Monday, 4 November 2013

Pemahaman Pluralisme Dari Perspektif Nahdatul Ulama


Seminar Pengajaran
PEMAHAMAN PLURALISME
DARI PERSPEKTIF NAHDLATUL ULAMA (NU)
 


Ditulis oleh,
Gr. JOHN SB MANURUNG (NIM : 09.2459)
Dosen Pengampu :
Pdt. R. Hutahaean, M.Th
Pdt. R.J. Siagian, M.Si
Sekolah Tinggi Theologia
HURIA KRISTEN BATAK PROTESTAN
(STT HKBP) PEMATANGSIANTAR
2012
Seminar Pengajaran
Nama               : John SB Manurung
NIM                : 09.2459
Mata Kuliah    : Seminar Pengajaran (Perbaikan)
Dosen              : Pdt. R. Hutahaean, M.Th & Pdt. R.J. Siagian, M.Si.
_________________________________________________________________________
PEMAHAMAN PLURALISME
DARI PERSPEKTIF NAHDLATUL ULAMA (NU)
I.          Kata Pengantar
            Saat ini, keberagaman (pluralitas) merupakan realitas yang terus berkembang dan tidak mungkin dihindari, apalagi dihapuskan dari peradaban manusia. Pluralitas hadir di segala aspek kehidupan, baik di bidang budaya, ekonomi, politik, dan juga agama. Secara khusus, pluralitas agama melahirkan dua pandangan kontradiktif, yaitu sikap toleran dan intoleran terhadap perbedaan. Pandangan yang pertama (toleran)  memahami bahwa bahwa perbedaan adalah bagian dari kehendak Sang Khalik, sebaliknya yang kedua (intoleran) berkaitan dengan sikap yang senantiasa menolak perbedaan. Dalam pokok bahasan ini penyaji akan membahas “Pemahaman Pluralisme dari Perspektif Nahdlatul Ulama (NU)”, dengan pokok bahasan sebagai berikut:
I.                   Kata Pengantar
II.                Lahirnya Nahdlatul Ulama (NU)
2.1.      Pemahaman dan Pemikiran Keagamaan NU
2.2.      Dokumen atau Ajaran NU
III.             Pandangan Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Pluralisme
3.1.      Pengertian Pluralisme
3.2.      Pluralisme menurut Al-Qur’an
3.3.      Pluralisme Menurut Sunnah Nabi Muhammad SAW
3.4.      Pandangan Tokoh-Tokoh Islam NU terhadap Pluralisme
IV.             Pluralisme dan Tantangannya di Indonesia
V.                 Kesimpulan
II.        Lahirnya Nahdlatul Ulama (NU)
            Nahdlatul Ulama didirikan pada tahun 1926 oleh sejumlah tokoh ulama tradisional dan usahawan Jawa Timur. Pembentukannya seringkali dijelaskan sebagai reaksi defensif terhadap berbaai aktivitas kelompok reformis, Muhammadiyah,[1] dan kelompok modernis moderat yang aktif dalam gerakan politik, Sarekat Islam (SI).[2]
            Walaupun sejak awal Kiai Hasyim Asyari duduk sebagai pimpinan dan tokoh agama terkemuka di dalam Nahdlatul Ulama, namun tidak diragukan lagi bahwa penggerak di belakangnya adalah Kiai Wahab Chasbullah. Ia adalah pengorganisir yang bersemangat, baginya pembentukan NU menunjukkan bahwa NU lebih dari sekedar usaha mempertahankan tradisi dari serangan kaum modernis dan reformis.[3]  Pada tahun 1924, dia mengusulkan kepada kerabat dan gurunya, Kiai Hasyim Asyari agar mendirikan sebuah organisasi yang mewakili kepentingan-kepentingan dunia pesantren. Ini terjadi setelah Kongres Al-Islam yang pertama, di mana sikap kaum tradisionalis yang bergantung kepada pendapat ulama besar masa lalu (taqlid) banyak mendapat kritik. Banyak kiai yang enggan ikut dalam perhimpunan ini, karena belum pernah ada dalam tradisi Muslim Jawa. Untuk membujuk para kiai yang lebih berpengaruh, Kiai Wahab memerlukan dukungan moral dari orang yang lebih beribawa secara keagamaan. Kiai Hasyim Asyari, pendiri pesantren Tebuireng, pada waktu itu diakui umum sebagai kiai yang sangat dihormati di Jawa, dan tanpa dukungannya jelas tidak mungkin berdiri sebuah organisasi kiai yang solid. Pada tahun 1924, Kiai Hasyim Asyari tampaknya belum melihat perlunya mendirikan organisasi semacam ini dan tidak memberikan persetujuannya. Namun setelah penyerbuan Ibn Sa’ud atas Mekkah, dia berubah pikiran dan menyetujui perlunya dibentuk sebuah organisasi baru. Dia kemudian menulis, sebagai pembukaan Anggaran Dasar NU, sebuah risalah berbahasa Arab. Dalam risalah ini ia menyerukan umat Islam bersatu dan ditutup dengan pernyataan bahwa pembentukan sebuah organisasi untuk membela Islam merupakan konsekwensi logis dan perlu dari perintah-perintah Ilahi (ia kutip ayat-ayat Al-Qur’an). Rapat di rumah Kiai Wahab, yang kemudian dianggap sebagai rapat pembentukan NU, dipimpin oleh Kiai Hasyim Asyari sendiri. Kebanyakan mereka yang hadir dalam rapat tersebut (termasuk Kiai Wahab) mengganggap diri mereka murid Kiai Hasyim, karena pernah belajar di pesantren Tebuireng.[4] Mereka yang bukan ulama diberi posisi di badan eksekutif (Tanfidziyah) sementara para ulama menjadi badan legislative (Syuriyah). Secara teoritis Tanfidziyah harus bertanggung jawab kepada Syuriyah. Kiai Hasyim Asyari menjabat, sampai akhir hayatnya, sebagai ketua (Rois) Syuriyah. Kiai Wahab semula menjabat sekretaris Syuriyah, tetapi segera mundur sedikit menjadi penasehat (mustasyar) namun dalam prakteknya tetapi menjadi kekuatan penggerak organisasi.[5]
