Teologi Persembahan
Catatan: Tulisan ini adalah karangan Pdt Bonar H. Lumbantobing, salah seorang Dosen STT HKBP Pematangsiantar. Karya ini pada mulanya disampaikan pada Rapat Pendeta HKBP tanggal 3 s/d 7 Agustus 2009 di Seminarium Sipoholon, Tarutung yang lalu. Jadi paparannya tentu dimaksudkan untuk konteks pergumulan Rapat Pendeta HKBP pada waktu itu. Artikel ini kami cantumkan lagi dengan tujuan untuk menambah referensi kita sekaligus untuk memahami Teologi Persembahan.1. Persembahan sebelum kedatangan Yesus Kristus
1.1. Persembahan: Allah Sumber Persembahan
Dalam Perjanjian Lama LAI menggunakan terutama korban persembahan,
selain dari kata persembahan saja, untuk menterjemahkan beberapa kata
dalam bahasa Ibrani yang dapat digolongkan pada korban atau korban
persembahan. Banyaknya kata untuk persembahan menunjukkan juga banyaknya
jenis-jenis korban persembahan yang dikenal oleh umat Israel. Dalam
perjalanan sejarah iman Israel, umat itu kemudian sampai pada tahap, di
mana mereka meninjau ulang pelaksanaan korban-korban persembahan itu
sesuai dengan kehendak Allah. Seluruh korban-korban yang beraneka ragam
itu disatukan dengan menggunakan satu istilah saja, yaitu korbân.
Istilah ini juga tidak membedakan lagi mana korban yang berdarah (zébakh) mana yang tidak berdarah (minkhâ).
Atas istilah yang satu itu, maka ditentukanlah lima jenis persembahan
dari antara seluruh jenis yang sudah dikenal pada jaman sebelumnya,
yaitu:
- Korban bakaran,‘olâ,
- Korban sajian, minkhâ,
- Korban keselamatan, syélém,
- Korban dosa, khattât,
- Korban kesalahan âsyâm.
Korban-korban persembahan lainnya masih tetap berlaku, namun ke lima
korban inilah yang dinilai sebagai inti dari seluruh korban persembahan
yang beraneka ragam tersebut. Ke lima korban ini dijelaskan secara
khusus dalam Imamat 1:1-6:7 dan Imamat 6:8-7:38.
Sampai di sini, terlihat belum ada kaitan dengan apa yang gereja kita
jalankan dan pahami berkaitan dengan persembahan Namun bila
diperhatikan lebih dalam lagi, ke lima jenis persembahan di atas
digolongkan pada tiga jenis:
Pertama: korban bakaran dan korban sajian dipersembahkan selalu
bersamaan dan sifatnya dilihat sebagai pemberian atau persembahan dari
pihak manusia pada Allah. Pada bagian ini tergolonglah korban-korban
nazar, korban ucapan syukur dan korban buah sulung.
Kedua: korban keselamatan adalah korban di mana sebagian dari yang dikorbankan dimakan juga oleh yang mempersembahkan, sehingga korban ini lebih bersifat ‘persekutuan’. Terhadapnya tergolonglah seluruh korban-korban yang bersifat persekutuan.
Ketiga: Korban ‘penghapus dosa’ dan korban ‘penebus salah’, keduanya sifatnya adalah korban yang bersifat pendamaian.
Kedua: korban keselamatan adalah korban di mana sebagian dari yang dikorbankan dimakan juga oleh yang mempersembahkan, sehingga korban ini lebih bersifat ‘persekutuan’. Terhadapnya tergolonglah seluruh korban-korban yang bersifat persekutuan.
Ketiga: Korban ‘penghapus dosa’ dan korban ‘penebus salah’, keduanya sifatnya adalah korban yang bersifat pendamaian.
Namun dalam perjalanan hidup Israel, pemahaman seperti ini sangat
dekat dengan kesalahpahaman, seolah-olah seluruh persembahan itu
terpisah-pisah dan dijalankan menurut kebutuhan seseorang saja, sehingga
persembahan ditentukan oleh manusia Itulah sebabnya dalam kitab Imamat
persembahan dijelaskan lagi sebagai rangkaian upacara yang saling
terkait dan saling melengkapi; beberapa persembahan itu digambarkan
sebagai tahap-tahap upacara yang secara berurutan dijalankan, sehingga
akhirnya dia terlihat menjadi satu kesatuan Bila rangkaian pelaksanaan
persembahan dalam Imamat 8 diperhatikan dalam hari tertentu, lalu Imamat
9 pada kesempatan yang berikut, selanjutnya Bilangan 28-29 sebagai
rangkaian persembahan dalam waktu yang berkesinambungan (pada hari Sabbat, pada bulan baru, pada minggu ketujuh, pada bulan ketujuh
dst), maka terlihatlah maksud utamanya adalah agar seluruh persembahan
pada akhirnya dipusatkan dalam satu acara tunggal dengan makna tunggal
yaitu pendamaian.
Bila pendamaian yang menjadi tujuan utama, maka itu datang dari pihak
Allah pada manusia, seperti bagian ke tiga dalam bagan di atas. Pendamaian adalah
anugerah, adalah pemberian dan datang dari atas Oleh karena itu
persembahan adalah anugerah Allah, persembahan adalah pemberian Allah
dan persembahan datang dari atas. Hal ini dimungkinkan, karena sudah
terjadi ikatan antara Allah dengan umat Israel melalui perjanjian.
Karena perjanjian inilah maka Allah selalu mengambil inisiatip untuk
mengadakan pendamaian dengan umat Israel dan itu berlangsung melalui
persembahan
Bila ayat-ayat yang mengatur persembahan diperhatikan, semuanya itu
menunjukkan bahwa Allahlah yang berbicara (“Tuhan memanggil Musa dan
berbicara kepadanya…” atau “Tuhan berfirman pada Musa… “- Im 1:1;
4:1;5:14; 6:1). Allah yang menentukan persembahan itu dengan segala
persyaratan dan kemungkinan-kemungkinannya, agar semua dapat memberi
persembahan tanpa kecuali: ada yang sanggup memberi korban bakaran dari
lembu jantan, atau yang mampu mempersembahkan domba, atau yang mampu
mempersembahkan seekor burung, semuanya itu tetap berlaku sebagai korban
bakaran. Semakin jelaslah terlihat, bahwa persembahan itu adalah
berasal dari Allah. Inisiatip Allah untuk persembahan adalah dalam
rangka pendamaian atas dasar perjanjian antara Allah dan umat Israel.
