Memahami Panggilan Tuhan dalam kisah Yusuf”
Oleh ; Pdt Goklas Simanungkalit
BAB I
P E N D A H U L U A N
1.1. Latar Belakang Masalah
Setiap
orang lahir dan hadir di dunia ini bukanlah karena kebetulan. Semuanya
adalah atas rencana dan kehendak Tuhan (bnd. Yer 1:5). Terlepas
bagaimana, dimana dan kapan seseorang itu lahir. Seiring
dengan hal tersebut, kehadiran seseorang di dunia ini terkandung
panggilan Tuhan untuk melakukan hal yang dikehendaki-Nya. Panggilan
tersebut adalah universal kepada setiap orang. Demikian juga bagi setiap
orang percaya (Kristen) mengemban satu tanggung jawab iman untuk
bersaksi tentang kebenaran Firman Tuhan di tengah dunia[1]. Dengan demikian, hidup manusia adalah panggilan Tuhan.
Namun
harus diakui, dipanggil Tuhan memiliki banyak dimensi. Dalam panggilan
terdapat suatu perintah yang akan dilaksanakan. Panggilan juga
membutuhkan suatu proses, tidak tertutup kemungkinan seseorang
menderita, ditindas diasingkan dan bahkan mati walaupun tidak semua
orang mengalaminya. Penderitaan seperti itu dapat disebabakan oleh
faktor dari dalam maupun luar diri yang dipanggil Tuhan tersebut.
Penderitaan bisa juga mendapat rekomendasi dari Tuhan untuk
mendisiplinkan orang yang dipanggil-Nya [2] (band. Kisah Ayub).
Seiring
dengan hal tersebut diatas, terdapat juga respon dan reaksi yang
bervariasi dari setiap orang yang dipanggil Tuhan. Sepintas dapat
disebutkan, ada orang yang putus asa ketika penderitaan datang melanda kehidupannya,
walaupun kita juga harus mengakui dan memaknai perjuangan orang yang
tetap bertahan dan menjadi martir dalam mempertahankan imannya. Mulai
dari zaman pemberitaan Alkitab sampai saat ini hal tersebut sering
terjadi, baik bagi jemaat maupun pelayan Gereja. Dalam panggilan Tuhan,
kerelaan dan ketaatan manusia merupakan dimensi penting dalam panggilan.
Ditolak,
dihina, dianiaya dan bahkan dibunuh oleh dunia (manusia) adalah hal
yang bisa terjadi dalam menjalani hidup sebagai panggilan Tuhan (bnd.
Luk. 17:25). Dengan demikian penderitaan terjadi dalam hidup. Terlepas
dari sisi mana kita melihat makna dan arti penderitaan tersebut (sosial,
budaya, agama dan politik). Penderitaan tersebut dapat berupa tekanan
fisik ataupun mental. Penderitaan itulah yang sering membuat manusia
merasa mendapat perlakuan ketidakadilan. Namun yang pasti, panggilan
merupakan tindakan aktif Allah dalam mewujudkan damai sejahtera bagi
manusia dan alam sekitarnya.
Dengan
demikian muncul pertanyaan, apakah dipanggil Tuhan identik dengan
penderitaan? Atau, apakah harus mengalami penderitaan? Dan dalam ruang
lingkup yang lebih luas lagi, bagaimanakah kita memahami totalitas hidup
manusia sebagai panggilan? atau, apakah setiap manusia memahami bahwa
setiap gerak hidupnya adalah proses panggilan Tuhan? Untuk sementara
pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat diterima dan dimaklumi karena
memang tujuan manusia beragama adalah mencari keselamatan, bukan
penderitaan. Jawaban sementara yang perlu dikaji lebih dalam lagi adalah
bahwa penderitaan tersebut diakibatkan oleh keberdosaan manusia di
hadapan Allah. Ini merupakan hukum kekal karena upah dosa adalah maut.[3]
(bnd. Roma 6: 23). Namun pemahaman yang salah terhadap makna hidup
sebagai panggilan, bisa juga menyebabkan kesalahan dalam praksisnya
sehingga makna panggilan yang diembannya menjadi kabur. Tidak jarang
muncul upaya untuk menjadi orang yang tidak menderita (berdasarkan
ukuran kemanusiaan). Salah satu contoh adalah Gereja (pelayan/jemaat)
yang menutup mata terhadap jemaat yang miskin ataupun menderita.[4]
Kitab
Kejadian mengisahkan perjalanan hidup Yusuf, orang yang mengalami
banyak warna kehidupan dalam menjawab panggilan Tuhan. Panggilan Tuhan
membuatnya semakin jelas memahami Suka dan duka yang dialaminya sebagai
suatu proses. Dia adalah putra yang dikasihi ayahnya Yakub, namun ia
dibenci oleh saudaranya sampai akhirnya ia disingkirkan dan dijual ke
Mesir menjadi budak. Budak merupakan salah satu “barang kepemilikan”
majikannya dan boleh diperjualbelikan.[5]
Dengan keadaan seperti itu Yusuf harus mengalami perubahan status dari
anak kesayangan menjadi budak. Penderitaan tersebut tidak sampai di situ
saja. Dia harus berjuang terhadap godaan jahat yang berujung pada
fitnahan dari Potifar seorang pegawai istana Firaun. Ia harus mendekam
di penjara oleh karena memperjuangkan kebenaran terhadap fitnahan
tersebut.
Namun
cerita Yusuf tidak berakhir dalam kisah penderitaannya. Dia seorang
yang jujur dan gigih dalam bekerja. Hal yang lebih penting lagi, ia
menyadari bahwa Tuhanlah yang merencanakan semuanya (Kej. 45:7).
Penyertaan Tuhan membuatnya selalu hidup taat di hadapan Tuhan sehingga
dia disayang oleh majikannya karena. Kuasa Tuhan atas dirinya untuk
menafsirkan mimpi membuat dia diperhitungkan dalam kerajaan Firaun. Hal
tersebut berawal ketika Yusuf menafsirkan mimpi juru minuman dan juru
roti dari istana Firaun. Kemudian tafsiran yang dilakukannya terhadap
mimpi firaun membuka peluang untuk memperoleh jabatan yang tinggi bagi
Yusuf. Akhirnya, Yusuf menjadi penguasa atas seluruh negeri Mesir dan
dia dikenal oleh seluruh pengisi negeri itu. Negeri Mesir menjadi kaya
dan terkenal di bawah pimpinannya. Melalui semua peristiwa yang
dialaminya, Yusuf mau memperkenalkan tujuan yang tersembunyi dari Allah
yang telah mengirimnya.[6]
Kisah
narasi Yusuf merupakan salah satu cerita tokoh besar yang terdapat
dalam kitab Kejadian. Bahkan kisahnya menghabiskan lebih banyak pasal
dalam kitab Kejadian daripada semua tokoh lainnya yaitu Adam, Nuh,
Abraham, Ishak atau bahkan Ayahnya sendiri Yakub[7].
Narasi tersebut tentunya bukanlah suatu kebetulan semata. Narator
mempunyai makna dan pesan sejarah yang penting untuk ditekankan pada
zamannya dengan mengkombinasi dua sumber (Yahwis dan Elohist).[8]
Artinya, cerita tentang Yusuf yang ditata seapik mungkin mempunyai
target tersendiri dari narator. Paling tidak mengarahkan jemaat pada
zamannya untuk mengingat kembali perjanjian Allah nenek moyang mereka.
Di lain sisi, narator ingin menekankan bahwa tipelogis Yusuf pantas
untuk diangkat ke permukaan sejarah dunia sebagai pedoman dalam
berperilaku di hadapan Tuhan dan manusia.
Jika
melihat posisi kisah Yusuf dalam kitab Kejadian, dalam Pentateukh dan
bahkan dalam Alkitab, maka kita akan memperoleh pengertian yang lebih
mendalam lagi. Mengapa para ahli teolog hanya menyebutkan Abraham, Ishak
dan Yakub sebagai patriarkah tanpa mengikutkan Yusuf? Cerita
Yusuf merupakan narasi yang ditambahkan oleh redaktor. Hal tersebut
bertujuan untuk menekankan bahwa penderitaan yang sedang dialami bangsa
Israel pada saat itu adalah dalam rangka pemilihan bangsa itu menjadi
umat Allah. Lebih lanjut Claus Westermann mengutip pendapat von Rad
(dalam “The Joseph Narrative And Ancient Wisdom In The Problem Of Hexateukh)
terhadap posisi kisah Yusuf dalam kitab Kejadian, mengatakan bahwa
narasi tentang Yusuf adalah sebuah cerita kuno tentang pengajaran bijak.[9]
The
Joseph story with its obvius didactic thrust belongs to the ancient
wisdom teaching, but how can the Joseph story be a short strory and at
the same time belong to the wisdom teaching? This rises the question of
its composition and structure which alone can tell what it means”.
Oleh
karena itu, muncul pertanyaan, apakah maksud narator dan redaktor
melakukan penambahan tersebut? Hal itulah yang akan diuraikan lebih jauh
dalam tulisan ini.
Dalam
menulis kitab Kejadian, redaktor menggunakan legenda dan mitos dari
dalam maupun luar Israel sebagai elemen dari cerita tersebut. Tidak
tertutup kemungkinan juga ide-ide penulis dimasukkan untuk memformulasi
cerita sampai seperti bentuk yang kita terima sekarang ini (termasuk
cerita Yusuf). Banyak ahli sepakat bahwa cerita dalam Alkitab khusunya
Kejadian banyak berasal dari Babilonia dan Mesir. Hal tersebut dapat
diterima jika mempertimbangkan isi, tema dan bentuk cerita-cerita di
luar Israel (Babilonia dan Mesir) yang memiliki kemiripan. Sementara
zaman tradisi tersebut lebih awal daripada Alkitab (pra-history).[10]
Dalam kisah Yusuf, terdapat kunci yang selalu digunakan narator dalam mengungkapkan cerita Yusuf, yaitu kalimat ”Allah menyertai Dia” (Kej.
39: 2, 21, 23). Penekanan yang berulang kali ini, perlu dikaji lebih
dalam, karena narator mempunyai maksud teologis tertentu. Demikian juga
pernyataan Yusuf, “Allah memperlihatkan, Allah telah membuat (Kej. 41: 25, 28) dan pada akhirnya terdapat pengakuan dan kesaksian Yusuf bahwa “Allahlah yang menyuruh aku, Allahlah yang menempatkan aku menjadi raja atas seluruh Mesir”[11] (Kej.
45: 4-9). Berdasarkan pernyataan Alkitab dalam kisah Yusuf tersebut,
terdapat suatu pengertian teologis bahwa Tuhanlah yang berkarya dalam
sejarah dunia. Artinya, Tuhanlah yang berkuasa atas segala apa yang
terjadi terhadap Yusuf. Tentunya Tuhan mempunyai rencana keselamatan
bagi manusia melalui pemanggilan Yusuf. Melalui ketaatan Yusuf, rencana
keselamatan dari Tuhan akan terwujud bagi bangsa Israel dan bagi sejarah
keselamatan bangsa di dunia[12].
Dengan demikian, kisah Yusuf menjadi salah satu rangkaian cerita
penting dalam perjalanan sejarah keselamatan dunia. Namun, Tuhanlah yang
berkarya atas diri Yusuf, itulah makna yang ditekankan oleh narator
sekitar abad 9-7 B.C. Pada saat itu Israel sedang mengalami masa-masa
kelemahan terutama setelah reformasi Yehu meletus yang mengakibatkan
hubungan Yehuda dan Israel rusak.[13]
1.2. Rumusan Masalah
Beberapa rumusan masalah yang akan dibahas lebih jauh lagi, dapat dituliskan dalam beberapa bentuk pertanyaan berikut ini:
1. Apakah maksud redaktor menambahkan kisah Yusuf ke dalam kitab Kejadian?
2. Bagaimanakah memahami totalitas hidup sebagai panggilan Tuhan?
3. Apakah makna panggilan dalan kehidupan jika dipahami dari kisah pemanggilan Tuhan kepada Yusuf?
4. Apakah dipanggil Tuhan identik dengan penderitaan?
5. Bagaimanakah sikap dan respon manusia yang dikehendaki Tuhan dalam memahami hidup sebagai panggilan?
1.3. Tujuan Tulisan
Tujuan
tulisan ini adalah untuk memaparkan makna dan arti Panggilan manusia
secara Alkitabiah di tengah-tengah kehidupannya, baik dalam suka maupun
duka melalui tinjauan hermeneutis terhadap Kejadian 45: 1-28. Dengan
demikian setiap orang tidak melihat penderitaan dalam kehidupannya
sebagai suatu hukuman akibat dosa, namun sebagai proses mendisiplinkan
diri dengan ketaatan dalam panggilan. Dengan pemaparan tersebut setiap
orang yang dipanggil dapat memahami makna panggilannya dan tidak lari
dari kenyataan bahkan tidak melakukan sesuatu yang menyebabkan
penderitaan bagi orang lain. Terkhusus bagi para pelayan tahbisan,
diharapkan benar-benar menjadi Yusuf masa kini.
1.4. Manfaat Tulisan
Dengan tulisan ini, diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran untuk mengembangkan teologi, yaitu;
1. Bagi
saya sendiri, untuk lebih memahami makna panggilan Tuhan dalam
kehidupan saya, keluarga dan ketika menjadi mahasiswa. Hal yang lebih
penting lagi, melalui tulisan ini saya berharap dapat memahami dan
menghidupi panggilan dan pemilihan Tuhan ketika saya menjadi pendeta
kelak.
2. Bagi
setiap orang diharapkan dapat memahami dengan baik bahwa totalitas
kehidupannya adalah suatu panggilan dari Tuhan. Dengan demikian suka dan
duka dalam kehidupan adalah proses menuju kematangan dalam panggilan
tersebut.
3. Bagi
Gereja, melalui tulisan ini diharapkan setiap orang percaya dapat
memahami makna panggilan menjadi orang Kristen terlebih ketika
menghadapi realitas hidup yang beraneka ragam, sehingga tidak menjadi
lemah atau pindah agama. Namun memahami kehidupan ini sebagai proses
menuju kematangan iman dalam rangka panggilan Tuhan.
4. Bagi
para pelayan tahbisan Gereja diharapkan melalui tulisan ini dapat
memahami dengan baik makna panggilannya dalam berbagai situasi hidup
bahkan penderitaan sekalipun. Dengan demikian tidak terjadi lagi
peristiwa perebutan terhadap suatu jabatan yang dinilai berpenghasilan
baik dari segi ekonomi.
1.5. Ruang Lingkup (skopus) Tulisan
Tulisan ini dibuat dengan judul: “Memahami Panggilan Tuhan dalam kisah Yusuf”
(Studi Hermeneutis dengan Pendekatan Naratif terhadap Kejadian
45:1-28). Panggilan yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah tindakan
aktif Tuhan terhadap manusia untuk melakukan sesuatu yang
dikehendaki-Nya. Panggilan Tuhan kepada manusia bersifat universal bagi
seluruh ciptaan dalam rangka keselamatan. Pada bagian implikasi, tulisan
ini diharapkan dapat menolong setiap orang percaya untuk memaknai iman
dan panggilannya sebagai proses pendisplinan dalam kehidupan.
1.6. Defenisi Istilah
Panggilan
Dalam
kamus bahasa Indonesia, kata “panggilan” diartikan sebagai imbauan,
ajakan dan undangan. Terpanggil berarti diundang, diajak dari sekian
banyak orang.[14] Dalam bahasa Ibrani, panggilan atau memanggil disebut ארק (qara) yang artinya to call, to proclaim, to summon, to invite, to recite, to praise, to appoint.[15] Dengan
demikian memanggil lebih diartikan menamai, mengangkat, mengundang,
menunjuk, mengumumkan seseorang untuk melakukan sesuatu hal. Dengan
demikian panggilan/memanggil (qara) lebih menekankan
adanya tindakan Allah yang menunjuk, menamai, mengangkat umat-Nya
sebagai pilihan. Tindakan aktif tersebut menjadikan terpisah dari yang
lain dan memiliki hubungan yang khusus dengan Allah. Allah sendirilah
yang memulai panggilan ini.[16] Panggilan tersebut bertujuan untuk mendatangkan damai sejahtera dan keselamatan bagi umat manusia sepanjang masa.
1.7. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Rumusan Masalah
Tujuan Penulisan
Manfaat Tulisan
Ruang Lingkup Pembahasan
Defenisi Istilah
Sistematika Penulisan
Bab II Kerangka Teori
2.1. Latar Belakang Teks
2.2. Landasan Teologis Hermeneutis Kitab Kejadian
2.2.1. Pengantar
2.2.2. Teologi Kitab Kejadian
2.2.3. Panggilan Tuhan kepada Manusia Secara Universal
2.3. Sejarah Penelitian Hermeneutis Teologis
2.3.1. Sumber Kitab Kejadian
2.3.2. Sejarah Penelitian Hermeneutis terhadap Pasal 45
2.3.3. Teologi dan Hipotesa dalam Pasal 45
Bab III Metodologi Penelitian
3.1. Pengantar: Metode Deskripsi Biblika Murni dengan Pendekatan Naratif (Narrative Approach)
3.2. Alasan Memilih Metode Pendekatan Naratif
3.3. Ruang Lingkup Pendekatan Naratif sebagai salah satu Upaya Berteologi
3.4. Kelebihan dan Kelemahan Pendekatan Naratif
3.5. Persoalan Pendekatan Naratif terhadap Kitab Kejadian
Bab IV Pembahasan
4.1. Permasalahan Kritis
4.1.1. Memahami kitab Kejadian secara Kanonik
4.1.2. Kitab Kejadian sebagai bagian dari Hexateukh?
4.1.3. Arti Penting Teks dalam Pentateukh
4.1.4. Latar Belakang Sejarah Cerita Yusuf
4.1.5. Konteks Penulisan Cerita Yusuf
4.1.6. Posisi Narasi Yusuf dalam Kitab Kejadian
4.1.7. Posisi Teks dalam cerita Yusuf (Kej. 37-45)
4.2. Tafsiran
4.2.1. Aspek Struktur
4.2.2. Aspek Penciptaan
4.2.3. Aspek Pragmatis
4.2.4. Aspek Referensial
4.2.5 Pesan-Pesan Teologis
4.3. Refleksi
Bab V Kesimpulan
B A B II
K E R A N G K A T E O R I
2.1. Latar Belakang Teks
Kitab
Kejadian ditulis sebagai sebuah narasi. Sehingga dibutuhkan pemahaman
terhadap tradisi dan budaya yang berkembang pada saat teks itu muncul,
yaitu Budaya bangsa Mesopotamia[17].
Budaya dan peradaban masa ini diperkirakan banyak mempengaruhi cerita
nenek moyang Israel, khususnya dalam kitab Kejadian dan umumnya cerita
Pentateukh.[18]
Kitab Kejadian digolongkan atas dua bagian:[19] Pertama, pasal 1-11; yang menceritakan permulaan zaman purbakala, kedua
pasal 12-50 yang berisi sejarah nenek moyang Israel. Kisah Yusuf
terdapat dalam bagian kedua. Bagian kedua kemudian digolongkan atas dua
bagian besar, yaitu kisah Patriarkh (pasal 12-36) dan kisah Yusuf itu
sendiri (pasal 37- 50).
Kisah
Yusuf merupakan satu bagian tunggal dengan struktur cerita yang utuh.
Ceritanya ditata dengan rapi, dengan alur yang teratur. Tidak ada dasar
pembentukan cerita itu sebelumnya, namun cerita tersebut sengaja dicipta
sebagai pengajaran hikmat.[20]
Hal tersebut mengindikasikan bahwa kisah Yusuf berasal dari karya satu
tangan. Pasal 45 yang menjadi perikop bahasan penulis, dibangun dengan
Sumber Y dan E secara bersama-sama.[21]
Adakalanya kedua sumber tersebut membentuk satu ayat tertentu, misalnya
ayat 5. Dengan demikian, diperlukan pemahaman latar belakang singkat
dari kedua sumber tersebut, karena teologi sumber tersebut akan yang
mendasari pembentukan cerita Yusuf.
Sumber Yahwist; ditulis di Yehuda pada masa pemerintahan Daud sekitar abad ke-9 sampai abad ke-8 sM.[22]
Pada masa ini penulis Yahwist menyusun sejarah permulaan penciptaan dan
asal usul bangsa Israel hingga pemanggilan mereka menjadi bangsa
pilihan Tuhan.[23]
Penulis Yahwist sangat ahli dalam menyusun historis keduabelas suku
Israel. Hal ini dimaksudkan untuk membangun persatuan dalam kerajaan
Daud. Sejarah tersebut ditata sedemikian apiknya dengan
mengarahkan cerita bahwa semua musuh bangsa Israel akan luput terhadap
mereka. Penulis Yahwist menempatkan “musuh nasional” bangsa Israel
sepanjang sejarah yaitu bangsa Mesir. Hal ini sangat mungkin, karena
musuh utama Israel pada masa Daud adalah juga bangsa Mesir.
Sumber Elohist; lahir di kerajaan Utara (Israel) tahun 800-700 sM. Pada saat itu sinkritisme baalistis[24]
melanda kehidupan Israel sehingga timbul gerakan nabi yang menentang
pola kehidupan tersebut yang terutama dikemundangkan oleh nabi Elia dan
Elisa. Sinkritisme tersebut disebabkan oleh kesuburan daerah Israel
Utara yang memungkinkan pengembangan pertanian. Dengan kondisi yang
demikian, Israel terbuka terhadap pengaruh luar yang mempunyai
kepercayaan lain. Pada saat ini Israel dipimpin oleh Yerobeam yang
memisahkan diri dari Yehuda. Dalam bidang kultus, Yerobeam memperbaharui
kuil-kuil di Betel dan Dan. Pemugaran kuil ini dimaksudkan untuk
mendapat dukungan dari para imam dan juga untuk menghimpun kekuatan,
karena umat Israel akan beribadah ke tempat tersebut. Yahweh yang mereka
sembah mendapat pengaruh dari bangsa asing yang mengenal allah El.
Sehingga nama Yahweh sering disebut dengan El.[25]
Kemungkinan
Yerobeam pernah membaca teks Yahwis yang telah terdokumen sebelumnya,
yang menceritakan pengalaman para Patriarkh dan masa Keluaran, serta
pengalaman Yusuf di Istana Mesir. Artinya, Yerobeam mengadopsi cerita
Yahwist yang menceritakan kemenangan Israel. Kemenangan tersebut
diangkat kembali dalam cerita nenek moyang untuk meyakinkan umat akan
penyertaan Tuhan saat itu. Kemudian, terjadi perubahan-perubahan dalam
menceritakan kembali teks tersebut seperti penyebutan nama Tuhan dengan
Elohim, yang kemudian dikenal sebagai Elohist (sumber E).[26]
Peredaksian
kitab Kejadian yang dilakukan sekitar abad ke-4. Redaktor kitab
Kejadian mengangkat dan meredaksi kembali cerita Yusuf yang bertujuan
untuk menekankan bahwa umat Israel akan selalu dalam penyertaan Tuhan.
