Bahasa Batak Toba
Dialek Bahasa Batak Toba
Pembinaan dan pembangunan kebudayaan nasional dalambidang kebahasaan dan
kesastraan merupakan salah satu masalah kebudayaan nasional yang perlu
di bahas dan disosialisasikan dengan sungguh-sungguhdan berencana,
sehingga tujuan akhir pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dan
bahasa daerah ,termasuk sastranya dapat tercapai Sebagaimana kita
ketahui Budaya bangsa Indonesia cukup kaya dan beragam terutama dalam
sastra dan bahasanya.
Van der tuuk telah menulis tentang Tata bahasa Batak Toba dan kamus Bahasa Batak Toba, seabad yang lalu dalam bukunya “A Grammar of Toba Batak”, disusul William K.Percival juga menyusun buku nama nya sama denga tulisan Van der tuuk “A Grammar of Batak Toba” pada tahun 1964, dan kemudian penelitian-penelitian oleh P.W.J.Nababan dengan bukunya berjudul “Toba Batak a Grammatical Description pada tahun 1966, dan banyak lagi tokoh-tokoh penulis dan peneliti Batak dan yang orang asing yang mencintai budaya Batak. Namun didalam pensosialisasian sangatlah minim, meskipun didalam pemerintahan ada suatu lembaga yang menangani masalah kebudayaan.
Dalam kenyataan dapat peroleh gambaran bahwa jumlah dialek yang terdapat dalam bahasa Batak Toba cukup beragam
Peranan dan Kedudukan Bahasa bagai Orang Batak toba sangatlah komunikatif terutama dalam bahasa pargaulan sehari-hari dan upacara adat, maksudnya didalam pembicaraan sehari hari atau pembicaraan upacara adat sesama orang batak, sangatlah terasa kekeluargaan kalau mereka memakai bahasa Batak, sesuai dengan prinsip “Dalihan Natolu”.
1- Bahasa Batak Toba dalam Upacara Adat:
Dalam penggunaan bahasa pada masyarakat Batak umumnya dan Batak Toba Khususnya,
akan terlihat keindahan penyajiaan bahasa tersebut, unsur-unsur sastranya akan lebih
menonjol, setiap perkataan selalu diselingi dengan umpama (pepatah) danumpasa (pantun),
dan disajikan penuh dengan tata kerama (Dalihan Natolu)
2- Bahasa Batak Toba dalam pergaulan sehari-hari :
Bahasa BAtak Toba dalam kesehariannya sangatlah fungsional. Pemakaiannya meliputi
lingkungan yang sangat luas, hampir disemua tempat dan situasi. Penggunaan Bahsa dalam
pergaulan sehari-hari tidaklah sekaku dalam pemakaian dalam Upacara Adat istiadat. Saya
katakan kaku, banyak yang pintar berbicara bahasa batak toba belum tentu dapat berbicara
di forum upacara adat
Bahasa Sastra:
Sastra Batak terdiri dari sastra Tulisan dan sastra lisan:
Yang termasuk sastra Lisan adalah pemakaian bahasa yang bersifat puitis hal ini dapat ditemui dalam upacara Adat: Perkawinan, kematian memindahkan tulang belulang leluhur, dll. Dimana akan ditemui kata-kata dalam kalimat yang sangat puitis, didalam meratapi orang meninggal dia akan berkisah dengan kata-kata yang membuat orang terhanyut sedih karenanya. Juga Umpa dan umpasa akan ditemui disetiap acara adat sebagai contoh;
Umpama: ” tedek songon indahan dibalanga”>> artinya seperti nasi dalam kuali, maksudnya adalah bahwa semua yang telah diutarakan tidak adalagi yang tersembunyi
Umpasa:
Margondang sitidaon, mangan hoda sigapiton
Tu jolo nilangkahon,tupudi sinarihon.
artinya :Bergendang sitidaon,makan kuda sigapiton,
Melangkah kedepan, kebelakang dipikirkan”
Mantera:
“Tul tanjung holi ampe tu bulung bira, bisa ni tano bisa ni langit toh,lah,lah,lah,lah,lah,lah”
artinya: Luka pada tulang-tulang ditimpa kedaun talas,bisa tanah,bisa langit menjadi hilang,berkat Allah”
Tonggo-tonggo: (Mantera memanggil arwah nenek moyang untuk meminta berkat dan restu, menunjukkan kebenaran dan arti dari suatu kejadian).
Misal: ”Hujou,hutonggo hupangalu-alui, sahala ni daompung boru Saniang naga, saniang naga tunggal, saniang naga jae, saniang naga di julu, partintinnaruminis, parsanggul na lumobi,…tumpak ma hami horas,maduma jala gabe”
artinya: ” KAmi memanggil, mengundang, dan menjemput semangat dan arwah nenek boru saniang naga(dewa danau toba dan pengairan), saniang naga yang tunggal, saniang naga yang yang berada di hilir dan dihulu yang bercincin banyak dan berkode rapi, berkatilah kami selamat dan bahagia.”
Andung-andung (bahasa ratapan , bentuk ini dipakai pada waktumeratapi orang yang meninggal.Kata-kata yang dipergunakan lain dari yang dipakai sehari-hari.