1.2. Persembahan: Dari Allah kembali pada Allah
Dalam teknis pelaksanaan persembahan itu, terlihatlah bahwa
manusialah yang aktif. Manusialah yang datang untuk mengucap syukur,
untuk bernazar, untuk meneguhkan persekutuannya dengan Tuhan atau dengan
sesamanya, untuk pencegahan malapetaka, mencegah hukuman akibat dosa
dan kesalahan. Manusialah yang mempersiapkan segala bahan itu, dan para
imamlah yang melaksanakan upacara itu untuk ‘mengadakan perdamaian’,
‘penghapusan dosa’, atau pun ‘penebusan salah’. Kalau sisi ini saja yang
dilihat, maka dapatlah muncul dua pemahaman yang salah, sebagai
berikut:
Pertama: Pemahaman yang salah bahwa persembahan yang bekerja sebagai ‘ex opere operato’
Israel pernah terjatuh pada pemahaman, bahwa bila seluruh
syarat-syarat yang disebutkan oleh Allah diwujudkan, maka dengan
sendirinya Allah akan menerima persembahan itu. Persembahan yang
memenuhi syarat itu akan bekerja secara otomatis bahkan magis. Inilah
yang ditolak dengan keras oleh para nabi (Amos 5; Hosea 6; Yesaya 1;
Yeremia 7; dll) dan ditentang melalui doa-doa (Mazmur 40; 50; 51).
Sekilas kecaman-kecaman itu seolah-olah mau menolak dan mengecilkan arti
dari korban persembahan, pada hal persembahan itu sumbernya adalah
Allah sendiri. Tetapi bila benar-benar dipahami secara menyeluruh, maka
akan terlihatlah bahwa yang ingin ditekankan adalah perhatian pada inti
persembahan itu sendiri
Dari uraian di atas sudah terlihat bahwa ’pendamaian’ dari pihak
Tuhanlah syarat mutlak untuk membuat persembahan itu berhasil. Oleh
karena itu sisi lain yang membuat persembahan itu ‘memenuhi syarat’
adalah bukan hanya elemen-elemen persembahan itu dan tata caranya,
tetapi manusia yang mempersembahkan itu sendiri, apakah terbuka pada
pengampunan dosa dan penebusan salah serta pendamaian dari Allah. Bila
korban persembahannya memenuhi syarat, tetapi dia menindas orang-orang
miskin, janda dan anak yatim, maka dia tidak sungguh-sungguh terbuka
pada pendamaian yang akan dianugerahkan Allah padanya. Dia tidak datang
untuk memohon, tetapi datang untuk memberi. Di sini Allah sendirilah
yang disangkal sebagai sumber dari persembahan.
Selanjutnya, walau pun manusia aktif untuk persembahan namun pada
akhirnya dia memohon melalui syarat-syarat itu, dan salah satu
permohonannya adalah agar Allah berkenan menerima dia yang berdosa. Di
sinilah persembahan menjadi penolakan akan penindasan. Segi ini
mengembalikan Israel pada makna ibadah pada umumnya, yaitu ibadah yang
diperkenalkan pada Israel atas dasar kebebasan dari perbudakannya:
“Biarkanlah umatKu pergi, agar mereka beribadah kepadaKu….” (Keluaran
7:16b; 8:1; 8:20; 9:1;9:13;dst). Ibadah tidak dilaksanakan dalam
penindasan melainkan dalam pembebasan dari ketidakadilan. Atas dasar
inilah maka ibadah dan dalam hal ini juga korban persembahan berlangsung
dalam proses menegakkan keadilan.
Allah melalui Nabi Mika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkenan pada
persembahan-persembahan Israel melalui korban bakaran, ribuan domba
jantan dan puluhan ribu curahan minyak, tetapi yang dituntut Tuhan
adalah “berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati
di hadapan Allahmu….” (Mika 6:8). Allah tidak menerima korban
persembahan yang sudah memenuhi syarat-syarat pelaksanaan itu, adalah
karena konteks dijalankannya ibadah itu di mana korban bakaran
dipersembahkan, yaitu keadilan, tidak diwujudkan. Demikianlah korban
persembahan yang memenuhi syarat teknis hanya berkenan bagi Allah bila
dia menjadi satu kesatuan dengan perjuangan untuk keadilan dan
damai-sejahtera.
Kedua: Pemahaman yang salah bahwa persembahan berarti ‘do ut des’
Kedua: Pemahaman yang salah bahwa persembahan berarti ‘do ut des’
Penyimpangan yang dapat muncul melalui penekanan akan pemenuhan
syarat-syarat teknis persembahan adalah anggapan bahwa manusia sudah
bersedia menjalankan semua syarat, sekarang melalui persembahan ini
giliran Allahlah yang memberikan. Motif utama dari persembahan itu
adalah agar Allah yang memberi (do ut des).
Memang dalam pemberitaan Nabi Maleaki terlihat secara sekilas,
seolah-olah Allah menuntut agar umat memberi perpuluhan dan sebagai
balasnya Allah akan memberikan berkat melimpah pada umat (Maleaki
3:6-12). Namun pada dasarnya ini bukan perpuluhan dalam rangka do ut
des, sebab Allah yang menentukan dan menyuruh perpuluhan itu. Selain itu
makna perikop ini harus benar-benar dihubungkan dengan masalah
persembahan yang dikecam Allah dalam Maleaki 1:6 s/d 29; serta Mal.
3:1-5. Kalau hanya Maleaki 3: 6-12 tersendiri dipahami, maka akan
terjatuh pada pemahaman yang salah terhadap makna perpuluhan. Bahkan
lebih daripada itu, perpuluhan harus dipahami dalam hubungannya dengan
kitab Bilangan dan Ulangan, barulah perpuluhan dapat dilihat sebagai
persembahan yang tidak bersifat do ut des.
Serangan terhadap penyimpangan yang bersifat do ut des ini terkandung
juga di dalam pemberitaan Nabi-nabi. Israel terjatuh dengan menganggap
Tuhan menanti-nantikan ‘makanan’ dari persembahan umatNya, seolah-olah
Allah akan memenuhi kebutuhanNya melalui kesediaan Israel memberi
persembahan. Pada hal seluruh bumi dan segala isinya, bahkan seluruh
kehidupan ini adalah milik dari Tuhan sendiri. Dalam pengaturan
persembahan itu, di mana kelihatan manusia yang menjadi aktif,
sebenarnya sudah terkandung bahwa manusia tidak pernah ‘memberi’ melalui
persembahan. Upacara-upacara itu diatur sedemikian rupa melalui tahapan
khusus. Misalnya: Tahapan pertama, membawa binatang yang akan
dipersembahkan ke pintu Kemah Suci atau ‘ke hadapan Tuhan’; adanya
penumpangan tangan di atas binatang yang akan dikorbankan; tata cara
penyembelihan; pemercikan darah dan akhirnya pembakaran. Semuanya itu
menunjukkan bahwa korban permintaan yang diserahkan imam adalah
‘permintaan’ kepada Allah. Para imam itu tidak mengerjakan pendamaian
tetapi mengadakan upacara pendamaian, itu berarti menyampaikan
permintaan akan pendamaian itu. Jadi dia tidak memberi.
