Wednesday 12 February 2014

HKBP DAN SAKRAMEN PERJAMUAN KUDUS



SAKRAMEN PERJAMUAN KUDUS
 Oleh : Topan Nababan
I. Pendahuluan
Dalam pembahasan paper kali ini, penulis akan menyajikan pembahasan mengenai sakramen perjamuan kudus dalam hal sejarah, berbagai pandangan dari pemikiran tokoh reformator, tinjauan etis dan dogmatis serta relevansi sakramen perjamuan kudus terhadap gereja penulis yaitu HKBP.
II. Pembahasan                       
II. 1 Sejarah Perjamuan Kudus dalam Protestan
Istilah perjamuan kudus (bahasa Inggris: holy communion) digunakan oleh gereja Protestan. Perjamuan Kudus didasari pada perjamuan makan malam yang lazim di Israel Kuno.[1] Selain hal tersebut terdapat makna dari ritus perjamuan malam dalam tradisi Israel kuno yang dilakukan untuk menghayati perbuatan Allah yang melepaskan nenek moyang mereka dari perbudakan di Mesir (Ul. 16:1 dyb)[2]. Perjamuan itu mereka namakan Pesakh (Paskah) artinya “berlalu” atau “melewati”. Dalam Kel.12:13, Tuhan berjanji bahwa hukuman-Nya akan berlalu pada pintu-pintu yang diberi tanda dengan darah anak domba.  
Gereja Mula-mula atau orang-orang yang menjadi percaya setelah peristiwa Pentakosta setiap hari berkumpul untuk memecahkan roti, yaitu Perjamuan Kudus, Kisah 2:42. Apa yang mereka lakukan ini diimani sebagai perintah dari Tuhan Yesus. Gereja melakukan atau melaksanakan Perjamuan Kudus sebagai peringatan terhadap penderitaan dan juga kematian serta kebang-kitan- yang Tuhan Yesus alami, sampai Ia datang kedua kali, 1 Kor 11:28.
Dalam tradisi PB, Perjamuan berasal dari Perjamuan yang diadakan Tuhan Yesus beserta murid-muridNya pada malam Ia ditangkap untuk disalibkan (1 Kor. 11:23; Mrk 14:22; Mat 26:26; Luk 22:14). Oleh karena itu Perjamuan Kudus menghadapkan kepada kematian Yesus dan kebangkitan-Nya yang telah nyata, bahwa kematian-Nya itu telah menerbitkan keselamatan bagi yang mempercayainya.[3] Untuk itulah perjamuan kudus dapat dikatakan merupakan sebuah sakramen yang ditetapkan Tuhan Yesus untuk menguatkan dengan sesama orang percaya, seluruh umatNya, atau segenap keluarga Allah, di semua tempat dan segala zaman. Karena seseorang masuk ke dalam perse-kutuan keluarga Allah atau Jemaat sebagai anak-anak Allah melalui Baptisan.
Dalam persekutuan tersebut, kita merayakan Perjamuan Kudus berarti makan bersama dari satu roti yaitu Tubuh Kristus, sebagai tanda kesatuan dalam Tubuh Kristus. perjamuan kudus yang merupakan sebuah sakramen yang ditetapkan Tuhan Yesus untuk menguatkan dengan sesama orang percaya, seluruh umatNya, atau segenap keluarga Allah, di semua tempat dan segala zaman. Karena seseorang masuk ke dalam persekutuan keluarga Allah atau Jemaat sebagai anak-anak Allah melalui Baptisan. Dalam perse-kutuan tersebut, kita merayakan Perjamuan Kudus berarti makan bersama dari satu roti yaitu Tubuh Kristus, sebagai tanda kesatuan dalam Tubuh Kristus.