Misal:
Kata anak disebut menjadi Sinuan tunas>>> Putra
—- boru —————- Sinuan beu >>> Putri
—- amang ————– Parsinuan >>>> Ayah
—- inang ————– Pangintubu >>> IbuSastra tertulis itu adalah berupa ilmu perbintangan atau astronomi, Tarombo (silsilah), ramuan pengobatan tradisional, turi-tirian (cerita dongeng mitos), tulisan tersebut ditulis dengan aksara Batak.
DIALEK:
Yang dimaksu dengan dialek adalah ditandai dengan ciri-ciri khas dalam
tata bunyi, kata-kata, ungkapan-ungkapan dan lain-lain. Bahasa adalah
rangkaian tutur kata , mangandung makna yang dapat dipahami oleh
penuturnya, sedangkan dialek merupakan varian suatu bahasa. Dialek dalam
fungsinya ditengah masyarakat merupakan bahasa setempat, dialek yang
merupakan bahasa setempat itu bersifat turun temurun. Dialek ini terjadi
karena adanya isolasi alami dalam jangka waktu yang lama.
Dialek Bahasa Batak Toba dapat dibagi 5 dialek yaitu :
1-Dialek Silindung. Yang dipergunakan diwilayah : Kecamatan Tarutung, Sipoholon ,Pahae Julu,Pahae JAe, Sipahutar, Pangaribuan dan GAroga. Sedang di Adiankoting dipergunakan dialek Sibolga.
2-Dialek Humbang. Dipergunakan oleh wilayah Siborong-borong, Dolok sanggul, Lintong ni huta, Muara, Parmonangan, dan Onan Ganjang.Sedangkan di Parlilitan dan Pakkat sebagian mempergunakan bahasa pakpak dairi dan sebagian lagi mempergunakan dialek humbang.
3-Dialek Toba. dipergunakan diwilayah Toba: Balige, Laguboti, Porsea, Lumbanjulu, Silaen, dan Parsoburan.
4-Dialek Samosir. dipergunakan di wilayah Samosir yaitu: Palipi, Pangururan, Onan Runggu, Simanindo, dan Harian.
5-dan Dialek Sibolga. Dipergunakan di Sibolga dan sebagian wilayah Silindung.
Perbedaan-Perbedaan dialek tersebut dapat di bagi 3 yaitu :
1- Perbedaan Fonologis, sebagai contoh:Kata”amang,Among,Apang”=Ayah.)
amang (dialek Silindung, dan Humbang), Among (dialek Toba, dan Samosir), Apang dialek Sibolga).
“Inang,Inong” = Ibu.
Inang (dialek Silindung,Humbang,Sibolga), Inong (dialek Toba, dan Samosir).
“Tu, Hu”= Ke. Tu (dialek Silindung, Humbang, Toba, dan Sibolga). Hu(dialek Samosir.
Pada dialek humbang konsonan /r/sebagai apiko alveolar diucapkan menjadi [R] velar. Jadi konsonan /r/ itu lebih dekat kepada /g/ dan /h/, yaitu dibentuk pada rongga tekak misalnya (disaRat-saRat? uRsa ReRe tu RuRa, dari contoh itu tampak bahwa perbedaan fonologis itu dapat terjadi, baik pada vokal maupun konsonan.
Dialek Bahasa Batak Toba dapat dibagi 5 dialek yaitu :
1-Dialek Silindung. Yang dipergunakan diwilayah : Kecamatan Tarutung, Sipoholon ,Pahae Julu,Pahae JAe, Sipahutar, Pangaribuan dan GAroga. Sedang di Adiankoting dipergunakan dialek Sibolga.
2-Dialek Humbang. Dipergunakan oleh wilayah Siborong-borong, Dolok sanggul, Lintong ni huta, Muara, Parmonangan, dan Onan Ganjang.Sedangkan di Parlilitan dan Pakkat sebagian mempergunakan bahasa pakpak dairi dan sebagian lagi mempergunakan dialek humbang.
3-Dialek Toba. dipergunakan diwilayah Toba: Balige, Laguboti, Porsea, Lumbanjulu, Silaen, dan Parsoburan.
4-Dialek Samosir. dipergunakan di wilayah Samosir yaitu: Palipi, Pangururan, Onan Runggu, Simanindo, dan Harian.
5-dan Dialek Sibolga. Dipergunakan di Sibolga dan sebagian wilayah Silindung.
Perbedaan-Perbedaan dialek tersebut dapat di bagi 3 yaitu :
1- Perbedaan Fonologis, sebagai contoh:Kata”amang,Among,Apang”=Ayah.)
amang (dialek Silindung, dan Humbang), Among (dialek Toba, dan Samosir), Apang dialek Sibolga).
“Inang,Inong” = Ibu.
Inang (dialek Silindung,Humbang,Sibolga), Inong (dialek Toba, dan Samosir).
“Tu, Hu”= Ke. Tu (dialek Silindung, Humbang, Toba, dan Sibolga). Hu(dialek Samosir.
