1. HASIL PERADABAN
Ulos (lembar kain tenunan khas
tradisional Batak) pada hakikatnya adalah hasil peradaban masyarakat
Batak pada kurun waktu tertentu. Menurut catatan beberapa ahli ulos
(baca: tekstil) sudah dikenal masyarakat Batak pada abad ke-14 sejalan
dengan masuknya alat tenun tangan dari India. Hal itu dapat diartikan
sebelum masuknya
alat tenun ke Tanah Batak masyarakat Batak belum mengenal ulos (tekstil). Itu artinya belum juga ada budaya memberi-menerima ulos (mangulosi). Kenapa? Karena nenek-moyang orang Batak masih mengenakan cawat kulit kayu atau tangki. Pertanyaan: lantas apakah yang diberikan hula-hula kepada boru pada jaman sebelum masyarakat Batak mengenal alat tenun dan tekstil tersebut?
alat tenun ke Tanah Batak masyarakat Batak belum mengenal ulos (tekstil). Itu artinya belum juga ada budaya memberi-menerima ulos (mangulosi). Kenapa? Karena nenek-moyang orang Batak masih mengenakan cawat kulit kayu atau tangki. Pertanyaan: lantas apakah yang diberikan hula-hula kepada boru pada jaman sebelum masyarakat Batak mengenal alat tenun dan tekstil tersebut?
Pertanyaan itu hendak menyadarkan komunitas Kristen-Batak untuk menempatkan ulos pada proporsinya. Ulos pada hakikatnya adalah hasil sebuah tingkat peradaban dalam suatu kurun sejarah. Ulos pada awalnya adalah pakaian sehari-hari masyarakat Batak sebelum datangnya pengaruh Barat. Perempuan Batak yang belum menikah melilitkannya di atas dada sedangkan perempuan yang sudah menikah dan punya anak atau laki-laki cukup melilitkannya di bawah dada (buha baju). Ulos juga dipakai untuk mendukung anak (parompa), selendang (sampe-sampe) dan selimut (ulos) di malam hari atau di saat kedinginan.
Dalam perkembangan sejarah nenek-moyang orang Batak mengangkat kostum atau tekstil (pakaian) sehari-hari ini menjadi simbol dan medium pemberian hula-hula kepada boru (pihak yang lebih dihormat kepada pihak yang lebih menghormat).
2. MAKNA AWAL
Secara spesifik pada masa pra-kekeristenan ulos atau tekstil sehari-hari itu dijadikan medium (perantara) pemberian berkat (pasu-pasu) dari mertua kepada menantu/ anak perempuan, kakek/nenek kepada cucu, paman (tulang) kepada bere, raja kepada rakyat. Sambil menyampaikan ulos pihak yang dihormati ini menyampaikan kata-kata berupa berkat (umpasa) dan pesan (tona)
untuk menghangatkan jiwa si penerima. Ulos sebagai simbol kehangatan
ini bermakna sangat kuat, mengingat kondisi Tanah Batak yang dingin. Dua
lagi simbol kehangatan adalah: matahari dan api.
Bagi nenek-moyang Batak yang pra-Kristen selain ulos itu an sich yang memang penting, juga kata-kata (berkat atau pesan) yang ingin disampaikan melalui medium ulos itu. Kita juga mencatat secara kreatif nenek-moyang Batak juga menciptakan istilah ulos na so ra buruk (ulos yang tidak bisa lapuk), yaitu tanah atau sawah. Pada keadaan tertentu hula-hula dapat juga memberi sebidang tanah atau ulos yang tidak dapat lapuk itu kepada borunya. Selain itu juga dikenal istilah ulos na tinonun sadari (ulos yang ditenun dalam sehari) yaitu uang yang fungsinya dianggap sama dengan ulos.
Ulos yang panjangnya bisa mencapai
kurang lebih 2 meter dengan lebar 70 cm (biasanya disambung agar dapat
dipergunakan untuk melilit tubuh) ditenun dengan tangan. Waktu
menenunnya bisa berminggu-minggu atau berbulan-bulan tergantung tingkat
kerumitan motif. Biasanya para perempuan menenun ulos itu di bawah
kolong rumah. Sebagaimana kebiasaan jaman dahulu mungkin saja para
penenun pra-Kristen memiliki ketentuan khusus menenun yang terkait
dengan kepercayaan lama mereka. Itu tidak mengherankan kita, sebab bukan
cuma menenun yang terkait dengan agama asli Batak, namun seluruh even
atau kegiatan hidup Batak pada jaman itu. (Yaitu: membangun rumah,
membuat perahu, menanam padi, berdagang, memungut rotan, atau mengambil
nira). Mengapa? Karena memang mereka pada waktu itu belum mengenal
Kristus! Sesudah nenek moyang kita mengenal Kristus, mereka tentu
melakukan segala aktivitas itu sesuai dengan iman Kristennya, termasuk
menenun ulos!