Hal ini diperjelas lagi bila kita mempertimbangkan seluruh
bahan-bahan persembahan itu. Bahan-bahan itu adalah dari kebutuhan pokok
sehari-hari umat, bahkan yang paling berharga dari milik mereka. Semua
yang ada dalam kehidupan umat adalah berasal dari Allah semata. Bila
Allah mengaturnya untuk persembahan, tidak berarti bahwa Allah
membutuhkannya, tetapi atas dasar perjanjian Allah, manusia
diperdamaikan dengan manusia, sehingga Allah mengatur persembahan itu.
Dengan demikian Allah menolong manusia itu agar mampu untuk menyerahkan
persembahan dari miliknya itu sebagai tanda pengakuan yang konkrit
terhadap Allah yang telah melimpahi umatNya dengan berkat, dan mengaku
bahwa Allahlah satu-satunya sumber dari berkat itu. Dengan mengaku bahwa
Allah Mahamurah dengan memberi kehidupan dan berkat, maka umat pun
dapat ’meminta’ sesuatu dari Allah sendiri.
Demikianlah pada akhirnya persembahan itu berasal dari Allah dan kembali pada Allah.
1.3. Penatalayanan: Sambutan Manusia terhadap Persembahan
2. Sesudah Kedatangan Yesus Kristus
2.1. Persembahan dalam Jemaat Kristen Perdana
Kematian dan kebangkitan Yesus Kristus menghantar jemaat Kristen pada
pemahaman baru terhadap korban persembahan. Sebagaimana diterangkan di
atas, seluruh korban persembahan itu memuncak pada dan menyatu di bawah
pendamaian oleh Allah. Apa pun jenis-jenis persembahan lainnya terlihat
hanya punya arti di dalam pendamaian dari Allah. Pendamaian sebagai
puncak dari seluruh korban persembahan kemudian terpenuhi di dalam
kematian Yesus di kayu salib. Dia adalah korban satu-satunya untuk
pendamaian, yang berlangsung hanya satu kali untuk selama-lamanya. Imam
Besar yang menjalankan korban ini adalah Yesus Kristus sendiri dan domba
yang dikorbankan untuk pendamaian adalah juga Yesus Kristus sendiri
(Bandingkan terutama pemberitaan dalam Ibrani 6 s/d 10).
Dengan kematian Yesus, yaitu korban satu-satunya dan sekali untuk
selamanya, maka berakhirlah seluruh korban-korban persembahan dalam
bentuk apa pun. Korban sajian, korban ucapan syukur, persembahan
perpuluhan, korban keselamatan dan yang lain –lainnya berakhirlah sudah.
Semuanya sudah terpenuhi di dalam korban Yesus Kristus untuk pendamaian
antara manusia yang berdosa di sepanjang abad dengan Allah yang kekal.
Pengakuan ini kemudian dirayakan pada hari kebangkitan Yesus, di mana
jemaat selalu berkumpul, yaitu pada hari Minggu. Jemaat yang berkumpul
itu adalah jemaat yang percaya pada Allah sebagaimana diberitakan dalam
Perjanjian Lama, bahkan memegang dan mengakui Kitab yang kemudian
jemaat Kristen sebut sebagai Perjanjian Lama, dan masih tetap
mengunjungi Bait Suci. Oleh karena itu, dalam perkumpulan-perkumpulan
mereka, kebaktian Yahudi mempengaruhi.
Sebagaimana diketahui, kebaktian-kebaktian Yahudi mempunyai corak dan
bentuk tersendiri berkaitan dengan tempatnya dirayakan, yaitu:
kebaktian di Bait Suci, kebaktian di Sinogoge dan kebaktian di rumah.
Kebaktian yang beraneka ragam menurut tempat itu mempengarhui
perkumpulan orang-orang Kristen:
• Persembahan korban di Bait Suci mempengaruhi makna yang diberikan pada acara makan Paskah yang kemudian disebut oleh orang Kristen sebagai Perjamuan Kudus. Memang makan Paskah itu adalah perayaan rumah, tetapi makna teologis yang diyakini jemaat Kristen adalah muncul dari perayaan di Bait Suci akan korban-korban persembahan.
• Kebaktian di Sinagoge mempengaruhi kebaktian Kristen berkaitan dengan doa-doa, pembacaan Kitab Suci termasuk pembacaan surat-surat dari para Rasul dan nyanyian-nyanyian Mazmur.
• Kebaktian di rumah Yahudi ada dua, yaitu Makan Paskah pada Kamis malam sebelum hari Paskah Yahudi, dan acara makan menyongsong Sabbat, yang dilaksanakan setiap hari Jumat sore. Struktur liturginya hampir sama, tetapi untuk menyongsong Sabbat berlangsung sangat singkat dan sederhana. Kebaktian Kristen sudah mengadopsi Makan Paskah dengan mengisi makna korban persembahan dari perayaan di Bait Suci. Selain itu mengadopsi makan menyongsong Sabbat dengan acara makan bersama yang disebut kemudian dengan Perjamuan Kasih (Agape).
• Persembahan korban di Bait Suci mempengaruhi makna yang diberikan pada acara makan Paskah yang kemudian disebut oleh orang Kristen sebagai Perjamuan Kudus. Memang makan Paskah itu adalah perayaan rumah, tetapi makna teologis yang diyakini jemaat Kristen adalah muncul dari perayaan di Bait Suci akan korban-korban persembahan.
• Kebaktian di Sinagoge mempengaruhi kebaktian Kristen berkaitan dengan doa-doa, pembacaan Kitab Suci termasuk pembacaan surat-surat dari para Rasul dan nyanyian-nyanyian Mazmur.
• Kebaktian di rumah Yahudi ada dua, yaitu Makan Paskah pada Kamis malam sebelum hari Paskah Yahudi, dan acara makan menyongsong Sabbat, yang dilaksanakan setiap hari Jumat sore. Struktur liturginya hampir sama, tetapi untuk menyongsong Sabbat berlangsung sangat singkat dan sederhana. Kebaktian Kristen sudah mengadopsi Makan Paskah dengan mengisi makna korban persembahan dari perayaan di Bait Suci. Selain itu mengadopsi makan menyongsong Sabbat dengan acara makan bersama yang disebut kemudian dengan Perjamuan Kasih (Agape).
Setelah jemaat Kristen makin terpisah dari Keyahudian, maka mereka
terpisah juga dari Bait Suci. Hal ini dipengaruhi juga oleh hancurnya
Bait Suci pada tahun 70. Oleh karena itu perkumpulan Kristen lebih
merupakan perkumpulan rumah dengan acara seperti yang kemudian
digambarkan dalam Kisah Rasul 2:41-47; 4:32-36; 20:7-11; I Korintus 11.