II. 2 Makna Roti dan Anggur di Perjamuan Kudus                                                               
Terdapat makna dari Roti dan Anggur dalam sakramen perjamuan kudus, yaitu;
1. Roti melambangkan Tubuh Kristus, meng-ingatan dan memperingati tubuh Yesus yang disalibkan. Makan tubuh Kristus dalam arti kita dipersatukan dengan Dia, dengan menerima apa yang dilakukan-Nya bagi manusia, Yoh 6:48-58. Makan roti mengingatkan bahwa Yesus menjadi manusia supaya tubuh manusiawi itu disalibkan. Ia menderita dan mati serta bangkit, untuk menciptakan Tubuh baru, yaitu jemaatNya
2. Anggur melambangkan darah Kristus yang ditumpahkan untuk menyucikan dosa-dosa manusia. Darah ditumpahkan pada atau dari tubuh Yesus yang terpaku di kayu salib untuk pengam-punan atau penghapusan dosa seluruh manusia. Darah yang adalah hidup, ditumpahkan agar memberi hidup kekal bagi manusia. Minum anggur dari cawan pada saat Perjamuan Kudus, mengingatkan kita bahwa Yesus sendiri telah minum cawan murka Tuhan Allah yang seharusnya diterima manusia.
3. Gereja-gereja Protestan umumnya lebih menekankan perjamuan sebagai peringatan akan kematian dan pengorbanan Yesus bagi umat manusia.[4]
Ketiga poin ini terlihat dalam surat Paulus kepada jemaat di Korintus, di mana Paulus menetapkan aturan perjamuan kudus berdasarkan kesaksian yang diterimanya pada saat itu:
1 Korintus 11:25
“Yesus mengambil roti lalu mengucap syukur atasnya, sesudah itu Ia memecah-mecahkannya dan berkata: "Inilah tubuhKu, yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku!" Lalu ia mengambil cawan anggur dan berkata: "Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darahKu; perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku!”
Pasal dan ayat inilah yang biasa dipakai dalam peraturan liturgi Sakramen Perjamuan Kudus di gereja-gereja Kristen sampai saat ini.[5]
II. 3 Pandangan Gereja Katolik Terhadap Perjamuan Kudus
Menurut gereja Katolik roti dan angur telah berubah menjadi tubuh dan darah Kristus (transsubstansiasi) pada saat ditahbiskan (konsekrasi) dalam pelaksanaan Perjamuan Kudus. Setiap Perjamuan Kudus dilakukan diyakini bahwa setiap kali Yesus mengorbankan ulang tubuh dan darah-Nya untuk keselamatan manusia berdosa. Pada konsili ke-4 di Lateran (1215), ajaran transsubstansiasi disahkan menjadi dogma gereja. Ajaran ini kemudian dikembangkan oleh Thomas Aquino (1274). Di konsili Terente (1545-1563) diteguhkan dan dikuatkan ajaran transsubstansiasi sebagai jawaban gereja Roma Katolik atas Reformasi.[6]
II. 4 Pandangan Para Tokoh Reformator Terhadap Perjamuan Kudus
Ø Luther
Ajaran Luther tentang Perjamuan Kudus dia sebut Kon-substansiasi (kon yaitu sama-sama): roti dan anggur itu tidak berubah menjadi tubuh dan darah Kristus (trans-substansiasi). Tetapi tubuh dan darah Kristus mendiami roti dan anggur itu sehingga terdapat dua zat atau substansi yang sama-sama terkandung dalam roti dan anggur itu.[7] Gereja Lutheran memahami bahwa di dalam Perjamuan Kudus Kristus sungguh-sungguh hadir tanpa merubah substansi roti dan anggur namun Dia hadir ketika Perjamuan Kudus dilakukan. Makna kehadiran Kristus diterima, ketika yang menerima Perjamuan Kudus percaya tentang firman Tuhan yang diberitakan melalui Perjamuan Kudus dan percaya kepada penebusan yang dilakukan oleh Yesus Kristus. Hal inilah yang menjadikan roti dan anggur dalam teologi mengenai sakramen perjamuan kudus menjadi sangat sakral dikarenakan adanya paham mengenai roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus, dalam hal ini terdapat paham mistisisme. Begitu jemaat memakan roti dan meminum anggur maka jemaat secara mistis telah memakan tubuh dan meminum darah dari pengorbanan Kristus.[8]