3. PERGESERAN MAKNA ULOS
Masuknya Injil melalui para
misionaris Jerman penjajahan Belanda harus diakui sedikit-banyak juga
membawa pergeseran terhadap makna ulos. Nenek-moyang Batak mulai
mencontoh berkostum seperti orang Eropah yaitu laki-laki berkemeja dan
bercelana panjang dan perempuan Batak (walau lebih lambat) mulai
mengenal gaun dan rok meniru pola berpakaian Barat. Ulos pun secara
perlahan-lahan mulai ditinggalkan sebagai kostum atau pakaian
sehari-hari kecuali pada even-even tertentu. Ketika pengaruh Barat
semakin merasuk ke dalam kehidupan Batak, penggunaan ulos sebagai
pakaian sehari-hari semakin jarang. Apa akibatnya? Makna ulos sebagai
kostum sehari-hari (pakaian) berkurang namun konsekuensinya ulos (karena
jarang dipakai) jadi malah dianggap “keramat”. Karena lebih banyak
disimpan ketimbang dipergunakan, maka ulos pun mendapat bumbu “magis”
atau “keramat”. Sebagian orang pun mulai curiga kepada ulos sementara
sebagian lagi menganggapnya benar-benar bertuah.
4. ULOS DAN KEKRISTENAN
Bolehkah orang Kristen menggunakan
ulos? Bolehkah gereja menggunakan jenis kostum atau tekstil yang
ditemukan masyarakat Batak pra-Kristen? Jawabannya sama dengan jawaban
Rasul Paulus kepada jemaat Korintus: bolehkah kita menyantap daging yang
dijual di pasar namun sudah dipersembahkan di kuil-kuil (atau jaman
sekarang disembelih dengan doa dan kiblat agama tertentu)? Jawaban Rasul
Paulus sangat tegas: boleh. Sebab makanan atau jenis pakaian tidak
membuat kita semakin dekat atau jauh dari Kristus (II Korintus 8:1-11).
Pertanyaan yang sama diajukan oleh orang Yahudi-Kristen di gereja Roma:
bolehkah orang Kristen makan babi dan atau bercampur darah hewan dan
semua jenis binatang yang diharamkan oleh kitab Imamat di Perjanjian
Lama? Jawaban Rasul Paulus: boleh saja. Sebab Kerajaan Allah bukan soal
makanan atau minuman tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita
Roh Kudus (Roma 14:17). Analoginya sama: bolehkah kita orang Kristen
memakai ulos? Jawabnya : boleh saja. Sebab Kerajaan Allah bukan soal
kostum, jenis tekstil atau mode tertentu, tetapi soal kebenaran, damai
sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus.
Sebagaimana telah dikatakan di atas, pada masa lalu ulos adalah medium (pengantara) pemberian berkat hula-hula kepada boru. Pada masa sekarang, bagi kita komunitas Kristen-Batak ulos bukan lagi medium, tetapi sekedar sebagai simbol atau tanda doa (permohonan berkat Tuhan) dan kasih hula-hula kepada boru. Dengan atau tanpa memberi ulos, hula-hula dapat berdoa kepada Allah dan Tuhan Yesus Kristus memohon berkat untuk borunya. Ulos adalah simbol doa dan kasih hula-hula kepada boru. Kedudukannya sama dengan simbol-simbol lainnya: bunga, cincin, sapu tangan, tongkat dll.
5. NILAI ULOS BAGI KITA ORANG KRISTEN MODEREN
Sebab itu bagi kita komunitas
Kristen-Batak moderen ulos warisan leluhur itu tetap bernilai atau
berharga minimal karena 4 (empat) hal:
Pertama: siapa yang memberikannya. Ulos itu berharga karena orang yang memberikannya sangat kita hargai atau hormati. Ulos itu adalah pemberian mertua atau tulang atau hula-hula kita. Apapun yang diberikan oleh orang-orang yang sangat kita hormati dan menyayangi kita – ulos atau bukan ulos – tentu saja sangat berharga bagi kita.
Kedua: kapan diberikan.
Ulos itu berharga karena waktu, even atau momen pemberiannya sangat
penting bagi kita. Ulos itu mengingatkan kita kepada saat-saat khusus
dalam hidup kita saat ulos itu diberikan: kelahiran, pernikahan,
memasuki rumah dll. Apapun pemberian tanda yang mengingatkan kita kepada
saat-saat khusus itu – ulos atau bukan ulos – tentu saja berharga bagi
kita.
