh sebagian anggota jemaat
gereja arus utama termasuk HKBP. Inilah seperangkat pertanyaan yang bersifat
teologis dan praktis. Hadirnya kelompok-kelompok paduan suara dalam ibadah
minggu hendaknya mendukung dasar-dasar terologis dari sebuah ibadah injili itu,
bukan sebaliknya mengaburkannya, demikian juga mata acara lainnya, seperti isi
warta jemaat.
Keempat, perlunya mencermati
pertanyaan-pertanyaan kritis tahun 1936 yang dikemukakan oleh F.Tiemeyer
sebagai suatu cara memperkaya diskusi tahun 2008 ini. Beliau mengangkat
pertanyaan-pertanyaan kritis yang beliau ajukan pada pemahaman akan
bagian-bagian liturgy lainnya, yang tak terpisahkan dari liturgy ibadah hari
Minggu dan hari-hari kegerajaan lainnya menurut kalender gerejawi sepanjang
abad itu. Beliau menyoroti keabsahan teologis dan praktis dari ibadah yang
menyangkut: ibadah naik sidi, baptisan, pemberkatan nikah, perjamuan kudus,
pemakaman, pengucilan, dan ordinasi pendeta. Pada kesempatan ini akan diambil
sorotan beliau tentang naik sidi, baptisan dan perjamuan kudus. Ketiga ibadah
itu tidak lepas dari ibadah hari Minggu, karena ketiganya dilakukan pada hari
Minggu atau hari-hari perayaan kalendaris gerejawi, dan urutannya sesudah mata
acara khotbah dan pengumpulan persembahan. Menurut beliau, terjadi berbagai
penyimpangan dalam melakukan ketiga ragam ibadah diatas. Dalam ketiganya ada
isi mata acara yang telah mengaburkan hakekat injili dari sebuah tata ibadah
yang injili.
A).Dalam ibadah naik sidi, menurut
beliau pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh calon konfirmanden itu
telah memaksa mereka untuk berjanji ( “marpadan” ) mengiyakan dan melakukan
apa-apa yang mustahil dilakukan tanpa salah seabagai manusia biasa, yaitu:
mengakui firman Allah yang mereka pelajari sebagai jalan ke kehidupan (
pertanyaan I ), percaya kepada Allah Bapa, AnakNya Tuhan Yesus Kristus dan Roh
Kudus ( pertanyaan II ), bersedia berperilaku sesuai dengan iman ( haporseaon )
yang telah diakukan ( pertanyaan III ), bersedia menjauh dari segala macam dosa
dan segala macam hal yang bertentangan dengan firman Allah, sampai akhir hayat
( pertanyaan IV ); bersedia menghadiri ibadah hari Minggu untuk mendengarkan
firman Allah, dan juga bersedia setiap hari berdoa kepada `Allah ( V ); dan
terakhir, bersedia mengikuti perjamuan kudus sebagai jalan untuk menguatkan
iman ( VI ). Beliau mempertanyakan apakah layak Gereja itu seolah-olah punya
hak dalam nama Allah untuk mendorong ( memaksa ) mereka berjanji di hadapan
Allah dan jemaat, bahwa mereka tidak akan melepaskan diri dari Yesus sumber
kehidupan itu ( “’Nada ra be morot au sian Jesus hangoluan’” ).
Penjelasan kritis.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menurut beliau secara teologis tidak dapat
dibenarkan, sebab adalah keyakinan umum bahwa manusia itu selalu cenderung
untuk melarikan diri dari hadapan Allah. Kemudian, bagi F.Tiemeyer tidaklah
benar secara teologis untuk mengundang mereka yang baru naik sidi itu untuk
melakukan perjamuan kudus. Karena di situ ada unsur pemaksaan. Usul beliau
ialah, supaya menghilangkan ke-enam pertanyaan itu, pertanyaan sehubungan
dengan pengikatan janji itu. Mata acara pengakuan iman percaya sangatlah tepat
untuk dipertahankan dan dilaksanakan. Sebagai ganti dari keenam pertanyaan yang
bermuatan pemaksaan kehendak terhadap calon naik sidi, ini lebih baik diganti
dengan himbauan atau bimbingan berdasarkan firman Allah. Kemudian, supaya acara
perjamuan kudus dipisahkan dari acara naik sidi, dan dengan demikian keinginan
yang tulus dari setiap anggota jemaat untuk mengikuti atau tidak mengikuti
menjadi prioritas utama. Tentang keinginan supaya usia memasuki pelajaran naik
sidi itu di geser ke tingkat usia yang lebih dewasa, hal ini sebaiknya
dipikirkan secara psikologis – religi, tetapi kalau jawabannya dari segi
teologi ialah, bahwa Roh itu bergerak kemana Dia inginkan. Dan sebagaimana
beliau asumsikan, bahwa perubahan usia memasuki naik sidi itu dikaitkan dengan
tujuan “lahir kembali” ( Neugeburt ), pada hal tentang lahir kembali itu tidak
pernah bergantung pada usia seseorang.