Ø Calvin
Sama seperti Zwingli (berbeda dengan Luther), Calvin menolak bahwa tubuh Kristus turun dari Sorga untuk memasuki roti dan anggur Perjamuan Kudus, apalagi untuk hadir dimana saja Perjamuan Kudus. Menurut Calvin, tubuh Kristus setelah naik ke Sorga, hadir di sebelah kanan Allah Bapa, sebagai jaminan kebangkitan tubuh manusia pada akhir zaman. Jadi untuk dipersatukan dengan tubuh dan darah Kristus, manusia harus diangkat ke Sorga. Namun manusia bukan berarti diangkat secara jasmaniah tetapi secara rohaniah karena hatinya diarahkan ke atas (sursum corda). Dengan kata lain ia menolak kehadiran jasmani dalam Perjamuan Kudus. Kristus sungguh-sungguh hadir pada waktu Perjamuan Kudus dirayakan, dengan cara yang cocok bagi Tuhan yang telah dimuliakan yaitu dalam Roh Kudus yang tidak terikat pada roti dan anggur. Dengan demikian Calvin menolak ajaran Gereja Roma Katolik tentang trans-substansiasi dan menolak ajaran Lutheran yaitu mengenai kon-substansiasi.[9] Pandangan Zwingli mengenai sakramen sebagai lambang melulu tidak diterima oleh Calvin. Bagi Calvin, perjamuan kudus adalah tanda tetapi bukan tanda kosong sebab tanda ini diberikan Allah melalui AnakNya supaya orang percaya melalui roti dan anggur betul-betul dipersatukan dengan tubuh dan darah Kristus karena kelemahan manusia tanda ini mutlak perlu sebagai tambahan kepada firman yang diberitakan. Sebab persatuan dengan Kristus yang dikaruniakan kepada orang percaya ini hanya dapat dimengerti kalau diperlihatkan dalam upacara makan roti dan minum anggur.
Ø Zwingli
Zwingli memahami bahwa Perjamuan Kudus adalah sebagai tanda atau materi tentang pengorbanan Kristus yang menjadi keselamatan bagi manusia. Perkataan Yesus, “Inilah tubuhKu” menurut Zwingli hanyalah berarti: dengan ini dikiaskan tubuh-Ku. Zwingli tidak mengakui bahwa Kristuslah yang sungguh berfirman dan bertindak dalam berlangsungnya sakramen; ia menganggap sakramen hanya suatu perbuatan yang bersifat lambang, yang dilakukan oleh orang beriman. Dengan demikian fungsi Perjamuan Kudus adalah merupakan bukti bahwa seseorang telah menerima penghapusan dosa dan keselamatan.[10]
II. 5 Tinjauan Dogmatis
Melalui Perjamuan Kudus manusia diyakinkan bahwa dia tumbuh menjadi satu tubuh dengan Kristus. Dengan demikian segala sesuatu yang adalah kepunyaan Dia boleh kita namakan kepunyaan kita. Melalui Perjamuan Kudus manusia diyakinkan bahwa kehidupan kekal yang telah diwarisinya menjadi milik manusia dan bahwa Kerajaan Sorga yang telah dimasuki-Nya tak dapat luput dari manusia sebagaimana tak dapat luput dari Dia. Manusia boleh yakin juga bahwa manusia tidak dapat dihukum karena dosa-dosanya, manusia telah bebas oleh-Nya dari kesalahan yang merupakan akibat dari dosa-dosa sebab Dia menghendaki supaya dosa-dosa itu diperhitungkan kepada-Nya seakan-akan dosa-Nya sendiri. Dia telah membuat manusia menjadi anak-anak Allah bersama Dia, dengan turunnya Dia ke bumi Dia telah merintis jalan bagi manusia untuk naik ke Sorga, dengan menerima kelemahan manusia, kita dikokohkan-Nya dengan kekuatan-Nya.[11] Lebih jelasnya Perjamuan Kudus merupakan tempat Dia menawarkan diri-Nya kepada kita, bersama seluruh harta-Nya dan kita menerima Dia melalui iman. Dia menawarkan tubuh-Nya yang disalibkan itu kepada kita melalui Firman supaya kita mendapat bagian di dalamnya dan pemberian itu dimateraikanNya dengan rahasia Perjamuan Kudus.