Tuhan akan meluputkan musuh mereka, dan akan takluk kepada mereka.
Kemungkinan redaktor melakukan kombinasi sumber J dan E dalam membangun
cerita Yusuf bertujuan mengajak umat Israel untuk bersatu kembali,
karena mereka berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu Yusuf.
2.2. Landasan Teologis Hermeneutis Kitab Kejadian
2.1.1. Pengantar
Kitab Kejadian disebut dengan “Genesis”(bahasa Yunani). Dalam bahasa Ibrani disebut dengan Beresyit yang berarti “pada mulanya” yang merupakan kata pertama dalam kitab Kejadian dan kata permulaan untuk Alkitab[27]. Kitab
Kejadian bukanlah sekadar Alkitab ilmu pengetahuan, kendatipun banyak
para ilmuwan yang memberi penyelidikan terhadap kitab tersebut. Kitab
Kejadian juga bukan buku biografi, meskipun memuat kisah tokoh yang
hidup pada suatu zaman di tempat tertentu. Kitab Kejadian bukan juga
sekadar kitab sejarah, meskipun ia lahir dalam sejarah. Namum Kejadian
adalah kitab teologi, yang mengisahkan karya Tuhan terhadap dunia,
meskipun teologi itu sendiri tidak diuraikan secara sistematis. Oleh
karena itu, memahami kitab Kejadian, haruslah secara komprehensif. Kitab
Kejadian ingin menunjukkan kepada pembaca: 1) apa tindakan Tuhan kepada
manusia dan 2) bagaimana manusia meresponnya.[28]
Ada beberapa aspek dalam memahami kitab Kejadian, diantaranya:[29]
1) bahwa kitab itu diucapkan dalam konteks, situasi yang berlainan dan
dalam situasi iman Alkitabiah yang berlainan pula, oleh karena itu 2) ia
dipahami dan ditekankan berbeda-beda pula, sehingga timbul tradisi
iman. 3) sebagai firman Tuhan yang terus hidup, ia terdengar/berbicara
lama bahkan setelah kitab itu dituliskan dan dikanonisasi.
2.1.2. Teologi Kitab Kejadian
Kisah
tentang panggilan Yusuf dibangun dan dirancang bersamaan dengan kisah
yang lain, yang dibukukan dalam kitab Kejadian. Oleh sebab itu
dibutuhkan pemahaman teologi Kitab Kejadian secara komprehensif, karena
hal tersebut ikut mempengaruhi kisah Yusuf. Beberapa teologi yang
mendukung tersebut, diantaranya:
1. Teologi tentang Tuhan
Pertama,
kitab Kejadian memperkenalkan Allah yang tidak mungkin salah. Allah
bukanlah Tuhan yang dibuat berdasarkan konsep pemikiran manusia. Namun
Allah Israel adalah Tuhan yang memperkenalkan diri kepada dunia melalui
penyataan-penyataan-Nya. Dia adalah satu-satunya Tuhan pencipta yang
berdaulat atas segala sesuatu.[30] Dalam hal ini terlihat monoteisme
Israel yang begitu kental. Allah yang tunggal tersebut menata sejarah
manusia dengan memperkenalkan diri-Nya dalam ruang dan waktu sepanjang
sejarah. Kedua, Dia adalah
Allah tunggal yang berkarya kepada bapa-bapa leluhur sampai Israel
keluar dari perbudakan Mesir bahkan sampai saat ini. Maksudnya, Allah
Israel yang dahulu berkarya dan menyatakan diri bagi umat-Nya adalah
juga Allah yang berkarya dan menyatakan diri pada umat saat ini dan
bahkan sampai zaman yang akan datang. Dia senantiasa memanggil umatnya
dalam perjalanan sejarah dengan berbagai cara.
Pada bagian ketiga, Dia adalah Allah yang mempunyai jalan yang sempurna (His ways is perfect).
Dengan demikian dosa bukanlah berasal dari kemuliaan-Nya, namun justru
Dia membuat pertentangan terhadap Dosa, karena Dia adalah sempurna (mis.
dosa manusia di Taman Eden dan Babel). Pandangan manusia cenderung
terhadap dosa dan kejahatan, namum rancangan-Nya adalah damai sejahtera
dan keselamatan.[31] Keempat,
Dia adalah satu-satunya Allah yang menyatakan diri. Dia adalah
penyataan diatas segala penyataan dan membuat perjanjian dengan
umat-Nya. Dia tidak pernah menjauhkan diri dari manusia. Dia juga adalah
Allah diatas segala Allah dengan nama-Nya yang kudus, Yahweh. Dia adalah yang maha tinggi, yang Maha Kuasa dan kekal.
Pemahaman terhadap Yahwe yang tunggal dan Maha Kuasa dalam kitab Kejadian, juga turut mewarnai
cerita Yusuf. Tuhan yang menampakkan diri dan berkarya dalam penciptaan
serta pada masa Patriarkh, berkarya dan menampakkan diri juga dalam
cerita Yusuf.
2. Teologi tentang Manusia
Penciptaan
manusia mempunyai kekhususan jika dibandingkan dengan ciptaan yang
lainnya. Allah terlebih dahulu berdiskusi dalam diri-Nya ketika hendak
menciptakan manusia.[32]
Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Hal inilah yang
menjadi kekhususan tersebut. Sesuai dengan gambar dan rupa Allah tidak
berarti bahwa manusia sama dengan Allah.[33]
Namun hal tersebut berarti bahwa manusia sebagai ciptaan Tuhan yang
tertinggi mempunyai pancaran kemuliaan Allah serta ikatan perjanjian
dengan Allah. Manusia juga dianugerahkan akal budi yang dan pengetahuan
mengenal yang baik dan yang jahat.
Menurut
para ahli, kata “gambar dan rupa” bukanlah bahasa Alkitab. Yonky Karman
yang mengutip pendapat Von Rad misalnya, mengatakan bahwa kata tersebut
digunakan dalam konteks Timur dekat kuno. Tselem dapat
diartikan sebagai bentuk fisik yang mewakili kehadiran seorang penguasa
di suatu daerah tertentu. Representasi kehadiran tersebut sering dibuat
dengan patung. Dengan pengertian ini, tidak benar jika menempatkan
posisi manusia sama dengan Allah. Manusia hanyalah sebagai gambar Allah
saja. Bahkan manusia berasal dari debu dan akan kembali juga menjadi
debu tanah (Kej. 2:7, Kej. 3:9). Dengan pemahaman ini, tidak ada alasan
manusia untuk mencuri kemuliaan Tuhan dengan memanipulasi dirinya untuk
berbagai bentuk ketaatan dan dedikasi dari orang lain yang seharusnya
kemuliaan tersebut hanya untuk Tuhan.[34]
Dalam
posisi kekhususan manusia dalam ciptaan, terdapat tugas dan tanggung
jawab terhadap Tuhan, sesama dan alam. Manusia diberikan kekuasaan untuk
berkuasa dan menaklukkan seluruh ciptaan. Pengertian berkuasa dan
menaklukkan bukanlah bertarti bahwa alam adalah milik manusia yang telah
diserahkan Allah sepenuhnya, sehingga bebas dan buas untuk melakukan
apapun. Memang manusia diberi Allah kebebasan untuk menaklukkan dan
berkuasa, namun hal tersebut merupakan kebebasan yang bertanggung jawab.
Dengan
demikian, manusia bebas melakukan apapun sejauh hal tersebut
menghadirkan tujuan Allah dalam penciptaan yaitu untuk keselamatan,
kesejahteraan dan keadilan bagi ciptaan. Inilah yang menjadi ukuran
kebebasan tersebut.[35]
Pada sisi lain manusia bertugas untuk memerintah dunia dengan
mencerminkan pemerintahan Allah. Hal tersebut tercermin dalam kedudukan
manusia yang lebih tinggi dari ciptaan lainnya. Mereka tidak berada
dibawah kuasa dunia, tetapi mengarahkan ciptaan supaya menuju
sasarannya. Dalam hal ini terdapat partisipasi manusia dalam citra dan
kehidupan Allah, yakni turut menghendaki apa yang Allah kehendaki dan
melakukan apa yang Allah lakukan.[36]
3. Teologi tentang Dosa
Salah
satu tema utama dari kitab Kejadian adalah tentang dosa dan dampaknya
pada sejarah manusia. Ketika adam dan Hawa diciptakan, keabadian ada
pada manusia karena segala kebutuhan mereka disediakan oleh Tuhan. Namun
ketidaktaatan mereka kepada Tuhan menyebabkan mereka jatuh ke dalam
dosa. Mereka memperoleh hukuman atas dosa mereka. Dengan demikian, Tuhan
akan memberi hukuman kepada setiap orang yang tidak taat di
hadapan-Nya.[37]
Pada bagian awal, pengarang kitab Kejadian menempatkan dunia ciptaan
Tuhan yang maha baik (Kej. 2). Namun dalam Kejadian 3, pengarang
menempatkan dunia yang sudah penuh dengan dosa, terpecah belah, terasing
dan penuh kekacauan. Inilah kunci pengarang menempatkan keadilan dan
kasih Allah yang mendahului semuanya. Dengan demikian, sumuanya
kekacauan tersebut adalah akibat ulah manusia, dan patut dipersalahkan.
Pada bagian berikutnya, pengarang mau menkankan bahwa dampak dosa itu
sangatlah berbahaya. Dengan cepat dosa menjalar kepada generasi manusia
berikutnya.[38]
Yang
menarik dari setiap kisah yang menceritakan dosa manusia tersebut
adalah bahwa manusia langsung diperhadapkan dengan Allah. Allah menjadi
hakim bagi setiap pihak yang terlibat dalam dosa tersebut. Pertama
sekali kepada ular, Hawa dan Adam. Demikianlah Tuhan melakukan
penghakiman atas mereka. Ada hal perlu mendapat perhatian melalui
kisah yang ditata pengarang kitab Kejadian tersebut. Manusia (laki-laki
dan perempuan) mendapat hukuman dari Tuhan, namun tidak mendapat
kutukan seperti yang terhadap ular. Dengan demikian, sepintas maksud
tersebut mengindikasikan bahwa manusia masih mempunyai harapan
keselamatan kelak. Pada pengertian yang lain, bahwa terasa pengaruh
budaya pada saat cerita itu muncul, dimana keputusan-keputusan manusiawi
ditentukan oleh pihak manusia dibawah ilham dari Tuhan. Demikian juga
penghukuman Tuhan atas dosa Kain yang tidak mendapat perkenanan Tuhan
dan juga penghukuman pada saat terjadinya air bah. Kedua bentuk
penghukuman tersebut menggambarkan penghukuman bagi manusia berdosa akan
tetap berlangsung sepanjang zaman.[39]
Namun
teologi yang tidak kurang pentingnya berkaitan dengan dosa adalah kasih
Tuhan yang tidak berkesudahan. Manusia tidak dibiarkan mati dan hilang
dalam sejarah dengan keberdosaannya. Anugerah-Nya selalu menopang tanpa
berkesudahan. Dalam setiap penghukuman, disitu juga terdapat jalan
keselamatan. Adam dan Hawa tidak mati begitu saja, namun mereka masih
memperoleh keturunan. Demikian juga dalam kisah air bah, dimana Nuh
menjadi alat Tuhan dalam menunjukkan kasih sayangnya kepada manusia.[40]
4. Teologi Panggilan dalam Kitab Kejadian
Pemahaman
terhadap hidup manusia sebagai panggilan Tuhan, dimulai dari proses
penciptaan manusia. Manusia diciptakan seturut gambar (tselem) dan rupa Allah (demuth).
Gambar dan rupa Allah tersebut bertarti bahwa sifat dan karakter Ilahi
terpancar dalam hidup manusia. Pernyataan tersebut juga mengandung makna
bahwa penciptaan manusia merupakan rancangan (work of God) yang jelas dari Tuhan. Manusia sebagai gambar dan rupa Allah terdiri dari daging (basar) dan roh (ruakh) yang ditata sedemikian rupa tanpa suatu interpensi apapun dari yang lain.[41]
Pemahaman
tersebut mempunyai pengertian bahwa totalitas hidup (penciptaan)
manusia adalah inisiatif dan otoritas Allah yang mutlak. Tentunya
”kuasa” Tuhan (authority of God) dalam totalitas proses
penciptaan manusia, terkandung rencana Ilahi yang hendak diwujudkan
dalam ciptaan. Sepintas dapat dapat disebutkan bahwa Tuhan menciptakan[42] dunia (manusia) yang baik[43] (tov) dan
diberkati, mengandung makna tujuan penciptaan tersebut. Ciptaan yang
baik memperlihatkan bahwa tujuan penciptaan itu adalah baik yaitu
mengahadirkan keselamatan, kesejahteraan dan keadilan bagi ciptaan.
Selanjutnya, panggilan merupakan salah satu tema penting dalam memahami kitab Kejadian (the focus on the call as the center of our exposition has important implications).
God calls the worlds into being….God calls us into the church……..
The
two calls must be taken together. The two calls together affirm that
God has formed the world to be his world (Gen. 1-11) and a special
community to be His witness (Gen. 12-50). Both of creation world and
community of faith, spring “fresh from the word”; both have been evoked
by the speech of this God. The two calls announces the special
characters of God as “The One” who calls.[44]
Dengan
pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa penciptaan (dunia dan
manusia) adalah panggilan Tuhan. Namun yang penulis tekankan adalah,
bahwa totalitas hidup (penciptaan) manusia adalah panggilan Tuhan. Hal
ini bukan bermaksud memisahkan kedua penggilan tersebut, namun keduanya
harus dimengerti secara bersama. Dalam pembahasan bagian yang
berikutnya, penulis akan memaparkan bahwa narasi Yusuf dalam kitab
Kejadian adalah merupakan panggilan Tuhan yang tersembunyi (The Hidden Call of God).
Substansi
panggilan dalam kitab Kejadian adalah janji. Tema ini merupakan salah
satu fokus teologi dalam kitab Kejadian. Tuhan memanggil umat-Nya
sepanjang zaman bertujuan untuk melaksanakan
perintah-Nya dengan ketaatan. Bersamaan dengan panggilan, terdapat
janji Tuhan akan keselamatan manusia. Tuhan mengadakan perjanjian dengan
manusia dengan kesetiaan akan janji-Nya, artinya Tuhan sekali-kali
tidak akan mengingkari janji yang telah diadakannya. Oleh karena itu,
manusia sebagai partner janji dari Tuhan, juga harus memiliki kesetiaan
dan ketaatan melaksanakan tugas panggilan tersebut.[45]
Dengan demikian, kisah perjalanan kehidupan Yusuf juga adalah panggilan
Tuhan dalam rangka keselamatan umat manusia. Kehadirannya di Mesir,
membawa berkat dan keselamatan dari Tuhan bagi bangsa Mesir.
Dalam
memahami hidup manusia sebagai panggilan Tuhan yang bertujuan untuk
damai sejahtera bagi ciptaan. Kerapkali manusia melihat panggilan
hidupnya sebagai penderitaan, bukanlah damai sejahtera. Dengan demikian
muncul pertanyaan, apakah dipanggil Tuhan identik dengan penderitaan?
atau, apakah harus mengalami penderitaan? dan dalam ruang lingkup yang
lebih luas lagi, bagaimanakah memahami
totalitas hidup manusia sebagai panggilan? Untuk pemahaman yang
ambiguitas tersebut, teologia Alkitab mengatakan bahwa Tuhan tidak
pernah merancangkan penderitaan bagi umatnya melainkan rancangan damai
sejahtera. Semua gerak hidup manusia merupakan proses panggilan Tuhan
dalam rangka keselamatan.
2.1.3. Panggilan Tuhan kepada Manusia Secara Universal
Dalam
memahami hidup manusia sebagai panggilan Tuhan, maka muncul pertanyaan,
siapakah yang dipanggil Tuhan? Apakah panggilan tersebut termasuk juga
kepada orang-orang yang belum mengenal Tuhan? Dengan demikian pemahaman
diperhadapkan terhadap konsep Allah yang adalah Tuhan bagi segala
sesuatu. Agama bukanlah menjadi batasan dalam memahami tindakan Allah
bagi dunia sepanjang zaman. Dalam hal ini pandangan terhadap Allah
Israel yang partikularistik bergeser kepada pemahaman terhadap Allah
yang universal, yang berkarya bagi semua mahluk sepanjang zaman.
Panggilan yang dimaksudkan penulis adalah panggilan yang universal
kepada setiap umat manusia tanpa batasan agama, budaya, zaman ataupun
hal yang lainnya.
Dengan
hadirnya Yusuf di Negeri Mesir (yang bukan umat pilihan) berarti
menjadi keselamatan bagi mereka. Tentunya, Allah Israellah yang berkarya
dan berfirman kepada umat Mesir melalui panggilan-Nya kepada Yusuf.
Kehadiran Yusuf dan seluruh keluarganya di Mesir juga merupakan atas
perkenaan Tuhan. Dengan demikian, sejarah keselamatan yang merupakan
tema utama kitab tersebut, bukanlah bersifat partikular, tetapi
keselamatan bagi seluruh umat manusia dalam perjalanan sejarah, meskipun juga harus mempertimbangkan konsentrasi narator dan redaktor memunculkan kisah tersebut.
2.3. Sejarah Penelitian Hermeneutis Teologis
2.3.1. Sumber Kitab Kejadian
A. Kuenen dan J.Wellhausen[46] berpendapat bahwa kitab Kejadian dibangun dari berbagai sumber (teori sumber):)[47]. Diantaranya sumber Yahwist (9-8 sM), Elohist (8-7 sM), Deuteronomis (7-6 sM) dan sumber Priest (6-5 sM. Ke
empat sumber tersebut merupakan bahan dasar narator untuk menggubah
cerita yang terdapat dalam kitab Pentateukh yang termasuk didalamnya
kitab Kejadian.
Menurut Wellhausen seperti dikutip R.K. Harrison[48], kitab Kejadian diyakini muncul dengan hasil editing
yang bermacam. Hal tersebut dapat dilihat dari kombinasi elemen sumber
J, E dan P yang menghasilkan suatu dokumen yang kontiniu. Dalam
pendekatan historis, diyakini juga bahwa pada awalnya narasi Kejadian
berkembang dan dipelihara dalam tradisi oral (lisan). Berbagai ritual
dan tradisi keagamaan yang lain juga dapat ditemukan dalam periode ini.
Oleh
karena itu, peran dan posisi narator menjadi sangat penting. Dalam
memformulasi narasi yang sedemikian rupa, tentunya berbagai sumber dari
dalam dan luar Israel menjadi bahan dasar membangun cerita. Salah satu
sumber yang digunakan adalah literatur dari Timur dekat kuno.
Selanjutnya, cerita yang ditulis writers tersebut dipelihara dalam sejarah Israel yang dikenal dengan toledot.[49] Toledot adalah kumpulan cerita kuno bangsa Israel. Toledot diindakasikan sebagai bahan dasar kitab Kejadian.[50] Setiap bagian dari kitab Kejadian dikonstruksi dengan bahan tersebut. Dalam merangkum cerita dalam kitab Kejadian
tersebut, terdapat juga materi yang perlu mendapat pertimbangan akan
pengaruh budaya Mesopotamia, karena kitab Kejadian ditulis di bawah
pengaruh budaya tersebut.[51]
Menurut von Rad,
narasi Kejadian terdiri dari tiga sumber yang dipengaruhi oleh kisah
yang terdapat di Timur Tengah Kuno khususnya Mesopotamia. Oleh karena
itu, untuk memahami kitab Kejadian haruslah juga memperhatikan pengaruh
tersebut. Karena pengarang kitab Kejadian mempergunakan sastra, tradisi
dan budaya yang terdapat di wilayah tersebut. Beberapa kidah yang
terdapat dalam Alkitab persis sama dengan apa yang terdapat di daerah
tersebut (misalnya kisah Menara babel). Contoh lain, kisah penciptaan
dalam Alkitab memiliki kesejajaran dengan kisah yang terdapat di
Mesopotamia, yaitu menggambarkan zaman permulaan yang digambarkan dengan
keadaan kacau balau.[52]
Menurutnya,
sumber yang paling tertua dan diterima secara umum adalah teori sumber
yaitu: Yahwist (abad 9-8) dan Elohist (abad 8-7). Keduanya dibedakan
berdasarkan cara penyebutan Allah dalam kedua sumber tersebut. Sumber
yang berikutnya adalah Deuteronomist (D) yang merupakan literatur yang
dibedakan dari sumber Y dan E. Deuteronomis ditemukan dalam kitab
Deuteronomy namun ditemukan juga dalam kitab Yosua. Sumber yang terakhir
adalah Priest (P) sekitar abad ke-5 sampai abad ke-4.[53]
Pantas juga dipertimbangkan pendapat Robert Pfeiffer yang
mengatakan: Kitab Kejadian terdiri dari keempat sumber di atas ditambah
satu sumber lagi yang disebut dengan sumber S (dari Southrern atau Seir).[54]
Kemungkinan itulah tempat asalnya. Sumber ini dibagi atas dua bagian
besar yaitu cerita mitos tentang munculnya manusia pertama dan
perkembangannya (Kej. 1-11), yang didalamnya termasuk cerita penciptaan,
pengusiran dari Taman Eden, Kain dan keturunannya dan bagian kedua
adalah cerita tentang orang-orang di Palestina Selatan dan Transyordania
termasuk juga sebuah rangkuman kisah Edom (pasal 12-50). Dalam bagian
kedua ini termasuk cerita tentang Abraham, cerita tentang Sodom.
Terdapat juga sumber S2 yang merupakan penambahan dari redaktor. Contohnya, cerita tentang ke empat sungai yang terdapat di Taman Eden, air bah.
Pada bagian lain, kalangan konservatif dan tradisional melihat Musa sebagai pengarang kitab Kejadian.[55] Musa dipahami sebagai penulis seluruh kitab taurat dan sebagai individu penerima langsung hukum taurat. Beberapa bagian Torah
dikaitkan dengan Musa sebagai penulisnya. Namun hal tersebut tidak
mudah dipercaya begitu saja, karena akan terbentur dengan bukti-bukti
pendukungnya. Kitab Pentateukh juga mengisahkan kematian Musa. Oleh
karena itu, tidak mungkin Musa menulis riwayat kematiannya sebelum dia
meninggal. Akan tetapi, kecenderungan para ahli teologi masih menerima
teori sumber sebagi bahan penulisan kitab Kejadian, meskipun tidak
diketahui siapa narator dan redaktornya secara pasti. Namun
karakteristik dan latar belakang setiap orang yang bekerja dibalik kitab
tersebut dapat dianalisa melalui teks kitab itu sendiri, dengan
berbagai ilmu tafsir.
