Wednesday, 12 February 2014

TATA GEREJA HKBP DAN TINJAUAN KRITIS



 Oleh : Pdt DR Victor Tinambunan MST


Avery Dulles menguraikan lima model Gereja (yang dapat kita temukan dalam gereja Katolik maupun Protestan sekarang ini),[2] yang dapat menolong mengenali model gereja HKBP.

Model 1: Gereja sebagai institusi, dengan ciri-ciri (1) Gereja dipahami terutama dalam struktur-struktur yang kelihatan khususnya hak dan kekuasaan para pejabat Gereja. (2) Gereja dipahami sebagai suatu perkumpulan yang berporos pada struktur hirarki yang berfungsi terutama untuk mengajar, menguduskan dan memimpin. (3) Tujuan utama adalah memberi jaminan kehidupan kekal kepada anggota-anggotanya, dan anggota-anggotanya harus taat kepada institusi.

Model 2: Gereja sebagai persekutuan, yang (1) menggambarkan gereja sebagai tubuh Kristus dan gereja sebagai umat Allah. (2) Menekankan a) pentingnya pribadi dan hubungan antarpribadi, dan b) kesatuan satu sama lain di dalam Kristus.


Model 3: Gereja sebagai sakramen. Model ini memandang peranan gereja sangat menentukan, karena Gereja dipahami sebagai alat yang nyata menunjukkan kehadiran Kristus di bumi.

Model 4: Gereja sebagai pewarta (Menurut Dulles, model ini terutama dianut oleh Protestan). Model ini dicirikan tiga hal: (1) Tujuan Gereja adalah memberitakan Injil, dalam arti menghadirkan kuasa Kristus di dunia. (2) Orientasi model ini mengacu pada perhatian Reformasi yaitu memberitakan Injil secara murni. (Lihat misalnya Konfesi HKBP yang secara explisit mencatat bahwa “ciri gereja yang benar adalah kalau Injil diberitakan secara murni). (3) Kurang mementingkan struktur gereja. (Mengacu pada model ini, barangkali HKBP kurang tepat sebagai Protestan)

Keempat model ini mempunyai dua ciri yang sama. Pertama, Gereja dilihat sebagai subjek yang aktif, sedangkan dunia adalah objek, yang terhadapnya Gereja harus berbuat sesuatu dan memberi pengaruh. Kedua, Gereja dilihat sebagai pengantara Allah dengan manusia. Allah datang ke dunia melalui Gereja, manusia datang kepada Allah melalui Gereja, kalau manusia percaya kepada Gereja, mengikuti ajarannya dan terlibat dalam kegiatan Gereja.

Model 5: Gereja sebagai hamba,[3] yang mencirikan:

1. Mengutamakan Kristus sebagai hamba. Kristus datang untuk melayani, mendamaikan, dan membalut yang terluka.

2. Model ini juga menggunakan istilah “Tubuh Kristus”, tetapi dipahami berhubungan dengan “tubuh hamba yang menderita demi pelayananNya”. (Istilah “tubuh Kristus” ditekankan juga oleh model 2 “Gereja sebagai persekutuan”, tetapi “tubuh” dipahami terutama dalam hubungannya dengan “kesatuan”.

3. Tugas Gereja adalah mewartakan datangnya Kerajaan Allah, tidak hanya dalam kata-kata melalui khotbah, Pekabaran Injil tetapi teristimewa melalui pelayanan, sebagaimana pelayanan Kristus: mendamaikan orang yang bermusuhan, menyembuhkan orang yang terluka secara fisik dan sosial.
4. Sebagaimana manusia adalah “manusia bagi sesamaNya” maka (a) Gereja harus merupakan “persekutuan bagi sesamanya, dan (b) manusia menjadi manusia bagi sesamanya.
5. Tugas Panggilan Gereja mencakup: mendamaikan, meringankan beban penderitaan, menghapus rasialisme, dan menyatukan gereja-gereja.


Sangat jelas bahwa tidak mungkin menempatkan HKBP dalam salah satu model, tetapi nampaknya model gereja sebagai institusi lebih mengental dalam HKBP. Kalaupun kelihatannya ia masuk dalam model “pewarta” dan “hamba” sebenarnya masih dalam rangka membesarkan institusi.