II. 6 Tinjauan Etis
Perjamuan Kudus merupakan makanan yang tak habis-habisnya yang diberikan Kristus sebagai makanan rohani kepada keluarga besar orang-orang percaya yang merupakan milik-Nya. Dengan demikian sebaiknya Perjamuan Kudus dibagi-bagikan berulang kali supaya orang-orang yang telah diterima ke dalam gereja mengerti bahwa mereka senantiasa diberi makan oleh Kristus dan melalui perjamuan itu bersekutu dengan Allah. Gereja sebagai persekutuan orang-orang kudus (communio sanctorum) menunjukkan adanya partisipasi aktif di dalam setiap proses perkembangan dan pertumbuhan persekutuan. Gereja disebut sebagai persekutuan orang-orang kudus karena telah bersekutu dengan Yesus melalui Sakramen Perjamuan Kudus. Artinya setiap pribadi berpartisipasi aktif menerima dan membagi-bagikan “tubuh dan darah Kristus” yaitu penebusan, pengampunan dosa.
Semua orang yang ingin mengikuti Perjamuan Kudus haruslah lebih dahulu menerima pelajaran tentang pokok ajaran-ajaran Kristen dari dalam Firman Allah. Gereja harus menggunakan cara mengajar yang dianggap paling cocok untuk pembangunan jemaat. Supaya Perjamuan Kudus dapat terselenggara demi penghiburan maka setiap yang akan menerimanya perlu benar-benar menguji diri lebih dulu. Apakah dia layak atau tidak menerimanya. Bagi setiap orang yang menerima Perjamuan Kudus akan dipersatukan dengan Kristus yang sungguh kudus dengan demikian kitapun sama seperti Dia menjadi kudus olehNya.
Namun kenyataannya kebanyakan dalam jemaat memiliki rasa segan untuk menerima Perjamuan Kudus.[12] Hal itu berkaitan dengan pemahaman bahwa roti dan anggur menjadi betul-betul tubuh dan darah Kristus. Oleh karena itu anggota-anggota gereja menjadi takut untuk menerima roti dan anggur tersebut. Bagi Calvin, sakramen-sakramen merupakan akomodasi (bantuan) yang penuh anugerah bagi kelemahan kita.[13] Allah, yang mengetahui kelemahan iman kita, menyesuaikan diri terhadap keterbatasan-keterbatasan kita. Oleh kerena itu tak ada yang perlu ditakuti dalam Perjamuan kudus sebab itu merupakan anugerah yang diberikan-Nya kepada kita. Namun sikap kita dituntut untuk selalu merendahkan diri dihadapan-Nya.
II. 7 Relevansi Makna Perjamuan Kudus dalam Gereja Penulis HKBP
Dalam confessi HKBP dirumuskan bahwa kita percaya dan menyaksikan, Perjamuan Kudus ialah : memakan roti, dengan roti mana (parhitean) kita terima daging dari Yesus Kristus Tuhan kita dan meminum anggur, dengan anggur mana kita terima darah Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kita peroleh keampunan dosa, hidup dan sejahtera (1 Kor 11:17-34); Mat 26; Mark 14; Luk 22). Dengan demikian Perjamuan Kudus hanya sebagai alat atau media saja.[14] Oleh karena itu, melalui Perjamuan Kudus manusia memperoleh keampunan dosa. Melalui keampunan dosa menusia dituntut untuk hidup bersekutu dan hidup dalam damai antara yang satu dengan yang lain.


III. KESIMPULAN
Dari pembahasan mengenai sakramen perjamuan kudus yang juga merupakan suatu bagian dari liturgi yaitu liturgi perjamuan kudus, penulis menarik beberapa kesimpulan mengenai perjamuan kudus yang merupakan bagian dari sakramen dan liturgi tersebut.
  1. Perjamuan Kudus merupakan suatu ibadah Kristen yang penting yang diamanatkan Tuhan Yesus sendiri. Dalam perjamuan Kudus itu, muncul berbagai kontroversi dari berbagai pihak karena perbedaan penafsiran dari ucapan Tuhan Yesus sendiri dalam Perjamuan Paskah yang dilakukan-Nya bersama dengan murid-muridNya.
  2. Dalam Perjanjian Lama Perjamuan dihubungkan dengan istilah Pesah yang artinya melewati. Perjamuan itu dilakukan sebagai ucapan syukur atas kelepasan mereka dari penghukuman Allah di Mesir. Dalam Perjanjian Baru Perjamuan Kudus itu diwarisi dari Perjamuan yang diadakan Tuhan Yesus beserta murid-muridNya pada malam Ia ditangkap untuk disalibkan (1 Kor 11:23 dyb; Mark 26:26; luk 22:14).