Sesungguhnya
teori-teori tentang siapa penulis kitab Kejadian ini tidak akan
berakhir. Menurut penulis juga, kitab tersebut (bahkan seluruh Alkitab)
terbuka untuk dipelajari dan dianalisa berdasarkan fakta. Jadi, tidak
tertutup kemungkinan di masa yang akan datang teori yang sudah diterima
umum (teori sumber) digantikan oleh teori yang baru, yang dapat
memberikan bukti-bukti yang lebih dapat dipercaya. Namun, Siapapun
penulis kitab Kejadian entah
itu Musa, ataukah orang lain pada suatu jaman akan tetap menjadi bahan
perdebatan. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa kitab
tersebut disusun sekitar 11 bagian besar yang ditentukan berdasarkan
suatu rumusan toledot. Rumusan atas
toledot ini disusun teratur dan terstruktur. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa siapapun penulis kitab Kejadian, dia mempergunakan toledot tersebut. Oleh karena itu tidak diragukan jika cerita dalam kitab Kejadian sudah ada sebelum masa Musa.[56]
Menurut penulis tekanan perhatian bukan lagi terhadap permasalahan
siapa yang menulis kitab tersebut, namun yang lebi penting adalah apakah
pesan teks itu dan apa maknanya bagi kehidupan saat ini.
2.3.2. Sejarah Penelitian Hermeneutis terhadap Pasal 45
Penelitian
dan tafsiran terhadap kisah Yusuf secara umum dan khususnya pasal 45
selalu berkembang. Penelitian arkheologis juga turut dilakukan. Apakah
cerita Yusuf dalam Alkitab pernah terjadi ataupun cerita tersebut hanya
sebuah fiksi. Berkaitan dengan hal tersebut, tafsiran dilakukan oleh
berbagai ahli dalam zamannya masing-masing.
Berikut ini penulis memaparkan pendapat dan tafsiran para ahli terhadap kisah Yusuf, khususnya pasal 45.
Nolan B. Harmon
Pasal ini merupakan bangunan Y dan E. Dua narasi yang berbeda tradisi dkombninasikan dalam suatu detail yang kecil. Philosophy
cerita pasal 45 terdapat dalam ayat 7 dan 8a yang berasal dari Y.
Bagian ini menjelaskan Yusuf yang terjual ke Mesir yang merupakan
rencana Tuhan. Dengan demikian, Yusuf berusaha meyakinkan saudaranya
untuk menyadari sepenuhnya bahwa semua yang terjadi pada dirinya
semata-mata adalah atas karya Tuhan.[57]
Sementara itu sumber E menyebutkan bahwa perjumpaan tersebut mengandung
suatu kesulitan dan persoalan. Hal Persoalan bukan lagi terletak pada
terjualnya Yusuf ke Mesir oleh perlakuan para saudaranya, namun telah
terjadi penculikan terhadap Yusuf sebelum saudaranya memutuskan untuk
menyerahkannya.[58]
Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh C.F. Keil dan F. Delitzsch.[59]
Menurut mereka, kunci utama mamahami kisah Yusuf terdapat dalam pasal
45 ayat 5, 7 dan 8. Ungkapan yang menyatakan “Tuhanlah yang mengirimkan
aku Ke Mesir mendahului kamu untuk menyelamatkan hidupmu”, merupakan
tipe pemberitaan kenabian. Seorang nabi sering dikirimkan/diutus Tuhan
bertugas untuk menubuatkan hukuman atau keselamatan yang akan datang
kepada bangsa Israel (mis. Nabi Yeremia).
Dalam Kej. 45:7 disebutkan “untuk memelihara hidupmu”.
Perkataan ini perlu dikaji lagi. Seluruh karya Yusuf dan kehidupannya
sangat tidak mungkin hanya ditujukan untuk menyelamatkan hidupYakub dan
keluarganya dari bahaya kelaparan dan kematian. Namun ungkapan tersebut
juga menunjuk kepada bagian pendahuluan terhadap karya penyelamatan
besar yang dilakukan Tuhan terhadap umat Israel di Laut Mati. Oleh
karena itu, Y membuat peristiwa penyelamatan Yusuf sebagai permulaan
keselamatan besar bagi Israel dari serangan Mesir. Tuhanlah yang
berkarya ketika peristiwa itu terjadi sejak awalnya. Karena peristiwa
laut mati tersebut merupakan peristiwa yang super natural.[60]
Dalam ayat 8 disebutkan “Yusuf menjadi bapa bagi Firaun”.
Kemungkinan perkataan ini hanya sebagai sebuah ungkapan bermakna
penghargaan dan pengagungan nama bagi seorang pemimpin dalam istana di
Mesir. Sementara itu dalam ayat 10 disebutkan “Gosyen”
sebagai tempat tinggal Yakub dan keluarganya. Perkataan ini tidak
sesuai dengan Kej. 47:6b. Menurut Kej. 45:10, disebutkan bahwa Gosyen
diserahkan kepada saudara-saudara Yusuf sebagai tempat menggembalakan
ternak mereka. Kata-kata Firaun tersebut bisa saja hanya sebagai
ungkapan yang halus saja, karena dalam Kej. 47:6b, Firaun justru meminta
saudara Yusuf tersebut untuk menggembalakan ternaknya. Pada bagian
lain, E tidak ada menyebutkan daerah Gosyen.[61] Namun C.F. Keil dan F. Delitzsch[62]
berpendapat lain, menurut mereka perkataan “bapa bagi Firaun” lebih
mempunyai makna sebagai sahabat dan konselor bagi Firaun. Karena jika
diartikan dengan makna “bapa” yang sebenarnya, maka keputusan mutlak
akan berada di tangan Yusuf. Pada hal kenyataannya, setiap Yusuf
mengambil suatu kebijakan, dia harus memberitahukan terlebih dahulu
kepada Firaun.[63]
Ayat
1-5 Perkenalan Yusuf sangat luar biasa terhadap saudaranya. Yusuf telah
mereka jual, tetapi ternyata menjadi seorang yang sangat mereka takuti.
Namun Yusuf berusaha meyakinkan saudaranya bahwa semua perbuatan mereka
merupakan alat Allah untuk menyelamatkan hidup mereka. Hanya dengan
pemahaman yang demikian perdamaian terwujud diantara mereka. Mereka
semula menduga Yusuf akan marah dan balas dendam terhadap mereka dan
akhirnya menghukum mereka semua. Namun oleh karena pengakuan dan
kesaksian iman Yusuf, mereka menjadi tenang. Dalam hal ini, Yusuf bukan
hanya tampil sebagai tokoh politik ataupun psikolog, tetapi lebih dari
itu dia adalah figur yang spritualis.[64] Dengan demikian, Tuhan bisa saja memakai penderitaan untuk menggenapi tujuan Allah bagi umat-Nya, seperti kisah Yusuf.
Perjalanan
sejarah hidup Yusuf sangat dramatis. Dia memperoleh penyataan dari
Tuhan lewat mimpinya, kemudian dia terjual ke Mesir, menjadi budak di
rumah Potifar, dipenjarakan karena mempertahankan kebenaran, bahkan dia
menjadi penguasa atas seluruh Mesir. Keseluruhan cerita tersebut
tidaklah dapat disebutkan sebagai peristiwa yang insidentil saja
(peristiwa yang lumrah terjadi). Namun lebih dari itu, tangan Tuhan
telah menopang perjalanan hidupnya dalam segala situasi dan kondisi.
Firaun yang menyambut baik kedatangan Yakub dan keluarganya, juga
dipahami sebagai instrumen Tuhan untuk menghadirkan keselamatan bagi
umat Israel. Tentu saja Firaun telah mengenal Yusuf sebagai orang yang
paling dipercayainya. Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan Firaun
juga mengenal dengan baik Tuhan yang disembah Yusuf.[65]
John Calvin
Menurut
Calvin, bagian pertama pasal 45 menjelaskan Yusuf yang tidak dapat
menahan perasaan batinnya lagi terhadap saudara-saudaranya. Pada tahap
awal dia telah berbohong terhadap perasaannya dengan memperkenalkan cara
yang keras dan kasar terhadap saudaranya. Namun selama peristiwa
tersebut terkandung rasa persaudaraan dalam benak Yusuf, sehingga dia
tidak dapat menahan perasaannya. Akhirnya setelah menyuruh semua para
pengisi istana keluar, dia berteriak dan menangis memperkenalkan dirinya
kepada saudaranya.[66]
Padahal menangis bagi kalangan raja dalam istana Mesir merupakan hal
yang sangat memalukan. Namun hal tersebut terjadi bagi Yusuf karena dia
tidak dapat lagi menahan perasaannya terhadap saudaranya. Dialah yang
telah mereka jual dahulu dan mendapat kemuliaan di Mesir. Bagian ini mau
memperjelas dan menunjukkan bahwa satu kemualiaan diberikan Tuhan
kepada Yusuf sesuai dengan rencana Tuhan sebelumnya yang diperlihatkan
dalam mimpi Yusuf.[67]
Ketika
Yusuf memperkenalkan dirinya dengan menyebutkan namanya, “saya adalah
Yusuf”. Padahal nama tersebut tidaklah dikenal oleh orang Mesir.[68]
Hal tersebut membuat saudaranya merasa terpukul dengan segala
perbuatannya terhadap Yusuf sebelumnya. Mereka membandingkannya dengan
kemuliaan yang dimiliki Yusuf pada saat itu. Dengan
demikian, melalui peristiwa ini, kesedihan dan penderitaan yang dialami
Yusuf, digantikan dengan kemualiaan dari Tuhan dan orang-orang yang
memperlakukan kejahatan kepadanya menjadi malu dan terpukul.
Selanjutnya,
perkataan Yusuf yang mengatakan, “mendekatlah kepadaku, saya berdoa
untuk kamu semua”. Dengan perkataan ini Yusuf berusaha membangun kembali
rasa percaya diri dan membuang rasa bersalah para saudaranya. Pada
beberapa saat Yusuf memang membiarkan saudaranya termenung dan mengingat
semua kejahatan yang dilakukan saudaranya kepadanya. Namun melalui
pernyataan Yusuf tersebut, ia mau meneguhkan perasaan saudaranya dengan
suatu undangan hangat dan familiar untuk datang kepelukannya. Usaha
Yusuf tersebut diteguhkan kembali dengan menyaksikan imannya terhadap
saudaranya sebanyak dua kali. Ia menyebutkan “bukan kamu yang menjual
aku ke Mesir, tapi Tuhanlah yang mengirimkan aku mendahului kamu untuk
menyelamatkan hidup kamu.” Hal tersebut bertujuan untuk membangun
kembali hidup kekeluargaan yang baru diantara mereka. Pada bagian lain
teks ini bermakna bahwa apapun dilakukan manusia, kapanpun dan
dimanapun, akan tetap berada dalam kuasa Tuhan. Rencana Tuhan akan
terdapat dalam setiap gerak kehidupan manusia. Hal tersebut sangat
rahasia dan berada diluar akal manusia.[69]
Namun menurut analisis penulis, terdapat suatu karya pikiran redaktor
dalam pernyataan tersebut. Kemungkinan hal itu dimaksudkan untuk
membangun dasar teologi Keluaran. Bahwa orang Israel berada di Mesir,
bukanlah atas kesalahan mereka, namun merupakan rencana Tuhan untuk
menyelamatkan hidup mereka.
Gerhard von Rad
Menurut
von Rad Kisah tentang Yusuf sangat berbeda dengan cerita Patriarkh
sebelumnya. Cerita Yusuf merupakan kisah yang berdiri sendiri. Panjang
cerita tersebut juga sangat berbeda dengan kisah yang menceritakan
Patriarkh sebelumnya. Hal inilah yang menandakan bahwa kisah Yusuf
merupakan karya satu orang. Kisah tersebut dimulai dengan baik dengan ending
yang baik pula. Dalam kisah Patriarkh, bisa saja terjadi perbedaan
sudut pandang pengarang dari pasal awal dengan pasal bagian akhir. Namun
cerita Yusuf sangat berbeda, dari awal sampai akhir ditata dengan baik.
Kisah Yusuf dibangun redaktor dengan mempergunakan bahan J dan E.
Kombinasi tersebut semakin memperkaya teks, misalnya Yahwis selalu
mempergunakan nama Israel dan Elohist mempergunakan nama Yakub.[70]
Tafsiran von Rad terhadap pasal 45
Materi
yang terkandung dalam pasal 45 adalah tentang pengenalan (1-15),
kemudian pesan dari Firaun terhadap Yusuf saudara-saudaranya (16-20).
Diakhiri dengan cerita saudara-saudara Yusuf yang kembali ke rumah
mereka. Teks pasal ini tidak selembut pasal 44. Hal tersebut memperkuat
bukti bahwa teks tersebut berasal dari dua tradisi, mamun justru hal
tersebut memperkaya teks tersebut. Bukti kedua tradisi tersebut nampak
ketika Yusuf memperkenalkan diri sebanyak dua kali terhadap
saudara-saudaranya (ayat 3a dan 5).
Perpindahan
Yakub dan keluarganya mengandung permasalahan bagi Yusuf. Dia telah
memerintahkan ayah dan saudaranya untuk segera pindah ke Mesir (ay. 9)
dan mendapat rekomendasi dari Firaun (ay. 18-20). Namun dalam Kej. 46:31
dan 47:5, disebutkan bahwaYusuf harus memberitahukan dan minta arahan
dari Firaun terhadap kedatangan Yakub. Peristiwa itu membuktikan bahwa
kekuasaan Yusuf di Mesir masih berada di bawah kendali Firaun. Artinya,
keputusan terakhir bukanlah di tangan Yusuf. Hal tersebut mungkin
berkaitan juga dengan kekwatiran Yusuf akan keselamatan Yakub dan
keluarganya di Mesir.
Dalam ayat 7, terdapat ungkapan Yusuf, “Maka
Allah telah menyuruh aku mendahului kamu untuk menjamin kelanjutan
keturunanmu di bumi ini dan untuk memelihara hidupmu, sehingga sebagian
besar dari padamu tertolong”. Dalam bahasa Ibrani digunakan kata serit (remnant, dalam terjemahan yang lain disebut posterity yang berarti anak cucu) arti yang lain adalah sisa, keturunan. Peleta
(survivors) yang berarti penyelamat hidup. Sehingga dapat dengan jelas
dipahami motif pengiriman Yusuf ke Mesir oleh Allah, yaitu untuk
menjamin kelanjutan sisa keturunan Yakub dan juga memberikan keselamatan
hidup bagi mereka. Yang paling menarik adalah kesaksian Yusuf, yaitu
bahwa Tuhanlah yang menempatkannya untuk tujuan tersebut. Dengan
demikian, dapat dipahami, seluruh gerak cerita Yusuf adalah atas kuasa
Tuhan untuk menyelamatkan umat-Nya dalam perjalanan sejarah. Tuhanlah
yang sesungguhnya penyelamat itu, bukanlah Yusuf.[71]
William Neil
Menurut
Neil, Cerita Yusuf merupakan satu bagian tunggal yang terdapat dalam
kitab Kejadian. Cerita tersebut merupakan penambahan terhadap kitab
Kejaidan sehingga sangat berbeda dengan cerita Patriarkh. Cerita Yusuf
tersebut hanyalah sebuah kisah hikmat yang mengajarkan perbuatan moral
baik. Dengan demikian, banyak gubahan yang dilakukan oleh redaktor untuk
menyelaraskan cerita tersebut dengan tema teologi kitab Kejadian.[72]
Kunci
utama memahami kitab Kejadian terdapat dalan Kej. 45:5 dan 50:20. Kedua
ayat tersebut menjelaskan bahwa semua peristiwa yang dialami Yusuf,
suka maupun duka, adalah atas rencana Tuhan. Dengan demikian, memahami
kisah Yusuf harus dilihat dari teologi janji. Pemanggilan dan pemilihan
Yusuf adalah dalam rangka meneruskan janji Tuhan terhadap nenek moyang
Israel yaitu Abraham. Perhatian usaha tafsir tidaklah hanya tertuju
kepada sisi kemanusiaan yang ditokohkan seperti tingkah laku para
saudaranya yang menjualnya ke Mesir. Namun yang lebih terpenting adalah
melihat keseluruhan hidup dan peristiwa yang dialami Yusuf sebagai karya
Tuhan. Tangan Tuhan selalu menopang Yusuf untuk menyelamatkan banyak
orang. Jika dilihat dari konteks penulisannya, peredaksian kisah Yusuf
dalam kitab Kejadian bermaskud untuk menjelaskan kepada umat Israel,
bahwa tangan Tuhan akan tetap menopang hidup mereka meskipun mereka
berada dalam ancaman bangsa asing. Yang dibutuhkan adalah kesalehan dan
ketaatan kepada Tuhan seperti yang dilakukan nenek moyang mereka, Yusuf.[73]
A.S. Herbert
Menurut
Herbert dari kisah sebelumnya, kepandaian Yehuda dan
ketidaksombongannya memberikan jalan bagi Yusuf untuk menyingkapkan
dirinya yang sebenarnya. Yusuf bukan hanya merasa sedih dalam peristiwa
tersebut, namun lebih dari itu, dia mau memperkenalkan kepada para
saudaranya bahwa Tuhanlah satu-satunya penyelamat akan kelanjutan hidup
saudaranya. Tidak pernah terbayang bagi saudara-saudara Yusuf untuk
mendapatkan perlakuan dari negeri Mesir
seperti yang diperbuat oleh Yusuf. Namun mreka mendapat perlakuan lebih
dari yang mereka duga sebelumnya, mereka diberikan tempat yang paling
subur di Mesir. Dalam hal ini terlihat ciri cerita Mesir kuno yang
mengagungkan Firaun dengan menyebutkan kedermawanannya.[74]
Kunci
utama memahami kisah Yusuf terdapat dalam Kej. 45:5,7 dan Kej. 50:20.
Dengan demikian, kisah Yusuf yang begitu panjang tersebut dipahami
sebagai karya besar penyelamatan Tuhan terhadap umat-Nya. Meskipun
digambarkan seorang tokoh yang rendah hati, berintegritas dan berhikmat,
namun tema yang paling penting ditekankan narator adalah bahwa
aktivitas dan tindakan Tuhan yang dikenal bangsa Israel secara langsung
menyelamatkan umat-Nya.[75]
Dalam ayat 3, pertanyaan Yusuf, “apakah ayah masih hidup?”
berasal dari tradisi Y dan juga terdapat beberapa variasi yang
dipengaruhi E. Ungkapan tersebut mengandung masalah lingustik. Terdapat
tekanan emosional dan menakutkan dalam pertanyaan tersebut.[76]
Teologi
kisah Yusuf terdapat dalam Kej. 45:5-8. Teologi tersebut adalah bahwa
Tuhanlah yang berkarya dalam kisah Yusuf. Melalui kisah tersebut,
terbentang sejarah keselamatan umat manusia. Keselamatan tersebut bukan
hanya bagi keluarga Israel saja tetapi juga keselamatan masa depan umat
manusia. Bersamaan dengan Kej. 50:20, tema dari kedua bagian ini
merupakan kunci utama dalam memahami kisah Yusuf.
Secara rinci pasal 45 dijelaskan sebagai berikut:
Bagian pertama adalah ayat 1-8, bagian ini dibagi dua:
Ayat
1-4, bagian ini menjelaskan persatuan Yusuf kembali dengan
saudara-saudaranya yang merupakan pergumulan pribadi bagi Yusuf. Dia
telah menyuruh seluruh pegawai istana untuk keluar meninggalkan dia dan
para suadaranya, namun karena emosi batinnnya yang tinggi membuat
tangisannya terdengar penduduk pengisi istana dan bahkan Firaun. Dalam
hal ini J dan E bersama-sama memberikan penekanan terhadap elemen
emosional dari seluruh cerita Yusuf. Tekanan emosi batin merupakan salah
satu karakteristik cerita kuno di Mesir.
Ayat
5-8, merupakan pekerjaan redaktor. Allah dititikberatkan sebagai pihak
yang mengurus dan bertanggung jawab terhadap cerita tersebut. Walaupun
Yusuf terjual ke Mesir, namun sesungguhnya Tuhanlah yang mengirimkannya
ke sana. Ayat 7 yang menjelaskan penekanan tindakan Allah dalam
peristiwa tersebut, mengandung sebuah teologi yaitu membangun dasar
“teologi keluaran.” Dalam Teologi peristiwa keluaran, dipahami bahwa
Tuhanlah yang mengirimkan umat Israel ke Mesir dan Tuhan jugalah yang
melepaskan/membawa mereka keluar dari sana. Dengan demikian, posisi dan
arti Yusuf dalam peristiwa tersebut, berkaitan dengan kelanjutan
generasi umat Israel. Redaktor telah melihat implikasi selanjutnya dari
cerita Yusuf. Pemeliharaan Tuhan senantiasa bagi umat Israel ketika di
Kanaan ataupun Mesir.
Ayat 9-15 merupakan pesan Yusuf terhadap Yakub yaitu ungkapan kerinduannya terhadap ayahnya untuk segera mungkin bertemu. Ayat 10, disebutkan mereka akan tinggal nantinya di daerah Gosyen.[78]
Gosyen disini sangatlah janggal karena pada masa Hyksos, tempat ini
sudah dikenal. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa cerita Yusuf muncul
pada masa Hyksos (dinasty ke-19 dan sesudahnya).
Ayat
16-20, terdapat pengulangan undangan Yusuf kepada Yakub ayahnya untuk
datang ke Mesir. Terdapat dua perintah untuk membawa keluarga Yakub ke
Mesir (18 dan 19). Terdapat juga dua alat transportasi yang digunakan.
Pada ayat 17 disebutkan supaya mereka menggunakan binatang-binatang.
Sementara dalam ayat 19, disebutkan supaya mereka menggunakan kereta
dari tanah Mesir. Terdapat juga
dua kali pengungkapan “tanah terbaik” (ayat 18 dan 20). Dengan
demikian, kedua data ini memperkuat bukti bahwa pasal 45 dibangun atas
dua tradisi, Y dan E.
Ayat
21-28, bagian ini membicarakan saudara-audara Yusuf yang kembali ke
tanah Kanaan. Mereka melaporkan semua apa yang mereka terima dari Mesir.
Bagian ini merupakan antiklimaks dari carita Yusuf.. Ayat 26 diyakini
merupakan tambahan redaktor, sebab ayat ini tidak mempengaruhi proses
bagaimana Yakub melakukan migrasi ke Mesir. Justru ayat ini seolah-olah
mau mengatakan bahwa Yakub tidak percaya semua apa yang terjadi, dengan
demikian dia tidak akan melakukan migrasi ke Mesir. Happy ending
terdapat dalam ayat 25 dan 27, namun bagian akhir ini semakin
memperjelas bahwa teks ini dipengaruhi oleh dua tradisi. Nama yang
digunakan dalam ayat 21 dsan 28 menggunakan nama Israel, sementara dalam
ayat 25 dan 27 mempergunakan nama Yakub.
Derek Kidner
Kidner
berpendapat bahwa semua peristiwa yang terjadi dalam kisah Yusuf adalah
atas kehendak Tuhan, bukanlah kehendak manusia (Kej. 45). Sinar dari
Tuhan memimpin hidup Yusuf dalam segala peristiwa suka maupun duka.