DASAR TEOLOGIS TATA GEREJA HKBP


Konfesi HKBP (1951, psl 11 dan 1996, psl 10) mengacu pada 1 Kor 14:33[4] sebagai dasar alkitabiah Tata Gereja (TG). Sedangkan TG 1994 mengutip 1 Kor 14:12 sebagai dasar teologisnya. Kedua nas tersebut sebenarnya berbicara dalam konteks peranan ‘karunia roh’ dalam membangun jemaat. Artinya nas tersebut merupakan ‘peraturan’ liturgi atau kehidupan ibadah, bukan struktur gereja. Hal ini ditegaskan lagi dalam ayat 40 “segala sesuatu harus berlangsung dengan sopan dan teratur”. Ini juga dalam konteks ibadah.

TG 1962 sampai 1994 lebih mengatur organisasi atau struktur gereja, bukan tata ibadah dan kehidupan bergereja, berbeda dengan TG sebelumnya yang mengatur kehidupan bergereja, yang meliputi ibadah, sidi, Perjamuan Kudus, pernikahan kristiani dsb. Salah satu dasar Alkitabiah TG 1881 (Gereja Mission Injili di Tanah Batak) adalah Ef 4:11-12 “Dialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan bagi pembangunan tubuh Kristus”. Dasar Alkitabiah tersebut sesuai dengan isi TG 1881 yang banyak mengatur kehidupan bergereja.


TG HKBP: DARI YANG BERCORAK ‘PENGGEMBALAAN’ MENJADI ‘KEPEMIMPINAN’

Sampai sekarang HKBP telah menggunakan 12 Aturan tertulis (1866, 1881, 1907, 1912, 1930, 1940, 1950, 1962, 1972, 1982, 1994, 2004). Perubahan yang paling menonjol dari TG terdahulu sampai yang sekarang adalah pergeseran dari tata gereja yang mengatur kehidupan bergereja menjadi tata gereja yang mengatur kehidupan berorganisasi gereja, dan dari corak ‘penggembalaan’ menjadi ‘kepemimpinan’ (Bnd. Juga istilah yang digunakan dalam AP 1972 dan 1982: Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (sebagaimana layaknya sebuah organisasi atau yayasan).


Menyangkut pergeseran ini, Dr. J.R. Hutauruk merumuskannya sebagai berikut:[5]

Pada awalnya Tata Gereja HKBP berperan untuk menggembalakan kehidupan warga jemaat. TG tidak terpisahkan dengan kehidupan bergeraja, seperti Ibadah Minggu, pengajaran, dsb. Berdasarkan usia dan berbagai pengalaman HKBP yang semakin bertambah dan bertambahnya jumlah angota jemaat, unsur penggembalaan itu bergeser oleh unsur lain, yaitu unsur ‘kepemimpinan’. Tetapi unsur itu hanya sekadar bergeser karena tidak lagi tercantum dalam TG, namun unsur penggembalaan itu tertulis dalam Hukum Siasat Gereja, “Agenda Huria”, dan yang terakhir (tahun 1951) dalam Konfesi HKBP.


Pergeseran tersebut dapat juga dilihat dari kekhasan beberapa TG berikut ini.

· TG 1866 yang disebut dengan “Peraturan Jemaat dan Tata Ibadah” a.l. mengatur (1) perkawinan, (2) kewajiban setiap orang Kristen Batak mengaku dirinya Kristen (3) Tata Ibadah, mencakup: nyanyian, liturgi (perintah-perintah), Pengakuan Iman dan doa, nyanyian, kotbah dan doa, nyanyian, berkat, menyanyikan haleluya 9 kali dan amin 6 kali. Kemudian, doa hening dan jemaat bubar. (4) Perjamuan Kudus dilakukan sekali dalam 3 bulan. (JRH 52).
· TG 1881 yang disebut “Peraturan Jemaat, Gereja dan Sinode untuk Gereja Mission di Tanah Batak”, masih melanjutkan TG 1866. Tetapi dalam TG ini sudah diatur syarat untuk menjadi satu jemaat minimal 10 keluarga. Dalam arti tertentu TG ini sudah menunjukkan peranan ‘struktur’ seperti bunyi pasal 20:


Seluruh jemaat Kristen yang berada di tanah Batak yang terdiri dari beberapa ressort, distrik disatukan menjadi Gereja Mission di tanah Batak yang dipimpin oleh seorang Ephorus.

· TG 1907 yang disebut “Aturan ni Ruhut di angka huria na di tongatonga ni Halak Batak”, antara lain mengatur Ibadah, baptisan, Perjamuan Kudus, sidi, pernikahan, pemakaman. Tentang kotbah, dalam TG tersebut dicatat: “Setiap kotbah haruslah disusun sedemikian, hingga di dalamnya dengan ringkas dan gamblang diberitahu jalan keselamatan. (JRH 59-61).