  3. Perjamuan kudus merupakan hidangan rohani yang didalamnya Yesus bersaksi bahwa Dialah roti hidup, roti yang menjadi makanan bagi jiwa, untuk mencapai hidup yang kekal. Melalui sakramen tersebut manusia diyakinkan bahwa dia satu di dalam Kristus, artinya oleh Kristus apa yang menjadi milik-Nya menjadi milik kita.
  4. Terlepas dari pemahaman yang dianut oleh gereja-gereja yang mewakili pandangan dogma dari para tokoh reformator, perjamuan kudus merupakan suatu sarana untuk menyatakan kehadiran Kristus dengan kehadiran Kristus manusia dipersekutukan dengan Dia. Kristus sungguh-sungguh hadir dalam Perjamuan itu (praesentia realis) tetapi tidak terikat pada roti dan anggur (consubstansiasi). Kehadiran-Nya suatu rahasia yang tidak dapat ditangkap oleh akal pikiran manusia dan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
  5. Kristus sungguh hadir (praesentia realis) pada perjamuan itu, Kristus sendiri, Tuhan yang hidup. Tetapi sejak kenaikan-Nya ke Surga, tidak lagi kita smengenal Kristus menurut ukuran manusia (2 Kor. 5:16). Yang kini bertindak selaku Tuhan adalah Roh Kudus (2 Kor. 3:17). Dengan kata lain sesudah Pentakosta, kehadiran Kristus adalah kehadiran-Nya di dalam dan dengan perantaraan Roh Kudus (dengan tidak melupakan, bahwa Roh Kudus bersama-sama dengan Sang Bapa dan Anak) dan kehadiran-Nya itu kita alami “di dalam percaya”.
DAFTAR PUSTAKA

Abineno CH. J.L. Pemberitaan Firman pada Hari Khusus. Jakarta: BPK 1981.
Boland B.J van Niftrik G.C. Dogmatika Masa Kini. Jakarta: BPK 2001.
Caspar Ursinus. Katekismus Heidelberg (Pengajaran Agama Kristen). BPK: Jakarta 2007.
Enklaar Berkhof. Sejarah Gereja.  Jakarta: BPK1993.
HKBP. ConFessi HKBP. Pearaja 1951.
Heyer Den J. C. Perjamuan Tuhan. Jakarta: BPK1997.
Jonge de Christian. Apa itu Calvinisme.  Jakarta: BPK 1999.
Kooiman J. W. Martin Luther. BPK: Jakarta 2006.
Lohse Bernhard. Pengantar Sejarah Dogma Kristen. Jakarta: BPK 2001.
McGrath E. Alister. Sejarah pemikiran Reformasi. BPK: Jakarta 2002.
Rasid Rachman. Hari Raya Liturgi. Jakarta: BPK 2001.



[1] C.J. Den Heyer, Perjamuan Tuhan, Jakarta: BPK1997, 18-19.
[2]  Bnd/ J.L. ch. Abineno, Pemberitaan Firman pada Hari Khusus,  Jakarta: BPK 1981, 137-138.
[3] G.C. van Niftrik-B.J.Boland, Dogmatika Masa Kini,  Jakarta: BPK 2001, 455.
[4] Rasid Rachman, Hari Raya Liturgi, Jakarta: BPK 2001, 80-81.
[5] Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, Jakarta: BPK 2001, 241
[6] G.C. van Niftrik-B.J.Boland,  459
[7] Berkhof-Enklaar, Sejarah Gereja, Jakarta:BPK 1993, 131-132.
[8] W.J. Kooiman, Martin Luther, Jakarta: BPK 2006, 213.
[9] Ursinus-Caspar, Katekismus Heidelberg (Pengajaran Agama Kristen),  Jakarta: BPK 2007, 51.
[10] G.C. van Niftrik-B.J.Boland,  45.
[11] Ursinus-Caspar, Katekismus Heidelberg (Pengajaran Agama Kristen),  Jakarta: BPK 2007, hal 51
[12] Bnd. Christian de Jonge, Apa itu Calvinisme, Jakarta: BPK 1999, 215.
[13] Alister E.McGrath, Sejarah pemikiran Reformasi,  Jakarta: BPK 2002, 236.
[14] HKBP, ConFessi HKBP, Pearaja, 1951, hal 43           

No comments:

Post a Comment