Dengan demikian, terdapat teologi bahwa kebenaran Tuhan akan selalu
terbangun dan berbunyi dalam segala bentuk peristiwa dalam kehidupan.
Oleh karena itu kesabaran dan tahan menderita dengan ketaatan merupakan
kunci utama dari Yusuf untuk menyambut kuasa Tuhan tersebut dalam
hidupnya.[79]
Menurutnya, kata “menjual aku”
(ay. 3) dari Yusuf merupakan sindiran. Hal tersebut sangat tepat pada
moment tersebut yang bertujuan untuk menyadarkan saudaranya. Namun
berdasarkan analisis, perkatan tersebut merupkan catatan tambahan
redaktor. Perkataan “kamu menjual saya...Tuhan mengirimkanku (ay.
5)” merupakan salah satu pernyataan klasik untuk menyatakan
pemeliharaan hidup manusia. Hal tersebut merupakan realisme biblika.
Dengan pernyataan tersebut, terdapat dua aspek yang dapat dipahami. Satu
aspek bahwa manusia tidak dapat menyelamatkan hidupnya sendiri (mishandling). Aspek yang lain adalah bahwa tangan Tuhan yang sempurna selalu setia menyelamatkan hidup manusia. Selanjutnya perkataan “bukan kamu....tetapi Tuhan (ay. 8)” merupakan bentuk idiomatik[80]
dalam Perjanjian Lama. Idiom ini secara kontras mempertentangkan
anggapan saudara Yusuf yang merasa bersalah atas tindakan menjual Yusuf
dengan tindakan Tuhanlah yang mengirimkan Yusuf ke Mesir sebagai bapa
atas Firaun. “bapa atas Firaun” mengandung makna bahwa Yusuf menduduki
posisi kepegawaian yang tinggi dan visioner.
Dalam
ayat 10, disebutkan bahwa Yakub dan keluarganya akan tinggal di Gosyen.
Nama tersebut dikenal Mesir pada waktu yang kemudian yaitu tanah
Ramses. Gosyen kemudian disebut juga dengan “tanah yang subur” dan dekat
dengan tempat tinggal Yusuf. Namun nama tempat tersebut diduga berada
di Timur Delta yang berada di bawah kuasa Hyksos[81] dan Ramses.[82] Kemungkinan besar pada masa inilah kisah Yusuf muncul.
J.T.E. Renner
Menurutnya,
pasal 45 merupakan pasal penyelesaian masalah yang dimunculkan narator
dalam pasal 43-44. Oleh karena itu, pasal 43-45 harus dipahami sebagi
satu kesatuan. Narator tidak lagi menitikberatkan perhatian terhadap
kesalahan saudara Yusuf sebelumnya. Namun perhatian difokuskan terhadap
pemahaman Yusuf yang mengalami tekanan emosi batin yang dalam karena
kerinduannya terhadap ayahnya dan para saudaranya. Dengan pergumulan
batin, Yusuf berusaha menyadarkan para saudaranya dari ketakutan dan
perasaan bersalah, Tuhanlah yang berkarya atas mereka. Tuhan memakai
para saudaranya sebagai alat untuk mewujudkan keselamatan bagi umat-Nya,
yang telah menjualnya ke Mesir. Oleh karena itu penjualan dirinya
tersebut adalah proses perwujudan karya keselamatan dari Tuhan tersebut.[83]
Pokok
yang paling penting untuk diperhatikan adalah faktor pendorong
(motivator) di balik seluruh cerita tersebut. Renner mengatakan, proses
terjualnya Yusuf ke Mesir oleh para saudaranya, godaan yang dialaminya,
serta kemuliaan dan kekuasaan yang diperolehnya boleh saja dipahami
sebagai hal yang manusiawi. Namun pemahaman tersebut terlalu dangkal.
Semua gerak perjalannan hidup Yusuf didorong oleh satu kekuatan dan
kekuasaan yaitu dari Tuhan. Dengan demikian, semua peristiwa yang
terjadi dalam kisah tersebut, di Kanaan ataupun di Mesir, merupakan
aktivitas Allah. Berkaitan dengan hal tersebut maka Tuhan berkuasa
mempergunakan penderitaan dan kesusahan bagi manusia dalam rangka
mewujudkan rencana-Nya.[84]
Stuart Briscoe
Pasal
45 merupakan kisah yang sangat mengagumkan. Briscoe melihat ada 3
keinginan dengan keutuhan batin Yusuf. Hal tersebut didorong oleh
imannya kepada Tuhan. Yang pertama, dia menginginkan hubungan akrab dengan saudaranya terbangun kembali (the need to relate).
Dalam cerita tersebut diungkapkan bahwa Yusuf tidak dapat lagi menahan
identitasnya terhadap saudara-saudaranya. Dia tidak dapat lagi menahan
rasa batinnya sehingga dia menyuruh semua orang Mesir meninggalkan dia
dan para saudaranya. Kemudian dia memperkenalkan dirinya yang sebenarnya
terhadap saudaranya. Pada saat itu juga saudara-saudaranya terdiam dan
tidak percaya. Karena mereka masih mengingat segar apa yang telah
diperbuat mereka terhadap Yusuf. Namun mereka percaya ketika menyaksikan
Yusuf menangis begitu keras sampai orang-orang Mesir dan pengisi rumah
Firaun mendengarnya. Kenyataan tersebut bukanlah hanya sebagai kisah
semata.[85]
Hal yang kedua adalah keinginannya untuk menciptakan suatu perdamaian (the need to reconcile).
Yusuf tidak mempersalahkan saudaranya yang menjualnya ke Mesir, namun
dia berusaha meyakinkan saudaranya untuk melihat semua yang terjadi atas
dirinya sebagai kehendak Tuhan. Dia ingin saudaranya melihat berkat
Tuhan yang melimpah atas banyak orang melalui dirinya. Yusuf berusaha
supaya saudaranya tidak mendukakan hati dan tidak menghujat dirinya
dengan apa yang telah mereka lakukan terhadap dia. Dia ingin menunjukkan
bahwa kedaulatan Tuhanlah yang mengontrol seluruh perjalanan hidupnya,
untuk menghadirkan tujuan penyelamatan hidup umat manusia.[86]
Ketiga adalah kebutuhan untuk memugar/membagun kembali (the need to restore).
Dalam bagian ini, Yusuf berkeinginan untuk membangun kembali Yakub dan
keluarganya ke dalam kehidupan yang sesungguhnya. Inisiatif Yusuf
tersebut juga disambut baik dan mendapat rekomendasi dari Firaun (ay.
20). Yakub dan keluarganya diberikan tanah yang subur dan terbaik di
Mesir. Selanjutnya, Yusuf sepertinya masih meragukan ketentraman
saudara-saudaranya ketika kembali ke Kanaan. Sehingga ia harus memberi
pesan terakhir supaya saudara-saudaranya supaya tidak berbantah-bantahan
di jalan.[87]
Matthew Henry’s
Menurutnya, peryataan Yusuf yang memperkenalkan dirinya dengan menyebutkan, “aku adalah Yusuf”,
menimbulkan kecurigaan bagi saudaranya. Pertama sekali mereka hanya
mengenal dan mengetahui bahwa raja orang Mesir berbuat baik kepada
mereka. Namun dengan adanya upaya perkenalan Yusuf, mereka justru
menaruh curiga dengan pernyataan tersebut. Karena pada saat itu nama
Yusuf tidak begitu dikenal di Mesir. Dengan demikian, usaha pendekatan
semakin dilakukan Yusuf dengan menyebutkan dirinya yang telah dijual
saudaranya ke Mesir. Hal ini
memperkuat keyakinan saudaranya akan dirinya. Kemudian semakin
diyakinkan kembali setelah ia berkata, “marilah mendekat, janganlah
marah akan dirimu sendiri,” dan dia memeluk mereka.[88]
Bagaimanakah
memahami keselamatan yang diberikan Tuhan terhadap Yakub dan
keturunannya melalui hidup Yusuf yang penuh penderitaan? Matthew Henry’s
menyebutkan bahwa manusia tidak dapat mengerti dan memahami semua
tindak keselamatan yang dilakukan Allah terhadap cipataan-Nya. Hal yang
lebih kontras lagi, Tuhan boleh saja mempergunakan hal yang sangat
bertentangan dengan kenyataan hidup manusia, dalam rangka perwujudan
keselamatan, seperti halnya kisah Yusuf.[89]
John Barton dan John Muddiman[90]
Pasal
45 kemungkinan adalah sebagai akhir cerita Yusuf yang sesungguhnya.
Semua tekanan permasalahan diselesaikan dalam pasal ini dengan suatu
rekonsiliasi yang happy ending.
Dari sudut pandang struktur literaturnya, cerita Yusuf sudah diakhiri
pada pasal ini. Dengan demikian, bagaimana kelanjutan kisah tersebut
dijawab dalam pasal 46:1-5 yang selanjutnya menyajikan cerita tentang
Patriarkh.
Dalam
ayat 1-5, pengarang menjelaskan bahwa dari emosi batin Yusuf yang
paling dalam membuatnya mengungkapkan kepribadiannya yang sebenarnya.
Dengan keyakinan kuat dia menyaksikan bahwa tangan Tuhanlah yang
tersembunyi berkarya menyelamatkan keluarga Yakub melalui dirinya.
Kemudian dalam ayat 10-15, pengarang memunculkan tema baru yaitu cerita
tentang migrasi keluarga Yakub ke Mesir. Ayat 9-13, merupakan inisiatif
Yusuf terhadap keluarga Yakub dan juga persetujuan dari Firaun untuk
memberikan Gosyen menjadi tempat tinggal keluarga Israel. Selanjutnya
ayat 21-28 menjelaskan perjalanan Israel dan keluarganya ke Mesir.
2.3.3. Teologi dan Hipotesa Pasal 45
Don Anderson menyebutkan; “you sold, but God sent”(45: 4-8).[91]
Ungkapan ini mau menekankan bahwa Yusuf terjual ke Mesir adalah atas
prakarsa Tuhan. Saudara-saudara Yusuf hanya dipakai Tuhan untuk
rencana-Nya. Stuart Briscoe juga menyebutkan, dalam sejarah, Yusuf tidak akan mendapat tempat (pemimpin) di Mesir, tanpa rencana Tuhan (God have a great plan by Yusuf’s deliverance in to Egypt).[92] Melalui
konsep teologis ini, apakah Tuhan senantiasa memakai setiap orang dalam
berbagai cara, waktu dan tempat untuk mewujudkan karya-Nya?
Bagaimanakah Yusuf bisa mengaku seperti itu? Ataukah itu hanya karya
Narator saja dengan maksud tertentu?
Gerhard von Rad berpendapat, pasal 45 bukan hanya mengandung makna bagaimana penerimaan serta rekonsiliasi Yusuf dengan saudaranya. God who brought Joseph in to Egypt to “preserve life”. Istilah “menjamin dan memelihara (Ibr: peleta) mengandung makna bahwa Tuhan mempunyai rencana besar melalui Yusuf yaitu untuk menjamin kehidupan manusia dalam sejarah.[93]
Permasalahan Yusuf dengan saudaranya berganti dengan sebuah cahaya baru
atas pimpinan Tuhan. Dengan peryataan ini, pertanyaan kritis kita
adalah apakah keselamatan dari Tuhan hanya melalui orang pilihan-Nya
saja? Apakah orang Mesir (yang tidak mengenal Tuhan Yusuf) terpanggil
juga dalam rangka keselamatan? Bagaimanapun juga, Yusuf pasti memiliki
hubungan kerja sama dengan mereka untuk membuat suatu kebijakan. mengapa
Yusuf diterima di Mesir yang sudah jelas adalah musuh utama mereka
(Israel) dan bahkan menjadi pemimpin atas mereka. Dalam ruang lingkup
yang lebih luas, bagaimanakah memahami bahwa totalitas hidup setiap
manusia merupakan panggilan Tuhan?
Pada bagian lain, penerimaan dan rekonsiliasi terhadap saudaranya tidak cukup hanya di situ saja. Don Anderson menyebutkan; “forgiveness isn’t an option”.[94]
Namun Yusuf menyusun rencana real pemeliharan hidup tersebut (9-15).
“Segeralah pergi dan katakan kepada ayah, Tuhan telah menempatkan aku
sebagai penguasa atas seluruh Mesir, bergegaslah datang ke sini”. Dalam
ayat ini ditekankan bahwa Yusuf merealisasikan kebutuhan yang diharapkan
saudaranya. Dengan demikian, panggilan Tuhan kepada setiap orang
seperti Yusuf berbuah. Artinya, pengakuan dan kesaksian akan penyertaan
Tuhan tidak hanya sebatas “pengakuan” saja. Realitas pengakuan tersebut
juga diwujudkan. Pertanyaan kritis kita adalah apakah saudara Yusuf juga
mempunyai pengakuan yang sama terhadap Tuhan Israel? Mengapa mereka
minta bantuan kepada Mesir, yang memang tidak mengenal Allah mereka?
Apakah mereka memang sudah krisis kepercayaan sebagai umat pilihan dan
panggilan Allah?
Berdasarkan
pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa cerita Yusuf (Kej.
37-50) merupakan kisah tunggal karya pengarang tunggal. Hal tersebut
ditandai dengan alur yang teratur mulai dari awal hingga akhir cerita
tersebut. Kunci utama memahami kisah Yusuf terdapat dalam Kej. 45:5,7
dan Kej. 50:20. Pasal 45 yang dibahas penulis diangun dengan dua tradisi
yaitu Y dan E. Pasal ini merupakan akhir cerita Yusuf yang
sesungguhnya, karena seluruh konflik dan permasalahan yang dimunculkan
pengarang diselesaikan dengan baik dalam pasal ini. Dengan demikian,
pasal 46-50 diyakini merupakan tambahan redaktor.
Terjualnya
Yusuf ke tanah Mesir, merupakanlah proses panggilan Tuhan. Tuhanlah
yang mengirimkannya ke sana. Tuhanlah yang berkarya dalam seluruh gerak
hidup Yusuf. Proses tersebut dilihat dalam rangka teologi janji. Kisah
Yusuf merupakan kelanjutan janji Tuhan kepada Patriarkh. Oleh karena itu
kisah Yusuf tidak terlepas dari cerita Patriarkh. Meskipun cerita Yusuf
merupakan bagian yang amat berbeda secara literer dengan kisah
sebelumnya dalam kitab Kejadian, namun terdapat teologi yang
mengikatnya, yaitu teologi janji. Dengan demikian dibutuhkan kajian
teologis lebih lanjut terhadap teks itu sendiri. Dibuthkan kajian
terhadap peran redaktor dan narator dalam Kej. 45 serta apa makna
teologis yang hendak disampaikan melaui teks tersebut. Apakah Yusuf
memang pernah ada (hidup) atau apakah kisah tersebut hanyalah sebuah
cerita fiktif, penulis akan mengkajinya dalam bab pembahasan.
B A B III
METODOLOGI PENELITIAN
Untuk
memahami dan menggali kisah Yusuf khususnya pasal 45, penulis
menggunakan metode hermeneutis eksegetis dengan pendekatan naratif.
Pendekatan naratif lebih dimungkinkan karena teks yang dibahas penulis
sendiri berbentuk sastra narasi.
3.1. Pengantar: Metode Deskripsi Biblika Murni dengan Pendekatan Naratif (Narrative Approach)
Pendekatan
Naratif merupakan cabang dari kritik sastra ataupun kritik literer.
Pendekatan ini adalah salah bidang cakupan metode penafsiran kritis yang
merupakan perkembangan dari penafsiran tradisional. Perkembangan
tersebut terjadi sekitar pertengahan abad ke-20.
Kritik
naratif menitikberatkan perhatian terhadap cerita dalam teks yang
diteliti. Narator mengajak penafsir untuk bersama-sama menyaksikan semua
peristiwa yang diceritakan. Dalam arti yang lebih luas, kritik sastra
mencakup semua persoalan yang timbul sehubungan dengan teks itu sendiri
seperti pengarang, bahasa dan isi teks.
Kritik
sastra juga menaruh perhatian terhadap topik-topik yang mendukung
terciptanya teks dalam bentuk akhir. Misalnya, struktur karangan,
karakter teks, gaya bahasa dan simbol-simbol oleh pengarang, efek-efek
dramatis dan estetika yang ditimbulkan sebuah karangan.[95] Elemen-elemen tersebut berpengaruh ketika membaca dan memahami narasi dalam Alkitab.
Biasanya
suatu teks/perikop merupakan bagian dari cerita yang lebih besar.
Misalnya, pasal 45 kitab Kejadian adalah salah satu bagian dari kisah
narasi Yusuf. Selanjutnya, teks tersebut juga adalah bagian yang tidak
terpisahkan dengan kitab yang memuatnya yaitu kitab Kejadian. Dalam
bagian yang lebih luas lagi, teks tersebut adalah bagian yang tidak
terlepas dari Pentateukh. Dengan demikian, perlu memperhatikan teks yang
sebelum dan teks sesudah perikop yang sedang diteliti.[96]
3.2. Alasan Memilih Metode Pendekatan Naratif
Beberapa alasan penulis memilih metode penafsiran dengan pendekatan naratif, yaitu:
- Pendekatan naratif adalah salah satu jenis metode dalam hermeneutis Alkitabiah.
- Teks yang dikaji penulis (Kej. 45) ditulis dalam bentuk sastra narasi, oleh karena itu sangat tepat jika penulis mempergunakan kritik sastra dengan pendekatan narasi untuk lebih memahami teks tersebut.
- Penulis akan lebih mudah memahami pesan teologis teks yang sedang dibahas, karena memang teks tersebut merupakan karya satu tangan dengan menyajikan kisah Yusuf secara utuh.
- Cerita tentang pemberitaan Yusuf adalah fiktif. Oleh karena itu proses terjadinya cerita Yusuf telah mengalami banyak perubahan dengan konteks historisnya masing-masing. Dengan demikian, pendekatan naratif akan lebih baik, karena tidak akan banyak mengkaji bentangan sejarah yang panjang.
- Narasi Yusuf dikenal sebagai sastra hikmat di Timur Dekat. Oleh karena itu dengan pendekatan naratif akan lebih dimungkinkan, karena cerita tersebut memang sengaja dicipta dalam bentuk narasi. Artinya, bentuk narasi teks tersebut bukanlah hanya sebagai pekerjaan redaktor, namun bentuk aslinya adalah narasi hikmat.
3.3. Ruang Lingkup Pendekatan Naratif sebagai salah satu Upaya Berteologi
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penafsiran naratif, yaitu:[97]
- Memperhatikan struktur cerita.
Cerita
tersebut merupakan bagian kecil dari cerita yang lebih besar. Artinya,
teks yang dikaji hanyalah sebagian dari sebuah cerita.[98]
Teks yang dibahas penulis adalah Kejadian pasal 45 yang merupakan satu
pasal dari cerita Yusuf. Oleh karena itu, pasal 45 harus dilihat
hubungannya dengan pasal 37-50 dari kitab Kejadian. Pasal 45 merupakan
bagian akhir dari cerita Yusuf yang sebenarnya, semua konflik dan
pertentangan ditemukan jawabannya dalam pasal ini. Pasal selanjutnya
merupakan realisasi dari rekonsiliasi tersebut.
- Memperhatikan karakteristik/penokohan.
Menemukan
siapa tokoh utama, tokoh pembantu dan tokoh figuran. Memperhatikan
sifat-sifat (karakter) mereka dan bagaimana mereka ditampilkan oleh
narator. Dalam perikop yang dikaji penulis, tokoh utama adalah Yusuf.
Tokoh pendukungnya; kedua belas saudara Yusuf, Firaun, dan orang-orang
Mesir.
- Memperhatikan alur/plot cerita. Bagaimanakah narator membangun cerita itu. Melalui analisa ini akan nampak, apakah narator mempergunakan alur maju atau alur mundur. Dalam pasal 45, narator mempergunakan alur mundur, dimana ketegangan/konflik terjadi di awal cerita, kemudian mengadakan rekonsiliasi dan diakhiri dengan latar belakang Yusuf datang ke Mesir, yaitu atas prakarsa Tuhan.
- Konflik; kita harus menemukan konflik apa yang diangkat/dipersoalkan oleh narator. Bagaimanakah narator memainkan peranan tokoh dalam konflik tersebut. Dengan demikian kemungkinan ada 4 konflik yang muncul, yaitu: konflik antara Tuhan dengan manusia, manusia dengan sesamanya, mnanusia dengan alam dan manusia (tokoh) itu sendiri dengan dirinya sendiri. Dalam teks yang dibahas penulis, konflik terjadi ketika Yusuf memberitahukan kepada saudara-saudaranya bahwa dirinya adalah Yusuf yang telah mereka jual ke Mesir. Konflik terjadi juga dalam batin Yusuf sendiri.
- Setting; merupakan tempat dan ruang peristiwa itu terjadi. Karena ruang dan tempat tersebut akan mempengaruhi karakter dan sifat tokoh, serta mempengaruhi konflik cerita. Dalam Kejadian 45, settingnya adalah di Istana kerajaan. Tentunya ruangan tersebut dipenuhi hiasan dan para tentara sebagai pengawal.
- Memperhatikan waktu; ada 2 kemungkinan waktu dalam pendekatan naratif, yaitu: pertama, waktu yang bersifat alamiah seperti waktu, jam, bulan, tahun, siang, malam. Kedua, waktu yang bersifat naratif, seperti maka, lalu, kemudian, selanjutnya, setelah itu.
- Style (gaya); memperhatikan bagaimana gaya narator menceritakan teks tersebut. Apakah ada pengulangan suatu kalimat, atau situasi. Jika demikian, berarti ada bagian tertentu yang mendapat penekanan khusus.
- Narator; siapakah dia dan apakah motifnya untuk menyajikan cerita dalam bentuk yang demikian. Apa idealisme penulis dan juga pekerjaan serta jenis kelaminnya. Narator terkadang tidak memperkenalkan dirinya secara langsung, namum terselubung dalam teks (implied author). Oleh karena itu penafsir harus meneliti posisi narator dan cara pengungkapan kepribadiannya.[99]
Dalam penafsiran naratif, dapat juga dibantu dengan memperhatikan aspek-aspek penafsiran di bawah ini:
- Aspek Struktur
Susunan
dan pemaparan cerita dari awal hingga akhir. Bagaimana cerita itu
dikonstruksi dengan bentuk susunan seperti yang terdapat dalam Alkitab,
dari awal hinga akhir. Tentunya terdapat persoalan internal yang perlu
diperhatikan dari keseluruhan teks itu. Author dalam menulis cerita
tentu saja dipengaruhi “ilmu sastra” yang berkembang pada zamannya. Pada
gilirannya juga, pemahaman suatu cerita dalam Alkitab pada zaman ini,
tentu saja mempergunakan ilmu sastra yang berkembang pada saat ini,
yaitu dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang diuraikan sebelumnya.