B). Tentang ibadah baptisan, beliau
mengedepankan pikiran beliau, bahwa dalam baptisan itu, Allah telah melakukan
sebuah awal yang baru. Allah yang bertindak, bukan manusia. Bukan dengan cara
magis, tetapi melalui firman yang anugerah itu. Dalam baptisan anak-anaklah
memang paling nyata bahwa Allah yang bertindak, bukan manusia bersama Allah.
Beliau memberikan alasan teologisnya, bahwa jauh sebelum manusia tahu secara
sadar akan yang baik dan yang jahat, jauh sebelum kita manusia dapat memutuskan
sesuatu untuk kita, kepada kita sudah jatuh sebuah keputusan melalui sebuah
akta yang nampak, di dalam nama Allah. Dengan alasan demikian, beliau
mengatakan bahwa anak baptisan itu melalui akta baptisan telah menerima secara
utuh keselamatan dari Allah.
Usul perbaikan: Berdasarkan
pemikiran teologis di atas, beliau melihat ada yang harus diperbaiki dalam
rumusan-rumusan kata-kata resmi ( liturgy ) dalam mata acara baptisan itu.
Beliau mempertanyakan, apakah bisa dipertanggungjawabkan ( teologis ), kalau para
orang tua anak baptisan mengucapkan pengakuan percaya mereka dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka? Apakah hal ini
mengisyaratkan, bahwa manusia dapat membuat kepustusan sendiri atas kekuatannya
sendiri. Dan mengapa Gereja menginjinkan para calon baptisan atau orang tua
para calon baptisan ( anak-anak ) lebih dulu mengucapkan pengakuan percaya
mereka? Apakah baptisan itu bergantung pada ( kemampuan ) iman manusia? Apakah
kita tidak tahu, demikian beliau, bahwa baptisan hanya terjadi di atas dasar
firman Allah, atas dasar perintah Kristus? Karena tanpa firman itu, air
baptisan tetap air, dan tidak bakal ada baptisan, demikian beliau mengutibnya
dari seorang teolog sezamannya. Dan terakhir, beliau memberi komentar atas
kelemahan dari pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab oleh para orangtua anak
baptisan. Ketiga pertanyaan itu tidak memberi ruang untuk memikirkan hubungan
antara pertobatan ( Busse ) dan baptisan, yang dikedepankan ialah hubungan
antara baptisan dan pengajaran ( Schulunterricht ), antara baptisan dan
perilaku yang terpuji ( guten Wandel )
C.) Sorotan berikut ialah tentang
dasar teologis dan cara merayakan perjamuan kudus seperti tertuang dalam Agenda
1904. F.Tiemeyer memperkenalkan posisi teologis beliau, bahwa “perjamuan kudus
menggambarkan kehadiran yang hidup dari Allah yang dinyatakan dalam Kristus (
die lebendige Gegenwart des in Christus geoffenbartes Gottes ). Di sini
nampaklah cinta kasihNya ( seine Liebe ). Pemberian-Nya ( Sein Geben ).
Ajakan-Nya ( Sein Werben ). Simpati-Nya kepada kita ( Seine Hingabe an uns ).
Singkatnya EUXARISTI.” Beliau menambahkan lagi bahwa, perjamuan kudus adalah
akta yang sesungguhnya, yang mendasar dalam mendirikan jemaat-Nya.