Di samping itu, TG 1907 juga menyinggung ‘struktur’ gereja. Dengan bertambahnya jumlah warga jemaat, J. Warneck (‘arsitek’ TG 1907) memandang perlu menyusun dan menyelenggarakan seluruh aparat suatu jemaat yang berukuran besar. Karena itu ia sangat mementingkan bakat organisasi dan kepemimpinan pada saat itu. (JRH 65). Berdasarkan penilaian (negatif) Warneck terhadap ‘pendeta Batak’, ia melihat pentingnya diadakan ‘hierarki’ yang membedakan kedudukan para misionaris dan para pendeta pribumi. (JRH 58). Karena itu, TG yang disusun oleh Warneck dianggap terlalu banyak menampakkan rasa superioritas orang Eropa. Dalam waktu yang sama sedang marak perjuangan HKB untuk menjadi gereja yang ‘merdeka’.
· TG 1950: Istilah ephorus digunakan kembali (menggantikan Voorzitter yang sempat digunakan ketika misionaris Jerman di tanah Batak dipenjarakan oleh kolonial Belanda), dan TG yang sama mulai mencantumkan jabatan “Sekretaris Jenderal”. Artinya, ‘struktur’ kian menguat dalam kurun waktu itu

· AP 1962 mempunyai kekhasan: (1) Pertama sekali dicantumkan Peraturan (Anggaran Rumah Tangga), (2) perububahan Kerkbestur menjadi Parhalado Pusat, (3) Kasbestur ditiadakan (4) Sinode Distrik ditiadakan, (5) Syarat menjadi penatua adalah ‘laki-laki’[6], dsb. Pertanyaannya, apakah ada hubungan perubahan-perubahan itu dengan berbagai gejolak dan skisma periode 1960-an, perlu pengkajian lebih lanjut.

· AP 1972, 1982, menunjukkan struktur yang semakin ketat. Khususnya dalam AP 1994 sangat menonjol pentingnya administrasi seperti buku daftar warga, buku tamu dll di jemat, ressort, distrik. Selain itu, syarat-syarat untuk menjadi ephorus dan sekjend pun semakin ketat, seperti pembatasan usia antara 45 – 59 tahun (yang belum pernah muncul dalam TG sebelumnya). Dalam hal ini memang sangat terbuka kemungkinan perumusan AP sebagai reaksi atau bahkan koreksi terhadap figur pimpinan tertentu atau semacam antisipasi ‘mencocokkan’ AP kepada figur yang sedang dibayangkan (baca: diperjuangkan) menjadi pimpinan HKBP.

STRUKTUR

Pada awal kekristenan di tanah Batak, ‘struktur’ diciptakan lebih merupakan ‘unit kecil’ dari misi (=struktur dalam rangka misi). Berbeda dengan yang ada sekarang: misi menjadi ‘unit kecil’ dari struktur (=misi melayani struktur).


Dalam arti tertentu HKBP menerapkan sistem ‘demokrasi’, meskipun istilah itu pernah ‘diharamkan’ dalam Konfesi HKBP 1951 yang dengan tegas menyatakan “ndang demokrasi na mangarajai huria, alai “Kristokrasi” do. Juga ditolak pandangan yang mengatakan “organisasi sambing huria i”.[7] (Pasal 8. A.2 dan 3). Pernyataan ini tidak disebut lagi dalam Konfesi 1996. Penghapusan pernyataan itu dalam Konfesi 1996, bisa saja merupakan indikasi pengesahan ‘demokrasi’ dalam kehidupan ber (organisasi)gereja.


Struktur HKBP terkesan sangat dekat dengan struktur Negara RI. Ephorus berperan sebagai ‘mandataris’ Sinode Godang, yang menurut AP Sinode Godang adalah rapat tertinggi di HKBP. (Bedanya, MPR mempunyai ketua, sedangkan Sinode dipimpin oleh ‘mandataris’ SG). Kalau Ephorus berhalangan, Sekretaris Jenderal menjalankan tugas keephorusan (bnd. Kedudukan wakil presiden). Kebijakan-kebijakan dalam selang waktu sinode diambil oleh Majelis Pusat. Anggota Sinode Agung adalah para utusan ressort, praeses, direktur lembaga dan departemen dan sebagainya (utusan daerah dan golongan). Dalam sidang, warna ‘demokrasi’ sangat dominan seperti dalam pemilihan, pengambilan keputusan dengan voting pun bisa dilakukan.