Pada dialek humbang konsonan /r/sebagai apiko alveolar diucapkan menjadi [R] velar. Jadi konsonan /r/ itu lebih dekat kepada /g/ dan /h/, yaitu dibentuk pada rongga tekak misalnya (disaRat-saRat? uRsa ReRe tu RuRa, dari contoh itu tampak bahwa perbedaan fonologis itu dapat terjadi, baik pada vokal maupun konsonan.
Perbedaan lafal (ucapan):
Perbedaan itu berada pada bahasa, ,lafal diales Silindung dan Sibolga
halus dan lembut, Lafal diales Humbang agak halus, Lafal diales Toba dan
Samosir agak keras.
Perbedaan Semantis (menurut ilmu arti kata):
Kata ”Lae” /ipar dipergunakan pada dialek Silindung,Toba,Samo”n.dang
koso”sir,dan Sibolga, sedangkan pada dialek Humbang kata Lae berarti
saudara perempuan ayah.
Untuk panggilan pada anak saudara laki-laki ibu pada dialek Toba dan
Samosir disebut ”Opung”, sedangkan di Humbang, Silindung dan Sibolga
untuk anak saudara laki-laki ibu dipakai kata ”Tunggane”.Disamping itu
kata tunggane dipakai juga untuk mengatakan saudara laki-laki istri.
Untuk mengatak ” belum lagi” pada dialek Toba, Silindungdan Sibolga
dipergunakan kata ”ndang do pe”, pada dialek Humbang dipergunakan kata
”ndang kede”, dan pada dialek Samosir dipergunakan kata ”ndang poso”
atau ” ndang koso”.
Kata ”Puang” panggilan kepada orang kedua yang menunjukkan hubungan
akrab, dipergunakan pada dialek Silindung,Sibolga dan Humbang, sedangkan
pada dialek Toba dipergunakan kata ”kedan” dan puan. Pada dialek
Samosir kata kedua ini dianggap kasar, hanya dipergunakan kepada orang
kedua yang statusnya jauh lebih rendah daripada kita..
Watas Isoglos diantara dialek-dialek Bahasa Batak Toba:
Seperti sudah dijelaskan diatas bahwa Isoglos( kesamaan dialek), garis
watasvkata hádala garis yang memisahkan setiapgejala bahasa dari dua
lingkungan kata atau bahasa berdasarkan wujud atau sistem kedua
lingkungan itu yang berbeda, yang dinyatakan pada peta bahasa. Garis
watas kata itu Madang-kadang juga disebut heteroglos. Oleh karena itu
untuk memperoleh gambaran yang benar mengenai batas-batas dialek, harus
dibuat watas kata yang menerangkum segala segi kebahasan dari hal-hal
yang diperkirakan akan memberikan hasil yang memuaskan.
Dari garis watas kataitu akan terlihat bahtidakakan adasatupun diantara
anasir yang memberikan garis yang benar-benar sama sehingga akan selalu
terdapat beberapa perbedaan.,Walaupundemikian pada garis besarnya akan
terlihat adanya suatu irama atau gerak garis itu yang sama sehingga
dapat diperkirakan dimana batas-batas dialek yang dimaksud itu. Dalam
bahasa Toba watas kata diantara dialek-dialek itu dapat dilihat pada
peta berikut ini.”
Kesimpulan :
1- Bahasa Batak Toba termasuk bahasa tertua di Indonesia
1- Bahasa Batak Toba termasuk bahasa tertua di Indonesia
2- Bahasa Batak Toba hádala bahasa yang paling banyak pendukungnya dan luas daerahnya.
3- Bahasa Batak baik Toba maupun batak lanilla memiliki akasara.
Habis. Th.Pardede
Sumber:
PENGHITUNGAN DALAM BAHASA BATAK
PENGHITUNGAN DALAM BAHASA BATAK
1. Satu
a. Gayo : Sa
b. Alas : Sade
c. Singkil : Sada
d. Karo : Sada
e. Pakpak : Sada
f. Simalungun : Sada
g. Toba : Sada
h. Mandailing : Sada
2. Dua
a. Gayo : Roa
b. Alas : Duwe
c. Singkil : Dua
d. Karo : Dua
e. Pakpak : Dua
f. Simalungun : Dua
g. Toba : Dua
h. Mandailing : Dua
3. Tiga
a. Gayo : Tulu
b. Alas : Telu
c. Singkil : Telu
d. Karo : Telu
e. Pakpak : Tellu
f. Simalungun : Tolu
g. Toba : Tolu
h. Mandailing : Tolu
4. Empat
a. Gayo : Opat
b. Alas : Empat
c. Singkil : Empat
d. Karo : Empat
e. Pakpak : Empat
f. Simalungun : Ompat
g. Toba : Opat
h. Mandailing : Opat
5. Lima
a. Gayo : Limo
b. Alas : Lime
c. Singkil : Lima
d. Karo : Lima
e. Pakpak : Lima
f. Simalungun : Lima
g. Toba : Lima
h. Mandailing : Lima
6. Enam