Penjelasan kritis: Berangkat dari
pemahaman di atas, beliau melihat bahwa tugas yang paling sulit untuk para
misionaris RMG / HKBP ialah membaharui tata ibadah perayaan perjamuan kudus
yang sejak 1860-an telah dirayakan oleh jemaat-jemaat di HKBP. Namanya saja
yaitu “ulaon na badia” ( karya yang kudus ) telah menciptakan pemahaman tentang
perbuatan baik dari pihak manusia. Beliau menilai bahwa di sini sudah terjadi
kesalahpahaman tentang perayaan perjamuan kudus. Kelima pertanyaan yang mau
dijawab oleh jemaat sangat jelas mengedepankan kemauan baik ( guten Willen )
manusia, dan baru pada tempat yang kedua muncul kasih Allah dan kepedulian
Allah Bapa didalam Anaknya Yesus Kristus. Beliau menekankan, bahwa upaya-upaya
pertobatan kita manusia tidak akan memampukan kita menerima sakramen itu,
melainkan hanya iman: “’diberikan dan dicurahkan bagimu’”. Beliau ingin kembali
pada pemahaman jemaat mula-mula, di mana nampak unsur perayaan, bukan kelayakan
manusia menerima atau belum layak menerimanya. Unsur perayaan itu sedemikian
berharga, yang padananya ialah perayaan hari kematian dan pemakaman orang-orang
percaya. Kekayaan karya perbuatan Allah dalam perjamuan kudus ( Abendmahl =
perjamuan malam ) telah tertutupi dalam “ulaon na badia” ( karya kudus manusia
). Untuk itu beliau masih mengutib pandangan seorang teolog sezamannya, bahwa
perjamuan malam itu adalah jaminan realitas Gereja dalam dunia kematian kita
dan kepastian harapan akan hari, di mana kerinduan jemaat pengantin laki-laki
digenapi oleh jamuan malam domba.
9. Pandangan para pemerhati tata ibadah kini.
Di bawah ini akan diperkenalkan
berbagai opsi tentang ibadah yang sejati, yang injili sebagaimana dilihat oleh
para pemerhati dari bidang Teologia. Tujuannya ialah bukan untuk membuat sebuah
perbandingan , tetapi untuk semakin memantapkan pemahaman teologis dan praktis
sebagaimana diharapkan oleh F.Tiemeyer , yang mewakili suara para pelaku
pengadaan buku Agenda HKBP. Dengan demikian kita pun tertolong untuk
menggunakannya sebagai bahan acuan dan referensi untuk merevisi tata ibadah
HKBP.
Sepintas terkesan bagi kita,
alangkah dekatnya pendekatan dan pemahaman dari para generasi misionaris Jerman
tersebut dengan opsi-opsi yang disajikan oleh para pemerhati kini. Baik pikiran
“lama” maupun pikiran “baru” tersebut cenderung untuk mendorong kita untuk
memikirkan ulang dasar-dasar teologis dan praktis serta bentuk dari tata ibadah
HKBP untuk masa depan.
9.1. Andar Ismail. Beliau membuat
opsi yang sangat jelas dan sederhana, yaitu adanya tiga kaidah ibadah yang
injili: (1) Kaidah keutuhan. Keutuhan semua mata acara ibadah mulai dari awal
hingga yang akhir. Artinya, hakikat bagian awal ibadah adalah undangan pihak
Tuhan Allah dan kedatangan pihak jemaat atau umat. Bagian awal ini dicerminkan
oleh pujian, penyesalan, perendahan diri, pengakuan dosa, permohonan, dan
pemberitaan anugerah. Kemudian sapaan Allah adalah bagian yang kedua,
dicerminkan oleh: pembacaan Alkitab, khotbah, dan sakramen. Dan akhirnya
ditampilkan bagian yang terakhir, yang dicerminkan oleh: pengakuan iman,
persembahan, dan doa syafaat. Dengan menampilkan sebuah ibadah yang utuh, maka
setiap anggota jemaat akan diberi kesempatan untuk menempuh perjalanan rohani /