Bila direkonstruksi, maka kebaktian Jemaat Kristen Perdana itu terdiri
dari 2 bagian, yaitu:
Pertama: apa yang disebut dengan synaksis: dalam perkumpulan ini
struktur liturginya belum baku, khotbah seperti yang kita kenal sekarang
belum ada, tetapi unsur-unsur tertentu dari liturgi sinagoge sudah
dimasukkan seperti adanya Doxologi pada akhir doa, seruan sanctus (tiga
kali seruan “kudus”) dari Yesaya 6 (juga Wahyu 4:8), seruan ‘amin’ (band
i Kor. 14:16; Wahyu 5:14), seruan ‘haleluya’ (Wahyu 19:1, 3, 4, 6;),
jam-jam doa (band. Kis Rasul 3:1; 10:9), tiga nyanyian yang sekarang ada
dalam Injil Lukas (Lukas 1:48-56, 68-79; 2:29-32), dan beberapa
nyanyian yang sekarang terdapat dalam kitab Wahyu ( Wahyu 4:8,11;
5:9-13; 7:10, 12; 11:17-18; 12:10-15; 19:1-2, 5-7;). Selain itu muncul
asepk baru dalam perkumpulan jemaat perdana yaitu adanya karunia-karunia
khusus, yang penampakannya terlihat juga dalam kebaktian, dan
kelihatannya belum diatur dengan baik (I Korintus 12 dan 14). Aspek baru
yang muncul adalah nyanyian-nyian dan pujian-pujian yang tidak
ditemukan dalam tradisi Yahudi, yang isinya menampakkan pengakuan iman
(I Kor 12:3; 15:3-5; Ef 5:14; Fil. 2:2-11; 1 Tim. 3:16; Wahyu 4:8, 11;
5:9 dan lain-lain).
Kedua: Perjamuan Kudus dan Perjamuan Kasih (Agape): Perjamuan Kudus
ini adalah perayaan yang berasal dari Perayaan Makan Paskah dalam
tradisi Yahudi, di mana Yesus merayakannya pada hari Kamis sebelum
kematianNya, namun diberi isi yang baru oleh jemaat Kristen atas dasar
penetapan Yesus dalam acara Makan Paskah itu. Perayaan Perjamuan Kudus
menjadi perayaan di mana Yesus hadir di tengah-tengah jemaat. Pemahaman
tentang Yesus adalah korban Paskah untuk pendamaian, juga dirayakan
dalam perjamuan ini.
Selain itu setelah Perjamuan Kudus diadakan acara makan bersama yang oleh orang Kristen kemudian menyebutnya dengan Perjamuan Kasih (Agape). Perjamuan ini kemungkinan sejajar dengan upacara makan bersama di rumah dalam menyongsong hari Sabbat.
Selain itu setelah Perjamuan Kudus diadakan acara makan bersama yang oleh orang Kristen kemudian menyebutnya dengan Perjamuan Kasih (Agape). Perjamuan ini kemungkinan sejajar dengan upacara makan bersama di rumah dalam menyongsong hari Sabbat.
Kalau kita kembali ke thema ceramah ini, yaitu berkaitan dengan
persembahan, maka pertanyaan yang dapat muncul adalah, di manakah letak
teologi persembahan yang sudah mereka warisi dari keYahudian melalui
Perjanjian Lama?
Bila diteliti dengan seksama, maka ternyata seluruh penekanan teologi
persembahan berkaitan dengan ketiga hal di atas, di mana Allah adalah
sumber persembahan, dan apa yang dari Allah kembali pada Allah, dan
sambutan akan persembahan sebagai penatalayan dalam wujud perjuangan
keadilan, maka akan terlihatlah bahwa penekanan itu berlanjut dalam
jemaat Kristen perdana. Tetapi persembahan seperti yang ada dalam
Perjanjian Lama sudah berhenti. Terhentinya korban persembahan bukan
karena perintah Yesus, sebab Yesus tidak pernah menolak korban
persembahan, tetapi motivasi dalam menjalankannya agar sesuai dengan
kehendak Allah, itulah yang dinyatakan Yesus. Tugas sebagai penatalayan
menjadi penekanan penting dalam ajaran Yesus termasuk tentang pemahaman
ulang akan harta dan milik. Semuanya itu menghantar jemaat kembali pada
makna persembahan yang asli. Namun di manakah wujud dari persembahan itu
dalam perkumpulan Kristen yang tidak lagi berkaitan dengan Bait Suci?
Tugas sebagai penatalayan secara konkrit diwujudkan dalam perkumpulan
untuk Perjamuan Kudus dan Perjamuan Kasih (Agape). Bila direkonstruksi
dari apa yang disampaikan Paulus dalam I Korintus 11, maka seperti
diuraikan tadi terlihatlah bahwa mereka merayakan pertama sekali
Perjamuan Kudus, lalu disusul dengan Perjamuan Kasih. Dalam Perjamuan
Kasih tersedia makanan yang dibawa oleh mereka yang mampu. Bagi yang
tidak mampu tidak akan membawa apa-apa. Ketika mereka makan bersama
dalam Perjamuan Kasih, terlihatlah bahwa setiap orang akan memperoleh
makanan secara sama, walau pun pada dasarnya mereka tidak sama dalam hal
kemampuan. Perjamuan Kasih melenyapkan seluruh perbedaan itu. Dalam
jemaat Korintus memang terjadi penyimpangan. Rupanya warga jemaat yang
miskin yang tidak dapat membawa apa-apa datang agak belakangan menunggu
pekerjaannya entah sebagai budak, selesai. Mereka yang lebih kaya, sudah
datang terlebih dahulu dan membawa makanan. Tetapi karena mereka sudah
lapar, maka mereka memutuskan agar acara diubah, yaitu mendahulukan
Perjamuan Kasih, barulah Perjamuan Kudus. Ketika kalangan miskin datang,
Perjamuan Kasih sudah selesai, dan setelah Perjamuan Kudus, mereka
pulang dengan perut lapar. Inilah yang ditegur oleh Paulus. Perjamuan
Kasih harus belakangan, agar terlihat bahwa yang mmampu dan yang tidak
mampu boleh bersama-sama makan. Inilah yang terlihat dalam tugas
penatalayan sebagaimana terlihat dari Perjanjian Lama sebagai dampak
dari persembahan.
Dengan demikian kita dapat melihat bahwa teologi persembahan ini
sekarang nyata di dalam Perjamuan Kudus dan Perjamuan Kasih.
Persembahan-persembahan lain tidak disebut-sebut, walau pun tidak pernah
ditolak. Sebab Yesus tidak pernah menolak korban persembahan, tetapi
mengembalikan pelaksanaan korban persembahan itu pada motivasi yang
sebenarnya seperti dalam Perjanjian Lama.
2.2. Persembahan dalam Jemaat sekitar Perjanjian Baru.
Seperti yang disebutkan di atas, jemaat perdana memahami bahwa
seluruh korban persembahan telah berakhir di dalam Yesus Kristus,
sehingga persembahan apa pun yang selama ini dikenal oleh umat, telah
disempurnakan di dalam korban oleh Yesus Kristus sekali untuk selamanya.