a. Gayo : Onom
b. Alas : Enam
c. Singkil : Enem
d. Karo : Enem
e. Pakpak : Enem
f. Simalungun : Onom
g. Toba : Onom
h. Mandailing : Onom
7. Tujuh
a. Gayo : Pitu
b. Alas : Pitu
c. Singkil : Pitu
d. Karo : Pitu
e. Pakpak : Pitu
f. Simalungun : Pitu
g. Toba : Pitu
h. Mandailing : Pitu
8. Delapan
a. Gayo : Waluh
b. Alas : Waluh
c. Singkil : Waluh
d. Karo : Waloh
e. Pakpak : Ualuh
f. Simalungun : Ualuh
g. Toba : Uwalu
h. Mandailing : Lapan
9. Sembilan
a. Gayo : Siwah
b. Alas : Siwah
c. Singkil : Siwah
d. Karo : Siwah
e. Pakpak : Siwah
f. Simalungun : Siah
g. Toba : Sia
h. Mandailing : Sambilan
10. Sepuluh
a. Gayo : Sepuluh
b. Alas : Sepuluh
c. Singkil : Sepuluh
d. Karo : Sepuluh
e. Pakpak : Sipuluh
f. Simalungun : Sapuluh
g. Toba : Sampulu
h. Mandailing : Sapulu
Sumber:
Bahasa Simalungun: Dialek dan Aksara
Bahasa Simalungun: Dialek dan Aksara
Pendahuluan
Bahasa Simalungun merupakan salah satu sub bahasa Batak, dan bahasa ibu yang dituturkan oleh suku yang mendiami daerah kabupaten Simalungun dan sebagian daerah Kabupaten Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Asahan. Menurut fakta dan historis, bahasa Simalungun pada hakekatnya menyebar hampir di seluruh daerah di Sumatera Utara terutama di wilayah bagian Timur bahkan sampai ke Riau. Pernyataan tersebut didasari oleh banyaknya bukti-bukti yang mengindikasikan hal tersebut. Bukti yang cukup kuat antara lain dari banyaknya nama-nama tempat/ daerah yang berbahasakan Simalungun, seperti nama desa Pamatang Ganjang, Bangun Purba, Parbahuman (Perbaungan), Tobing Tinggi, Gunung Para, Sipispis, Dolog Marlawan, dan Dolog Masihol di Deli Serdang dan Serdang Bedagai (Sordang Mandogei); Pamatang Joring, Parapat Janji, Pamatang Panei, Pagurawan (Pargurouan), Silou Buntu, Silou Lama, Parhutaan Silou, Sungai Silou, Marjanji Acce (Asih), Pulou Raja, Bandar Pulou, Pamatang Cengkering, Buntu Panei, dan Bandar Pasir Mandogei di Asahan; Aek Hanopan, Rantau Parapat, Panei Hilir, Panei Tengah, Panei Hulu, Sungai Panei di Labuhan Batu; Pematang Peranap dan Bangun Purba di Riau, dan banyak lagi yang lain. Dari sini dapat disimpulkan bahwa nama-nama tempat/ daerah tersebut tentulah didirikan oleh orang Simalungun dan sangat kecil kemungkinan bukan orang Simalungun, karena nama-nama tempat tersebut umum dipakai oleh orang Simalungun dalam membuat nama-nama kampung. Secara historis, hal ini diperkuat lagi oleh adanya kerajaan Simalungun yang bernama Nagur yang pada masa kejayaannya pada abad V hingga abad XV menguasai hampir seluruh daerah di Sumatera Utara; ke selatan berbatasan dengan danau Toba, ke utara berbatasan dengan Selat Malaka, kemudian ke arah barat berbatasan dengan daerah Gayo Lues, dan ke timur berbatasan dengan Kesultanan Siak. Demikian juga Kerajaan Silou sebagai penerus Nagur yang pusat kerajaan (pamatang) berada di Kecamatan Dolog Silou, di mana daerah kekuasaannya meliputi sebagian daerah koloni Nagur tersebut.
Dialek
Berbicara mengenai dialek, bahasa Simalungun atau Sahap Simalungun dibagi ke dalam beberapa dialek, yaitu dialek Sin Raya, Sin Dolog, Sin Purba, Sin Panei, Sin Bandar dan ada lagi dialek-dialek lain yang belum dapat digolongkan seperti dialek di daerah jahei-jahei (yang berbatasan dengan daerah Melayu). Dialek utama dari sekian dialek itu yang dijadikan sebagai tolok ukur atau standard adalah dialek Sin Raya yang digunakan oleh orang Simalungun yang tinggal di Kecamatan Raya dan Raya Kahean. Mengapa demikian? Karena dialek ini diakui tidak banyak mendapat pengaruh dari bahasa di sekelilingnya, seperti bahasa Toba, Karo dan Melayu. Karena memang masyarakat di daerah ini hingga kini masih sangat mengantisipasi pengaruh masyarakat Toba (Parhuluan) dan Karo tersebut.