Di samping itu, sudah sejak lama HKBP menerapkan semacam ‘Otonomi Daerah’, khususnya ressort-ressort. Yang menjadai ‘kewenangan Pusat’, antara lain adalah: hubungan ‘dalam dan luar negeri’, ‘kurikulum’: tata ibadah, Aturan, Konfesi, Siasat Gereja, pengajaran sidi dan sebagainya. Perimbangan keuangan Pusat dan daerah juga diterapkan. Para pelayan dilengkapi dengan Surat Ketetapan (SK) yang memuat ruang/ golongan, masa kerja, jumlah gaji dan tunjangan dsb. SK terkesan tidak berpesan teologis.Ciri lain gereja model institusi adalah menempatkan kaum klerus menjadi profesional dan warga tetap menjadi pasien, mulai dari rawat jalan, rawat inap, hingga operasi besar (dengan atau tanpa tarif).


Berkaitan dengan struktur HKBP ada beberapa ‘elemen’ yang perlu mendapat perhatian, di antaranya:

1. Sinode Godang dan Rapat.


Dengan ditetapkannya pelaksanaan Sinode Agung sekali dua tahun dalam AP, sebenarnya HKBP berhadapan dengan dua kemungkinan. Kemungkinan 1: HKBP harus ‘men-sinode-kan’ sesuatu (sesuatu ini bisa dicari atau dicari-cari) karena sudah diatur dalam AP. Kemungkinan 2: Ada sesuatu yang harus disinodekan. Hal ini mengasumsikan bahwa sinode dilakukan sesuai dengan kebutuhan, tidak atas dasar keharusan AP (sekali dua tahun).


Akhir-akhir ini berkembang wacana seputar pencegahan ‘pemborosan’ pelaksanaan sinode. Hal ini dapat dimengerti, kalau sinode dilakukan atas dasar kemungkinan 1 tadi. Model gereja sebagai institusi, memang lebih memboroskan daya dan dana untuk struktur (rapat, gaji dan biaya perjalanan pekerja, pengadaan harta bergerak dan tidak bergerak dsb.) ketimbang pelayanan atau misi gereja itu sendiri. Misi Departemen yang ada pun lebih banyak mengeluarkan dana operasional kantor ketimbang pelayanan di ‘lapangan’.

Akan tetapi kalau pelaksanaan sinode bertolak dari kemungkinan 2 “ada sesuatu yang akan disinodekan” dan SG itu dilakukan dalam suasana ibadah kepada Pemilik gereja itu, ini adalah sebuah panggilan dan keharusan. Dengan demikian penegasan AP bahwa (1) sidang-sidang dalam sinode harus diawali dan diakhiri dengan doa dan (2) ditutup dengan Perjamuan Kudus, serta (3) didoakan oleh seluruh jemaat akan sungguh-sungguh punya makna. (Mungkin perlu juga dipertimbangkan: bahwa Perjamuan Kudus sebaiknya dilakukan pada pembukaan Sinode Godang. Melalui itu, para peserta dapat mengawali Sinode Godang setelah masuk dalam misteri Kristus itu sendiri).


Dapat dicatat juga bahwa AP 1982 menekankan pentingnya rapat dalam jemaat, Ressort, Distrik dan Pusat. Dalam AP 1982 sedikitnya ada 17 jenis rapat (bnd. juga lebih dari 330 kata ‘rapat’ dan ‘sinode’ yang terdapat dalam AP 1982). Angka ini ‘membengkak’ menjadi sekitar 30 jenis rapat dalam AP 1994. Kalau Pdt Dr Sormin pernah mengatakan bahwa HKBP merupakan huria rapot (mengacu pada AP 1982), maka AP 1994 mungkin mencirikan huria yang terlalu repot rapat. Sebab, semangat demikian sangat klop dengan gereja model institusi.

2. Ephorus


Pada awalnya jabatan ephorus (disebut dengan voorzitter) merupakan ‘tugas tambahan’ kepada tugas utama dalam misi, pelayanan spiritual dan liturgis. Tetapi, sekarang ‘misi’ menjadi salah satu tugas jabatan ephorus. Terbalik! Dalam Agenda HKBP, misalnya, tidak dicantumkan Tata Ibadah pengukuhan Ephorus.[8]


Struktur HKBP yang ada sekarang ‘merelakan’ seorang ephorus menguras tenaga dan perhatian mengurus organisasi, struktur, harta dan sebagainya ketimbang memberi ruang sebagai seorang gembala spiritual dan liturgis. Di dalam Sinode Ephorus menyampaikan ‘pertanggungjawaban’ tugasnya kepada Sinode (AP 1982) atau “menyampaikan laporan tentang kehidupan HKBP” (AP 1994). Mengapa bukan Pesan Pastoral atau Teologis melalui ‘ceramah thema’, misalnya? Jawabannya kembali ke ‘struktur’ HKBP yang menempatkan seorang ephorus lebih memusatkan diri pada struktur/ organisasi.