            Anggaran Dasar NU[6] menekankan upaya melindungi Islam tradisional dari bahaya-bahaya gagasan dan praktek keagamaan pembaru. Pendidikan harus ditingkatkan, tetapi bahan-bahan pelajarannya harus diamankan terlebih dahulu dari gagasan kaum pembaru.  Muktamar NU pertama, menetapkan tidak hanya buku-buku penting mana yang termasuk dalam mazhab figh Syafi’i, tetapi juga mana yang harus lebih diutamakan apabila di dalamnya terdapat fatwa-fatwa yang berbeda.[7]
            NU lahir sebagai organisasi keagamaan untuk menegakkan kehidupan keagamaan yang berlandaskan pada paham ahl al-sunnah wal jamaah. Dan ini merupakan juga bukti kepekaannya terhadap perkembangan. Ketika kaum pembaharuan melancarkan serangannya terhadap kehidupan keagamaan yang tradisional, NU berdiri sebagai pembela dan membenahi kehidupan keagamaan berdasarkan paham ahl al-sunnah wal jamaah.[8]
2.1.      Pemahaman dan Pemikiran Keagamaan NU
            Kesetiaan pada tradisi ditegaskan oleh NU dengan menyatakan dirinya tergolong pada Ahl al-sunnah wal jamaah. Secara bahasa ahl al-sunnah wal jamaah terdiri dari dari tiga kata yaitu ahl  (pengikut aliran atau pemeluk mazhab), al sunnah (orang-orang yang berpaham Sunni). Kata al-sunnah dalam pengertian yang luas diartikan juga dngan perbuatan, fatwa dan tradisi yang diintrodusir oleh para sahabat. Sedangkan kata al-jamaah berarti kumpulan orang yang mempunyai tujuan. Jika kata ini dikaitkan dengan sekte-sekte Islam, maka hanya berlaku di kalangan ahl al-sunnah, karena di kalangan Khawarij dan Syi’ah Rafidah tidak dikenal penggunaan kata jamaah.[9]
            Menurut Said Agil Siradj, yang dikutip oleh penulis buku ini memberi definisi kepada ahl al-sunnah wal jamaah adalah orang-orang yang memiliki metode berpikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran.[10] Karakteristik yang selalu menjadi nilai dasar dari ajaran ahl al-sunnah wal jamaah adalah sikap tawasuth, tawazun dan ta’adul. Implementasi nilai-nilai tersebut tercermin dari sikap  penganut Sunni yang elastis, fleksibel dan toleran dalam menghadapi pluralitas sosial dengan berbagai ragam tradisi dan keyakinan dengan mengambil sikap tengah. Ia tidak mendahulukan akal daripada nas, tetapi juga tidak mengebiri potensi akal. Ia tidak mengenal tatharruf (sikap ekstrim) dan tidak mengkafirkan sesama muslim.[11] Salah satu ciri instrinsik dari ajaran ahl al-sunnah wal jamaah adalah keseimbangan pada penggunaan dalil naqli dan aqli. Keseimbangan demikian memungkian adanya sikap akomodatif atas perubahan-perubahan yang berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan demikian sangatlah jelas bagi kita, jika NU berpijak dalam pemahaman dan pemikiran ahl al-sunnah wal jamaah berarti mereka adalah orang-orang mampu menerima perbedaan, kemajemukan dan sangat toleran terhadap orang lain.
2.2.      Sikap Kemasyarakatan NU
            Berdirinya NU tidak bisa dilepaskan dengan upaya mempertahankan ajaran ahl al-sunnah wal jamaah (aswaja). Ajaran ini bersumber dari Alqur’an, Sunnah, Ijma (keputusan-keputusan para ulama sebelumnya), dan iyas (kasus-kasus yang ada dalam cerita Alqur’an dan hadis). Secara rinci ajaran ini, seperti dikutip oleh Marijan dari KH Mustafa Bisri, ada tiga substansi yaitu (1) dalam bidang hukum-hukum Islam, menganut salah satu ajaran dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), yang dalam prakteknya para kiai NU menganut kuat mazhab Syafi’i; (2) dalam soal tauhid (ketuhanan) menganut ajaran Imam Abu Hasan Al-Asyari dan Imam Abu Mansur Al Maturidi; (3) dalam bidang tasawuf, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qasim Al Junaidi. Dalam mempertahankan dan mengembangkan ajaran-ajaran tersebut, maka pesantrenlah, dalam berbagai wujud sesuai dengan perkembangannya, yang merupakan wadah atau sarana utamanya. Melalui pesantren para  kiai NU melakukan pendogmaan tafsir yang terdalam kitab dan terus menerus dianggap sebagai suatu kebenaran.[12]
            Cita-cita dan langkah NU sejak didirikan bertumpu pada gerakan islah (perbaikan dan peningkatan kebaikan), di mana setiap kegiatan yang dilakukan diharapkan hasilnya akan lebih besar dan lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Sikap tawasuth dan i’tidal; sikap tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan luruh di tengah-tengah kehidupan bersama, bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim).
Sikap tasamuh; sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu atau masalah khilafiyah, serta dalam masyarakat kemasyarakatan dan kebudayaan.
Sikap tawazun; sikap seimbang dalam berkhidmat. Menyerasikan khidmat kepada Allah SWT, khidmat kepada sesama manusia sersta kepada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa datang.