Pada
saat munculnya cerita Yusuf, sastra yang paling terkenal dalam
masyarakat adalah sastra narasi. Penciptaan dunia juga digambarkan dalam
bentuk cerita. Hal tersebut dapat diterima logika, karena dengan sastra
cerita akan dapat memelihara suatu peristiwa ataupun ideologi, karena
cerita dapat bertahan lama dalam masyarakat.
- Aspek Penciptaan
Aspek
penciptaan menyangkut motif-motif dari penciptaan cerita itu. Oleh
karena itu perlu diperhatikan maksud dan tujuan penulisan cerita itu.
Apa yang menyebabkan cerita itu ditulis. Sedapat mungkin kita mendeteksi
siapa yang menulis cerita itu dan kepada siapa dialamatkan.
Hal
yang lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa cerita dan dunia cerita
merupakan ciptaan author. Oleh karena itu, dunia cerita yang diciptakan
author tidak mutlak sama dengan dunia nyata author itu sendiri. Namun
hal itu tidak berarti bahwa dunia cerita berbeda ataupun bertolak
belakang dengan dunia nyata, karena author pasti dipengaruhi budaya dan
dunianya. Kemungkinan besar terdapat kesamaan dunia nyata penulis dengan
dunia cerita yang digubahnya seperti nama tempat, tokoh, budaya, ruang
dan waktu. Dengan jalan seperti itulah cerita yang disajikan narator
pada jamannya dapat diterima dan setidaknya dapat dipahami dan masuk
akal.
Selanjutnya,
cerita yang ditulis author tersebut pada zamannya akan dibaca dan
dipahami oleh pembaca yang lain dalam dunia nyata yang berbeda. Dengan
demikian, untuk memahami sebuah cerita bagi pembaca dalam dunia nyata
yang berbeda dengan dunia nyata author, pembaca harus masuk kedalam
cerita. Ketika membaca cerita Yusuf yang settingnya
istana, maka pembaca mau tidak mau harus merasa sedang berada dalam
sebuah istana dengan gubahan artistik Mesir (pembaca keluar dari
budayanya). Dengan cara demikianlah pembaca dapat memahami pesan cerita
dengan baik.
Salah
satu alat pembaca untuk masuk ke dalam dunia cerita, seorang author
menciptakan seorang tokoh imajiner yang akan bercerita segala sesuatu
yang terjadi dalam dunia cerita. Tokoh ini dinamakan narator
(pencerita). Narator hanya hidup di dunia cerita, bukan di dunia nyata.
Dengan demikian, narator bertugas untuk menyampaikan isi dan pesan yang
hendak disampaikan author. Ta pengantar, atapun kata sambung yang
digunakan author, seperti; kemudian, dan, lalu, setelah itu, dan sebagainya. Melalui kata tersebut, nampak bayang-bayang narator yang akan menyampaikan suatu peristiwa dalam cerita.
Tugas
pembaca adalah melihat jalannya semua cerita melalui kacamata narator.
Pembaca tidak akan pernah melihat dunia nyata author, namun melalui
narator, cerita akan dapat diamati yang selanjutnya dimungkinkan
melakukan rekaan terhadap maksud author menuliskan cerita itu.
- Aspek Pragmatis
Seorang
penafsir harus meneliti pesan-pesan yang diharapkan narator yang akan
ditangkap oleh pembaca atau pendengar. Dengan demikian perlu
memperhatikan bagaimana narator menyampaikan pesan tersebut dan pola
komunikasi apa yang dipakai oleh narator. Bahasa yang digunakan narator
untuk menyampaikan suatu pesan pasti berbeda dengan ketika dia
bercerita. Naratot akan mempergunakan bahasa religius dan rohani yang
kemungkinan makna ceritanya tidak masuk akal. Dengan demikian,
diperlukan pemahaman cerita sebagai historie dan cerita sebagai Geschichte
seperti telah diuraikan penulis pada bagian terdahulu, karena kebenaran
religius tidak akan dapat diungkapkan dalam bahasa cerita secara
lengkap dan sempurna. Namun pemisahan pemahaman terhadap kedua sejarah
dalam cerita tersebut bukan berarti akan merendahkan kebenaran satu sama
lain. Pemahaman geschichte sebagai kebenaran bukan berarti hal tersebut merendahkan kebenaran historie.
Melalui
narator, penulis bertujuan menyampaikan pesan yang diharapkan mendapat
tanggapan dari pembaca. Setidaknya, pembaca mengerti cerita tersebut
yang kemudian diharapkan dilakukan dalam kehidupannya. Pesan teologis yang
dimaksudkan penulis tidak akan berubah, karena dalam bentuk tertulis.
Dengan demikian, untuk menggali pesan tersebut, pembaca ikut berperan.
Faktor budaya, sosial dan pendidikan pembaca akan mempengaruhinya dalam
membaca (menafsir) sebuah cerita.
- Aspek Referensial
Referensi
pertama, merupakan kumpulan informasi yang didapat/dipakai author untuk
membangun cerita tersebut. Apakah menggunakan teks yang internal
ataupun teks yang eksternal. Referensi
kedua, menemukan persoalan utama yang sedang terjadi di Israel ketika
teks itu muncul, menyangkut bidang agama, sosial, politik dan budaya.
Hal ini hanyalah secara umum, bukanlah menguak informasi historis
layaknya pendekatan dengan kritk historis.
Dalam
pendekatan naratif, pemabaca tidak perlu mempersoalkan siapa penulis
cerita tersebut. Akan tetapi ketika memasuki dunia cerita, yang dijumpai
pembaca adalah narator, bukan lagi author. Pembaca dalam pendekatan
naratif disebut “pembaca historis”. Pembaca historis merupakan manusia
dalam dunia nyata, baik pada zaman cerita tersebut dituliskan ataupun
pembaca pada saat ini. Pembaca historis disebut juga pembaca aktual.
Pada bagian lain terdapat pembaca imajiner (pembaca terselubung, pembaca
tersirat atau implied reader),
yaitu pembaca yang dibayangkan dan disapa author ketika menuliskan
ceritanya. Dengan demikian, narator akan bercerita kepada pembaca
imajiner yang hidup dalam dunia cerita. Narator dan pembaca imajiner
tidak dapat bercerita kepada pembaca historis, karena mereka hanya hidup
dalam dunia cerita. Oleh karena itu, author dan narator harus ada kerja
sama. Author juga memperhatikan persamaan dunia nyata dengan dunia
cerita. Sedangkan pembaca harus memperhatikan perbedaan dunia nyata-nya
dengan dunia cerita.[100]
Sehubungan
dengan perbedaan dunia nyata dengan dunia cerita tersebut, ada tiga hal
yang perlu diperhatikan. Pertama, apa yang dilihat dan dipahami tidak
dapat disamakan atau diaplikasikan ke dalam dunia nyata. Kedua, dunia
nyata pembaca (konteks budayanya) ikut mempengaruhinya dalam memasuki
dunia cerita. Karena dunia nyata pembaca adalah historisnya sendiri yang
akan mempengaruhinya memasuki dunia cerita. Pemahaman ini mutlak,
karena cerita akan bergerak dalam zaman yang berbeda. Bahkan diantara
pembaca yang sezamanpun, pemahamannya terhadap suatu cerita akan
berbeda. Ketiga, khususnya dalam dalam memahami cerita dalam Alkitab,
cerita dan dunianya bersifat teologis. Dengan demikian, bahasa yang
digunakan juga akan berbau teologis yang kerap kali menggunakan simbolik
dan metafora. Hal tersebut perlu diperhatikan, karena makna teologis
belum tentu nampak dalam suatu bahasa yang diungkapkan dalam bentuk
bahasa simbolik dan metafora.
Dengan
pemahaman seperti dijelaskan diatas, maka aspek referensial cerita
tersebut akan mudah dikaji. Dalam menulis cerita, kemungkinan besar
author dipengaruhi oleh konteks lingkungannya. Pengaruh tersebut dapat
berupa cerita-cerita di luar teks yang mempunyai kemiripan dengan cerita
dalam Alkitab. Hal tersebut wajar terjadi, karena melalui cerita dari
luar tersebut (yang sudah dekat dengan masyarakat) akan membantunya
menyampaikan pesan dalam cerita. Oleh karena itu dalam meneliti kisah
Yusuf dalam kitab Kejadian dibutuhkan perbandingan terhadap
cerita-cerita lain yang mempunyai kesamaan isi dan bentukya. Dalam hal
ini, cerita Yusuf banyak dipengaruhi tradisi Timur Tengah Kuno, sehingga dibutuhkan perbandingan terhadap cerita di negeri tersebut.
3.4. Kelebihan dan Kelemahan Pendekatan Naratif
Kelebihan:
- Proses penafsiran akan semakin mudah, karena tidak terfokus lagi kepada historis didalam ataupun di luar teks tersebut. Namun hanya meneliti pesan teologis yang dimuat melalui teks dengan bentuk sastra narasi.
Kelemahan:
- Kemungkinan penafsir akan kesulitan untuk masuk ke dalam teks. Hal tersebut sangat mungkin terjadi karena narasi dalam Alkitab ditulis dalam waktu dan budaya yang sangat berbeda dengan penafsir ataupun pembaca.
- Kemungkinan terdapat istilah ataupun kata dan simbol yang sulit di mengerti maknanya. Karena kata, simbol tersebut bisa saja sama dengan apa yang dikenal dan dipahami penafsir ataupun pembaca, namun memiliki makna yang berlainan.
3.5. Persoalan Pendekatan Naratif terhadap Kitab Kejadian
Kitab
Kejadian yang dilatarbelakangi oleh tradisi tertentu, dan juga tradisi
author hal tersebut menjadi suatu masalah dalam hermeneutis. Tradisi
kuno tersebut harus diterjemahkan kembali dalam sejarah penafsiran yang
panjang dan terdiri dari beberapa warna kebudayaan. Salah satu budaya
tersebut layak dibahas pada bagian ini, yaitu jenis sastra kitab
Kejadian. Jenis sastra kitab Kejadian disebut “saga”. Saga merupakan
produk individu (author) membutuhkan diskusi yang panjang. Salah satu
permasalahan dalam bentuk tersebut adalah tentang konsep “saga” itu
sendiri. Apakah saga itu hanya sebagai sejarah belaka (historie) atau mengabaikan sejarah dan mengutamakan geschichte?
H. Gunkel seperti yang dikutip von Rad
mengatakan bahwa, narasi kitab Kejadian memiliki suatu kharisma.
Beberapa kisah lain Israel kuno sering digambarkan sebagai puisi dan
cerita kiasan. Ada juga cerita yang dipahami sebagai “saga” yang erat
kaitannya dengan tradisi yang berkembang saat itu. Namun semua hal
tersebut tidak memiliki kharisma seperti yang terkandung dalam saga
Kejadian.[101] Selanjutnya von Rad memberi pemahaman terhadap saga jika diperhadapkan dengan konteksnya pada saat itu.
Menurutnya,
saga lebih mengandung hal yang berkenaan dengan arti historis. Oleh
karena itu terkandung suatu keraguan didalamnya karena saga merupakan
produk syair fantasi yang
berlangsung lama dalam tradisi. Jadi, sebagai kandungan sejarah, sangat
mungkin terjadi ketidakpahaman terhadap materi cerita tersebut jika
dipahami dalam budaya yang berlainan. Oleh karena itu, memahami kitab
Kejadian, tidak boleh memisahkan antara historie dengan geschichte. Karena dalam narasi tersebut terkandung kebenaran sejarah (historie) dan juga mengandung geschichte (sejarah iman).
Walaupun dalam cerita tersebut terkandung kata-kata yang mencerminkan
saga, misalnya: karena itu, selanjutnya, mari kita lihat, bukan berarti
hal tersebut mengatakan bahwa kitab Kejadian adalah hanyalah saga
semata.[102]
B A B IV
P E M B A H A S A N
Dalam
bagian pembahasan, penulis menitikberatkan perhatian terhadap cerita
Yusuf dalam pasal 45. Seperti disebutkan sebelumnya, pasal tersebut
merupakan akhir cerita Yusuf yang sebenarnya, karena di dalamnya
terdapat penyingkapan terhadap segala permasalahan yang dimunculkan pada
pasal sebelumnya. Bagian awal pembahasan ini penulis akan memaparkan
beberapa permasalahan kritis menyangkut teks tersebut. Hal tersebut
dimaksudkan untuk menolong penulis untuk menganalisis teks tersebut
dengan pendekatan naratif. Penulis akan melakukan analisa dengan
menelusuri aspek-aspek dalam teks tersebut, yaitu aspek struktur,
penciptaan, pragmatis, referensial dan pesan teologis pada bagian akhir.
Dengan demikian, akan ditemukan suatu refleksi teologis yang aktual
dalam kehidupan saat ini.
4.1. Permasalahan Kritis
Kejadian
45 tidak berdiri sendiri, meskipun perikop/pasal yang dibahas penulis
memiliki teologinya sendiri. Pasal tersebut tidak terlepas dari bagian
yang lebih besar. Pertama sekali, cerita tersebut terdapat dalam kitab
Pentateukh. Kemudian dalam ruang lingkup yang lebih kecil lagi, pasal
tersebut adalah bagian dari kitab Kejadian. Selanjutnya, pasal tersebut
juga tidak terlepas dari satu bagian cerita tunggal yang utuh, yaitu
Kisah Yusuf (Kej. 37-45).
4.1.1. Memahami kitab Kejadian secara Kanonik
Kitab Kejadian termasuk dalam kelompok Thora, yaitu kanon[103] Ibrani bagian yang pertama. Kitab Kejadian disebut dengan “Genesis” (bhs Yunani). Dalam bahasa Ibrani disebut dengan Beresyit yang berarti “pada mulanya” yang merupakan kata pertama dalam kitab Kejadian dan kata permulaan untuk Alkitab.[104] Kitab Kejadian
mengisahkan penciptaan alam semesta, asal-usul umat manusia, pangkal
dosa dan penderitaan di dunia, serta bagaimana Tuhan berhubungan dengan
manusia. Oleh karena itu kitab Kejadian dapat dibagi ke dalam dua bagian penting:
1. Pasal 1-11, penciptaan alam semesta dan asal-usul umat manusia.
Bagian
pendahuluan (Kej. 1-11) merupakan pendahuluan bagi kitab Kejadian,
Pentateukh dan juga bagi Alkitab. Pemahaman kanon tersebut desebabkan
karena bagian ini menceritakan permulaan segala sesuatu. Isi secara
ringkas Kejadian 1-11 sebagai pendahuluan dapat disebutkan sebagai
berikut:
Pertama,
Tuhan pemilik mutlak alam semesta dan sejarahnya. Manusia diciptakan
sebagai mahluk yang paling tinggi yang memiliki akal budi untuk
menguasai ciptaan lainnya. Tuhan mengikat janji dengan manusia, untuk
keselamatan. Kedua, manusia sebagai ciptaan Tuhan ternyata menghianati
janji terhadap Tuhan dan akibat pelanggaran mereka tersebut. Ketiga,
menjelaskan permulaan sejarah sebelum pemanggilan Abraham sebagai bapa
leluhur bangsa Israel.
2. Pasal 12-50, asal-usul nenek moyang bangsa Israel
Dalam
bagian ini dkikisahkan nenek moyang Israel yang pertama yaitu Abraham.
Ia terkenal karena iman dan ketaatannya kepada Tuhan. Lalu menyusul
sejarah Ishak anak Abraham, dan Yakub anak Ishak (Yakub disebut juga
Israel). Kemudian sejarah kedua belas anak laki-laki Yakub. Merekalah
yang menjadi pendiri kedua belas suku Israel. Penulis kitab Kejadian
memberi perhatian khusus kepada salah seorang anak Yakub yang bernama
Yusuf dan peristiwa-peristiwa yang pada akhirnya menyebabkan Yakub
bersama anak-anaknya dan keluarga mereka masing-masing pindah ke Mesir.
Meskipun
kitab ini mengisahkan tentang orang-orang di zaman awal, namun yang
mendapat tekanan khusus ialah kisah tentang perbuatan-perbuatan Tuhan.
Kitab ini dimulai dengan penegasan bahwa Tuhan telah menciptakan alam
semesta, dan diakhiri dengan janji bahwa Tuhan akan tetap memperhatikan
umat-Nya. Yang memegang peranan utama di seluruh kitab ini adalah Tuhan
yang menghakimi dan menghukum barangsiapa yang berbuat salah. Namun, Dia
pula yang membimbing dan menolong umat-Nya serta membentuk sejarah
mereka. Kitab yang kuno ini ditulis untuk mencatat kisah tentang iman
suatu bangsa dan juga untuk membantu agar iman itu tetap hidup.
Isi secara garis besar kitab Kejadian diuraikan sebagai berikut:
- Penciptaan alam semesta dan manusia (1:1-2:25)
- Pangkal dosa dan penderitaan (3:1-24)
- Dari Adam sampai Nuh (4:1--5:32)
- Nuh dan banjir besar (6:1--10:32)
- Menara Babel (11:1-9)
- Dari Sem sampai Abram (11:10-32)
- Para Kepala Keluarga: Abraham, Ishak, Yakub (12:1--35:29)
- Keturunan Esau (36:1-43)
- Yusuf dan saudara-saudaranya (37:1--45:28)
- Orang Israel di Mesir (46:1--50:26)
Dalam
memahami kanon Kejadian, perlu dilihat dimensi dan fungsi dari kitab
itu sendiri pada awalnya. Yang jelas, kitab Kejadian sudah digunakan
sebagai tolok ukur dalam kehidupan iman dari generasi ke generasi sampai
pada zaman ini. Dengan demikian, dibutuhkan pemahaman geneanalogis[105]
dari cerita yang terdapat dalam kitab itu. Artinya, Kejadian dilihat
sebagai kitab yang mengisahkan perjalanan sejarah generasi umat manusia.
Dalam perjalanan sejarah tersebut terkandung iman setiap generasi
dimana Tuhan senantiasa menampakkan diri. Pada sisi lain, Kejadian
dilihat sebagai suatu narasi yang mengisahkan generasi manusia secara
antropologis. Dengan demikian, terdapat dua hal yang perlu mendapat
perhatian, yaitu generasi iman dan generasi dalam arti keturunan.
Pemahaman ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana proses terjadinya
pembentukan bangsa Israel sebagai “umat pilihan.”
Kitab
Kejadian juga mengandung janji. Sehingga dibutuhkan pemahaman kanonik
terhadap janji tersebut. Janji yang diberikan Tuhan dalam kitab Kejadian
bersifat individual dan kolektif, yaitu pemberian tanah, keturunan dan
berkat yang akan diterima para Patriarkh. Dengan demikian, kisah
pemberian janji kepada para Patriarkh tersebut hanyalah sebagai catatan
historis saja. Namun fungsi teologisnya tetap hidup hingga zaman ini dan
tetap berlaku hingga sampai akhir zaman. Pemahaman janji tersebut
bersifat eskatologis dan konteksnya diperluas. Janji kepada individu
menjadi janji kepada orang banyak/keturunan di sepanjang zaman.
Kisah
Yusuf juga dipahami sebagai proses kesinambungan janji tersebut dalam
rangka pembentukan bangsa Israel sebagai umat pilihan. Pemanggilan bapa
leluhur merupakan jawaban terhadap persoalan-persoalan manusia dan dunia
yang telah berdosa. Dengan demikian, kisah Yusuf bukanlah sekadar
cerita kuno saja, namun kehadiaran kisah Yusuf dalam Alkitab merupakan
bagian penting dari bentangan sejarah keselamatan manusia dalam rangka
pembentukan umat pilihan. Seandainya kisah tentang Yusuf tidak dimuat
dalam Alkitab, maka sejarah keselamatan akan terputus hingga pada masa
Patriarkh saja.
4.1.2. Kitab Kejadian sebagai bagian dari Hexateukh?
Menurut Gerhard von Rad,[106] kitab
Kejadian bukanlah kitab yang independen (berdiri sendiri). Kitab
Kejadian tidak dapat ditafsirkan secara tunggal, namun harus
memperhatikan kaitannya dengan kitab yang lain. Kitab Kejadian sampai
dengan kitab Yosua dibentuk sebagi suatu cerita yang mempunyai satu
hubungan cerita (Hexateukh). Walaupun tiap bagian dari setiap kitab
Hexateukh tersebut berasal dari sumber yang berbeda-beda, namun terdapat
satu individu yang tunggal yang bekerja dibalik kitab itu. Sehingga dapat kitab tersebut seperti dapat dipahami dalam bentuk yang terima
sekarang. Individu tersebut adalah redaktor. Dengan demikian, para
pembaca kitab Kejadian harus terlebih dahulu mengerti apa maksud dan
tujuan redaktor meredaksi kitab dengan bentuk akhir tersebut.
Dengan
pemahaman tersebut, kitab Hexateukh harus dimengerti dari kisah
penciptaan sampai keduabelas suku Israel di Mesir sampai memasuki tanah
Kanaan. Oleh karena itu, cerita Yusuf merupakan jemabatan penghubung
ataupun bagian pendahuluan terhadap cerita orang Israel yang telah
berada di Mesir (Kel. 1). Seandainya cerita Yusuf tidak ditambahkan
dalam kitab Kejadian, maka bagaimana proses masuknya keluarga Israel di
Mesir tidak akan diketahui. Oleh karena itu, cerita tentang Yusuf
menjadi sangat penting dalam memahami Hexateukh.
Hexateukh
dibungkus dengan suatu teologia, yang didalamnya juga terdapat
teologia-teologia dari setiap kitab. Teologia-teologia tersebut dalam
rangka membangun suatu teologia Hexateukh dan semuanya itu adalah
perkerjaan dari redaktor, ketika merumuskan suatu teologi dalam rangka
menjawab pergumulan umat pada saat itu. Menurut von Rad seperti dikutip John Barton[107],
teologia yang dibangun dengan struktur Hexateukh adalah bahwa inti
sejarah yang panjang tersebut adalah sejarah keselamatan umat pilihan
oleh Tuhan.
Tema
besar dari Hexateukh adalah Tuhan sebagai pencipta dunia; pemanggilan
bapa leluhur dan Yusuf yang disertai dengan pemberian janji kepada
mereka. Ketika Israel berada di Mesir, Tuhan memimpin mereka dari
perbudakan dengan kasihNya, kemudian setelah mereka dipimpin Tuhan
melalui Yosua, mereka dianugerehkan tanah perjanjian. Dengan pemahaman
yang demikian maka, akan ditemukan
konsep teologi yang menjadi tema dasar Hexateukh yaitu pembentangan
sejarah janji keselamatan dari Tuhan. Namun, jika setiap kitab dipahami
secara terpisah, apalagi dari sudut pandang literatur sejarah, maka
kemungkinan konsep (tema dasar) tersebut tidak akan ditemukan. Terlebih
jika kisah Yusuf dipahami secara terpisah dengan bagian yang lain dalam
Kejadian. (bnd. dengan pendapat M. Noth).[108]
Menurut George W. Coats,[109] struktur
dari Hexateukh dan juga struktur Pentateuch memiliki susunan dengan
waktu yang kontradiksi. Teologia menyarankan bahwa narasi tidak berhenti
sampai kisah Musa saja tetapi berlanjut ke kisah tradisi Yosua. Namun
kesatuan strukturnya menjadi permasalahan. Permasalahan tersebut bukan
hanya menyangkut bagaimanakah memahami struktur Pentateukh dan juga
struktur Hexateukh. Namun hal yang lebih membutuhkan perhatian lagi
adalah apakah kesinambungan antara saga Musa dengan tradisi yang
terdapat pada zaman Yosua?