spiritual bersama dari jemaat /umat yang berkumpul itu. Asumsi kita, paparan
F.Tiemeyer akan mendudukung usulan ini, yaitu menampilkan keutuhan dari semua
mata acara ibadah injili itu, sekalipun urutan mata acara itu menampilkan
perbedaan. Tata ibadah 1904 dan opsi Ismail sama-sama tidak menampilkan mata
acara pembacaan Hukum Taurat; artinya penampilan Hukum Taurat dalam tata ibadah
HKBP edisi 1998 adalah perkembangan berikutnya. Tata ibadah 1904 menempatkan
mata acara pengakuan iman sebelum mata acara khotbah, sedang Ismail
menempatkannya sesudah khotbah; apa pun alas an masing-masing, kalau secara
teologis – praktis alas an-alasan tersebut tidak bakal bertentangan,tergantung
pada penekanan dari hakikat Hukum Taurat itu sendiri, karena Hukum Taurat merangkum
Hukum Kasih, yaitu mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama, jadi bukan menonjolkan
muatan yang berlebih-lebihan akan tuntutan kehidupan
moralistis-individualistis, yang cenderung menggambarkan dunia gelap yang penuh
kuasa iblis yang harus dijauhkan oleh setiap orang percaya. Dengan kalimat
Tiemeyer, Gereja harus mempertahankan adanya ketengangan indah / dialektis
antara keterikatan dan kebebasan yang bersumber dari firman Allah yang dibaca
dan dikhotbahkan itu. (2). Kaidah timbal-balik. Artinya, ibadah yang
menampilkan adanya irama gilir-ganti, timbal-balik atau sahut menyahut. Ini
nampak dalam mata acara votum: Allah menyatakan kehadiran-Nya, yang segera
disambut oleh jemaat / umat; pembacaan Alkitab atau khotbah yang melambangkan
firman Allah, yang segera disambut jemaat / umat dengan sikap bersaat teduh.
Dengan kata lain, Allah menyapa dan jemaat menjawab. Atau jemaat bicara dan
Than menjawab. Ketika jemaat berdoa, nampak bahwa jemaat bicara dan Allah
mendengar, sekaligus berbisik kepada jemaat dan jemaat berdiam diri mendengar
bisikan Allah. Dalam kaidah timbale-balik itu jemaat menampakkan diri sebagai
subjek yang aktif, bukan pasif, sebgaimana diduga oleh sebagian orang. Tata
ibadah HKBP 1904 dan 1998 menampakkan kaidah timbale-balik tersebut, sekalipun
sering dikaburkan oleh banyaknya paduan suara yang memuji Tuhan bersama-sama
dengan jemaat. Apa fungsi sebuah nyanyian paduan suara itu, seharusnya Gereja
harus memberikan penjelasan teologis – himnologis kepada setiap paduan suara
itu, yang memang adalah sebuah kekayaan rohani bagi setiap jemaat yang
beribadah. (3). Kaidah keseimbangan. Dalam ibadah terjadi peristiwa di mana dua
pihak yang berinteraksi, keduanya dalam tataran yang sama, “tidak ada pihak
yang lebih dominan dari yang lain ”, demikian Ismail. Maksunya ialah supaya
jangan kita misalnya terus menyanyi tanpa hentinya, atau supaya setiap doa
jangan berkepanjangan atau supaya khotbah jangan mendominasi panjangnya
kebaktian. Menjaga keseimbangan mata acara dalam sebuah ibadah haruslah dijaga,
supaya tercipta apa yang didambakan oleh Rasul Paulus untuk jemaat Alkitab saat
Paulus melakukan kata bimbingannya supaya ibadah itu “harus berlangsung dengan
sopan dan teratur”. ( 1 Kor. 14:30 ). Kaidah ketiga ini pun sangat membantu
gagasan merevisi tata ibadah HKBP yang sering tidak lagi mencerminkan kaidah
keseimbangan ini. Kaidah keseimbangan menjadi salah satu factor penentu dalam
membuat sebuah ibadah yang injili di tengah-tengah jemaat HKBP.