Semua dialek yang tersebut di atas pada awalnya adalah sama seperti dialek Raya, namun akibat derasnya pengaruh dari bahasa di sekelilingnya yang berawal dari daerah perbatasan, lambat laun keorisinilan bahasa Simalungun pudar. Seperti halnya dialami oleh orang Simalungun yang bermukim di sepanjang daerah pesisir danau Toba atau daerah Horisan, seperti di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Sidamanik, Pematang Sidamanik, Dolog Pardamean, Haranggaol Horisan, dan Purba; di mana akibat seringnya mengadakan interaksi dengan penutur bahasa Toba, yang datang dari pulau Samosir dan sekitarnya, maka bahasa Simalungun di daerah itu banyak bercampur aduk dengan bahasa mereka (Toba). Demikian juga mereka yang bermukim di Kecamatan Dolog Panribuan, Jorlang Hataran, Tanoh Jawa, Jawa Maraja Bah Jambi, Huta Bayu Raja, Bosar Maligas, dan Ujung Padang, di mana penutur bahasa Simalungun banyak yang beralih atau salih menjadi penutur bahasa Toba, bahkan lebih dominan Tobanya daripada Simalungunnya, sehingga bukanlah suatu yang mengherankan bila orang Simalungun di daerah ini banyak yang tidak tahu marsahap Simalungun, sungguh menyedihkan!
Di Kotamadya Pematang Siantar, Kecamatan Siantar, Panei dan Panombeian Panei juga demikian, bahasa Simalungunnya juga banyak bercampur dengan bahasa Toba, yang jumlah penuturnya cukup signifikan, namun tidak sampai menghilangkan eksistensi bahasa Simalungun seperti yang terjadi di daerah kekuasaan marga Sinaga itu. Makanya banyak orang yang berasumsi kalau Siantar itu lebih identik dengan Tobanya dari pada Simalungunnya. Lain halnya dengan orang Simalungun yang tinggal di Kecamatan Dolog Silou dan Silimakuta, di mana mereka kerap berinteraksi dengan orang Karo akibat daerah mereka saling berbatasan, mengakibatkan bahasa Simalungun terkontaminasi bahasa Karo, meskipun tidak sepenuhnya. Lain lagi dengan orang Simalungun yang berdomisili di daerah Jahei-jahei (Kecamatan Bandar, Pematang Bandar, Bandar Masilam, Bandar Huluan, Gunung Malela, Gunung Maligas, dan Dolog Batu Nanggar), di mana masyarakatnya mayoritas beragama Islam dan sering mengadakan kontak dengan suku Melayu di Deli Serdang dan Asahan, baik di bidang keagamaan maupun perdagangan, secara tak sengaja satu persatu bahasa Melayu pun masuklah ke dalam bahasa Simalungun. Akibat hal ini orang Simalungun yang berasal dari daerah bagian atas (Raya, Purba, Panei, dll) sering menyebut orang Simalungun di daerah tersebut dengan sebutan Jahei-jahei atau Maya-maya, karena dianggap telah memelayukan diri akibat masuk Islam dan tidak lagi mengacuhkan hal-hal yang berhubungan dengan adat-istiadat dan lebih parahnya lagi mereka menganggap orang Simalungun Jahei-jahei sudah tidak mengerti lagi bahasa Simalungun. Namun kenyataannya berbeda, asumsi mereka ternyata keliru, keorisinilan kata dan kehalusan berbicara sesungguhnya tidak banyak berbeda dengan bahasa yang di Raya, dan bahasa Simalungun masih dijadikan sebagai bahasa ibu oleh orang Simalungun kebanyakan. Meski dikatakan dapat pengaruh Melayu, hal itu sangat sedikit sekali dan tidak begitu menonjol, tidak seperti yang dialami oleh penutur bahasa Simalungun lainnya, yang dalam berbicara lebih menonjol Tobanya daripada Simalungunnya atau lebih menonjol Karonya daripada Simalungunnya. Tapi yang disayangkan di daerah yang banyak berpenduduk Jawa seperti di Kecamatan Bandar Huluan, Siantar Hilir (Gunung Malela, Gunung Maligas, Tapian Dolog), Dolog Batu Nanggar, dan sekitarnya; akibat kerapnya mengadakan komunikasi, bahkan sampai menjalin hubungan persaudaraan dalam bentuk pernikahan dengan suku Jawa tersebut, maka tidak dapat dipungkiri jikalau orang Simalungun di daerah ini malah banyak men-Jawakan diri dan hal itu terjadi pada era belakangan ini di mana jumlah mereka (suku Jawa) semakin signifikan.
Kata dan Aksara Simalungun
Sebelum mengenal tulisan bahasa Simalungun hanya dapat diungkapkan dalam bentuk lisan, orang Simalungun mulai mengenal tulisan adalah semenjak datangnya pengaruh bangsa India. Aksara Simalungun (surat sappuluh siah) yang kita kenal saat ini dan banyak tertulis dalam pustaha-pustaha Simalungun tidak lain merupakan sumbangan dari aksara pallawa dari India. Menurut para ahli, aksara pallawa ini masuk ke tanah Batak melalui daerah Mandailing, dekat perbatasan Sumatera Barat, di tempat itu ia kemudian berkembang dan menyebar ke daerah di antara Parapat dan Balige, dari sana ia kemudian menyebar ke Simalungun dan Toba. Arah penyebaran berikutnya lebih banyak datang dari Simalungun, yang kemudian menyebar ke Toba, Pakpak dan Karo; lalu dari Toba ke Pakpak, dan kemudian dari Pakpak meluas lagi ke Karo (Van der Tuuk, Parkin, dan Kozok). Seperti halnya aksara Batak yang lain, aksara Simalungun dibagi dalam 2 bentuk, yaitu indung ni surat (ibu huruf) dan anak ni surat (anak huruf/diakritik).