Kunci untuk memahami Hexateukh terletak pada teks yang memaparkan bahwa semua cerita (saga)
hexateuh adalah di bawah kuasa Tuhan yang Maha Kuasa. Kuasa Tuhan
tersebut dapat dipahami dalam tindakan-Nya yang memulai tradisi ketika
penciptaan. Pada bagian yang lain, bahwa Tuhan juga yang memilih serta
menetapkan Patriarkh untuk menetapkan janji kepada manusia sebagai
saluran berkat dan memberikan tanah perjanjian bagi mereka. Selanjutnya,
Tuhan juga dengan kuasa-Nya membebaskan serta memimpin umat itu dari
Mesir menuju tanah perjanjian, yaitu tanah Kanaan. Tuhan hadir dalam
setiap gerak perjalanan mereka.
Dengan
demikian, pemeliharaan dan kuasa Tuhan atas perjalanan tradisi umat
manusia tersebutlah yang mengikat kitab Hexateukh, tanpa
mempertentangkan struktur ataupun tradisi yang terkandung di dalamnya.
Karena biarpun itu menjadi bahan pertimbangan dalam Hexateukh, tidak
akan terjadi titik temu, karena memang keduanya (Pentateukh dan Yosua)
ditulis dalam waktu dan tradisi yang berlainan.[110]
Ada
kemungkinan Melihat dan memahami Kejadian sebagai bagian dari Hexateukh
seperti diungkapkan von Rad dan Coats. Karena susunan daftar setiap
kitab dalam Alkitab bukanlah ditata begitu saja. Urutan tersebut juga
tidak melulu didasarkan atas tua-mudanya sebuah kitab. Kesinambungan
antara kisah dalam Pentateukh dengan kitab Yosua dirancang untuk suatu
maksud tertentu. Buktinya, kitab Yosua juga banyak dipengaruhi Y,E,D dan
P, yang juga melatarbelakangi Pentateukh. Bagian pertama, Yosua pasal
1-12 hampir semuanya ditulis Y, E, D. Bagian kedua, pasal 13-24 adalah
karya P. Bagian pertama diyakini berasal dari zaman purba seperti halnya
Pentateukh. Jadi besar kemungkinan kitab tersebut mempunyai kesatuan
dengan Pentateukh.
Dengan
demikian, terdapat kemungkinan melihat Hexateukh dari sisi kanon.
Penyusunan kitab dengan urutan yang demikian tentunya mempunyai maksud
teologis tersendiri. Teks dalam Alkitab dibangun dari berbagai latar
belakang tradisi dan budaya. Memang tidak salah jika menguraikan
kemabali latar belakang tersebut. Namun menurut penulis, penafsir saat
ini berhadapan dengan Alkitab yang telah utuh. Oleh karena itu
penafsiran kanonis akan lebih tepat tanpa berlama-lama menitikberatkan
perhatian terhadap faktor-faktor yang berkaitan dengan latar belakang
munculnya teks tersebut.[111]
Dengan demikian, Alkitab akan dipahami sebagai suatu kesatuan yang
utuh, tanpa menggugat setiap tema teologis yang terdapat dalam setiap
kitab. Alkitab juga merupakan satu kitab dengan kesatuan yang utuh yang
tidak bertentangan satu kitab dengan kitab yang lainnya.
4.1.3. Masalah Teologi Yahwist
Selanjutnya
satu pertanyaan harus dimengerti dan dijawab dari pekerjaan Yahwist.
Sebuah bagian besar yang berhubungan dengan kultus merupakan hasil karya
Yahwsit. Materi, bentuk dan juga dalam hubungannya dengan alam yang
dipraktekkan dalam kultus, terdapat dalam waktu yang panjang pada masa
Yahwist. Namun sekarang kultus tersebut diorientasikan pada saat ini
dalam bentuk yang berbeda dengan yang aslinya (produk Yahwist). Hal
tersebut berkaitan dengan bentuk dan materialnya. Selanjutnya,
terjadilah kehilangan kultus (cult-less). Yang menjadi pertanyaan
sekarang adalah bagaimanapun pertumbuhan tersebut adalah merupakan
proses sekularisasi atau kehilangan komponen kultus dengan munculmya
kultus baru. Dengan demikian, teologi Yahwist akan bergeser dari makna
yang sebenarnya.[112]
Pada
bagian lain, tidak tepat juga jika menanyakan bagimanakah peran serta
Tuhan ketika Yahwist bekerja? Israel kuno memahami bahwa Tuhan selalu
bersama mereka ketika melakukan berbagai kegiatan seperti dalam kultus,
perang dan dalam pengembaraan. Dalam pengalaman perjalanan hidupnya,
orang Israel memperoleh anugerah dari Tuhan. Ketika mereka berperang,
penyertaan Tuhan kepada pemimpin mereka, bahkan peran serta Tuhan dalam
mengalahkan musuh mereka. Hal tersebut juga dapat dilihat ketika pada
masa nenek moyang Israel hidup di negeri orang (seperti Yakub dan
Yusuf). Tuhan selalu berkuasa atas mereka. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa Yahwist bukanlah bermaksud memaparkan suatu cerita
historis belaka, namun ingin mengungkapkan dan menyatakan penyertaan
Tuhan bagi umatNya dalam perjalanan kehidupan mereka. Tuhanlah yang
berkarya atas diri mereka dalam segala bidang kehidupan, ekonomi,
politik budaya maupun agama mereka.[113]
.
4.1.4. Latar Belakang Sejarah Cerita Yusuf
Cerita
Yusuf diperkirakan muncul pada masa kerajaan Mesir yang dipimpin oleh
Firaun. Terdapat beberapa nama dalam negeri Mesir yang memiliki
kemiripan dengan tokoh-tokoh yang diceritakan dalam cerita Yusuf. Dalam
cerita Yusuf, diberitakan istri Potifar yang berusaha mendapat perhatian
dari Yusuf. Hal yang sama juga terjadi pada Asenath putri imam On[114]
(41:45) yang dinikahkan Firaun dengan Yusuf. Hal ini mengindikasikan
bahwa cerita Yusuf muncul pada saat itu. Tidak tertutup juga kemungkinan
bahwa telah ada orang-orang Ibrani yang bertempat tinggal di Mesir pada
saat itu, bukanlah hanya Yusuf saja.
Nama
tempat yang disebutkan dalam cerita Yusuf juga mengindikasikan bahwa
orang-orang Ibrani sudah ada yang berdiam di Mesir pada masa Yusuf.
Dalam Alkitab diceritakan bahwaYusuf menyarankan saudaranya beserta
ayahnya untuk tinggal di Goshen. Sementara daerah tersebut adalah daerah
kekuasaan Ramses. Kisah kekuasaan Ramses kemungkinan adalah pada
dinasti ke-19 dan sesudahnya. Oleh karena itu, sudah terlalu lama untuk
cerita Yusuf jika muncul pada saat itu. Dengan demikian, nama tokoh dan
tempat tersebut adalah karya redaktor.
Kemudian Hyksos
menyerang Mesir, dan menaklukkannya. Para sarjana lebih dominan
beranggapan, kemungkinan masa ini banyak mempengaruhi cerita Yusuf.
Ketika Hyksos berkuasa,
kerajaan tersebut tidak menekankan suatu kepercayaan sebagai dasar
negara. Jadi, sangat mungkin munculnya pengajaran-pengajaran dari para
sastrawan dan dipublikasikan dalam kehidupan masyarakat. Pada saat
itulah, kisah tentang seorang yang berhikmat dan saleh yang bernama
Yusuf muncul.[115]
Ada dua peristiwa yang penting dijelaskan. Pertama, Firaun memberikan putri imam On, untuk dijadikan istri Yusuf. Pada bagian lain, kita mengetahui dari data di Mesir bahwa Hyksos
menyembah dan memuja Set, dan Ra, dan dewa Matahari yang merupakan
kepala dari kuil di Mesir dan berada di On. Dengan demikian, jika
orang-orang Ibrani turun ke Mesir selama periode kerajaan Hyksos, kemungkinan besar penaggalan cerita Yusuf adalah sekitar pertengahan abad ke-17 sM.[116] Selanjutnya, walaupun kerajaan Hyksos
tidak disinggung dalam cerita Yusuf, kita menyimpulkan bahwa hal
tersebut merupakan perkerjaan redaktor, yang sepertinya lebih menyukai
Yahwis yang merupakan sumber cerita terkenal di dunia timur saat itu.
Sumber tersebut banyak menyediakan cerita historis yang berkenaan dengan
latar belakang orang-orang Ibrani seperti yang ditemukan di Mesir.
Kedua,
berkaitan dengan jumlah ataupun keterangan keberadan masuknya orang
Ibrani ke Mesir pada periode tersebut. Anggapan umum, peristiwa tersebut
terjadi ketika Yakub dan anggota keluarganya hijrah ke Mesir karena
terjadi bahaya kelaparan di Kanaan. Pada bagian ini, kita bermasalah
dengan jumlah. Disebutkan dalam Kej 46:7 seluruh keluarga Yakub
berangkat ke Mesir, namun dalam Kel. 1:5 disebutkan bahwa mereka hanya
berjumlah 70 jiwa. Dalam saga Abraham dan Yakub diceritakan bahwa jika
mengadakan hijrah bukanlah individual, namun berdasarkan klan atau suku.
Jika dibandingkan dengan keberadaan mereka (mulai dari Abraham dan
keluarganya) yang sudah tinggal di Kanaan sekitar 200 tahun, maka jumlah
tersebut adalah sangat kecil sekali.
Berdasarkan
keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebelum mereka berangkat ke
Mesir, para orang-orang Ibrani sudah ada di sana. Mereka juga tidak
semuanya berangkat. Kemungkinan narator jumlah tersebut, merupakan
teleskop/dipengaruhi satu cerita lain yaitu tentang masuknya suku
Semitic ke Mesir.[117]
4.1.5. Konteks Penulisan Cerita Yusuf
Seperti
disebutkan sebelumnya bahwa cerita Yusuf banyak dipengaruhi oleh cerita
kuno di Mesir. Kemungkinan besar cerita tersebut digubah ulang oleh
penulis kitab Kejadian. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah siapakah
penulis kitab tersebut? Namun seperti yang telah diungkapkan penulis
pada bagian terdahulu bahwa kitab Kejadian diyakini dikonstruksi dari 4
sumber (Y,P,E,D). Dengan demikian, untuk mengetahui konteks peulisan
kitab Kejadian, pengkajian terhadap keempat sumber tersebut akan dapat
menolong. Secara khusus pasal 45 yang dibahas penulis dibangun oleh
sumber Y dan E. Oleh karena itu, penulis hanya membahas konteks historis
kedua sumber tersebut dan pada bagian akhir, penulis akan membahas
konteks historis pada saat peredaksian kitab Kejadian itu sendiri.
a. Cerita Yusuf menurut Yahwist
Pada masa Yahwist; Ditulis
di Yehuda pada masa pemerintahan Daud sekitar abad ke-9 sampai abad
ke-8 sM. Dari segi sosial politik, pemerintahan Daud pada masa ini
berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan mengawini anggota keluarga
bangsa lain yang berkuasa dan kaya.[118]
Dalam bidang ekonomi, kerajaan Daud dapat dikatakan makmur karena
banyak mendapatkan bahan makanan, bahkan ia menjadi tuan tanah yang kaya
dari hasil perkawinannya. Dari segi kultus, Abyatar dari kaum Eli membangun
kembali sisa-sisa kultusnya di Silo. Mereka mengenal Yahweh, sebagai
Tuhan yang selalu melindungi mereka dari serangan bangsa asing.[119]
Pada masa inilah muncul penulis Yahwis yang menyusun sejarah permulaan
penciptaan dan asal usul bangsa Israel hingga pemanggilan mereka menjadi
bangsan pilihan Tuhan.[120]
Penulis Yahwis sangat ahli dalam menyusun historis ke duabelas suku
Israel. Hal ini dimaksudkan untuk membangun persatuan dalam kerajaan
Daud. Sejarah tersebut ditata sedemikian apiknya dengan
mengarahkan cerita bahwa semua musuh bangsa Israel luput terhadap
mereka. Penulis Yahwis menempatkan “musuh nasional” bangsa Israel
sepanjang sejarah yaitu bangsa Mesir. Hal ini sangat mungkin, karena
musuh utama Israel pada masa Daud adalah bangsa Mesir.
b. Cerita Yusuf menurut Elohist
Pada masa Elohist;
lahir di kerajaan utara (Israel) tahun 800-700 sM. Pada saat itu
sinkritisme baalistis melanda kehidupan Israel sehingga timbul gerakan
nabi yang menentang pola kehidupan bangsa Israel yang terutama
dikemundangkan oleh nabi Elia dan Elisa. Hal itu disebabkan oleh
kesuburan daerah tersebut yang memungkinkan pengembangan pertanian.
Dengan kondisi yang demikian, Israel terbuka dengan pengaruh luar yang
mempunyai kepercayaan lain. Pada saat ini Israel dipimpin oleh Yerobeam
yang memisahkan diri dari Yehuda. Dalam bidang kultus, Yerobeam
memperbaharui kuil-kuil di Betel dan Dan. Pemugaran kuil ini dimaksudkan
untuk mendapat dukungan dari para imam dan juga untuk menghimpun
kekuatan, karena umat Israel akan beribadah ke tempat tersebut. Yahweh
yang mereka sembah mendapat pengaruh dari bangsa asing yang mengenal
Tuhan El. Sehingga nama Yahweh sering disebut dengan El.[121]
Kemungkinan
Yerobeam pernah membaca teks Yahwis yang telah terdokumen sebelumnya,
yang menceritakan pengalaman para patriarkh dan masa Keluaran, serta
pengalaman Yusuf di Istana Mesir. Artinya, Yerobeam mengadopsi cerita
Yahwist yang menceritakan kemenangan Israel. Kemudian, terjadi
perubahan-perubahan dalam menceritakan kembali teks tersebut seperti
penyebutan nama Tuhan dengan Elohim, yang kemudian dikenal sebagai E
(sumber Elohist).[122]
Pentateukh diredaksi sekitar abad ke-4 sM. Peredaksian[123]
tersebut dimulai sekitar tahun 650 BC dan diakhiri tahun 400 BC. Umat
Yahudi menerimanya sebagai kitab edisi defenitiv dari hukum Musa.[124]
Dengan demikian, diperlukan analisis konteks historis pada saat
peredaksian tersebut. Setelah bangsa Israel kembali dari pembuangan,
mereka menemukan Yerusalem yang telah hancur. Para pemimpin Israel
seperti Darius I berusaha membangun kembali bait suci. Namun terjadi
kegagalan disebabkan masalah ekonomi. Pada masa inilah muncul Hagai dan
Zakaria yang menyerukan bahwa keberhasilan pembangunan bait sudi
berkaitan dengan ketaatan bangsa itu sendiri kepada hukum Tuhan. Jika
mereka taat, Tuhanpun akan memberkati ekonomi mereka dan pembangunan
akan berjalan baik.[125]
Pentateukh mendapat bentuk terakhir seperti yang
ada sekarang sebenarnya sudah terjadi pada masa pembuangan Babel dan
sesudahnya. Jadi, peredaksian kitab itu bukanlah di negeri Palestina,
namun di Babel. Pentateukh yang sudah rampung tersebut dibawa ke
Palestina. Memang ada kaitannya ketika Ezra dan Nehemia kembali ke
Yerusalem setelah mereka mendengar kegagalan pembangunan bait suci. Pada
saat itu Ezra membawa hukum Musa. Namun tidak ada kepastian bahwa kitab
yang dibawanya tersebut adalah Pentateukh atau hukum versi lain. Dengan
demikian, untuk memberikan motivasi terhadap pembangunan kembali
Yerusalem, para imam melakukan tafsir terhadap kitab Pentateukh.
Hukum-hukum keimaman dipelihara dengan baik. Kekudusan umat Israel
sangat menentukan keberhasilan pembangunan. Kemungkinan besar, pada masa
inilah Pentateukh menjadi kitab utama yang telah mempunyai bentuk
akhir.[126]
Secara
teologis, predaksian kitab Kejadian bertujuan menceritakan bagaimana
dan mengapa Yahweh berkenan untuk memilih keluarga Abraham dan
mengadakan perjanjian dengan mereka. Perjanjian ini merupakan dasar
teologis bagi umat Israel.[127] Dengan demikian, terdapat beberapa aspek yang berkaitan dengan tujuan peredaksian kitab tersebut, yaitu: Pertama,
kitab Kejadian menyediakan perkenalan yang tepat dengan Yahweh, Tuhan
umat Israel. Dalam kitab Kejadian ditemukan pemaparan bahwa Yahwe adalah
Tuhan tunggal (monotheisme) pencipta Yang Maha Kuasa yang senantiasa
memelihara perjalanan umat-Nya dalam bentangan sejarah (termasuk
pembangunan Yerusalem kembali). Aspek kedua menyangkut peranan orang-orang yang diciptakan Yahwe tersebut. Manusia diciptakan menurut gambar Tuhan.[128]
Dalam “gambar” terkandung tanggung jawab dari manusia itu sendiri,
yaitu menjaga kekudusan di hadapan Tuhan. Pada aspek lain, kitab
Kejadian mau menjelaskan bagaimana orang Israel sampai terorganisasi
menjadi suatu bangsa dalam sejarah. Redaktor mau menekankan bahwa Tuhan
sendirilah yang akan membentuk kembali bangsa Israel menjadi bangsa
dalam pembangunan Yerusalem yang telah hancur sekalipun.[129]
4.1.6. Posisi Narasi Yusuf dalam Kitab Kejadian
Sebagaimana
telah diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa cerita Yusuf merupakan
bagian akhir dari kitab Kejadian. Kisah Yusuf merupakan bagian dari
kitab Kejadian dengan pasal yang lebih banyak. Tentu saja hal tersebut
bukanlah kebetulan saja. Narasi tentang Yusuf adalah karya J, E, dan P.
Namun P hanyalah beberapa bagian saja. Hal ini tidak diragukan lagi,
karena narasi tentang Yusuf menceritakan seorang tokoh yang hidup dalam
sebuah zaman. Berdasarkan isinya, narasi Yusuf dibedakan dengan kisah
yang mendahuluinya. Etiologi nama, kebiasaan serta refleksi eponymic
sejarah Israel dan praktek-praktek kultus ditampilkan sangat berbeda.
Bagian-bagian tersebut ditata sedemikian rupa hanya dengan seorang
tokoh. Digambarkan juga kepatuhan Yusuf ketika dia berada di negeri
asing.[130] Tidak ada dasar pembentukan cerita itu sebelumnya, namun cerita tersebut sengaja diciptakan sebagai pengajaran hikmat.
Untuk
memahami posisi teks cerita tentang Yusuf, penulis akan menggambarkan
struktur pemberitaan kitab Kejadian, sebagai berikut:
A. Pemberitaan permulaan zaman
- Penciptaan dunia (Kej. 1:1-2)
- 6 hari penciptaan dunia (Kej. 1:3-2:3)
- Penciptaan manusia (Kej. 2)
- Kejatuhan manusia ke dalam dosa (Kej. 3)
- Kehancuran dunia/kejahatan-kejahatan (Kej. 4-5)
- Pemberitaan Nuh (Kej. 6)
- Air bah (Kej. 7-8)
- Bumi yang baru (Kej. 9)
- Tuhan dan bangsa (Kej. 10-11)
B. Pemberitaan tentang pemilihan Patriarkh
- pemanggilan Abraham (Kej. 12-13)
- Perjanjian Abraham (Kej. 14-17)
- Sodom dan Gumora (Kej. 18-20)
- Anak perjanjian (Kej. 21-23)
- Ishak dan Rebekka (Kej. 24-26)
- Yakub dan Esau (Kej. 27-28)
- Yakub dan Laban (Kej. 29-31)
- Yakub di Kanaan (Kej. 32-35)
C. Pemberitaan tentang cerita Yusuf
- Pencobaan terhadap Yusuf (Kej. 37-39)
- Kemuliaan Yusuf di Mesir (Kej. 40-41)
- Yusuf dan saudaranya (Kej. 42-45)
- Israel di Mesir (Kej. 46-50)
Dengan
memperhatikan struktur kitab Kejadian di atas, posisi kisah Yusuf
ditempatkan setelah pemberitaan kisah Yakub. Kisah pemberitaan Yakub
merupakan rangkaian cerita Patriarkh yang merupakan proses pemilihan
bangsa Israel menjadi umat pilihan dalam ruang lingkup janji. Namun
Kisah tentang Yusuf sangat berbeda dengan kisah Patriarkh jika dikaji
dari gaya bahasa dan isinya. Literaturnya telah dikenal dekat sebagai
narasi pengajaran hikmat di Mesir. Kisah tersebut juga lebih panjang
daripada kisah Patriarkh dan disimpulkan bahwa narasi Yusuf adalah
berdiri sendiri.[131]
Oleh
karena itu, fungsi narasi Yusuf adalah sebagai jemabatan cerita
Patriarkh yang telah berhenti pada pasal 36. Dengan hadirnya cerita
Yusuf, maka proses terjadinya migrasi Patriarkh ke Mesir menjadi semakin
nyata. Pada bagian lain, penempatan cerita Yusuf tersebut merupakan
rangkaian kesinambungan janji. Janji Tuhan kepada para Patriarkh
mengikat kesatuan kitab Kejadian yang di dalamnya terdapat kisah Yusuf.
Dengan demikian, Narasi Yusuf mempunyai hubungan dengan narasi
sebelumnya dalam kerangka sejarah keselamatan. Kehadiaran narasi
tersebut merupakan rencana Tuhan dalam sejarah keselamatan umat
pilihan-Nya yang dibungkus dalam “janji”. Tuhan yang sama juga telah
berkarya pada masa Patriarkh, dan juga pada masa Yusuf.
Pasal 38 dan 49 yang merupakan bagian tambahan dari redaktor.[132] Kehadiran kedua pasal tersebut, redaktor mau memperjelas kesinambungan tersebut melalui keterangan geneanalogis Patriarkh.[133]
Pasal 38 dan 49, diyakini sebagai tambahan dari redaktor karena kedua
pasal tersebut sama sekali tidak berhubungan dengan narasi Yusuf. Pasal
38 berlatarbelakang kesukuan yang bersifat atieologi.[134] Narasi
dalam pasal ini berasal dari Y, yang ditempatkan dibelakang pasal 37
yang menceritakan hilangnya Yusuf akibat perlakuan saudaranya.