Sikap ma’ruf nahi munkar; selalu memiliki kepekaan untuk menyongson perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan, serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.
Dari sikap kemasyarakatan NU itu, kendati merupakan suatu pengelompokan atau komunitas yang eksklusif dengan peran utama para kiai, namun sebenarnya mereka sangat menjunjung tinggi realitas dan nilai-nilai keagamaan dan pluralitas. Mereka berupaya bagaimana  memperbaiki sesuatu yang sudah ada demi kemaslahatan masyarakat dalam kondisi masyarakat yang plural, menghargai perbedaan  yang ada dalam masyarakat dihargai dan dijunjung tinggi dengan suatu penolakan dari adanya kebenaran yang bersifat sepihak yang seringkali secara tidak sadar hendak dipaksakan kepada pihak lain.[13] Nahdlatul Ulama meletakkan dasar ajarannya pada ahl al-sunnah wal jamaah, itu berarti mereka mengembangkan ajaran-ajarannya pada prinsip dasar ini, sehingga NU tidak akan mudah jatuh kepada sikap fundamentalis karena ia mempunyai banyak rujukan untuk memberikan fatwanya.[14]
III.       Pandangan terhadap Pluralisme
3.1.      Pengertian Pluralisme
            Nurdinah Muhammad, dalam artikelnya Pluralisme dan Titik Temu Agama-Agama, memaparkan Pluralisme berasal dari kata plural yang berarti banyak atau berbilang atau bentuk kata yang digunakan untuk menunjuk lebih dari satu. Pluralisme dalam filsafat adalah pandangan yang mengakui hakikat dunia terdiri dari banyak unsur (sering dilawankan dengan kata monisme atau dualisme). Pada kenyataannya pluralitas telah ada sejak keberadaan alam semesta (mahluk) sebagaimana Tuhan menciptakannya. Juga termasuk keanekaragaman manusia dengan berbagai aspeknya (suku, bangsa, bahasa, agama, kelompok, profesi dan sumber daya).  Hal ini jelas termaktub dalam firman Allah SWT dalam surat Al-Hujarat 13, tentang jenis manusia (laki-laki dan perempuan).[15]
DR. Abdul Mustaqim[16], tulisannya Islam,  dalam buku Meniti Kalam Kerukunan, mengatakan bahwa pluralisme secara literal dapat diartikan sebagai paham kemajemukan, baik dalam agama, etnis, suku, maupun budaya. Namun, karena sering terjadi konflik sosial yang dipicu oleh isu agama, wacana pluralisme juga sering lebih ditekankan pada  masalah pluralisme agama. Di era demokrasi dan globalisasi, pluralisme kemudian menjadi isu yang sangat penting dan gencar disosialisasikan. Hal ini dilakukan dengan harapan ketika semangat pluralisme dalam beragama dipahami dengan baik, ketegangan dan konflik yang disebabkan oleh isu agama dapat diredam atau paling tidak semakin berkurang.
Beliau mengutip tulisan Alwi Shihab dalam Islam Inklusif: Menuju Sikap terbuka dalam Beragama, (Alwi Shihab 1997), yang mengatakan bahwa konsep pluralisme dapat diartikan dalam empat (4) pengertian yaitu:
1)         Pluralisme tidak semata-mata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, tetapi juga adanya keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Dengan demikian, seseorang baru dapat dikatakan sebagai pluralis jika ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Jika hal ini ditarik dalam konteks pluralisme agama berarti bahwa tiap pemeluk agama dituntut tidak saja mau mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan agar tercapai kerukunan dalam kebhinekaan.
2)         Pluralisme berbeda dengan konsep kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme mengacu pada suatu realitas di mana aneka ragam agama, ras dan bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi, namun di situ tidak ada interaksi positif.
3)         Pluralisme tidak identik dengan relativisme. Seorang relativisme akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka pikir masing-masing orang atau masyarakat. Implikasinya, seseorang akan menyatakan semua agama adalah sama karena kebenaran agama walaupun berbeda-beda satu dengan lainnya tetap harus diterima. Akibatnya, seorang relativisme  justru tidak akan mengenal, apalagi menerima kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa. Memang dalam pluralisme ada unsur relativisme, namun setidaknya tidak ada klaim untuk memonopoli kebenaran tunggal, terlebih lagi memaksakan kebenaran tersebut pada penganut lain. Itulah sebagian orang enggan menggunakan kata-kata pluralisme agama karena khawatir terjebak pada paham relativisme agama.
4)         Pluralisme bukanlah sinkretisme, yaitu mencari suatu agama baru dengan memadukan unsur-unsur yang ada dalam beberapa agama demi dijadikan bagian integral dalam agama baru tersebut, seperti dalam agama Bahaisme yang didirikan oleh Mirza Ali Nuri di Iran.  Elemen-elemen agama tersebut berasal dari agama Yahudi, Kristen dan Islam.[17]
3.2.      Pluralisme menurut Al-Qur’an
            Pluralitas agama hal yang tidak mungkin dihindarkan dari tengah-tengah dunia ini, karena kondisi plural adalah gambaran kebesaran Tuhan. Pluralisme Agama melalui perspektif Al-Qur’an, tampak bahwa Al-Quran sangat apresiatif terhadap pluralisme. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa ayat berikut ini :
Q.S. al-Hajj (22) :40 yang berbunyi :         
Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
Ayat tersebut memberikan isyarat bahwa perbedaan agama sengaja dibiarkan oleh Allah untuk menjadi kekuatan penyeimbang dan masing-masing pihak harus berlomba-lomba dalam kebaikan.