Dalam bahasa Simalungun terdapat sejumlah fonem yang jarang ditemukan pada bahasa batak yang lain. Fonem-fonem itu ada yang berbentuk konsonan dan ada pula berbentuk diftong. Fonem-fonem itu adalah /ou/, /ei/, dan /ui/; /h/, /d/, /g/, dan /b/, dan semuanya terletak pada akhir kata. Di samping bahasa Simalungun, fonem /ou/, /ei/, dan /ui/ ini juga banyak dijumpai pada bahasa-bahasa rumpun Melayu, Karo, Alas di Aceh Tenggara, dan Keluet di Aceh Selatan. Fonem /ou/, /ei/, dan /ui/ ini dalam bahasa Simalungun disebut dengan anak ni surat atau diakritik, hanya Simalungunlah yang mengenal diakritik khusus untuk fonem-fonem ini, yang masing-masing bernama hatulungan, hatalingan, dan hatuluyan. Fonem berdiftong /ou/ juga terdapat pada aksara Karo, tetapi tidak pada aksara-aksara Batak lainnya. Namun di Karo, tidak terdapat diakritik khusus untuk fonem /ou/, dan penggunaannya hanya terbatas pada bahasa Karo yang berdialek Jahe-jahe yang bermukim di Deli Serdang dan Langkat, tidak meluas hingga ke dialek Karo yang lain yang memang bermukim di pusat daerah Karo, seperti dialek Kabanjahe dan Gunung. Bahasa Alas dan Keluet yang sudah tidak memiliki aksara asli seperti di tanah Batak dan telah digantikan dengan aksara Jawi atau Arab Melayu, sehingga sulit menjelaskan keberadaan fonem-fonem berdiftong tersebut. Kendati demikian, bahasa Alas dan Keluet sebenarnya adalah wujud dari kombinasi bahasa Pakpak, Karo, Simalungun, Aceh, dan Melayu. Jadi bila ditelusuri bentuk dari aksara aslinya yang kini telah punah kemungkinan tidak jauh berbeda dengan aksara Karo dan Simalungun.
Dalam bahasa Simalungun, fonem /ou/ dapat dilihat pada kata horbou, pisou, magou, kahou, sopou, lahou, lopou, babou, dan dilou. Kemudian fonem /ei/ pada kata lobei, hitei, bogei, dogei, atei, dan buei. Selanjutnya fonem /ui/ terdapat pada kata tondui, langui, apui, sungui, babui, ampodui, surui, dan haluhui. Selanjutnya dalam bahasa Alas, yaitu pada kata endou, enggou, idou, benei, melohei, awei, kelukui, tendui, dan apui. Dalam bahasa Keluet yang hanya mengenal fonem /ou/ dan /ei/ saja, yaitu pada kata kou, kerbou, tangkou, benei, kunei, awei, atei, dan mbuei. Sedang dalam bahasa Karo, yaitu pada kata dilou, belou, sapou, rimou, ayou, namou, payou, matei, berei, isei, keina, benei, dan lumei. Bila dilihat padanannya dengan bahasa bahasa Batak yang lain (Toba, Mandailing-Angkola, Pakpak) fonem /ou/ biasa berbunyi /o/ seperti pada kata-kata berikut horbo, piso, mago, sopo, laho, babo, tangko, dan dilo; /ei/ berbunyi /e/ seperti kata lebe, hite, bege, dege, ate, dan mbue; dan /ui/ berbunyi /i/ seperti katatondi, langi, api, babi, suri, dan halihi.