9.2. John Stott. Beliau mendahulukan
pemikirannya tentang kewajiban manusia yang utama dan terutama, yaitu kewajiban
kepada Tuhan dan bukan kewajiban kepada sesama. Tidak semua orang Kristen
adalah penginjil, tetapi semua mereka adalah pendoa, orang yang beribadah, baik
secara pribadi maupun secara public. Dan ibadah kepada Tuhan adalah kekal dan
seluruh hidup kita adalah ibadah, artinya melayani Tuhan dengan seluruh hidup
kita. Dan definisi alkitabiah yang paling tepat untuk pemahaman demikian,
mungkin demikian beliau berasumsi ialah dengan mengutib Maz. 105:3, bahwa
beribadah adalah “’bermegah dalam namaNya yang Kudus.’” Di dalam nats ini
terbungkus dengan rapi nama Allah yang kudus itu, artinya berbeda dengan dan
mengatasi semua nama lain di dunia dan di surga, atau di mana saja yang dapat
dibayangkan manusia. Begitu kita menatap sejenak kekudusan nama-Nya yang agung,
kita melihat betapa tepatnya “’memuliakan’” atau bermegah di dalamnya, tidak
ada pilihan lain hanya sujud di hadapan-Nya. Sudah selayaknyalah kita manusia
bergabung dengan seluruh ciptaan Allah untuk memuliakan-Nya, karena Dialah
Pencipta dan Penebus kita ( Wahyu 5:9-14). Sudah selayaknyalah kita manusia
dengan seluruh ciptaan-Nya “’bersujud menyembah kepada tumpuan kaki-Nya’” (
Maz.99:5).
Berangkat dari definisi alkitabiah
di atas, maka ada empat ciri utama bagi sebuah ibadah yang sejati, yaitu: (1)
“ibadah sejati adalah ibadah alkitabiah, artinya ibadah itu merupakan tanggapan
terhadap pewahyuan alkitabiah.” Itu berarti bahwa pembacaan firman Allah dan
khotbah bukanlah mata acara sampingan atau barang asing, tetapi justru
merupakan mata acara yang hakiki. Adalah suatu hal yang wajar, ketika nats
dibacakan dan khotbah disampaikan, maka jemaat akan sibuk membuka halman
Alkitab untuk menemukan dan mengikuti nats yang sedang dikhotbahkan. Ibadah yang
sejati harus memberi kesempatan bagi jemaat untuk merespons, menanggapi firman
Allah yang dibaca dan dikhotbahkan itu, dan oleh karena itu maka para
pengkhotbah harus mempersiapkan khotbahnya dengan sempurna.
(2) “ibadah sejati adalah ibadah
jemaat kolektif.” Artinya, ibadah yang menyenangkan Tuhan dipersembahkan
bersama-sama oleh jemaat / umat-Nya, yang berkumpul untuk melakukannya. Lebih
jauh lagi, Stott mengusulkan supaya ibadah jemaat local itu “seharusnya
mengungkapkan cirri internasional dan intercultural tubuh Krstus.” Saran beliau
bagi jemaat-jemaat local yang homogen seperti HKBP ialah supaya gereja-gereja
yang homogen itu sadar bahwa “setiap gereja satuan homogen harus mengambil
langkah aktif untuk memperluas persekutuannya, agar dapat menampakkan secara
kelihatan kesatuan dan keragaman gereja.” Dalam pemahaman demikianlah, maka
sudah sewajarnya gereja-gereja anggota PGI menyambut baik upaya PGI untuk
merayakan sebuah hari Minggu dengan memakai tata ibadah dari salah satu anggota
gereja-gereja PGI.
(3) “ibadah sejati adalah ibadah
rohani.” Ciri ketiga ini mau mengingatkan gereja supaya jangan mudah jatuh pada
formalisme dan kemunafikan ibadah orang Israel. Gereja-gereja sepanjang abad
sering jatuh pada formalisme dan kemunafikan itu. Ini nampak misalnya dalam
ibadah yang hanyalah ritus tanpa realitas, bentuk tanpa kuasa, berjalan begitu
saja, mekanis, asal jadi, kesenangan tanpa rasa takut akan Tuhan, agama tanpa
Allah. Kritik ini senada dengan kritik yang disampaikan oleh F.Tiemeyer 72
tahun lalu ( 1936 ) dengan ucapanyang selalu beliau ulangi : “ibadah – tanpa
Allah” ( “Gottesdienst – ohne Gott “ ). Stott sangat menggarisbawahi bahasa
alkitabiah “takut akan Tuhan”. Kata kunci ini menyimpan makna yang terdalam
akan kerinduan manusia untuk menggapai yang transenden, sebagamana dirindukan
oleh Gereja maupun gerakan-gerekan baru kekristenan, seperti gerakan New Age,
gerakan yang mencampurbaukan berbagai macam kepercayaan – agama dan sains,
fisika dan metafisika, panteisme purba dan optimisme evolusioner,astrologi,
spiriteisme, reinkarnasi, ekologi dan pengbatan alternative; gerakan yang sadar
akan keterbatasan materialisme, yang tak dapat memuaskan roh manusia.