Hal tersebut dirayakan dalam kebaktian-kebaktian jemaat perdana
tersebut. Ketika kitab-kitab dan surat-surat yang kemudian menjadi
Perjanjian Baru perlahan-lahan ditulis dan dikumpulkan serta beredar di
jemaat, maka di dalamnya termaktublah keyakinan jemaat perdana tadi baik
di dalam ucapan Yesus, mau pun dalam tulisan para Rasul.
Di dalam Kitab-kitab Injil, Yesus tidak pernah mengutuk korban
persembahan Yahudi. Khotbah Yesus malah menunjukkan bahwa mezbah dan
korban persembahan adalah bagian yang sah dari penyembahan akan Allah (
Mat. 5:23 dab; 23:18dab;). Memang Yesus mengecam sikap kaum Farisi, agar
mengingat bahwa yang Allah kehendaki adalah belaskasihan, bukan koraban
(Mat. 9:13; 12:7), namun ini bukan berarti penolakan terhadap
persembahan. Bait Suci juga memang dinilai oleh Yesus (seperti dalam
Mat. 12:6; 26:61; band dengan 27:40; Yoh. 2:19; 4:21) namun itu
menunjukkan bahwa korban persembahan itu adalah bersifat sekunder dan
akan lenyap juga, karena korban persembahan itu bagian dari masa yang
akan segera berlalu ini. Di dalam Yesuslah terwujud kebenaran sehingga
korban persembahan berakhir.
Oleh karena itu kita akan melihat, ajaran Yesus selanjutnya bukan
lagi tentang persembahan dalam rangka Perjanjian Lama lagi, tetapi
persembahan dalam jaman yang baru ini. Kebebasan dalam memberi
persembahan menjadi ciri dari jaman baru ini, karena persembahan itu
mengacu pada apa yang Yesus korbankan sebagaimana dirayakan dalam
Perjamuan Kudus. Jemaat bebas untuk memberi seperti Farisi yang memberi
sepersepuluh (Mat. 23:23; Luk. 18:12) atau seperti Zakeus yang memberi
setengah dari apa yang dia miliki (Luk. 19:18) atau seperti janda miskin
yang memberikan seluruhnya (Mark. 12:44) tergantung pada kebebasan yang
diberikan oleh Yesus Kristus.
Sebagai lanjutannya, Yesus tidak lagi terlalu memusatkan ajaran
langsung pada thema persembahan, tetapi berkaitan dengan penatalayanan
sekaligus pandangan akan milik dan apa yang ada di dunia ini,
sebagaimana kita lihat dalam perumpamaan tentang
• ’orang kaya yang bodoh’ (Lukas 12:13-21) yang menolong jemaat untuk tidak bersandar pada harta-benda, tetapi pada Allah yang adalah Pemilik dan Penguasa atas hidup dan kehidupan sementara manusia hanya peminjam saja;
• ’bendahara yang tidak jujur’ (Lukas 16:1-8) di mana murid diajak untuk memahami bahwa harta di dunia ini walau sangat penting, namun tidak akan membawa pada tujuan kehidupan jaman baru ini, yaitu ’kemah abadi’;
• ’setia dalam perkara kecil, setia dalam perkara besar’ (Lukas 16:9-15) yang menunjukkan adanya kebebasan dari Allah yang memberi sesuai kehendaknya, namun orang percaya akan menyambutnya dengan sikap yang sama, baik yang kecil mau pun yang besar;
• ’orang kaya dan Lazarus yang miskin’ (Lukas 16:19-31) yang mengingatkan para murid, bahwa pengelolaan harta sangat menentukan dan berkaitan dengan kesempatan dalam waktu sekarang ini untuk memasuki hidup kekal. Bukan kekayaan yang menjauhkan orang kaya dari pangkuan Abraham, melainkan pengelolaannya.
• ’orang kaya yang bodoh’ (Lukas 12:13-21) yang menolong jemaat untuk tidak bersandar pada harta-benda, tetapi pada Allah yang adalah Pemilik dan Penguasa atas hidup dan kehidupan sementara manusia hanya peminjam saja;
• ’bendahara yang tidak jujur’ (Lukas 16:1-8) di mana murid diajak untuk memahami bahwa harta di dunia ini walau sangat penting, namun tidak akan membawa pada tujuan kehidupan jaman baru ini, yaitu ’kemah abadi’;
• ’setia dalam perkara kecil, setia dalam perkara besar’ (Lukas 16:9-15) yang menunjukkan adanya kebebasan dari Allah yang memberi sesuai kehendaknya, namun orang percaya akan menyambutnya dengan sikap yang sama, baik yang kecil mau pun yang besar;
• ’orang kaya dan Lazarus yang miskin’ (Lukas 16:19-31) yang mengingatkan para murid, bahwa pengelolaan harta sangat menentukan dan berkaitan dengan kesempatan dalam waktu sekarang ini untuk memasuki hidup kekal. Bukan kekayaan yang menjauhkan orang kaya dari pangkuan Abraham, melainkan pengelolaannya.
Walau pun secara singkat, namun sudah dapat ditunukkan bahwa
pemberitaan ini mengembalikan pada inti pemberitaan Perjanjian Lama
tentang penatalayanan dari umat yang memberikan korban persembahan
dibawah naungan korban utama yaitu pendamaian. Saat ini di dalam Yesus
Kristus, penatalayanan itu diulang kembali. Oleh karena itu
prinsip-prinsip persembahan dalam jaman baru ini serta penatalayanan
umat percaya seperti yang diterangkan di atas, ditunjukkan secara
konkrit dalam kebaktian jemaat Kristen. Bentuknya menjadi sangat baru
dan konkrit serta transformatif. Untuk itu marilah kita lihat sejenak
ciri kebaktian Kristen Jemaat sekitar jaman Perjanjian Baru, sebagaimana
terlihat dalam Kisah Rasul dan Surat-surat Paulus.
Dalam uraian sebelumnya sudah mulai terlihat pengaruh kebaktian
synagoge terhadap kebaktian Kristen. Dalam perkembangan selanjutnya,
kebaktian itu semakin mempunyai bentuk yang teratur dan berulang-ulang
dirayakan dalam bentuk yang tetap. Pertama yang kita lihat adalah
Synaksis yang bentuknya sebagai berikut:
• Pendahuluan melalui ucapan salam dan sambutan jemaat
• Membaca dari Kitab Suci (dalam hal ini Perjanjian Lama)
• Berdoa dengan enyanyikan Mazmur
• Membaca Surat Kiriman Rasul
• Membaca Injil
• Khotbah
• Melepas para calon baptis untuk kembali terlebih dahulu ke rumah masing-masing
• Doa-doa
• Melepas jemaat kembali ke rumah masing-masing.