Selain itu bahasa Simalungun juga mengenal fonem akhir /h/ seperti pada kata daroh, babah, roh, dilah, soh, dan gogoh; fonem ini tidaklah khusus dalam bahasa Simalungun, karena fonem akhir ini juga terdapat pada bahasa Pakpak, Karo, Alas, dan Keluet; tetapi tidak untuk bahasa Toba, Mandailing, dan Angkola mereka tidak mengenal sedikitpun akan penggunaan fonem ini, bagi mereka kata daroh akan berbunyi daro, babah akan berbunyi baba, roh akan berbunyi ro,dilah akan berbunyi dila, dan gogoh akan berbunyi gogo. Bila ditelusuri lebih jauh fonem /ou/, /ei/, /ui/, dan /h/ ini merupakan fonem warisan langsung dari bahasa Austronesia kuno yang telah lama punah. Sebagaimana kita ketahui bahasa Austronesia kuno ini merupakan bahasa induk yang menurunkan seluruh bahasa di sebagian besar kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Voorhoeve (1955) pernah mengemukakan bahwa bahasa Simalungun juga mengenal fonem penutup /d/, /g/, dan /b/, yang juga tidak terdapat di antara kosa kata bahasa Batak yang lain. Fonem penutup ini masih tampak sekali dalam beberapa kata, baik itu diucapkan maupun ditulis. Fonem /d/ terdapat pada kata bod, saud, tuod, agad, sogod, bagod, sarad, dan alud. Sedang fonem akhir /g/ pada kata dolog, pusog, balog, gijig, ubag, lanog, gilog, borgog, bolag, bogbog, pag, dan ulog. Kemudian fonem akhir /b/ pada kata dob, rongkob, dorab, tayub, dan sab. Pada bahasa Pakpak dan Karo /d/ berubah menjadi /n/, dan /g/ menjadi /ng/, seperti kata bod menjadibon/ben, saud menjadi sahun, tuod menjadi tiwen, sogod menjadi cegen, sarad menjadi saran, dan alud menjadi alun. Kemudian kata dolog menjadi deleng, pusog menjadi puseng, balogmenjadi baleng, lanog menjadi laneng, borgog menjadi bergeng, bolag menjadi belang, dan pagmenjadi pang. Sedang fonem /b/ belum dapat ditentukan bentuk perubahannya. Dan bentuk ini menurut Voorhoeve lebih dekat kepada bahasa Sanskerta yang banyak mempengaruhi bahasa-bahasa Nusantara. Sementara dalam bahasa Batak yang lain (Toba, Mandailing-Angkola) fonem /d/ berbunyi /t/ seperti tampak pada kata-kata berikut *bod–bot, *saud–saut, *tuod–tot, *agad–agat, *sogod–sogot, *bagod–bagot, *sarad–sarat, dan *alud–arut; /g/ berbunyi /k/ seperti*dolog–dolok, *balog–balok, *lanog–lanok, *bolag–bolak, dan *ulog–ulok; sedang fonem b belum dapat ditentukan bentuk perubahannya.
Gorys Keraf dalam bukunya Linguistik Bandingan Historis mengemukakan, bahwa fonem /d/, /g/, dan /b/ merupakan fonem yang dianggap bermasalah dalam beberapa bahasa, tidak hanya pada bahasa Nusantara, tetapi juga pada bahasa di Eropa. Karena fonem /d/, /g/, dan /b/ ini secara deskriptif biasanya mengalami proses netralisasi ketika berada di posisi akhir, dan berganti dengan fonem /t/, /k/, dan /p/. Padahal sebenarnya fonem tersebut dapat muncul dalam posisi awal, tengah, dan akhir. Hal itulah yang menjadi masalah, karena saat ini banyak bahasa yang tidak lagi menampilkan gejala tersebut. Timbul pertanyaan, mengapa bahasa Simalungun masih menampilkan gejala tersebut?.
Selanjutnya bila ditinjau dari keaslian bahasa, pada hakikatnya tiada satupun bahasa di nusantara bahkan di dunia yang bisa dikatakan asli atau masih menunjukkan keasliannya, maksud asli di sini bahasa itu memang dihasilkan atau diciptakan secara murni dan utuh oleh pengguna bahasa itu. Karena memang jauh sebelum manusia dan bahasa tumbuh dan berkembang pesat seperti sekarang ini, keaslian bahasa itu memang telah terkontaminasi. Proses kontaminasi yang berdampak pada pudarnya keaslian bahasa itu dipicu oleh adanya akulturasi atau hubungan antara manusia dengan manusia atau bahasa dengan bahasa yang saling berbeda, hal ini berefek pada percampuran budaya atau bahasa. Bahasa Indonesia saja yang semula asli karena hanya terdapat bahasa Melayu di dalamnya, kini perlahan telah mengalami kepudaran, karena pada saat ini bukan hanya bahasa Melayu saja yang terkandung didalamnya tetapi telah banyak dimasuki unsur-unsur bahasa nusantara yang lain, seperti bahasa Minangkabau, Jawa, Sunda, Palembang, dan lain-lain. Masuknya unsur bahasa yang lain itu sebenarnya tidak lain hanya untuk melengkapi atau memperkaya khazanah perbendaharaan kata bahasa Indonesia, dan kondisi ini memang tidak perlu dipermasalahkan, karena bahasa Indonesia ‘kan bukannya bahasa yang dimiliki oleh eka-suku atau dwi-suku melainkan dimiliki oleh multi-suku yang semuanya berhak menyumbangkan bahasa sukunya untuk memperkaya bahasa Indonesia. Dan proses itu merupakan peluang yang nantinya dapat dipergunakan oleh orang Batak khususnya orang Simalungun untuk menjadikan bahasanya menjadi bagian dari bahasa Indonesia.