Dalam AP sekarang ephorus bertugas ‘manguluhon sandok HKBP’. Itu berarti lebih bercorak pemimpin struktur organisasi. Hal ini dipertegas lagi dengan berbagai pengaturan persyaratan (yang membutuhkan tinjauan teologis). Syarat untuk menjadi Ephorus mencerminkan ‘profesionalisme’ yang identik dengan syarat-syarat jenjang kepangkatan pegawai negeri atau swasta: (1) 20 taon mangulahon hapanditaon (AP 1994 atau 20 taon dung Pandita (AP 1982), (2) Sudah pernah 5 tahun sebagai Pandita Ressort (AP 1994); 3 tahun (AP 1982). (3) Usia 45-59 (AP 1994 (4) Periopodenya pun dibatasi sangat ketat: 1 periode (AP 1994); 2 periode (AP 1982). Singkatnya, pengalaman stuktural sangat dominan, seolah-olah Timotius tidak pernah disebut dalam Alkitab.


3. Sekretaris Jenderal


Jabatan Sekretaris Jenderal mulai berlaku pada tahun 1950. Tata Ibadah pengkuhan Sekjend (sama seperti pengukuhan ephorus) tidak terdapat dalam Agenda HKBP. Ibadah pengukuhan tersebut (termasuk tata ibadah pengukuhan ephorus) disusun sedemikian rupa yang terutama berisikan ikrar kesediaan melakukan tugas sebagaimana tercantum dalam AP. (Lihat Notulen SG 1998).

Dalam AP 1972 dikatakan bahwa Ephorus dan Sekjend mempimpin HKBP dengan pelayanan bukan dengan kuasa. Isi AP ini implisit menempatkan Ephorus dan Sekjend sebagai ‘Pucuk Pimpinan’ HKBP, meskipun istilah itu tidak pernah tertera hingga AP 1982. Istilah itu baru muncul dalam AP 1994, yang menyatakan bahwa “pucuk Pimpinan’ hanya berlaku pada Ephorus.

AP 1994 juga menggariskan tugas seorang Sekretaris Jenderal terutama di bidang administrasi. Bahkan, bisa dikatakan tidak ada tugas ‘gereja’[9], kecuali pada saat menggantikan ephorus. Mencermati uraian tugas tersebut, jabatan Sekretaris Jenderal bisa saja diemban oleh seorang non-pendeta. AP 1994 pasal 107 berbunyi: “Sekretaris Jenderal HKBP i ma na manguluhon nasa ulaon administrasi di hatopan dohot patupa kordinasi di ulaon ni biro, departemen, lembaga, yayasan dohot komisi ni HKBP na martanggungjawab tu Ephorus”. Di sini tidak disebut “siradotanna do ulaon i hombar tu Konfesi, Aturan Huria dohot Ruhut Parmahanion paminsangon ni HKBP dibagasan pangoloion tu Raja ni Huria i”, sebagaimana dicantumkan dalam fungsi ephorus).

HURIA DAN HARTA MILIK


Pengaturan tentang “parartaon” semakin penting sejak TG 1930, yang menggariskan hak milik gereja khususnya karena pengalaman perpecahan gereja pertama, pada tahun 1927 (HChB, Mission Batak) dimana para warga jemaat saling berebut harta milik gereja. Ketentuan “kalau warga jemaat pindah gereja secara keseluruhan, harta gereja dikelola oleh Pusat”, sudah berlaku sejak 1929 (JRH 110) dan berlanjut terus hingga AP 1982: 20-21; 1994 : 20-21.

Berikut ini beberapa petunjuk berdasarkan AP yang menyatakan keberadaan ‘ruas’ dan jemaat untuk membesarkan struktur dan pentingnya posisi harta dalam gereja.