Menghadapi kerinduan manusia modern dan post-modern ini, Stott mengharapkan
supaya Gereja dapat menawarkan ibadah rohani, yang dapat mengungkapkan unsure
“misteri”, seperti “rasa tenang yang sejati”, atau dalam bahasa alkitabiah
“takut akan Tuhan”. Beliau tidak dapat mengharapkan banyak dari kaum injili
yang mengutamakan pengabaran Injil sebagai speliasasi mereka. Kaum Injili,
demikian beliau, “hanya punya sedikit rasa tentang kebesaran dan keagungan
Allah yang Mahakuasa. … tidak bersujud di-hadapan-Nya dengan kagum dan gentar.”
Kritik ini menjadi tantangan bagi gereja-gereja arus utama, termasuk HKBP,
supaya berhasil menampilkan sikap rohani, sikap “rasa takut keada Allah yang
Mahakuasa” itu.
Masih banyak buku-buku yang dapat
dipakai untuk diskusi selanjutnya tentang dasar-dasar teologis sebuah tata
ibadah, tetapi kedua buku di atas pun sudah memadai untuk memberikan orientasi
ke masa kini dan masa mendatang.
10. Revisi: Saran dan Usul.
Pertama, tata ibadah HKBP yang
dipakai sejak awal pertumbuhan dan perkembangan jemaat-jemaat yang berasal dari
hasil pekabaran Injil Jerman ( RMG ) sejak 1860-an sudah menjadi bagian hidup
bahkan menjadi identitas teologis dan praktis dari HKBP. Tata ibadah itu sudah
pernah mengalami revisi seperti diindikasikan oleh ceramah F.Tiemeyer 1936;
sebuah ceramah diantara Agenda edisi 1904 dan Agenda edisi kini ( misalnya
cetakan 1998 ).
Mungkin tata ibadah itu sudah pernah
mengalami beberapa kali perubahan yang tidak terlampau signifikan. Dan antara
tata ibadah 1904 dan 1998 ditemukan terdapat perubahan yang signifikan, namun
karena tuntutan perubahan yang berkesinambungan,maka sudah sewajarnya tata
ibadah kini harus mengalami revisi, supaya gereja HKBP menjadi gereja yang
inklusif, dialogis dan terbuka, sebagaimana dijanjikan oleh HKBP sejak tahun
2002, sejak Tata Gereja 2002 disahkan oleh Sinode Godang HKBP 2002.
Kedua, hal-hal yang fundamental yang
dirindukan oleh para pendahulu kita, dalam hal ini F.Tiemeyer dan J.Sihombing,
serta para pemikir teologi masa kini, hendaknya menjadi acuan bagi revisi
tersebut. Hal-hal yang fundamental itu, a.l. (1) otoritas Tuhan Allah yang
tidak bisa dikurangi oleh otoritas siapapun ( kata kunci F.Tiemeyer:
menghindarkan supaya jangan terjadi : “ibadah – tanpa Allah” ( “Gottesdienst –
ohne Gott” ); ( 2 ) berpusat pada firman Allah yang dibaca, dikhotbahkan dan
diterima melalui kedua sakramen; (3) berangkat dari “imamat am orang-orang
percaya” – seorang liturgis ( pendeta atau partohonan lainnya ) adalah sama di
hadapan Allah dan dihadapan jemaat yang berkumpul; (4) kasih dan anugerah Allah
yang mengalir dari mata acara pertama hingga mata acara terakhir, karenanya
seorang pun tidak dapat mengandalkan kebolehannya / perbuatannya yang baik; (5)
nyanyian pujian, paduan suara, dan musik instrumen adalah sarana untuk
menyampaikan isi alkitabiah, bukan isi emosional kemanusiaan atau penampilan
selebriti oknum-oknum yang membawa mata acara ibadah; (6) seluruh hidup ini
adalah ibadah, baik ibadah dalam gedong gereja maupun di luar gedung gereja,
yaitu di rumah dan di tempat kerja sebagai ibadah moral ( kesucian hidup ) yang
peduli melawan ketidakadilan social, kemiskinan dan kebodohan; (7) menyentuh
secara utuh hidup ini, yaitu baik pikiran, hati dan perasaan, tanpa jatuh pada
sikap yang merugikan akal budi manusia yang selalu mencerahkan itu, tidak jatuh
pada ekstase, mistisisme atau aliran New Age; (8) ibadah yang menjaga keutuhan,
keseimbangan dan komunikasi timbal-balik; (9) ibadah yang lebih mencerminkan
kuasa Injil yang mengikat dan membebaskan ketimbang kuasa Hukum yang
menghakimi.