Dalam ayat yang lain, Al-Quran juga menegaskan tentang pluralitas suku dan bangsa sebagaimana dalam firmanNya :
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling  mulia di antara kamu di sisi Allah  ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-Hujurat (49) :13).
Hal ini memberi isyarat bahwa Allah sangat menghargai pluralitas (kemajemukan) yang merupakan sunnatullah karena kemanunggalan hanya milik Allah SWT.[18]
            Pengakuan terhadap pluralisme, dalam Al-Quran, ditemukan dalam banyak  terminologi yang merujuk kepada komunitas agama yang berbeda. Al-Quran di samping membenarkan, mengakui keberadaan eksistensi agama-agama lain, juga memberikan kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Konsep ini secara sosiologis dan kultural menghargai keragaman, sementara secara teologis turut mempersatukan keragaman tersebut dalam satu umat yang memiliki kitab suci ilahi. Pengakuan Al-Quran terhadap pluralisme dipertegas lagi dalam kotbah perpisahan Nabi  Muhammad. Sebagaimana dikutip oleh Fazlur Rahman, ketika Nabi menyatakan bahwa,
Kamu semua adalah keturunan Adam, tidak ada kelebihan orang Arab terhadap orang lain, tidak pula orang selain Arab terhadap orang Arab, tidak pula manusia yang berkulit putih terhadap orang yang berkulit hitam, dan tidak pula orang yang hitam terhadap yang putih kecuali karena kebajikannya.[19]
Perkataan ini menggambarkan persamaan derajat umat manusia di hadapan Tuhan.
Al-Qur’an juga mengisyaratkan bahwa pluralitas merupakan sesuatu yang alamiah. Allah tidak menghendaki manusia untuk menjadi satu umat saja.
Kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kalian satu umat saja, tetapi memasukkan dalam rahmat-Nya siapapun yang dikehendaki-Nya, sedangkan orang-orang yang zalim tidak mempunyai pelindung maupun penolong” (Surat 42/al-Syurad 8).[20]
            Abdul Mustaqim mengutip apa yang dikatakan oleh Fazlur Rahman, dalam buku Meniti Kalam Kerukunan, bahwa Al-Quran juga memerintahkan Muhammad supaya mempercayai Taurat dan Injil. Hal ini karena petunjuk Tuhan itu adalah universal dan tidak terbatas pada kaum tertentu saja. ”Tidak ada suatu kaum yang tidak pernah didatangi oleh seorang pembawa peringatan” (Q.S. Fathir [35]:24) dan ”bagi setiap kaum telah disediakan petunjuk” (Q.S. ar-Rad [13]:7). Perkataan Kitab sering dipergunakan Al-Quran bukan dengan pengertian kitab suci tertentu, tetapi sebagai istilah umum yang mempunyai pengertian keseluruhan wahyu Tuhan (Q.S. al-Bayyinah [98]:3).[21] Hal ini jelas bahwa keanekaragaman/kamajemukan sangatlah dihormati oleh Muhammad.
3.3.      Pluralisme Menurut Sunnah Nabi Muhammad SAW
            Islam lahir dalam konteks agama Yahudi dan agama Kristen di wilayah Arab dan Muhammad memahami wahyunya sebagai kelanjutan dan pemenuhan tradisi alkitabiah Yahudi dan Kristen. Al-Qur’an mengakui agama-agama yang mewartakan pewahyuan Allah, yang bersikap adil dan yang menyembah Dia, agama-agama seperti itu di dalam Al-Qur’an disebut Asal Alkitab (QS. Az Zukhruf 43:4; QS. Ar Ra’ad 13:39, Kitab Yang terlindungi (QS. Al-Waqiah 56:78) dalam kaitan inilah muncul pengakuan Muhammad bahwa dia tidak saja beriman kepada Taurat dan Injil tetapi juga ” aku beriman kepada kitab apa saja yang diturunkan Allah” bimbingan Allah menurut Al-Qur’an tidak terbatas tetapi universal bagi semua orang. Hal ini mengungkapkan sikap Islam yang sangat toleran dan rukun ketika masa nabi Muhammad oleh karena itu pengajaran Islam sangat positif untuk mendorong umat Muslim supaya rukun terhadap non Islam.
Kebebasan beragama dan penghormatan terhadap kepercayaan agama lain bukan hanya hal penting bagi masyarakat majemuk tetapi bagi Islam sendiri hal tersebut merupakan ajaran Al-Qur’an. Membela kebebasan beragama dan menghormati kepercayaan orang lain justru merupakan bagian dari ajaran keIslaman. Dalam Al-Qur’an diharuskan bagi seorang Muslim bersikap ikut bertanggungjawab menjaga pertahanan keamanan rumah-rumah ibadah agama lain seperti biara-biara, gereja-gereja, sinagoge-sinagoge dan masjid-masjid (bnd. QS al Hajj 22:40). Pada hakekatnya ayat inilah yang menginspirasikan Muhammad untuk menyusun strategi hubungan sosial politik masyarakat yang plural di Madinah yang dituangkan dalam satu konstitusi politis yaitu Piagam Madinah yang menjamin kebebasan hidup bagi yang berbeda agama dalam satu komunitas yang sama. Islam mengakui eksistensi agama-agama yang ada dan menerima beberapa prinsip ajarannya. Namun demikian bukan berarti bahwa semua agama adalah sama, sebab setiap agama memiliki kekhasan, keunikan dan karakteristik yang membedakannya dengan agama lain yang disebabkan karena kelahiran setiap agama memiliki konteks historis dan tantangannya sendiri.[22]
            Masyarakat Madinah adalah masyarakat yang majemuk dan sering sekali terjadi konflik di antara mereka. Muhammad menyadari bahwa hal harus segera diatasi yang dengan membentuk Piagam Madinah yang didasarkan atas persatuan dan persaudaraan di dalam kemajemukan tersebut. Piagam Madinah dikenal sebagai perjanjian Madinah yang merupakan suatu piagam politik yang mengandung tata aturan kehidupan bersama antara kaum muslimin dan kaum Yahudi di Madinah.[23]
            Dalam Islam, Al-Qur’an memandang agama Nasrani [Kristen] di samping Yahudi, sebagai agama serumpun dalam Abrahamic religions, dan menyikapi umat Kristiani, sebagai salah satu bagian dari ahli Kitab. Secara umum, pandangan Islam terhadap ahli Kitab sangat positif dan konstruktif (tetapi juga kritis). Al-Qur’an 5:85 menegaskan bahwa ”makanan ahli Kitab adalah halal bagimu (umat Islam) dan makananmu (umat Islam) halal bagi mereka, serta wanita ahli Kitab (halal pula bagi umat Islam untuk dinikahi)”. Halalnya makanan ahli Kitab bagi umat Islam dan halalnya wanita ahli Kitab dinikahi umat Islam merupakan simbol perwujudan dari persahabatan dan kekerabatan yang paling konkrit antar komunitas yang berlainan agama tersebut.