• Pendahuluan melalui ucapan salam dan sambutan jemaat
• Membaca dari Kitab Suci (dalam hal ini Perjanjian Lama)
• Berdoa dengan enyanyikan Mazmur
• Membaca Surat Kiriman Rasul
• Membaca Injil
• Khotbah
• Melepas para calon baptis untuk kembali terlebih dahulu ke rumah masing-masing
• Doa-doa
• Melepas jemaat kembali ke rumah masing-masing.
Sekilas, kebaktian seperti ini tidak menunjukkan adanya aspek baru
berkaitan dengan persembahan sesuai dengan ajaran Yesus seperti di atas.
Namun bentuk kebaktian yang lain masih ada pada waktu itu, yaitu
Perjamuan Kudus dan Perjamuan Kasih. Pada Gereja Perdana terlihar bahwa
aspek penatalayanan dan kerohanian persembahan itu ternyata di dalam
Perjamuan Kasih (Agape), di mana semua boleh menerima makanan secara
bersama, baik yang berpunya mau pun yang tidak berpunya.
Ketika jemaat semakin besar jumlahnya sehingga tidak mungkin lagi
berkumpul dan duduk bersama di sekitar meja yang satu di rumah-rumah.
Oleh karena itu kebaktian mengambil tempat di ruangan yang lebih besar,
sehingga Perjamuan Kasih akhirnya tidak terlaksana lagi, tinggal hanya
Perjamuan Kudus. Perjamuan Kudus pun jadinya tidak terikat lagi pada jam
makan malam waktu Perjamuan Kasih, sehingga dapat dilaksanakan pada
pagi atau siang hari.
Selanjutnya perayaan Perjamuan Kudus jadinya mengalami perkembangan.
Didorong oleh kerokhanian persembahan dan penatalayan jemaat selalu
membawa roti, anggur, minyak zaitun, buah-buahan, bunga dan lain-lain.
Seperti dalam Kisah Rasul semuanya itu diletakkan ’di kaki para Rasul’,
artinya kemudian adalah di altar. Setelah sebagian darinya disisihkan
untuk bahan Perjamuan Kudus, maka seluruh pemberian itu diserahkan pada
orang-orang miskin yang tidak mempunyai apa-apa. Demikianlah bentuk
’persembahan’ orang Kristen dalam jaman baru, setelah seluruh korban
disatukan dalam pengorbanan Kristus sekali untuk selamanya.
Rasul kemudian bertugas membagikannya, namun karena tugas sudah
semakin banyak, sebagaimana diberitakan dalam Kisah Rasul 6, maka
dipilihlah para diaken untuk mengerjakan tugas rasul dalam bagian
penyediaan makanan bagi jemaat dan pemeliharaan orang miskin. Diakenlah
yang mengelola seluruh persembahan dan persembahan harus habis saat itu
dibagikan, tanpa saldo sama sekali.
Perkembangan ini pun akhirnya mempengaruhi bentuk liturgi Perjamuan
Kudus. Marilah kita perhatikan kebaktian pertama tadi: setelah para
calon baptis diperkenankan pulang, maka jemaat pun diberi kesempatan
untuk mengantarkan persembahannya ke ’kaki Rasul’ (baca: altar).
Kemudian seluruh pemberian dan persembahan itu didoakan. Inilah yang
disebut dengan Offertory. Inilah doa yang tidak dikenal dalam tradisi
Yahudi, tetapi muncul sesudah Kristus mengakhiri seluruh korban
persembahan. Offertory menjadi penting dalam teologi persembahan dalam
jaman yang baru ini. Oleh karena itu urutannya pun menjadi sebagai
berikut:
• Offertory : mendoakan seluruh pemberian jemaat.
• Doa :berkaitan dengan pemebrkatan roti dan anggur, dan mengucapkan terimakasih karena anugerah Tuhan itu. Itulah sebabnya Perjamuan Kudus disebut sebagai ucapan syukur atau eucharistie. Penekanan adalah pujian pada Allah atas kelepasan dari dosa.
• Fraction : «memecah-mecah roti » dilaksanakan segera sesudah doa dan pemberkatan selesai. Bagian ini lebih menginat akan Tubuh Kristus yang mati untuk dosa-dosa manusia. Dipatupa jalo dung sidung tangiang dohot na mamasumasu. On ma na mangingot daging ni Kristus na dilehon tu hamatean. [terj. Batak: Diselenggarakan segera setelah doa dan berkat. Inilah yang mengingat tubuh Kristus yang diserahkan pada kematian.
• Communio: roti dan anggur dibagi-bagikan ke pada jemaat sehingga mereka menjadi satu persekutuan dari roti yang sama dan cawan yang sama. Inilah akhir dari Perjamuan Kudus.
• Doa :berkaitan dengan pemebrkatan roti dan anggur, dan mengucapkan terimakasih karena anugerah Tuhan itu. Itulah sebabnya Perjamuan Kudus disebut sebagai ucapan syukur atau eucharistie. Penekanan adalah pujian pada Allah atas kelepasan dari dosa.
• Fraction : «memecah-mecah roti » dilaksanakan segera sesudah doa dan pemberkatan selesai. Bagian ini lebih menginat akan Tubuh Kristus yang mati untuk dosa-dosa manusia. Dipatupa jalo dung sidung tangiang dohot na mamasumasu. On ma na mangingot daging ni Kristus na dilehon tu hamatean. [terj. Batak: Diselenggarakan segera setelah doa dan berkat. Inilah yang mengingat tubuh Kristus yang diserahkan pada kematian.
• Communio: roti dan anggur dibagi-bagikan ke pada jemaat sehingga mereka menjadi satu persekutuan dari roti yang sama dan cawan yang sama. Inilah akhir dari Perjamuan Kudus.
Demikianlah secara konkrit, bagaimana persembahan dijalankan dalam
jemaat Kristen berkaitan dengan pengorbanan tunggal dan sekali untuk
selamanya oleh Kristus. Persembahan jadinya selalu terkait dengan
Perjamuan Kudus. Buah dari keterkaitan persembahan dengan Perjamuan
Kudus ini adalah terkumpulnya pemberian jemaat untuk kepentingan
orang-orang miskin, atau dalam pengistilahan saat ini, untuk diakonia.
Sehingga Perjamuan Kudus, Persembahan dan Diakonia menjadi satu
kesatuan.
2.3. Persembahan dan penatalayanan
Jemaat Kristen jaman Perjanjian Baru dan sesudahnya kemudian
mempunyai corak yang baru. Sesudah jaman para Rasul seluruh jemaat
akhirnya menyatu di dalam kepengurusan dari tiga serangkai yang tidak
terpisahkan, yaitu episkopos, diakonos dan presbyteros. Pemberitaan Firman dan Pelayanan Sakramen yang menjadi tugas Episkopos, tidak pernah terpisah lagi dari diakonos. Dalam kebaktian-kebaktian, diakonos sebagai
‘pelayan meja’ mendampingi episkopos dalam doa, dalam mempersiapkan
Perjamuan Kudus dan dalam membagi-bagikannya pada jemaat yang hadir mau
pun yang tidak hadir dalam ruangan kebaktian saat itu. Diaken menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari diaken.