Ketiga, berdasarkan hal-hal yang
fundamental di atas, maka ada beberapa unsur yang perlu diganti, a.l. daftar
pertanyaan yang ditujukan kepada orang yang mau dibaptis, yang akan atau
mengikuti janji sidi, perjamuan kudus, calon suami – isteri pada acara
pemberkatan nikah, agar dengan demikian nampak kuasa Injil yang mengikat dan
sekaligus membebaskan itu dan sekaligus menampakkan keceriaan, sukacita dan
bukan beban yang sangat menekan bersangkutan. Hal serupa hendaknya dipikirkan
dalam bidang siasat gereja.
Keempat, tentang perbedaan susunan
mata acara ibadah dalam kedua Agenda HKBP ( 1904 dan 1998 ), bisa tetap
dipertahankan sebagaimana susunannya dalam Agenda 1998 atau kembali pada
susunan dalam Agenda 1904 , karena tidak mengurangi arti dan makna hal-hal yang
fundamental dalam sebuah tata ibadah injili, misalnya dalam penempatan
“tingting” ( warta jemaat ) sesudah ( 1904 ) atau sebelum ( 1998 ) khotbah.
J.Sihombing memberikan alasan teologis buat penempatan “tingting” sebelum
khotbah.
Kelima, mata acara tentang Hukum
Taurat dapat juga dipertahankan, tanpa jatuh pada sikap yang berlebihan akan
fungsi Hukum yang sering dipakai untuk memisahkan mereka yang melanggar hukum
gereja dari mereka yang tidak ketahuan melanggarnya, misalnya dalam pemakaian
hukum “siasat gereja” HKBP. Mata acara ini juga sudah hadir dalam tata ibadah
sejak abad-abad pertengahan. Dan sehubungan dengan fungsi siasat gereja itu
yang sangat sarat dengan muatan hukum yang berangkat dari sikap “hitam –
putih”, yang dikenakan pada seseorang, maka dalam rangka revisi Agenda HKBP,
sudah sewajarnya juga kehadiran siasat gereja ini dipikir ulang, apakah masih
relevan secara teologis dan praksis bagi gereja yang hidup dalam era
post-modern ini. Perbuatan tentang “dosa struktur” ( social ) tidak masuk dalam
perhatian hukum gereja seperti tercermin dalam siasat gereja itu.
Keenam, upaya merevisi tata ibadah
HKBP, rupanya sama dengan upaya mencari teologia gerejawi HKBP sebagai suatu
kekuatan atau kelemahan dalam dirinya sebagai bagian dari Gereja Tuhan di dunia
ini. Artinya, HKBP pada usia menjelang 150 tahun ( 1861 – 2011 ) patut berupaya
untuk merumuskan kembali teologia apa yang harus mendasarinya supaya HKBP
menjadi sebuah gereja yang inklusif, dialogis dan terbuka sesuai dengan visi
dan misinya. Merevisi tata ibadah HKBP dengan demikian adalah bagian dari upaya
berteologia di kalangan HKBP bersama-sama dengan gereja-gereja yang sama-sama
pewaris tradisi yang ditanamkan oleh para misionaris Jerman ( RMG ) 147 tahun
lampau di Tanah Batak yang plural itu.
Oleh
: Pdt DR JR Hutauruk
Ephorus Emiritus HKBP 1998-2004
No comments:
Post a Comment