Dalam semangat ajaran Islam, seluruh umat manusia apapun agama yang dianutnya harus dihormati dan dihargai. Nilai-nilai dan ajaran Islam memberikan ruang yang cukup luas bagi umat Islam untuk mengembangkan hubungan dan interaksi sosial budaya kepada umat Kristiani. Pada saat yang sama Islam sangat ketat melarang umatnya untuk melakukan perbuatan yang berdampak pada terciptanya disharmonisasi sosial dalam suatu masyarakat.[24]
3.4.      Pandangan Tokoh-Tokoh NU terhadap Pluralisme
3.4.1.   K.H. Abdurrahman Wahid
            Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar, Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Sholehah. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus 1940, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya’ban 1359, sama dengan 7 September 1940 dan  Gus dur Wafat, pada tanggal 30 Desember 2009.
            M. Hamid, dalam bukunya yang berjudul Gus Gerr, Bapak Pluralisme & Guru Bangsa, yang diterbitkan oleh Pustaka Marwa, Yogyakarta, mengatakan bahwa Gus Dur lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. Addakhil berarti Sang Penakluk, sebuah nama yang diambil dari Wahid Hasyim, orangtuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Abdurrahman Wahid kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. Gus adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti abang atau mas.[25] Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah, pernikahan itu berlangsung pada tanggal 11 Juli 1968, Gus Dur melangsungkan pernikahan jarak jauh. Inilah kejadian heboh pertama dari Gus Dur untuk keluarga istrinya. Karena Gus Dur masih berada di Mesir, terpaksa pernikahan dilakukan tanpa menghadirkan mempelai laki-laki (in absentia). Sehingga pihak keluarga meminta kakek Gus Dur dari garis Ibu, K.H. Bisri Syamsuri, yang berusia 68 tahun, untuk mewakili mempelai pria. Pernikahan ini sempat membuat geger tamu yang menyaksikan acara ijab kabul. Bagaimana tidak, pengantin laki-laki sudah tua. Namun kesalahpahaman itu hilang setelah pada tanggal 11 September 1971, pasangan Gus Dur-Nuriyah melangsungkan pesta pernikahan.[26]
            Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, adalah salah satu tokoh bangsa yang berjuang paling depan melawan radikalisme agama. Ketika radikalisme agama sedang kencang-kencangnya bertiup, Gus Dur menantangnya dengan berani. Dia bahkan mempersiapkan pasukan sendiri bila harus berhadapan melawan kekerasan yang dipicu agama. Gus Dur menentang semua kekerasan yang mengatasnamakan agama. Dia juga pejuang yang tidak mengenal hambatan. Gus Dur digelari Bapak Pluralisme, karena keberpihakannya pada kelompok minoritas, baik dalam kalangan muslim maupun karena kedekatannya dengan kalangan umat Kristen dan Katolik serta etnis Tionghoa. Tidak hanya Indonesia, dunia pun mengakuinya.[27]
            Gus Dur memiliki pemikiran-pemikiran yang sangat fundamental bagi terwujudnya kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki di Indonesia. Pola pandang dan sikap yang terus menghargai perbedaan dalam kerangka keragaman etnis, budaya, dan agama di Indonesia, masih tetap menjadi ciri khasnya. Ia mengingatkan pentingnya menolak penyeragaman cara pandang, sikap, maupun perilaku dalam beragama dan bernegara di negeri ini. Gus Dur dipuji karena memperjuangkan pluralisme yang berintikan pada semangat memaklumi segala perbedaan untuk kebaikan dan kemajuan bersama[28]. Dalam setiap ajarannya Gus Dur menekankan perlunya kebersamaan atau kerukunan antar-umat beragama. Sebab dengan cara itu umat Islam bisa hidup damai di bumi. Gus Dur juga sebagai sosok  humanis dan tidak membedakan satu dengan lainnya.[29]
            Badiatul Roziqin, dkk. dalam bukunya 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, mengatakan bahwa, menurut Gus Dur, penafsiran ulang atas ajaran-ajaran Islam menjadi kebutuhan zaman, karena tanpa proses penafsiran ulang itu, tentunya Islam akan sangat sempit memahami ayat-ayat Al-Quran. Kemudian Badiatul Roziqin, dkk. mengkategorikan Gus Dur sebagai salah satu cendikiawan Neo Modernis, di mana Neo Modernis sangat mengedepankan pemahaman Islam yang terbuka, inklusif, liberal terutama dalam menerima realitas faktual pluralisme masyarakat dan condong untuk menekankan sikap toleran dan harmonis dalam hubungan antar komunitas.[30]
3.4.2.   Prof. DR. Nurcholish Madjid
            Nurcholish Madjid, lahir 17 Maret 1939, menikah dengan Omi Komariah, direstui dua orang anak yaitu Nadia Madjid dan Ahmad Mikail. Nurcholish Madjid wafat 29 Agustus 2005, di Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta Selatan. Pendidikannya di mulai dari Pesantren Darul ‘ulum Rejoso, Jombang, Jawa Timur sampai dengan melanjutkan studi ke The University of Chicago (Universitas Chicago), Chicago, Illinois, USA, 1984 meraih gelar Ph.D, Studi Agama Islam. Jabatan yang diembannya, mulai dari Anggota MPR-RI, Anggota Dewan Pers Nasional, Peneliti Senior LIPI sampai kepada Rektor Universitas Paramida Mulya Jakarta.