Kemungkinan penempatan pasal tersebut bertujuan supaya pembaca sementara
waktu tidak mendengar kisah tentang Yusuf yang telah menghilang
sebelumnya.[135]
Posisi pasal 38 juga merupakan tambahan karena cerita tersebut tidak
memiliki sinkronisasi dengan cerita Yusuf. Hal itu adalah pekerjaan dari
redaktor. [136]
4.1.7. Posisi Teks dalam cerita Yusuf (Kej. 37-45)
Pasal
ini kemungkinan bagian akhir dari cerita Yusuf yang sesungguhnya. Semua
masalah yang diungkapkan dalam sebelumnya, diselesaikan dalam pasal ini
dengan satu rekonsiliasi yang happy ending.
Karakter literaturnya mengindikasikan bahwa cerita tersebut berhenti di
pasal ini. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana semuanya kisah itu
berakhir? Pertanyaan tersebut dijawab dalam pasal 46 ayat 1-5. Bagian
ini sudah merupakan kisah Patriarkh. Pengarang mengetengahkan penerimaan
Yusuf terhadap saudaranya yang berarti semua masalah telah terjawab.
Penekanan utama pengarang terletak pada posisi Tuhan sebagai perancang
semua peristiwa tersebut (the hidden Hand of God in preserving life Jacob’s family by Joseph’s agency).[137] Sehingga kehadiran pasal berikutnya mengisyaratkan bagaimana penyelesaian persoalan bahaya kelaparan keluarga Yakub.
Philosophy
cerita Yusuf dalam pasal 45 tersebut ditekankan dalam ayat 7 dan 8a.
Sumbernya adalah dari sumber Y. Ayat tersebut menekankan penjualan Yusuf
oleh saudaranya kepada orang suku Ismael di Mesir adalah atas rencana
Tuhan. Pasal ini juga mau menekankan penerimaan dan usaha Yusuf
menginsafkan saudaranya yang telah menjualnya dahulu. Dalam bagian yang
lebih luas lagi, pasal ini mau menekankan pembebasan manusia dari dosa
dan kesalahannya melalui penerimaan Yusuf. Artinya, Yusuf tidak menaruh
dendam atas segala tindak kejahatan saudaranya. Justru ia menyaksikan
ke-Maha Kuasaan Tuhan yang telah mengirimkannya demi keselamatan umat
manusia.[138]
Dengan
pasal 45, maka peran teologi cerita Yusuf dapat dipahami dengan baik.
Tuhan ditempatkan pengarang sebagai pihak yang mengukir sejarah serta
bertanggung jawab atas sejarah tersebut. Dengan penekanan seperti itu,
cerita Yusuf bukanlah hanya sebagai cerita hikmat semata, namun cerita
tersebut hendak menjelaskan Tuhan yang berbicara kepada umat-Nya. Pada
bagian lain, pasal 45 merupakan wadah yang menjelaskan perdamaian antara
Yusuf dengan saudaranya. Seandainya tanpa pasal ini, maka permusuhan
antara Yusuf dengan saudaranya tidak terselesaikan.
Struktur cerita Yusuf secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:
A. Pencobaan terhadap Yusuf (Kej. 37-39)
1. Yusuf dan saudaranya (37:1-36)
2. Yehuda dan Tamar (Kej. 38:1-30)
3. Yusuf dan dan istri Potifar (kej. 39:1-23)
B. Kemuliaan Yusuf di Mesir (Kej. 40-41)
- Mimpi juru minuman dan juru roti istana Firaun (Kej. 40: 1-23)
- Mimpi Firaun dan Pengangkatannya menjadi pejabat istana (Kej. 41:1-57)
C. Yusuf dan saudaranya (Kej. 42-45)
- Perjalanan pertama saudara Yusuf ke Mesir (Kej. 42: 1-38)
- Perjalanan kedua saudara Yusuf ke Mesir (Kej. 43: 1-34)
- Piala Yusuf yang hilang ditemukan (Kej. 44:1-34)
- Yusuf memperkenalkan dirinya kepada saudara-saudaranya (Kej. 45:1-28)
- Perjalanan Yakub dan keluarganya ke Mesir: pertemuannya dengan Yusuf (Kej. 46:1-30)
D. Israel di Mesir (Kej. 46-50)
- Daftar Anggota keluarga Yakub yang pindah ke Mesir (Kej. 46: 31-47:28)
- Akhir hidup Yakub (Kej. 47:29-48:22)
- Kata penghabisan dai Yakub kepada anak-anaknya dan kematiannya (Kej. 49:1a,28b-50:14)
- Yusuf menghiburkan hati saudara-saudaranya (Kej. 50:15-21)
- Epilog: Yusuf pada masa tua dan kematiannya (Kej. 50:22-26)
Jika
memperhatikan struktur di atas, pasal 45 tidak terlepas dari pasal
42-45. karena pasal 42 merupakan pendahuluan terhadap terjadinya
rekonsiliasi Yusuf dengan saudaranya pada pasal 45. Ketika terjadi
kelaparan di Kanaan, Yakub menyuruh anak-anaknya untuk membeli gandum ke
Mesir (pasal 42). Dalam pasal ini, diceritakan perjumpaan anak-anak
Yakub dengan penguasa Mesir (Yusuf). Hal tersebut merupakan perjumpaan
yang pertama. Yusuf mengetahui bahwa orang Kanaan yang mencari makanan
tersebut adalah saudaranya yang telah menjualnya. Pada peristiwa ini,
Yusuf ingin mengetahui kejujuran para saudaranya, sehingga ia meminta
saudaranya membawa Benjamin menghadap dia. Dalam hal ini terdapat
kekwatiran Yusuf terhadap kemungkinan Benjamin juga mendapat perlakuan
yang sama dengan dirinya oleh saudara-saudaranya. Karena Benjamin adalah
saudara satu ibu dengan dia.
Pasal
43 merupakan perjalanan saudara Yusuf ke Mesir untuk kedua kalinya.
Karena kelaparan semakin hebat di Kanaan, sehingga Yakub menyuruh
anaknya untuk membeli kembali gandum ke negeri Mesir. Mereka membawa
Benjamin seperti yang diminta Yusuf. Selanjutnya dalam pasal 44, Yusuf
ingin mengetahui rasa persaudaraan mereka terhadap adiknya Benjamin.
Yusuf menguji mereka dengan mengatakan Benjamin mencuri terhadap barang
di istana. Namum dalam pasal ini juga dijelaskan tanggung jawab Yehuda
sebagai anak sulung. Dia mempertanggungjawabkan tuduhan yang disampaikan
kepada adiknya Benjamin. Dengan peristiwa tersebut, Yusuf yakin bahwa
mereka mengasihi adiknya Benjamin.
Pada
bagian akhir pasal 45, menjelaskan Yusuf yang tidak dapat menahan
perasaannya lagi. Ia menyadari bahwa saudaranya telah berubah. Sehingga
dengan perasaan yang sangat dalam sambil menangis, dia mengungkapkan
dirinya yang sebenarnya. Bahwa dia adalah Yusuf saudara mereka. Dalam
hal ini juga terkandung pengakuan dan kesaksian iman Yusuf, bahwa
Tuhanlah yang mengirimkannya ke Mesir, untuk memelihara kehidupan
keluarganya. Dalam peristiwa itu juga, sangat terasa pekerjaan redaktor
yang menambahkan pengakuan Yusuf tersebut. Tentu saja hal tersebut susah
untuk dipercaya oleh saudaranya. Namun ketika dia memeluk saudaranya
dan menangis, saudara-saudaranya menyadari peristiwa tersebut.
4.2. Tafsiran
4.2.1. Aspek Struktur
Sesuai
dengan keterangan yang dijelaskan penulis diatas, maka pasal 45 tidak
terlepas dari satu bagian dalam cerita Yusuf, yaitu cerita tentang
“Yusuf dan saudaranya” (pasal 42-45). Pasal 42 dipahami secara
tersendiri dari pasal 43-45, karena settingnya
sudah berbeda. Pasal 42 menceritakan kisah ketika saudara Yusuf masih
di Kanaan. Sementara pasal 43-45 sudah menceritakan kisah Yusuf dan
saudaranya di Mesir. Dengan demikian, bagian yang lebih kecil lagi
adalah pasal 43-45 yaitu kisah yang terjadi di Mesir. Namun penulis
hanya menguraikan struktur pemberitaan pasal 45, karena struktur pasal
43 dan 44 secara umum telah diuraikan sebelumnya. Namun perlu
diperhatikan bahwa penafsiran terhadap pasal 45, tidak terlepas dari
pasal 43 dan 44.
Struktur pemberitaan pasal 45 adalah sebagai berikut:
a. Respon Yusuf (45:1-3a)
- petunjuk pembukaan (ay. 1a)
- pelaksanaan petunjuk
- pengungkapan/penyingkapan pribadi Yusuf (ay. 2-3a)
- motif: menagis (ay. 2)
- pidato pengungkapan/penyingkapan pribadi Yusuf (ay. 3a)
b. Respon saudara Yusuf (ay. 3b)
c. Pembaharuan pengungkapan diri Yusuf kembali (ay. 4-13)
- pidato pengungkapan/penyingkapan kembali pribadi Yusuf (ay.4)
- interpretasi teologis (ay. 5-8)
- petunjuk untuk kehidupan ke depan(ay. 9-13)
d. Cerita tentang perdamaian (ay. 14-150)
e. Kontribusi dari Firaun (ay. 16-24)
- laporan kepada Firaun (ay. 16)
- petunjuk dari Firaun (ay. 17-20)
- pelaksanaan petunjuk Firaun (ay. 21-24)
f. Kesimpulan: pemberitaan tentang Yusuf yang masih hidup kepada Yakub (ay. 25-28)
- perubahan/pergantian tempat tinggal (ay. 25)
- perkembangan kesimpulan (ay. 26-28)
- cerita tentang respon para saudara Yusuf terhadap Yakub (26-27).
- konfirmasi Yakub berkaitan dengan perjumpaannya dengan Yusuf (ay. 28)
Seperti
yang disebutkan penulis sebelumnya, bahwa memahami struktur pasal 45
tidak terlepas dari pasal 42-44. Oleh karena itu, akan lebih baik jika
digambarkan sekilas tentang peristiwa yang diterangkan narator pada
pasal tersebut. Dalam pasal 42 dijelaskan bahwa kelaparan telah melanda
bumi. Situasi tersebut sangat mengerikan dan banyak orang yang keparan.
Satu-satunya negeri yang mempunyai makanan adalah Mesir. Karena tangan
Tuhan selalu bersama Yusuf, maka bangsa itu telah diperingatkan
sebelumnya sehingga mereka dapat mempersiapkan diri dengan baik untuk
masa-masa kelaparan tersebut di bawah kepemimpinan Yusuf. Berita
kemakmuran Mesir sampai kepada Yakub dan anak-anaknya di Hebron,
sehingga ia menggagasi anaknya untuk pergi ke sana membeli makanan.
Yakub mengirim semua putranya terkecuali Benjamin anak bungsunya yang
tinggal bersama dia. Tentu saja mereka tidak pernah mendengarkan bahwa
Yusuflah yang menjadi penguasa di Mesir pada saat itu. Sebaliknya juga
bahwa Yusuf tidak pernah tahu keadaan keadaan ayahnya serta
saudara-saudaranya, karena mereka telah berpisah selama kurang lebih dua
dekade.
Pada
saat perjumpaan pertama tersebut, Yusuf telah mengenali para saudaranya
namun dia bersikap seolah-olah tidak mengenalnya (42:7-9). Dia bertanya
kepada saudaranya dengan membentak. Pada saat itu juga Yusuf teringat
akan mimpinya, yaitu para saudaranya akan sujud kepadanya melalui mimpi
tentang berkas gandum dan matahari. Yusuf bermimpin berkas gandum dan
matahari saudaranya sujud kepada dia. Yusuf melakukan sugesti terhadap
mereka dengan menayakan keadaan keluarga mereka. Hal itu membuat Yusuf
sedih ketika saudaranya menyaksikan bahwa salah seorang saudaranya telah
hilang dan yang mereka maksudkan adalah Yusuf sendiri (42:13). Dalam
peristiwa itu juga, saudara bungsu mereka tinggal bersama ayahnya Yakub.
Hal tersebut menjadi salah satu cara bagi Yusuf untuk meminta kejujuran
saudaranya. Yusuf memberikan mereka makanan untuk dibawa ke Kanaan
dengan syarat, Simeon menjadi tawanan. Mereka harus membawa Benjamin
menghadap Yusuf, jika mereka masih mau bertemu dengan Yusuf. Keputusan
Yusuf tersebut tidak dapat ditawar-tawar. Mengapa Yusuf memilih Simeon
sebagai tawanan? Simeon adalah anak kedua paling sulung. Kemungkinan dia
teringat tentang Ruben, anak yang paling sulung, yang berusaha membela
dia, ketika dia hendak dijual. Dengan demikian, kemungkinan Yusuf
berfikir bahwa Ruben masih memegang peranan yang berpengaruh terhadap
saudara-saudaranya dalam mengambil suatu kebijakan.
Dalam
pasal ini juga terjadi hal yang sangat aneh bagi para pembeli gandum
dari Mesir justru dialami para saudaranya, ketika mereka kembali ke
Kanaan membawa gandum. Dalam karung stiap gandum saudaranya, uang mereka
dikembalikan semuanya tanpa sepengetahuan mereka. Seharusnya, hal
tersebut membuat mereka bertanya dengan kritis. Namun karena mereka pada
awalnya sudah ketakutan, apalagi dengan penyanderaan Simeon,
pengembalian uang yang mereka terima justru mereka nilai sebagai
tindakan yang hendak menjebak mereka. Lalu hati mereka menjadi tawar dan
mereka berpandang-pandangan dengan gemetar serta berkata “apakah juga
yang diperbuat Tuhan terhadap kita” (42:28b). Hal tersebut semakin
menambah rasa bersalah mereka terhadap apa yang telah mereka lakukan
terhadap saudaranya Yusuf. Perasaan tersebut juga telah diawali ketika
mereka hendak dipenjarakan. Mereka dalam bahasa ibunya, menyadari bahwa
kemungkinan peristiwa yang terjadi kepada mereka adalah sebagai akibat
perlakuan buruk mereka terhadap Yusuf.
Ketika
sampai di Kanaan, hal yang sangat mengecewakan terjadi dalam diri
Yakub. Dia tidak melihat dari sisi positif bahwa anak-anaknya sudah
membawa gandum dari Mesir dengan gratis, karena uang mereka semua
dikembalikan. Justru sebaliknya dia menilai bahwa anak-anaknya
mendatangkan malapaetaka lagi terhadap keluarganya. Setelah kehilangan
Yusuf, Simeon juga ditawan di Mesir. Hal yang lebih menyedihkan hatinya
lagi, penguasa Mesir tersebut meminta juga Benjamin, anak Yusuf yang
paling bungsu untuk dibawa ke Mesir.
Dia melihat itu semua sebagai awal malapetaka dalam hidupnya. Dia tidak
mampu melihat lagi sisi yang lebih positif, karena penguasa Mesir
tersebut hanya meminta mereka membuktikan bahwa mereka masih mempunyai
saudara yang paling bungsu, yaitu Benjamin.
Pada
pasal 43, Yakub akhirnya menyerahkan Benjamin, karena makanan mereka
telah habis akibat kelaparan yang begitu hebat terjadi. Dalam peristiwa
tersebut terlihat kelemahan Yakub yang tidak konsisten. Pada akhirnya
dia menyerahkan Benjamin untuk dibawa ke Mesir. Dia berserah sepenuh
hati, namun bukan melihat peristiwa tersebut sebagai rencana Tuhan. Sisi
kemanusiaannya lebih menonjol. Dia tidak melihat pemeliharaan Tuhan
terhadap mereka, ketika mereka mendapatkan makanan dari Mesir dengan
gratis. Justru keputusasaan bercampur ragu-ragu terjadi dalam diri
Yakub. Bawalah juga adikmu itu,
bersiaplah dan kembalilah pula kepada orang itu. Tuhan Yang Mahakuasa
kiranya membuat orang itu menaruh belas kasihan kepadamu, supaya ia
membiarkan saudaramu yang lain itu beserta Benyamin kembali. Mengenai
aku ini, jika terpaksa aku kehilangan anak-anakku, biarlah juga
kehilangan!" (43:13-14).
Dalam
pasal 43 juga diceritakan saudara Yusuf yang kembali menghadap penguasa
Mesir dengan membawa Benjamin serta uang dua kali lipat banyaknya.
Dalam peristiwa tersebut, ketakutan mereka dibalas Yusuf dengan
kebaikan. Ketika Yusuf melihat
Benyamin bersama-sama dengan mereka, berkatalah ia kepada kepala
rumahnya: "Bawalah orang-orang ini ke dalam rumah, sembelihlah seekor
hewan dan siapkanlah itu, sebab orang-orang ini akan makan bersama-sama
dengan aku pada tengah hari ini." (43:16). Ketakutan yang mereka
alami wajar terjadi. Secara emosional, perasaan bersalah mereka yaitu
perlakuan jahat terhadap Yusuf membuat mereka ketakutan karena
mendapatkan perlakuan baik dari bangsa yang tidak mengenal Tuhan mereka.
Tekanan
emosional juga terjadi dalam batin Yusuf. Ketika dia melihat adik yang
sangat dikasihinya dan dirindukannya itu, dia tidak dapat menahan
perasaan. Sehingga dia harus mengambil waktu dan tempat untuk meluapkan
perasaannya dengan menangis. Ia berusaha mempertahankan ketenangannya
dengan bertanya, “inikah adek bungsunmu yang kamu ceritakan kepadaku”?
(43:29). Namun pada saat itu juga dia tidak mampu menahan batinnya.
Sehingga dia harus pergi dari ruang istana, Lalu
segeralah Yusuf pergi dari situ, sebab hatinya sangat terharu
merindukan adiknya itu, dan dicarinyalah tempat untuk menangis; ia masuk
ke dalam kamar, lalu menangis di situ (43:30).
Pasal
44 merupakan ujian yang dilakukan Yusuf untuk kedua kalinya. Seperti
yang dilakukan Yusuf pada kunjungan mereka yang pertama, dia menyuruh
supaya karung saudara-saudaranya dipenuhi dengan makanan dan bahwa
sekali lagi uang mereka masing-masing dimasukkan ke dalam mulut karung
mereka. Sebagai tambahan, Yusuf memasukkan piala peraknya sendiri ke
dalam mulut Benjamin. Kemudian Yusuf menyuruh pelayannya:
"Bersiaplah, kejarlah orang-orang itu, dan apabila engkau sampai kepada
mereka, katakanlah kepada mereka: Mengapa kamu membalas yang baik
dengan yang jahat? Bukankah ini piala yang dipakai tuanku untuk minum
dan yang biasa dipakainya untuk menelaah? Kamu berbuat jahat dengan
melakukan yang demikian. (44:5).
Pertentangan
terjadi antara Yusuf dengan para saudaranya. Dalam karung siapa
ditemukan pialanya maka dia akan menjadi budak bagi Mesir. Yusuf tidak
akan menghukum mereka semua karena kesalahan satu orang. Dalam hal ini
Yusuf ingin melihat rasa persaudaraan diantara mereka. Kemudian Yehuda
tampil sebagai orang yang bertanggung jawab atas semua peristiwa
tersebut. Dia rela menjadi budak bagi penguasa Firaun sebagai jaminan
atas kesalahan adiknya Benjamin. Dalam hal ini Yehuda mengambil risiko
sebagai korban atas kesalahan saudaranya. Hal demikian juga
diperlihatkan Yehuda, ketika saudara-saudaranya berusaha membunuh Yusuf
karena kebencian. Dia mengusulkan supaya Yusuf dijual sebagai budak
saja. Tindakan Yehuda tersebut merupakan respon dan tanggung jawabnya
atas janjinya kepada ayahnya. Jika bahaya terjadi atas diri Benjamin,
dialah yang menanggung segala dosa dan akibat peristiwa tersebut. Dengan
melihat keadaan tersebut, Yusuf yakin bahwa telah terjadi pertobatan
diantara saudaranya. Mereka telah menjadi orang-orang yang telah
diubahkan. Mereka telah lulus dalam ujian pertama dan yang terakhir dan
sudah saatnya Yusuf membuka topeng rahasianya dengan mengunkapkan
identitas dirinya yang sebenarnya.
Uraian
di atas merupakan gambaran tentang keadaan Yusuf dan saudaranya sebelum
cerita dalam pasal 45. Penjelasan tersebut merupakan pendahuluan
terhadap pasal 45.
Pasal 45, seperti dalam struktur yang dibuat penulis sebelumnya, dapat dijelaskan sebagai berikut:
Ayat
1-3 merupakan respon Yusuf terhadap pernyataan Yehuda sebelumnya dalam
pasal 44 yang menyatakan dirinya bertanggung jawab atas kesalahan
Benjamin. Dia menyuruh semua orang Mesir meninggalkan ruangan istana dan
yang tinggal hanyalah dia dan saudaranya. Dengan keadaan ini tentu saja
pertanyaan bercampur rasa takut terjadi dalam hati para saudaranya.
Namun dalam kondisi seperti itu, Yusuf memperkenalkan dirinya kepada
saudaranya dalam bahas Ibrani.’ani’ Yoseph yang artinya akulah Yusuf. “Marilah medekat” (Ibr. Nagasy).[139]
Pada bagian ini juga, Yusuf menyatakan bahwa semua yang terjadi atas
dirinya adalah atas kehendak Tuhan. Kata “Tetapi Tuhan...” mengubah
sudut pandang para saudara Yusuf, dari rasa ketakutan dan gemetar
terhadap kenyatan kasih Tuhan (ay. 5). Perkataan dan kesaksian tersebut
tidak akan pernah muncul dari Yusuf seandainya ia belum mengampuni
saudara-saudaranya (ay. 4-8). Selanjutnya, Yusuf memberikan perintah
untuk membawa ayah mereka ke Mesir, karena kelaparan akan masih
berlangsung.
Ayat
16-20, merupakan keterangan tentang reaksi Firaun yang menyambut baik
saudara Yusuf. Firaun juga memberikan tanah yang terbaik di Mesir
sebagai tempat tinggal mereka. Ayat 21-28 merupakan penjelasan tentang
para saudara Yusuf yang memberikan keterangan terhadap Yakub akan
keadaan Yusuf saudara mereka yang telah menjadi penguasa atas Mesir.
Kemudian dilanjutkan dengan semangat Yakub yang bangkit kembali dengan
berita tersebut, meskipun pada awalnya hatinya tetap dingin (ay. 26). Keterangan tentang Yakub pindah ke Mesir diceritakan dalam pasal 46.