Pemberitaan Firman dan Sakramen menjadi satu kesatuan senantiasa dengan
Diakonia. Dalam jaringan kerja inilah seluruh persembahan dikumpulkan
dan dikelola dan yang bertanggungjawab untuk itu adalah diaken. Harta
jemaat pun dengan demikian dikelola oleh para diaken. Yang dimaksud
dengan harta jemaat adalah segala sesuatu yang dipersembahkan jemaat
untuk diakonia. Dengan demikian ke-personalia-an gereja dipengaruhi oleh
karya diakoninya.
Bahkan struktur pelayanan berdasarkan pembagian daerah pun didasarkan
pada tugas diakonia jemaat. Dalam Kisah Rasul 6 diberitakan terpilihnya
7 orang Diaken. Dibalik ini memang tetap ada bilangan tujuh dengan
maknanya sendiri, tetapi itu juga berkaitan dengan pembagian daerah
pelayanan setiap diaken, di mana mereka membagi daerah itu ke dalam 7
bagian untuk memudahkan. Kebiasaan ini diteruskan dalam jemaat-jemaat
lain yang kemudian memilih diakennya. Roma sendiri sebagai kota yang
besar, juga tetap terbagi 7 sesuai dengan pembagian diakonia.
Pengorganisasian jemaat juga akhirnya mengikuti struktur diakonal
jemaat. Itu berarti pembagian administratip pun didasarkan pada
diakonia.
Bahkan tugas pelayanan pun pada akhirnya dipengaruhi oleh diakonia
itu sendiri. Seorang yang akan bertugas sebagai Bishop, harus terlebih
dahulu bertugas sebagai diaken, karena sesuai dengan Kisah Rasul 6,
tugas Episkopos dan Diakonos adalah satu tugas dengan dua corak. Oleh
karena itulah maka tidak mungkin Bishop dilihat mampu menjalankan
tugasnya bila belum menjalani tugas diaken. Bukan sebaliknya, yaitu
bishop dulu baru menjadi diaken. Itulah sebabnya beberapa gereja sampai
saat ini mewajibkan seluruh calon pendeta untuk bertugas dulu sebagai
diaken, sebelum ditahbiskan menjadi pendeta.
Atas dasar karya diakonia inilah gereja hadir di tengah-tengah dunia
menjadi alat untuk pembaharuan (trnasformasi). Semuanya itu adalah
karena Kristus sebagai Imam yang mengorbankan DiriNya sekali untuk
selamanya, dirayakan selalu dalam Perjamuan Kudus dan menaungi
persembahan-persembahan jemaat. Setiap Perayaan itu selesai diikuti,
maka jemaat selalu semakin dikuatkan oleh kesediaan Yesus terpecah bagi
yang lain dan darahNya tercurah bagi yang lain. Warga jemaat jadinya
memecahkan tubuhna dan menumpahkan darahnya melalui perjuangan untuk
keadilan dan damai-sejahtera, sehingga terjadilah transformasi dalam
masyarakat.
Oleh karena itulah maka gereja tidak pernah kekurangan, karena dari
dirinya terus keluar tanpa saldo demi perjuangan keadilan dan
damai-sejahtera. Tidak ada persembahan yang ditahan oleh gereja untuk
kepentingannya, tetapi terus mengalir tanpa henti-hentinya, sehingga
persembahan pun makin banyak mengalir. Gereja tinggal menghimbau jemaat
untuk karya diakonia jemaat sehingga semuanya terlibat penuh. Gereja
tidak mencari sumbangan, mencari donatur, meminta sana sini karena
pertimbangan kepentingan gereja itu sendiri bagi dirinya. Bukan
demikian. Gereja bahkan memperoleh kebutuhannya dari diakonia. Diakoni
tidak dijalankan sesudah ’kebutuhannya terpenuhi’. Bahkan, gereja tidak
mungkin membicarakan dan mendiskusikan persembahan karena sedang dalam
keadaan krisis keuangan. Gereja mengalami krisis keuangan bila karya
diakonia tidak berlangsung lagi.
Oleh karena itulah maka persembahan itu pada akhirnya terkait dengan
struktur politik bangsa, struktur ekonomik dan budayanya, menentukan
struktur gereja dan jenis jabatan yang ada padanya, sehingga semuanya
membawa perubahan. Perubahan yang terjadi adalah perubahan atas dasar
jaman baru yang dibawa oleh Kristus.
3. Refleksi
Wajah dunia berubah dengan munculnya kekristenan. Perubahan itu bila
dibariskan satu persatu akan menunjukkan bahwa masuknya gereja ke dalam
dunia adalah melalui karya diakonia. Pada awal kekristenan mulai muncul
di dunia Romawi-Yunani, maka berubahlah sikap terhadap anak-anak yang
sering dibuang karena tidak diinginkan (infanticide), penelantaran anak,
aborsi, mengorbankan orang untuk dewa-dewa dan bunuh diri. Pada tahap
selanjutnya, kehadiran Kristen merobah pandangan tentang kehidupan
sexual yang menyimpang sehingga hidup perkawinan semakin dianggap mulia.
Secara perlahan pengaruh kekristenan mengubah kedudukan perempuan,
terutama dengan munculnya para diakones di dalam sejarah gereja sejak
awal abad ke 4.
Pada abad ke 4 mulailah didirikan rumah-rumah sakit di dalam kompleks
perumahan Bishop, rumah-rumah penampungan para pengungsi, Selanjutnya
muncul juga pemeliharaan dan pembelaan bagi para janda, munculnya
panti-panti asuhan, penampungan bagi mereka yang mengalami gangguan
mental, penampungan bagi para peziarah dan orang-orang yang dalam
perjalanan, panti jompo pemeliharaan untuk yang berpenyakit kusta.
Selain itu usaha untuk menegakkan hak-hak pekerja, penghapusan
perbudakan dan dengan sendirinya memperbaiki sistim ekonomik lebih
memihak yang lemah. Pada giliran lain muncullah sekolah-sekolah melalui
biara-biara, pengembangan pertanian dan penemuan-penemuan ilmiah oleh
para rahib dan pengembangan ilmu hingga berdirinya Universitas.