Badiatul Roziqin, dkk. penulis buku 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia,  menyebutkan Nurcholish Madjid, yang populer dipanggil Cak Nur, adalah sebuah ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Ia adalah cendikiawan muslim yang taat memegang teguh kebenaran dan keadilan. Gagasan tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual muslim terdepan. Tak berlebihan jika Nurcholish Madjid dijuluki sebagai guru bangsa. Dia mengembangkan pemikiran mengenai pluralisme dalam bingkai civil society, demokrasi dan peradaban. Menurutnya, jika bangsa Indonesia mau membangun peradaban, pluralisme adalah inti dari nilai keadaban itu, termasuk didalamnya penegakan hukum yang adil dan pelaksanaan hak asasi manusia.[31]
3.4.3.   Alwi Shihab
            Beliau adalah tokoh NU, pendorong awal dan pengkampanye penyamaan semua agama, berkolaborasi dengan pejabat non Islam untuk menatar karyawan tentang paham pluralisme agama di satu instansi meliputi Jawa dan Madura. Alwi Shihab juga mengutuk orang yang ingin menegakkan syariat Islam di Indonesia, karena baginya Indonesia bukan negara Islam.[32]
Semangat pluralisme sangatlah tinggi, ia sangat menghormati dan menghargai perbedaan dan kemajemukan, karena bumi Indonesia pertiwi dibangun atas dasar kebinekaan.
3.4.4.   Quraish Shihab
            Adalah seorang mantan menteri Agama 70 hari zaman Soeharto dan mantan rektor IAIN Jakarta yang dikenal mengemukakan ucapan ” Selamat Natal” diklaim sebagai sesuai Al-Qur’an. Ia menulis dengan judul ”Selamat Natal menurut Al-Qur’an”. Ini membuktikan betapa tolerannya Qurais Shihab, ia sangat terbuka dan penganut paham pluralisme.[33]
3.4.5.   Said Agil Siradj
            Said Agil Siradj pernah meminta pemerintah segera membersihkan organisasi kemasyarakatan (ormas) yang tidak berlandaskan azas Pancasila dan UUD 1945, ia juga dikabarkan membela kaum Syiah dan Ahmadiyah. Hal ini mengindikasikan bahwa ia sangat menganut paham pluralisme, memelihara perbedaan dan keberagaman, karena merupakan anugerah Tuhan. Beliau juga Dosen pasca sarjana UIN Jakarta, tokoh sekaligus ketua PBNU.[34]         
IV.       Pluralisme dan Tantangannya di Indonesia
M. Hamid, dalam bukunya Gus Gerr, Bapak Pluralisme & Guru Bangsa, menuliskan bahwa pemikiran besar Gus Dur seperti Pluralisme, multikulturisme dan sekularisme menjadi perdebatan hangat di kalangan umat Islam. MUI dalam Fatwanya mengecam ide sekularisme, pluralisme dan liberalisme dengan menyatakan bahwa pemikiran tersebut bertentangan dengan Islam. Di kalangan tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Gus Dur sering berseberangan dalam beberapa hal, seperti dengan almarhum K.H. As’as Syamsul Arifin dan pamannya, K.H. Yusuf Hasyim. Ada juga yang menganggap pemikiran Gus Dur berbahaya meskipun mereka tetap menghormatinya. Demikian juga K.H. Kholil Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Gunung Jati, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, dalam segi politik dan pemikiran keagamaan juga berseberangan dengan Gus Dur. Ia menilai Pluralisme agama yang diusung Gus Dur sangat berbahaya bagi umat Islam.[35] Pandangan pluralisme dianggap sebagai satu paham yang sesat oleh MUI karena menyatakan semua agama itu benar. Dalam fatwa MUI pada bulan Juli 2005 ditegaskan bahwa pengharaman pluralisme disebabkan karena pluralisme adalah paham yang  ”menyamakan semua agama”. Menurut K.H. Ma’ruf Amin, Ketua Komisi C, Fatwa MUI pada saat itu,  menjelaskan bahwa pluralisme agama dapat dimaknai bermacam-macam. Jika pluralisme dimakna sebagai perbedaan agama, bagi MUI tidak ada masalah. Tetapi yang dinyatakan menyimpang yakni apabila pluralisme dimaknai:
            Pertama, menyatakan semua agama benar. Pengertian semacam ini bagi MUI tidak benar menurut semua ajaran agama. Menurut ajaran Islam senidiri, sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Quran (Q.S. Ali Imran [3]:19) menjelaskan bahwa agama yang benar dan diridhai Allah SWT, adalah agama Islam. Karena itu agama yang benar adalah Islam. Dan pemahaman yang mengatakan semua agama benar adalah menyimpang karena tidak sesuai dengan ajaran Islam.