· Syarat utama menjadi ressort didasarkan atas kemampuan finansial (1) mampu menanggung biaya ressort dan membangun rumah pendeta Ressort tanpa mengambil uang Pusat (2) Harus ada 500 ripe sigarar guguan na gok. Syarat utama menjadi distrik, antara lain: mampu menanggung biaya dan menyediakan rumah Praeses tanpa harus mengambil uang Pusat.
· Kewajiban warga jemaat: mempersembahkan harta milik dan tenaga untuk gereja. Malahan apa yang disebut hak (dalam AP 1982) juga dalam rangka kewajiban. Dapat ditambahkan bahwa: mansohot do haruason ni sahalak ruas na so manggohi/ mangoloi aturan ni huria.
· Sipagandaon ni huria do arta ni huria marhite angka ulaon na tupa laho pahembanghon angka panghobasionna”. (1994: psl 20). Usaha ini dipertegas lagi dalam konsep yang diajukan Komisi AP yang baru di antaranya disebutkan: “Di tingkat Pusat perlu dibentuk Badan Usaha Pusat HKBP untuk mengembangkan dan meningkatkan Sumber Dana Tetap untuk kegiatan dan pelayanan HKBP”.


Persoalan yang sangat serius di sini adalah bahwa kehidupan bergereja seringkali ‘ditaklukkan’ untuk mencapai target finansial. Dengan kata lain, misi membesarkan struktur. Misalnya, perayaan Jubileum, menjadi sebuah ajang mencari dana, Partangiangan sektor, yang tadinya mengumpulkan ‘persembahan’ satu kali, sudah banyak jemaat yang mengumpulkan persembahan dua kali (satu untuk huria, satu untuk pembangunan –yang bedanya tidak jelas); dalam kebaktian gereja diedarkan 3 kantong persembahan[10], iuran dipatok, lelang disahkan, amplop khusus dijalankan dsb. Gereja model institusi biasanya “menakar sukses seturut dengan pertambahan aset” dan “siapa mempunyai uang, pendidikan, kuasa, ia mempunyai misi”.

POKOK-POKOK DISKUSI


1. Minat mempercakapkan AP terkesan lebih marak beberapa tahun belakangan ini. Komisi Aturan pun jauh lebih menyita waktu, daya dan dana dibandingkan dengan semua Komisi yang ada di HKBP seperti Komisi Teologi, Liturgi, Konfesi dll. Namun, ‘minat’ ini terkesan lebih terfokus pada muatan atau detil-detil AP. Mungkinkah forum ini memberi perhatian pada dasar teologis AP, atau bahkan perlu tidaknya AP? Kalau perlu, apakah itu harus terpisah dengan Konfesi dan RPP, atau sebaiknya satu kesatuan?


2. Para rasul secara sungguh-sungguh merespon persoalan-persoalan yang dihadapi oleh jemaat mula-mula. Satu pernyataan para rasul, dalam konteks pengambilan suatu keputusan, sebagaimana tertulis dalam Kis 15:28 berbunyi, “Sebab adalah keputusan Roh Kudus dan keputusan kami..” Dapatkan Sinode dan rapat yang ada di HKBP menyerukan hal yang sama? Jawaban atas pertanyaan ini sangat tergantung pada hakekat dan mekanisme Sinode atau rapat itu sendiri.


3. Ephorus dan Sekjend dipilih secara ‘demokratis’. Apa yang terjadi dalam HKBP akhir-akhir ini dalam hal pemilihan adalah: “orang yang mencari Sinode” bukan “Sinode yang mencari dan menemukan orang”. Padahal, ada model pemilihan pemimpin gereja yang dilakukan dalam suasana ‘ibadah’ yang dapat dijadikan sebagai mode pemilihan di HKBP.


Dalam kaitan itu, ada baiknya kalau tawaran Komisi Aturan yang baru untuk menciptakan 3 wakil ephorus dipertimbangkan urgensinya dan dasar teologisnya. (Pdt Balosan Rajagukguk menyebut struktur seperti ini sebagai ‘organisasi balga ulu’).


4. Ke depan HKBP akan mampu berbuat lebih banyak untuk menambah asetnya. Misalnya dengan mendirikan bank, surat abar, galon minyak, hotel dan usaha lainnya. Akan tetapi sejauh ini HKBP belum merumuskan secara jernih teologi uang, yang sebaiknya tercantum dalam TG. Sebab, dalam kondisi sekarang, HKBP bisa digiring menjadi sebuah gereja yang (meminjam istilah Sebastian Kappen) ‘mata duitan kepada Allah’. Malah, demikian Kappen, ‘uang diperilah yang ilahi diuangkan’.
( Sumber : CORAM - DEO )





















No comments:

Post a Comment