Tentang Hikmat Salib; di 1 Korintus
1, 10-18
Oleh : Gr Absalom Castle Sianipar
Pemimpin Selebritis ala Korintus Pasal pertama dari surat rasul Paulus yang pertama kepada jemaat Korintus memberitahu kita bahwa gereja yang dimulai oleh pelayanan rasul Paulus dalam perjalanan misinya (lihat Kisah 18) sedang mengalami perpecahan. Membaca tentang perpecahan dalam jemaat mungkin tidak terlalu mengejutkan bagi kita orang Kristen yang hidup di abad ke-21. Itu hal yang biasa, normal, dan terus terjadi sampai hari ini. Yang sering luput dari perhatian kita adalah faktor penyebabnya. Mengapa perpecahan tersebut terjadi? Bukan karena pengaruh sekuler dari luar gereja (meskipun gereja tersebut terletak di kota Korintus yang dilukiskan dengan tepat oleh seorang komentator Alkitab sebagai "the most populated, wealthy, commercial-minded and sex-obsessed city of Eastern Europe"). Meski gereja Korintus sarat diwarnai oleh multikulturalisme, filsafat sekuler, imoralitas, dan materialisme, bukan itu yang menjadi penyebab perpecahan. Faktor penyebabnya juga bukan perbedaan teologis atau pengajaran yang bersifat doktrinal. Memang seringkali alasan ini dijadikan 'kambing-hitam' yang melegitimasi perpecahan gereja sampai-sampai seakan timbul persepsi bahwa perpecahan gereja secara absolut dapat dibenarkan apabila alasannya adalah perbedaan teologis. Yang menjadi penyebab perpecahan adalah pengkultusan individu-individu pemimpin atau personality cult: Jemaat tercerai-berai dalam golongan dengan label-label nama figur idola mereka: Paulus, Apolos, Kefas, dan Kristus. Paulus adalah pendiri gereja Korintus, bapak rohani yang membawa mayoritas individu kepada Kristus. Jadi wajar kalau ada orang-orang yang lalu menganggap dia sebagai tokoh terpenting yang perkataannya harus ditaati. Apalagi dia adalah seorang intellectual giant dalam pengajaran doktrinal. Apolos adalah pengajar Alkitab dengan kemampuan ekspositori Perjanjian Lama dan teknik orasi yang sangat efektif (lihat Kisah 18:24-19:7). Alumni 'universitas' di Aleksandria ini mungkin memiliki intelektual yang sama dengan Paulus yang adalah alumni 'universitas' di Tarsus, namun teknik komunikasi massa-nya lebih hebat dibanding Paulus (band 2 Kor 10:10). Tidaklah mengherankan kalau kemudian terbentuk semacam elit intelektual di jemaat Korintus yang sangat mengagumi jagoan apologetika mereka ini. Kefas atau Petrus adalah rasul yang dipanggil Allah untuk mengabarkan Injil pada orang-orang yang bersunat, sedangkan Paulus pada orang-orang yang tidak bersunat (Gal 2:7). Fakta ini menjadi potensi penyebab sekelompok orang-orang Yahudi lalu membentuk "The Kefas Club" Tidak ketinggalan adalah orang-orang yang menganggap bahwa mereka tidak perlu pemimpin samasekali. Ironisnya, orang-orang ini lalu membentuk kelompok sendiri dan menyatakan diri sebagai kelompok Kristus. Sama halnya hari ini kita mengenal denominasi Church of Christ, The Church of Jesus Christ of Latter Day Saints, Disciples of Christ, dan lain sebagainya. Dan tidak perlu terkejut kalau hari ini kita memiliki gereja Lutheran, Wesleyan, Mennonite, dan seterusnya. Rasanya kurang etis kalau menyebutkan nama-nama pemimpin Kristen yang hari ini diikuti oleh ribuan bahkan ratusan ribu massa. Namun mereka eksis hari ini dalam berbagai kultur, apalagi dalam kultur Indonesia yang sangat paternalistik. Mereka telah ada, masih ada, dan akan senantiasa ada. Kristus, Bukan Manusia Paulus menekankan bahwa perpecahan di Korintus terjadi karena mereka telah mengalihkan fokus perhatian mereka dari Kristus. Ketika pemimpin manusiawi dijadikan objek penyembahan dan dikondisikan untuk memegang pusat kontrol kuasa, maka Kristus digeser dari tempatNya. Memang manusia lebih mudah berinteraksi dengan sesuatu yang tangible, yang dapat dilihat, ketimbang sesuatu yang intangible. Jadi yang tidak nampak dimata kemudian sering diganti dengan sesuatu yang lebih riil. Allah diganti dengan lembu emas. Kristus diganti dengan pemimpin manusia. Tentu ini tidak diakui secara verbal, namun nampak jelas dalam praktika. Bagaimanakah kita harus memperlakukan pemimpin kita? Paulus bertanya "Jadi, apakah Apolos? Apakah Paulus?" (yang menarik, dia tidak menulis "siapakah Apolos? siapakah Paulus?") dalam 1 Korintus 3:5. Paulus mengajukan retorikanya: Kamu pikir kami ini apa sih? Manusia super semi-malaikat? Pemimpin-selebritis? Berhala modern? Salah! Kami adalah pelayan. Tidak lebih dari itu. Memang ada otoritas yang Allah berikan kepada para pemimpin yang Ia panggil. Memang umat harus menghormati dan mentaati para pemimpin yang Allah telah tetapkan. Namun tekanan seorang pemimpin Kristen bukan pada otoritas atau statusnya, namun kepada kerendahan hati dan tanggung jawab seorang pelayan kepada tuannya. Paulus mengajarkan bahwa baik dia maupun Apolos (yang lebih hebat dari dia sekalipun) adalah diakonos, pelayan meja yang menunggu instruksi dari Tuhan untuk melayani jemaat. Memang fungsi pelayanan mereka sangat penting, namun mereka tidak lebih dari alat yang samasekali tidak berguna tanpa Allah bekerja melalui mereka. Tentu pengajaran Paulus diatas tidak akan laku hari ini dalam seminar-seminar dan pelatihan-pelatihan kepemimpinan yang menekankan image management: sell yourself high and speak highly of yourself! Yang jelas, alkitab mengajarkan dan sejarah telah membuktikan bahwa pengkultusan individu pemimpin bukan saja tidak sehat, namun berbahaya bagi keberlangsungan sebuah komunitas di berbagai level. Pengamsal mengatakan bahwa orang yang menolak ajaran Tuhan adalah orang bebal. Demikian juga orang yang tidak pernah belajar dari sejarah dan terus-menerus mengulangi kesalahan yang sama. Yang paling bebal adalah orang yang cuek terhadap keduanya.amin
No comments:
Post a Comment