            Kedua, teologi pluralisme, yaitu teologi yang mencampuradukkan berbagai ajaran agama menjadi satu, dan menjadi sebuah agama baru. Teologi semacam itu sama dengan sinkretisme. Itu sama sekali tidak dibenarkan MUI.[36]
Karena semangatnya dalam memperjuangkan pluralisme, Gus Dur pun dibenci oleh beberapa golongan. Ia dicap sebagai tokoh liberalisme-sekulerisme dan dianggap sebagai antek Yahudi. Ada pula yang berkomentar bahwa Gus Dur itu gila. Tapi komentar ini segera disanggah oleh pendukungnya dengan kalimat : dalam sebuah komunitas orang gila, satu-satunya yang gila justru adalah satu-satunya yang waras.[37]
            Yang paling dominan berseberangan dengan paham pluralisme ialah penganut paham ekslusivisme, di mana paham ini cenderung tertutup, bersikap kurang ramah, bahkan terkesan ”memusuhi” terhadap penganut agama lain. Aliran ini biasanya diwakili oleh mayoritas para musafir klasik dan kelompok Islam garis keras, (baca :fundamentalis). Paham ini berpendapat bahwa setelah diutusnya Muhammad SAW, kebenaran agama hanya ada pada Islam yang dibawa beliau, selain Islam akan ditolak. Ayat yang sering dijadikan dalil oleh mereka adalah Q.S. Ali Imran (3) :19 yang artinya, ‘sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam...’ dan Q.S. Ali Imran (3) :85 yang artinya, ‘Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.’[38]
            Adapun kelompok yang menerima paham atas pluralisme disebut kelompok inklusif. Kelompok inklusif ini berpegang atas pemahaman lakum dinukum wa liya dini artinya untuk kalian agama kalian dan untukkulah agamaku dan la ikraha fi al-din artinya tidak ada paksaan dalam agama. Sejatinya di dalam paham ini tidak ada prinsip mempengaruhi orang lain supaya beralih/murtad atas agamanya, malah mendorong supaya setia terhadap ajaran agamanya. Paham inklusif ini berkaitan dengan teologi pluralis-multikultural yang mengakui perbedaan agama dan budaya adalah sebagai kenyataan sejarah. Yang kemudian bertujuan untuk membangun interaksi intern umat beragama dan antar umat beragama secara harmonis dan damai, juga bersedia aktif dan pro aktif dalam menyelesaikan masalah-masalah bersama dengan etika kemanusiaan demi mencapai kedamaian yang lebih utuh.
V.        Kesimpulan
            Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya penggambaran saja bukanlah pluralism. Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, dalam rangka memelihara keutuhan bumi, yang merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia. Untuk menyikapi hal ini, upaya yang perlu dilakukan adalah memahami agama secara padu dan holistic. Al-Qur’an dan Sunah Nabi sebagai ajaran perlu diinterpretasi serta dipahami secara keseluruhan, tidak sepotong-sepotong serta tidak terpisah-pisah.
            Perlu dicatat bahwa pluralisme bukanlah relativisme yang meletakkan kebenaran atau suatu nilai pada pandangan hidup atau kerangka berpikir seseorang atau masyarakat. Demikian pula, paham ini bukan sinkretisme yang menciptakan agama baru dengan cara memadukan unsur tertentu atau sebagai unsur dari beberapa agama yang ada. Justru melalui pluralism semua penganut agama dituntut memiliki komitmen kukuh terhadap agama masing-masing. Tentunya, pluralism agama tidak bisa berhenti pada tataran pemahaman yang bersifat teoretis belaka. Pluralisme mengandalkan adanya ketulusan hati, niat dan tekad yang perlu ditindaklanjuti melalui serangkaian upaya yang bersifat praktis. Di sini dialog menjadi signifikan untuk dikedepankan. Di samping itu, masing-masing dituntut membuka diri, belajar dan menghormati mitra dialognya, kemudian mengembangkan suatu kerja sama dalam mewujudkan keadilan, kesejahteraan demi mengangkat derajat kemanusiaan universal.
DAFTAR PUSTAKA
A’la, Abd
2002                            Melampau Dialog Agama, Jakarta (Penerbit Buku Kompas).
                                                            Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam
Bruinessen, Martin Van
1994                            NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta (Penerbit LKIS Yogyakarta).
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam
            1994                            Ensiklopedi Islam, Jakarta (PT. Ichtiar Baru An Hoefe).
Ghazali, Abd. Moqith
2009                            Argumentasi Pluralisme Agama Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, Jakarta (Penerbit Kata Kita).
Hamid, M.
2010                            Gus Gerr, Bapak Pluralisme & Guru Bangsa, Yogyakarta (Penerbit Pustaka Marwa (Anggota IKAPI).
Ida,  Laode
2004                            NU Muda, Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, Jakarta (Penerbit Erlangga).
Machasin
2000                            Pluralisme Dalam Islam, dalam Pergulatan Pesantren Demokratiasi (editor: Ahmad Suaedy), Penerbit (Yogyakarta: L.Kis), (Jakarta: P3M) & (Jakarta: Pact-INPI).
Muhammad, Nurdinah
2006                            Pluralisme dan Titik Temu Agama-agama, dalam Hubungan Antar Agama (editor: Nurdinah Muhammad), penerbit (Yogyakara: AK Group) dan  (Banda Aceh:Ar. Raniry Press).
Mustaqim,  Abdul
2010                            Islam, dalam Meniti Kalam Kerukunan Jilid 1, (editor: Prof.Dr.Phil. H.M. Nur Kholis Setiawan & Pdt. Dr. Djaka Soetapa), Jakarta (PT. BPK Gunung Mulia, Dialogue Centre Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan Pusat Studi Agama-Agama Fakultas Theologia UKDW).
Rahman, Fazlur dkk,
2000                            Agama Untuk Manusia, (Penterjemah: Ali Noer Zaman), Yogyakarta ( Penerbit Pustaka Pelajar).