Hal demikianlah yang terjadi pada bahasa Simalungun, meski telah diungkapkan di atas istilah asli yang berkaitan dengan dialek, namun hal itu tidak bermakna asli sebagaimana dijelaskan di atas, melainkan bahasa Simalungun itu telah sah dan disepakati menjadi bahasa baku oleh seluruh komponen orang Simalungun, kendatipun bahasa itu tidak seutuhnya dihasilkan atau diciptakan oleh mereka. Dalam bahasa Simalungun terdapat cukup banyak kata-kata yang bukan produk Simalungun. Kata-kata itu umumnya diadopsi dari bahasa Sanskerta, Arab, Persia, dan Tamil. Kata serapan dari bahasa Sanskerta saja sangat banyak sekali digunakan, seperti dalam menyebut nama-nama dewa dengan mamis, bisnu, sori, hala, dan borma yang tidak lain adalah perubahan bentuk dari kata shiwa, whisnu, sri, kala, dan berahma; menyebut gugusan bintang dengan mesa, morsoba, mituna, harahata, singa, hania, tula, mortiha, dahanu, mahara, humba, dan mena yang dalam bahasa Sanskertanya mesa, vrisabha, mithuna, karkata, singha, kanye, tule, vrstika, dhanu, makara, kumbha, dan mina. Kemudian untuk menyebut nama-nama hari seperti adintia, suma, anggara, mudaha, boraspati, sihora, dan samisara yang dalam bahasa sanskertanya berbunyi aditya, soma, anggara, budha, brihaspati, syukra, dansyanaiscara. Selanjutnya untuk menyebut nama-nama mata angin (Sim: deisa na waluh) sepertipurba, pastima, otara, daksina, agoni, nariti, manabia, irisanna yang merupakan perubahan bentuk dari kata purva, pastjima, uthara, daksina, agni, nairti, wajawia, dan aisana. Tidak hanya itu untuk kata-kata yang bersifat umum bahasa Sanskerta juga banyak yang diserap dan kemudian di-Simalungunkan seperti kata boniaga yang berasal dari kata vanijya, naibata dari kata devata, purba dari kata purva, porsaya dari kata pratyaya, dousa dari kata dosha, bangsadari kata wangsa, susian dari kata sisya, horja dari kata karya, arga dari kata argha, halani dari kata karana, rupa dari kata rupa, ugama dari kata agama, nagori dari kata nagari, basa dari kata waca, balei dari kata walaya, banua dari kata wanua, barita dari kata wrtta, nanggurdahadari kata garuda, gajah dari kata gaja, husapi dari kata kacchapi, huta dari kata kuta, nagori dari kata nagari, dan masih banyak lagi yang lain. Selanjutnya serapan dari bahasa Arab seperti katapingkir yang diserap dari kata fikr, adat dari kata adat, dunia dari kata dunya, uhum dari katahukm, sibolis dari kata iblis, dan lain-lain. Kemudian serapan dari bahasa Persia seperti katasaluar yang berasal dari kata shalwar, sarunei yang berasal dari kata surnai, pinggan yang berasal dari kata pinggan. Dan yang terakhir serapan dari bahasa Tamil seperti kata bodil yang diserap dari kata badil, sohei dari kata Tamil cukkai, mandihei dari kata Tamil komattikai, dan lain-lain. Kita belum dapat menentukan secara pasti bagaimana proses penyerapan kata itu terjadi, apakah memang langsung diserap dari bahasa Sanskerta, Arab, Persia, dan Tamil atau melalui bahasa lain yang memang pernah mengadakan kontak langsung dengan bahasa itu.
Penutup
Kendati tampak banyak perbedaan dengan bahasa Batak yang lain, namun eksistensi bahasa Simalungun takkan terlepas dari bahasa di sekelilingnya. Bahasa Simalungun takkan dapat menarik diri bila dikatakan memiliki kesamaan yang besar dengan bahasa Toba, Mandailing, dan Angkola sebagai Rumpun Selatan. Dan tidak dapat disangkal pula bila bahasa Simalungun banyak memiliki kesamaan dengan bahasa Pakpak, Karo, Alas, dan Keluet sebagai Rumpun Utara. Dalam bahasa Karo saja terdapat sekitar 80% kesamaan dengan bahasa Simalungun. Mengapa terjadi demikian? karena bahasa Simalungun dilihat dari posisinya berdiri di antara kedua rumpun tersebut (Voorhoeve: 1955). Namun menurut Adelaar (1981), meski demikian bahasa Simalungun sebenarnya adalah salah satu cabang dari bahasa rumpun selatan, yang berpisah dengan bahasa Toba, Mandailing, dan Angkola sebelum bahasa itu terbentuk. Dari ungkapan Adelar itu, berarti bahasa Simalungun telah ada sebelum bahasa rumpun selatan lain terbentuk yang kemudian berpisah. Hal itu sesuai dengan Kozok (1999:14) yang menegaskan bahwa jika ditilik dari persebaran bahasa dan aksara Batak, bahasa dan aksara Simalungun jauh lebih tua daripada bahasa dan aksara Batak Toba, Pakpak, dan Karo.
Sungguh luas sebenarnya kajian mengenai bahasa Simalungun ini, tapi untuk saat ini hanya demikian yang dapat penulis utarakan. Horas….!!! Diatei Tupa Batta Haganupan.
Penulis: Pemerhati Sosial-Budaya Simalungun Dari Pamatang Bandar
Masrul Purba Dasuha S.Pd
Sumber : http://masrulpurba.wordpress.com
Picture : Paper scroll with Batak script, possibly the traditional Simalungun text “Partingkian Bandar Hanopan”
Sumber : http://simalungunonline.com/bahasa-simalungun-dialek-dan-aksara.html
No comments:
Post a Comment