Semuanya itu adalah atas karya diakonia dari Gereja. Setiap Gereja
bergerak melalui diakonia, wajah dunia selalu berubah mendekati dunia
yang lebih adil dan mendekati damai-sejahtera. Hal yang sama di dalam
sejarah Gereja Batak juga. Seluruh penginjilan di Tanah Batak berwajah
diakonia menuju transformasi. Sejak awal sekolah-sekolah didirikan, baik
bagi murid perempuan mau pun laki-laki. Guru-guru pribumi dimandirikan
pada awal Kekristenan. Kompleks gereja dibangun sedemikian rupa menjadi
satu kesaksian akan suatu hidup yang komprehensip tanpa mengenal yang
jasmani mau pun rohani. Sistim itulah yang disebut dengan ’pargodungan’. Sistim pargodungan telah
mencelikkan mata jemaat untuk pola hidup yang sesuai dengan Firman
Tuhan dalam bidang ekonomi, kesehatan pendidikan dan persekutuan. Pada
gilirannya sistim ekonomik seluruh masyarakat pun diubah. Hari pekan
misalnya yang berlangsung sekali dalam 4 hari, membuat sistim ekonomi
pasarnya tidak efisien. Memang ada keluhan para Missionaris bahwa dengan
sistim pasar sekali empat hari akan membuat hari pasar pada saat
tertentu jatuh pada hari Minggu. Namun bukan hanya alasan ini saja,
tetapi untuk pengembangan ekonomi masyarakat, maka Missionaris
menentukan agar hari pekan berlangsung sekali dalam satu Minggu saja.
Demikianlah sekolah-sekolah berdiri, baik sekolah umum mau pun
sekolah kejuruan untuk kaum perempuan mau pun laki-laki. Rumah sakit,
penampungan yang berpenyakit kusta, orang buta, panti asuhan,
pemeliharaan anak-anak yang ditinggal mati ibunya berjalan secara
serentak. Selain itu penegakan hukum dijalankan sehingga berakhirlah
permusuhan antar desa dan marga, berakhirlah penyiksaan karena terlilit
hutang, terhapuslah perbudakan.
Dalam hidup berjemaat terdapat wujud yang luar biasa. Pada tahun 1899
berdirilah Yayasan Pekabaran Injil milik pribumi yang pertama dengan
dana sendiri. Tanpa henti-hentinya mengalirlah persembahan-persambahan
dari desa-desa melalui pesta-pesta Zending. Keuangan Yayasan ini pada
saat tertentu malah melampaui keuangan Zending Barmen, hingga pada
akhirnya Yayasan itu dilebur menjadi satu dengan Gereja HKBP.
Terlihatlah di tengah-tengah kondisi ekonomik masyarakat pada saat itu,
mereka mampu melalui persembahan itu untuk penginjilan.
Dengan wajah diakonal dari penginjilan itu tertolonglah jemaat untuk
mengenal bahwa persembahannya pun diarahkan pada diakonia. Demikianlah
misalnya jemaat Pearaja yang miskin itu, mampu mengumpulkan dana
sebanyak DM 2.000,- sebagai sumbangan jemaat lokal untuk Sumah Sakit
Pearaja. Kemungkinan jumlah itu sama dengan USD 10.000,- pada masa kini.
Ucapan syukur jemaat bila diperhatikan selalu tertuju pada diakonia dan
Zending. Bila kita periksa Buku Tingting hingga tahun 1950-an akan
terlihat bahwa seluruh hamauliateon ditujukan pada Zending dan Diakoni,
atau dengan menunjuk Elim, Hephata. Sesudah munculnya dunia kapitalisme
dengan globalisasinya, bergeserlah sasaran hamauliateon pada
pribadi-pribadi tertentu atau kelompok-kelompok dalam jemaat sendiri.
Perhatian pada diakonia semakin memudar.
Di saat diakonia akhirnya makin terlupakan, pargodungan cenderung
untuk gedung pesta karena secara dana lebih menjanjikan, karena
sekolah-sekolah dianggap menjadi beban, karena hidup pertanian dan
pengembangan ekonomik dilepas pada globalisasi, maka terjadilah krisis
keuangan gereja di beberapa tempat. Krisis kemudian ditangani dengan
memikirkan bagaimana pemasukan dapat lebih banyak lagi. Lalu mulailah
melirik kiri-kanan, bagaimana gerakan-gerakan lain melimpah dalam dana
melalui persembahan-persembahannya atas dasar khotbah-khotbahnya, tanpa
sadar bahwa itu berkaitan dengan spirit kapitalisme dan globalisasi yang
sedang berlangsung.
Daripada memperpanjang keluhan-keluhan ini, lebih baik kita kembali
merenungkan agar kembali pada tiga serangkai seperti yang disebutkan di
atas, yaitu kesatuan Perjamuan Kudus, Persembahan dan Diakonia. Bila
salah satu diabaikan, maka akan terjadilah krisis keuangan gereja,
jemaat kehilangan arah untuk menyerahkan persembahan dan warga jemaat
kehilangan kesempatan untuk dibentuk menjadi penatalayan yang benar.
Agenda HKBP menjadi saksi mengapa terjadi pergeseran-pergeseran ini.
Dalam Agenda versi 1929, tidak ada di sana dituliskan doa persembahan
atau sejenis offertory. Kebaktian tanpa offertory menunjukkan
bahwa tidak ada lagi Perjamuan Kudus sesudah kebaktian pelayanan Firman.
Ini mengindikasikan bahwa liturgi kita tadinya adalah liturgi di mana
kebaktian seharusnya masih disambung lagi dengan Perjamuan Kudus. Tetapi
karena pada saat itu Missionaris adalah pada umumnya anggota Gereja
dari daerah Prussia di Jerman, di mana Perjamuan Kudus dipisah dari
Kebaktian Pelayanan Firman, maka offertory tidak dimasukkan.
Perlu penelitian, tahun berapakah doa persembahan yang kita kenal
sekarang ini dikenal dan dimasukkan dalam Agenda [red.: Agenda HKBP] dan
siapakah yang memasukkannya. Secara bentuk itu hendak menunjukkan bahwa
sebenarnya bila offertory telah dimasukkan, maka kebaktian
sudah bisa dilanjutkan dengan Perjamuan Kudus. Dengan demikian akan
semakin terlihatlah bahwa daya dorong untuk persembahan yang benar akan
semakin kuat, dan diakonia juga akan semakin berkembang, dan jemaat akan
’surplus’ (maaf, menggunakan bahasa kapitalisme).
Akhirnya, persembahan bukan thema yang harus dikaitkan dengan masalah
krisis keuangan gereja. Persembahan adalah bagian dari Perjamuan Kudus
dan Diakonia. Persembahan menjadi thema untuk pembaharuan struktur
gereja, pembaharuan masuknya gereja ke dalam dunia untuk transformasi,
pembaharuan untuk pemahaman atas jabatan yang selama ini menjadi lepas
dari diakonia, pembaharuan untuk sistim administrasi dan
pengorganisasian gereja dan pembaharuan untuk Aturan dan Peraturan
Gereja.
sumber: http://www.hkbp.or.id/files/1.5.Teologi%20Persembahan.doc?PHPSESSID=9d705146f26846090a0217e16f1c6262
No comments:
Post a Comment