Ridwan
2004                            Paradigma Politik NU, Relasi Sunni-Nu dalam Pemikiran Politik, Yogyakarta (Penerbit STAIN Purwokerto Press dan  Pustaka Pelajar).
Rozigin, Badiatul dkk.
2009                            101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, Yogyakarta (Penerbit e-Nusantara).
Sitompul, Einar Martahan
1989                            NU dan Pancasila, Jakarta (Penerbit: Pustaka Sinar Harapan).
Bahan Internet
http://www. id.Wikipedia.org.
http://www.indonesiatanpa jil.blogspot.com.




[1] Muhammadiyah didirikan pada tahun 1912 di Yogyakarta dan pada awal 1920-an aktif melebarkan sayapnya ke berbagai wilayah Indonesia.
[2] Lih. Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Penerbit LKIS Yogyakarta 1994: hlm. 17
[3] Lih. Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, hlm. 34-35.
[4] Lih. Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, hlm. 36-37.
[5] Lih. Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, hlm. 38.
[6] Anggaran Dasar NU dibuat ketika Muktamarnya yang  ketiga tahun 1928.
[7] Lih. Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, hlm. 43.
[8] Lih. Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila, Penerbit: Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1989: hlm. 190.
[9] Lih. Ridwan, Paradigma Politik NU, Relasi Sunni-Nu dalam Pemikiran Politik, Penerbit STAIN Purwokerto Press dan  Pustaka Pelajar,  Yogyakarta 2004: hlm. 79-80.
[10] Lih. Ridwan, Paradigma Politik NU, hlm. 83.
[11] Lih. Ridwan, Paradigma Politik NU, hlm. 121.
[12] Lih.Laode Ida, NU Muda, Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, Penerbit Erlangga, Jakarta 2004: hlm. 7-8.
[13] Lih. Ida,  NU Muda, Kaum Progresif hlm. 87-88.
[14] Lih. Sitompul, NU dan Pancasila, hlm. 68-70.
[15] Lih. Nurdinah Muhammad, Pluralisme dan Titik Temu Agama-agama, dalam Hubungan Antar Agama (editor: Nurdinah Muhammad), penerbit AK Group (Yogyakarta) dan Ar. Raniry Press (Banda Aceh), 2006: hlm. 73.
[16] DR. Abdul Mustaqim adalah dosen jurusan Tafsir-Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini  (Saat buku Meniti Kalam Kerukunan diterbitkan), Beliau menjabat sebagai Sekretaris Program Studi Filsafat Islam Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.
[17] Lih DR. Abdul Mustaqim, Islam, dalam buku Meniti Kalam Kerukunan Jilid 1, Prof.Dr.Phil. H.M. Nur Kholis Setiawan & Pdt. Dr. Djaka Soetapa (ed.), Penerbit (PT. BPK Gunung Mulia, Dialogue Centre Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan Pusat Studi Agama-Agama Fakultas Theologia UKDW), Jakarta 2010: hlm. 8-10.
[18] Lih. Abdul Mustaqim, Islam, dalam buku Meniti Kalam…hlm. 10-11.
[19] Lih. Fazlur Rahman, dkk, Agama Untuk Manusia, Ali Noer Zaman (Penterj.), Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2000: hlm. 75.
[20] Lih. Machasin, Pluralisme Dalam Islam, dalam Pergulatan Pesantren Demokratiasi (editor: Ahmad Suaedy), Penerbit: L.Kis (Yogyakarta), P3M (Jakarta) & Pact-INPI (Jakarta) 2000: hlm. 189.
[21] Lih. Abdul Mustaqim, Islam, hlm. 27.
[22] Lih. Abd. Moqith Ghazali, Argumentasi Pluralisme Agama Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, Penerbit Kata Kita, Jakarta 2009: hlm. 227-228.
[23] Lih. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru An Hoefe, Jakarta 1994: hlm. 101.
[24] Lih. Abd A’la, Melampau Dialog Agama, Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2002: hlm. 42-45.
[25] Lih. M. Hamid, Gus Gerr, Bapak Pluralisme & Guru Bangsa, Penerbit Pustaka Marwa (Anggota IKAPI), Yogyakarta 2010: hlm. 13-14.
[26] Lih. Hamid, Gus Gerr, Bapak Pluralisme, hlm. 19.
[27] Lih. Hamid, Gus Gerr, Bapak Pluralisme, hlm. 7.
[28] Lih. Hamid, Gus Gerr, Bapak Pluralisme, hlm. 77-78.
[29] Lih. Hamid, Gus Gerr, Bapak Pluralisme, hlm. 96.
[30] Lih. Badiatul Rozigin, dkk. 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, Penerbit e-Nusantara, Yogyakarta 2009: hlm. 38.
[31] Lih. Badiatul Rozigin, dkk. 101 Jejak Tokoh Islam … hlm. 297-300.
[32] Lih. http://www.indonesiatanpa jil.blogspot.com. dikunjungi Jum’at: 2 Nopember 2012, pkl. 20.00 wib.
[33] Lih. Badiatul Rozigin, dkk. 101 Jejak Tokoh Islam … hlm. 269.
[34] Lih. http://www.indonesiatanpa jil.blogspot.com. dikunjungi Jum’at: 2 Nopember 2012, pkl. 20.00 wib.
[35] Lih. M. Hamid, Gus Gerr, Bapak Pluralisme, hlm. 80-81.
[36]Lih. M. Hamid, Gus Gerr, Bapak Pluralisme, .hlm. 92-93.
[37] Lih. M. Hamid, Gus Gerr, Bapak Pluralisme,  hlm. 78.
[38] Lih. Abdul Mustaqim, Islam, hlm. 6.

No comments:

Post a Comment