Ketiga: apa yang diberikan. Ulos itu berharga karena tenunannya memang sangat khas dan indah. Ulos yang ditenun tangan tentu saja sangat berharga atau bernilai tinggi karena kita tahu itu lahir melalui proses pengerjaan yang sangat sulit dan memerlukan ketekunan dan ketrampilan khusus. Namun tidak bisa dipungkiri sekarang banyak sekali beredar ulos hasil mesin yang mutu tenunannya sangat rendah.
Keempat: pesan yang ada dibalik pemberian ulos. Selanjutnya
ulos itu berharga karena dibalik pemberiannya ada pesan penting yang
ingin disampaikan yaitu doa dan nasihat. Ketika orangtua atau mertua
kita, atau paman atau ompung kita, menyampaikan ulos itu dia
menyampaikan suatu doa, amanat dan nasihat yang tentu saja akan kita
ingat saat kita mengenakan atau memandang ulos pemberiannya itu.
Disini kita tentu saja harus jujur dan kritis. Bagaimana mungkin kita menghargai ulos yang kita terima dari orang yang tidak kita kenal, pada waktu sembarangan secara masal, dengan kualitas tenunan asal-asalan? Tidak mungkin. Sebab itu komunitas Batak masa kini harus serius menolak trend atau kecenderungan sebagian orang “mengobral ulos”: memberi atau menerima ulos secara gampang. Ulos justru kehilangan makna karena terlalu gampang memberi atau menerimanya dan atau terlalu banyak. Bagaimana kita bisa menghargai ulos sebanyak tiga karung?
6. SIAPA MEMBERI – SIAPA MENERIMA?
Dalam Batak ulos adalah simbol
pemberian dari pihak yang dianggap lebih tinggi kepada pihak yang
dianggap lebih rendah. Namun keadaan kadang membingungkan. Ulos
diberikan juga justru kepada orang yang dianggap pemimpin atau sangat
dihormati. Dalam kultur Batak padahal ulos tidak pernah datang dari
“bawah”. Lantas mengapa kita kadang memberi ulos kepada pejabat yang
justru kita junjung, atau kepada pemimpin gereja yang sangat kita
hormati? Bukankah merekalah yang seharusnya memberi ulos (mangulosi)?
Kebiasaan memberi ulos kepada Kepala Negara atau Eforus (pimpinan
gereja) selain mereduksi makna ulos juga sebenarnya merendahkan posisi
kepala negara dan pemimpin gereja itu.
7. HANYA SALAH SATU CIRI KHAS
Ulos memang salah satu ciri khas
Batak. Namun bukan satu-satunya ciri kebatakan. Bahkan sebenarnya ciri
khas Batak yang terutama bukanlah ulos (kostum, tekstil), tetapi bius
dan horja, demokrasi, parjambaran, kongsi dagang, dan dalihan na tolu.
Posisi ulos menjadi sentral dan terlalu penting justru setelah budaya
Batak mengalami reduksi yaitu diminimalisasi sekedar ritus atau seremoni
pernikahan yang sangat konsumtif dan eksibisionis. Hanya dalam rituslah
kostum atau tekstil menjadi dominan. Dalam aksi sosial atau perjuangan
keadilan politik, ekonomi, sosial dan budaya kostum nomor dua. Inilah
tantangan utama kita: mengembangkan wacana atau diskursus kebatakan kita
yang lebih substantif atau signifikan bagi kemajuan masyarakat dan
bukan sekadar meributkan asesori atau kostum belaka.
8. ULOS DITERIMA DENGAN CATATAN
Ekstrim pertama:
Sebagian orang Kristen-Batak menolak ulosnya karena dianggap sumber
kegelapan. Padahal darah Tuhan Yesus yang tercurah di Golgota telah
menebus dan menguduskan tubuh dan jiwa serta kultur Batak kita. Ulos
artinya telah boleh dipergunakan untuk memuliakan Allah Bapa, Tuhan
Yesus dan Roh Kudus.
Ekstrim yang lain: Sebagian
orang Kristen-Batak mengeramatkan ulosnya. Mereka menganggap ulos itu
keramat, tidak boleh dijual, tidak boleh dipakai. Mereka lupa bahwa
Kristus-lah satu-satunya yang berkuasa dan boleh disembah, bukan warisan
nenek moyang termasuk ulos.
Sikap kristiani: Tantangan bagi kita komunitas Kristen-Batak sekarang adalah menempatkan ulos pada proporsinya: kostum atau tekstil khas Batak. Tidak lebih tidak kurang. Bukan sakral dan bukan najis. Jangan ditolak dan jangan dikeramatkan! Jangan dibuang dan jangan cuma disimpan!
(Pdt Daniel.T.A.Harahap)
Catatan:
Tulisan ini saya posting kembali untuk
mengenang Ibunda Humara Sereuli Hutabarat, Ompu Paganda, yang telah
mengajarkan saya hidup beradat berdasar kasih.
No comments:
Post a Comment