Berdasarkan struktur di atas, pengarang cerita Yusuf mau menekankan beberapa hal, yaitu:
- Yusuf merupakan tokoh pengambil suatu resolusi terhadap ketegangan-ketegangan yang terjadi.
Pengarang
cerita menguraikan dengan seksama proses perjumpaan Yusuf dengan
saudaranya. Struktur cerita ditata dengan rapi, yang dimulai dengan
kisah kelaparan yang melanda bumi. Keadaan tersebut menjadi latar
belakang perjumpaan meraka. Pengarang menggambarkan Yusuf yang tidak
gegabah dalam mengambil setiap keputusan dalam perjumpaan tersebut. Pada
bagian awal, dia telah mengenal saudaranya, namun dia tidak langsung
memperkenalkan dirinya. Dalam hal ini, Yusuf ingin mengetahui kesadaran
dan perubahan yang ada dalam diri para saudaranya. Dia juga ingin
membuktikan rasa persaudaraan yang ada di antara mereka. Dengan
demikian, Yusuf adalah kunci utama untuk mengatasi ketegangan yang
terjadi diantara mereka seperti yang disebutkan sebelumnya, karena
memang dia sengaja mencipta ketegangan tersebut.
- Kekuatan Yusuf terletak pada posisinya sebagai penguasa Mesir.
Posisi
tersebut menimbulkan rasa takut dan gemetar, sehingga terjadi
ketegangan, antara orang yang berkuasa dengan orang yang tidak punya
kuasa. Dengan demikian, salah satu cara untuk meredakan ketegangan
tersebut adalah jika Yusuf melepaskan jabatannya. Hal tersebut terjadi,
ketika dia memperkenalkan dirinya, sebagai Yusuf yang telah dijual ke
Mesir.
- Dalam setiap adegan, selalu ada masalah, dan juga muncul masalah baru setelah masalah pertama diselesaikan.
Mulai
dari pasal 42, pengarang memunculkan masalah hampir dalam setiap
adegan. Setelah masalah tersebut diselesaikan, kemudian dimunculkan
kembali masalah yang baru.
- Dalam pasal 42, terjadi masalah kelaparan di bumi. Oleh karena itu, Yakub menyuruh anaknya untuk membeli makanan ke Mesir.
- Ketika
mereka tiba di Mesir untuk membeli makanan, Yusuf menuduh mereka sebagi
pengintai terhadap kemakmuran negeri Mesir, sehingga mereka
dipenjarakan untuk 3 hari lamanya.
- Kemudian
mereka dilepas, dan diijinkan pulang ke Kanaan dengan membawa gandum,
namun muncul kembali masalah ketika Yusuf meminta Simeon sebagai
sandera, sebagai jaminan supaya mereka membawa Benjamin ke hadapan
Yusuf.
- Ketika mereka kembali ke Kanaan, muncul kembali masalah, yaitu uang mereka dimasukkan ke dalam karung masing-masing.
- Ketika
makanan telah habis, Yakub Kembali menyuruh anaknya untuk membeli
makanan ke Mesir. Namun muncul masalah ketika para anaknya harus membawa
Benjamin. Akhirnya Yakub melepaskan Benjamin.
- Setelah
mereka tiba di Mesir, Yusuf menjamu mereka di rumahnya. Hal tersebut
menjadi masalah batin bagi mereka, karena mereka bisa saja beranggapan
hal tersebut merupakan usaha Yusuf untuk menjebak mereka.
- Ketika
Yusuf melepas mereka dengan membawa gandum, uang mereka dimasukkan ke
dalam karung masing-masing dua kali lipat jumlahnya. Piala Yusuf juga
dimasukkan ke dalam karung Benjamin. Hal tersebut menjadi masalah bagi mereka (pasal 44).
- Setelah
berangkat ke Kanaan, tentara Mesir mengejar mereka dengan tuduhan
pencurian piala Yusuf. Hal tersebut menjadi masalah karena mereka harus
membela Benjamin sebagai tersangka. Dalam peristiwa inilah Yehuda muncul sebagai pembela dan sekaligus menjadi korban atas tuduhan terhadap adiknya.
- Ketika
mereka dibawa kembali ke istana, konflik batin terjadi dalam diri
Yusuf. Dia telah yakin akan perubahan dan pertobatan bagi saudaranya.
Dengan demikian, tibalah waktunya bagi dia untuk memperkenalkan dirinya
yang sesungguhnya (pasal 45).
- Yusuf
memperkenalkan diri kepada saudaranya, bahwa dia adalah Yusuf, namun
hal tersebut menjadi masalah bagi para saudaranya. Keragu-raguan dan
rasa takut menyelimuti perasaan mereka.
Berdasarkan
struktur di atas, pengarang cerita Yusuf hendak memberikan ruang
sebagai persiapan terhadap suatu penyelesaian masalah secara sempurna.
Pengungkapan identitas Yusuf yang sebenarnya, tidak cukup untuk
menyelesaikan masalah, tetapi disempurnakan dengan kesaksian imannya.
Tuhan telah mengirimkannya ke Mesir untuk memelihara kehidupan
saudaranya. Semua masalah yang dialami mereka di atas adalah sebagai
proses karya penyelamatan besar dari Tuhan (45:5-8). Kesaksian tersebut
menjadi Pastoral Resolusi Konflik[140] yang ditawarkan pengarang melalui tokoh Yusuf. Oleh
karena itu, permasalahan yang mau ditekankan pengarang bukanlah
kelaparan yang sedang terjadi, namun bagaimana pembaca dapat melihat
karya penyelamatan Tuhan (preserve life)
dalam kehidupan setiap manusia sepanjang masa. Jadi, oknum yang
menyelesaikan masalah tersebut hanyalah Tuhan sendiri, terlepas dari
bagaimana cara dan bentuk penyelesaiannya. Memang manusia diberikan
Tuhan hikmat untuk mengenal masalahnya, namun tidak tertutup
kemungkinan, bahwa masalah baru akan muncul, karena manusia terbatas
dalam keberdosaannya.
4.2.2. Aspek Penciptaan
Seperti
disebutkan dalam bagian terdahulu, Tuhan Israel adalah Tuhan yang
memperkenalkan diri kepada dunia melalui penyataan-penyataan-Nya. Dia
adalah satu-satunya Tuhan pencipta yang berdaulat atas segala sesuatu.
Dia menata sejarah manusia dengan memperkenalkan diri-Nya dalam ruang
dan waktu sepanjang sejarah.[141].
Dia berkarya mulai dari penciptaan, zaman bapa-bapa leluhur sampai
Israel keluar dari perbudakan Mesir bahkan sampai saat ini. Dia juga
adalah Tuhan yang mempunyai jalan yang sempurna (His ways is perfect). Oleh karena itu dosa bukanlah berasal dari kemuliaan-Nya, namun justru Dia membuat pertentangan terhadap Dosa.
Dengan
pemahaman teologis tersebut, penulis cerita Yusuf hendak menjelaskan
bahwa Tuhan yang berkarya dalam penciptaan, kemudian menyatakan diri
kepada Abaraham, Ishak dan Yakub adalah Tuhan yang berkarya juga pada
masa Yusuf sampai saat ini. Dia adalah Tuhan yang menata sejarah manusia
mulai dari penciptaan. Dia selalu hadir dan aktif dalam setiap gerak
kehidupan Yusuf dan saudaranya. Karya keselamatan Tuhan selalu hadir
dalam setiap gerak kehidupan. Itulah yang mau ditekankan pengarang
cerita Yusuf. Penulis cerita Yusuf hendak menjelaskan kepada pembaca
historis di sepanjang zaman bahwa cerita Yusuf merupakan kisah dalam
rangka perwujudan janji Tuhan kepada para Patriarkh. Dalam pengertian
secara kanonik, janji tersebut diteruskan kepada seluruh umat manusia
dalam sepanjang zaman. Oleh karena itu, keadaan sejarah kehidupan
manusia dalam setiap zamannya tidak menjadi penentu karya keselamatan
tersebut, karena Tuhanlah yang berkarya dalam kehidupan manusia. Dalam
pemahaman yang lebih luas lagi, penulis cerita Yusuf hendak menekankan
bahwa peristiwa apapun yang dialami setiap orang, suka maupun duka, hal
tersebut merupakan suatu proses pedewasaan panggilan Tuhan.[142]
Dengan
pemahaman tersebut, yang menjadi pertanyaan kritis adalah apakah
seluruh kehidupan manusia itu mutlak sebagai proses panggilan Tuhan?
Atau, ketika manusia melakukan apa yang jahat di mata Tuhan, bolehkah
itu dikatakan sebagi proses panggilan Tuhan dalam kerangka janji
keselamatan? Pertanyaan tersebut dijawab dalam kisah Yusuf. Penulis
cerita Yusuf selalu menampilkan sosok Yusuf yang saleh, taat, dan tabah
dalam segala situasi. Karakter tersebutlah yang dimiiki Yusuf dalam
merespon panggilan Tuhan kepadanya. Dengan demikian, dapat dikatakan
ketaatan manusia dituntut dalam merespon panggilan Tuhan dalam rangka
janji Tuhan. Pada bagian lain, penulis cerita Yusuf menampilkan Tuhan
yang selalu memelihara kehidupan anak-anak Yakub, meskipun telah
melakukan tindak kejahatan kepada Yusuf. Hal tersebut bukan berarti
bahwa Tuhan mentolerir ataupun kompromi dengan tindak kejahatan
tersebut.
Selanjutnya
dalam ayat 16-20, penulis cerita Yusuf menampilkan Firaun yang
memberikan rekomendasi kepada Yusuf supaya Yakub dan keluarganya segera
tinggal di Mesir. Keterangan yang diberikan Firaun tersebut sangatlah
mengejutkan, karena secara politis, kehadiran orang Ibrani di Mesir akan
mengganggu negara. Namun dalam kisah tersebut, penulis hendak
menekankan bahwa Tuhan boleh saja memakai suatu bangsa, suku ataupun
kepercayaan lain dalam rangka perwujudan janji keselamatan terhadap
umat-Nya. Tentu saja, Firaun telah menyaksikan keadilan dan anugerah
Tuhan dengan kehadiran Yusuf di negerinya. Namun penulis menggarisbawahi
bahwa hal tersebut tidak berarti bahwa keperayaan ataupun religi orang
Mesir menjadi sama dengan kepercayaan orang Ibrani kepada Yahwe. Dengan
demikian, penulis dapat menawarkan kesimpulan bahwa Tuhan bisa saja
mempergunakan apa saja (suatu bangsa, alam) dalam rangka perwujudan
janji keselamatan bagi umat-Nya, karena Tuhan berkuasa atas segala
ciptaan-Nya.
Dalam
ayat 21-24, penulis cerita Yusuf menceritakan persiapan keberangkatan
saudara Yusuf untuk kembali ke Mesir menjemput ayahnya. Mereka membawa
makanan untuk keperluan mereka. Untuk perjalanan tersebut, Yusuf
mempersiapkan keledai untuk mereka. Namun pada bagian lain, Firaun
memberikan instruksi supaya mereka mempergunakan kereta Mesir. Kedua
informasi in semakin memperkuat keterangan tentang adanya perpindahan
yang cukup besar. Pada bagian lain, hal tersebut membuktikan bahwa pasal
45 merupakan karya dua tradisi, yaitu Y dan E. Hal yang menarik dalam
ayat 21-24 adalah ketika Yusuf berkata, “janganlah berbantah-bantahan di
jalan”. Yusuf pastinya telah mengenal karakter saudaranya dengan baik
sehingga dia harus memberikan perintah demikian. Kemungkinan Yusuf
berpikiran, karena mereka dengan tiba-tiba menjadi makmur dan kaya, bisa
perubahan drastis itu menimbulkan berbagai jenis reaksi yang bersifat
negatif.
4.2.3. Aspek Pragmatis
Dalam
memahami aspek pragmatis, cerita Yusuf setidaknya harus diteliti secara
keseluruhan, walaupun akhirnya lebih berfokus kepada pasal 45.
Dalam
cerita Yusuf, ditampilkan Yusuf sebagai tokoh utama yang memiliki
hikmat dan penyataan Tuhan melalui mimpi dalam kehidupannya. Namun dalam
keadaan yang seperti itu, dia diperhadapkan dengan berbagai tantangan
yang selalu menggodanya, baik di Kanaan maupun di Mesir. Namun menurut
penulis, untuk memahami cerita tersebut, fokus perhatian terletak pada pasal 45. Karena dalam pasal tersebut diungkapkan rahasia di balik cerita Yusuf.
Ayat
1a merupakan pendahuluan pasal 45. Kemudian dilanjutkan dengan ayat 1b
yang menceritakan Yusuf yang tidak mampu lagi menahan hatinya sehingga
dia menyuruh semua orang Mesir yang bersama-sama dengan dia dan yang
tinggal hanyalah dia bersama-sama para saudaranya. Dalam kaitan ini,
penulis cerita Yusuf hendak menjelaskan kepada pembaca bahwa Yusuf
adalah manusia yang biasa yang tidak berbeda dengan saudaranya. Buktinya
dia menangis begitu keras sebagai akibat dari tekanan perasaannya,
sehingga seluruh orang Mesir mendengarnya termasuk seisi rumah Firaun
(ay. 2). Sepintas, terdapat kejanggalan. Pada satu sisi dia menyuruh
orang Mesir untuk keluar ruang istana, pada pihak lain Yusuf menangis
begitu keras dan diketahui oleh orang-orang Mesir. Kemungkinan Yusuf
bermaksud supaya orang-orang Mesir tidak mengetahui bahwa para
saudaranya sedang bersama dia. Dari sudut pandang yang lain, ungkapan
tersebut bisa saja sebagai karya penulis cerita Yusuf yang bertujuan
sebagai pendahuluan terhadap rekomendasi dari Firaun menyambut Yakub dan
keluarganya pada ayat 16-20.
Dalam
ayat 3-4, Yusuf mempekenalkan dirinya dengan menyebutkan, “Akulah
Yusuf....Tuhanlah yang mengutus aku” ungkapan Yusuf ini merupakan
jaminan yang diberikan Yusuf. Namun walaupun jaminan tersebut diberikan
Yusuf (ay. 4), suatu rasa tidak enak bertahan hingga bertahun-tahun
lamanya dalam hati mereka (bnd. 50:15). Selanjutnya ungkapan Yusuf: “masih
hidupkah bapa?” dapat dipahami bahwa melalui teks tersebut penulis
cerita Yusuf hendak memaparkan bahwa Yusuf sangat merindukan ayahnya.
Namun menurut penulis, pertanyaan Yusuf tersebut berfungsi untuk
mencairkan kebekuan yang terjadi, karena setelah Yusuf menyebutkan
namanya, tentu saja para saudaranya akan membungkam dan tidak dapat
berkata-kata. Buktinya, tidak ada ayat yang menyebutkan jawabab terhadap
pertanyaan Yusuf. Pertanyaan tersebut tidak tepat dan tidak efektif,
karena dalam pasal-pasal sebelumnya Yusuf telah mengetahui bahwa ayahnya
masih hidup. Namun analisa dari sudut pandang yang lain, hal tersebut
bisa juga menggambarkan terjadinya kelaparan yang begitu hebat pada saat
itu. Oleh karena itu, sesuai dengan pertanyaan Yusuf, bisa saja Yakub
telah meninggal selama selang waktu perjalanan pertama saudaranya ke
Mesir dengan perjalanan yang kedua.
Seperti
disebutkan penulis sebelumnya dan juga para ahli tafsir lainnya, ayat
5-8 merupakan inti pemberitaan dalam cerita Yusuf. Meskipun ayat
tersebut diyakini merupakan tambahan redaktor. Namun tugas tafsir yang
lebih penting pada saat ini adalah melihat teks tersebut secara kanonik.
Tanpa ayat 5-8 (dan 50:20), maka cerita Yusuf hanyalah sebuah saga yang
menceritakan seorang tokoh yang selalu yang memperoleh penyertaan Tuhan
dalam kehidupannya. Dengan demikian, jelaslah dapat dipahami, melalui
ayat tersebut, penulis cerita Yusuf ingin menekankan bahwa Tuhanlah yang
mengirimkan Yusuf ke Mesir untuk memelihara kehidupan. Seluruh
totalitas kehidupan Yusuf adalah atas rencana Tuhan.[143]
Dengan pemahaman teologis tersebut, penulis mau menekankan bahwa
Tuhanlah yang berkuasa atas seluruh gerak hidup manusia, dalam
mewujudkan rencana Tuhan yaitu keselamatan bagi umat-Nya. Pertanyaan
kritis selanjutnya adalah kehidupan yang bagaimanakah yang dimaksudkan
penulis cerita Yusuf? Sangat jelas diungkapkan bahwa Yusuf selalu
menjalani kehidupannya secara terus menerus dengan perspektif Ilahi.
Kehidupan berdasarkan perspektif Ilahi, itulah ukuran kehidupan yang
dimaksudkan penulis cerita Yusuf.
Selain
itu, melalui pernyataan Yusuf, Tuhan menyuruh aku...(bnd, bukan
kamu...tetapi Tuhan, ay. 8a) menekankan kepada pemeliharaan mutlak
Ilahi. Namun maksud Yusuf bukanlah untuk mengingkari tanggung jawab para
saudaranya terhadap kesalahan yang telah diperbuatnya, namun seluruh
perkataan Yusuf bertujuan untuk menggetarkan suara hati mereka, supaya
mereka tidak terlalu lama melihat ke belakang yang penuh penyesalan,
namun Yusuf ingin memalingkan pandangan mereka terhadap masa depan yang
disediakan oleh belas kasih Tuhan (ay. 8b)
Seperti
disebutkan penulis sebelumnya, teks yang menyebutkan bahwa Yusuf
menangis begitu keras sehingga terdengar kepada seluruh orang Mesir dan
seisi rumah Firaun. Kemungkinan hal tersebutlah latar belakang Firaun
mengungkapkan pernyataannya dalam ayat 16-20. Dalam ayat tersebut,
penulis menampilkan Firaun yang menerima dengan baik kedatangan
saudara-saudara Yusuf. Oleh karena itu kemungkinan besar orang-orang
Mesir dan juga Firaun tidak mengetahui bahwa yang datang pada kunjungan
pertama adalah saudara-saudara Yusuf. Firaun menyarankan supaya
secepatnya saudara-saudara Yusuf menjemput ayahnya dan membawa makanan
terbaik di Mesir ke Kanaan. Pernyataan Firaun tersebut bisa saja masuk
akal, sebagai balasan terhadap Yusuf yang telah banyak berkarya di
negerinya. Namun menurut penulis, pernyataan tersebut bisa saja
mengandung maksud politis, karena kemungkinan orang-orang Ibrani akan
dijadikan pekerja bagi bangsa Mesir (bnd Kej. 47:6). Namun pesan yang
mau disampaikan penulis cerita Yusuf bukanlah permasalahan tersebut.
Penulis cerita Yusuf mau menekankan bahwa Tuhan bisa saja memakai bangsa
asing dan negeri asing dalam mewujudkan janji keselamatan bagi
umat-Nya. Penulis berpendapat bahwa dalam ruang lingkup yang sempit
Tuhan juga memberikan kemakmuran bagi Mesir adalah dalam rangka
memelihara kehidupan umat Israel (bnd Amos 5:15), walaupun dalam ruang lingkup yang lebih luas harus dipahami bahwa Tuhan juga memelihara kehidupan ciptaan-Nya.
Ayat
21-28 membicarakan saudara-audara Yusuf yang kembali ke tanah Kanaan.
Mereka dibekali dengan banyak makanan dan pakaian yang terbaik di Mesir.
Mereka melaporkan semua apa yang mereka terima dari Mesir. Bagian ini
merupakan antiklimaks dari carita Yusuf. Happy ending
terdapat dalam ayat 25 dan 27, namun bagian akhir ini semakin
memperjelas bahwa teks ini dipengaruhi oleh dua tradisi. Nama yang
digunakan dalam ayat 21 dan 28 menggunakan nama Israel, sementara dalam
ayat 25 dan 27 mempergunakan nama Yakub. Namun kedua tradisi tersebut
diformulasi redaktor sedemikian rupa sehingga menjadi satu teks yang
utuh. Pesan yang diharapkan penulis untuk ditangkap pembaca ialah bahwa
karya penyelamatan yang dilakukan Tuhan kepada keluarga Yakub bersifat
kongkrit. Semua kebutuhan mereka dipenuhi bahkan melebihi dari yang
mereka harapkan. Bersamaan dengan itu, penulis cerita Yusuf juga hendak
menjelaskan bahwa terdapat juga unsur futuris. Mereka akan tinggal di
Gosyen, tanah terbaik di Mesir sebagai tempat mereka menggembalakan
ternaknya. Dalam peristiwa ini dilukiskan suatu tatanan hidup baru yang
akan dialami keluaraga besar Yakub. Semua hal tersebut hanyalah atas
kuasa Tuhan yang mendatangkan kemakmuran di Mesir dengan perantaraan
Yusuf.
Hal
yang lain dapat dilihat bahwa penulis cerita Yusuf menampilkan Yakub
yang pada awalnya bersikap dingin. Mengapa demikian? Secara manusiawi
kemungkinan juga bahwa Yakub mengalami stess ringan mendengarkan berita
yang mengejutkan tersebut, sehingga dia sempat bersikap dingin
mendengarkan kabar tentang kemaharajaan Yusuf di Mesir[144].
Namun pengarng cerita Yusuf mau menjelaskan Yakub lebih menggantungkan
perasaannya terhadap penderitaan-penderitaan yang melanda kehidupan
keluarganya. Sehingga matanya hampir tertutup melihat anugerah dari
Tuhan. Baru setelah melihat dengan mata sendiri kereta yang dikirimkan
anaknya Yusuf, semangatnya kemudian bangkit.[145]
Hal tersebut sering terjadi dalam kehidupan manusia. Perhatian lebih
mengarah kepada penderitaan dalam kehidupan, sehingga sangat sedikit
tersedia ruang untuk melihat anugerah besar yang disediakan Tuhan.
4.2.4. Aspek Referensial
Tentunya terdapat aspek referensi dalam Alkitab yang berkaitan dengan Panggilan Tuhan dalam kisah Yusuf.
- Mazmur 81:6a[146]: Sebagai suatu peringatan bagi Yusuf ditetapkan-Nya hal itu, pada waktu Ia maju melawan tanah Mesir.
Mazmur
ini mengandung unsur peringatan akan perbuatan Tuhan pada masa lampau,
untuk menyadarkan bangsa Israel akan dosa-dosanya. Isi peringatan yang
disampaikan, mirip dengan apa yang dihadapi oleh para nabi abad 8-6 sM.
Hal tersebut berarti kisah Yusuf sangat dikenal baik pada masa itu,
karena pemazmur mengangkat tipologis Yusuf ketika di Mesir. Ketetapan
hukum Tuhan kepada Patriarkh, diteruskan kepada Yusuf (ay. 5) dan juga
kepada keturunannya.
- Mazmur 105:16-24[147] dengan judul “puji-pujian atas segala perbuatan Allah di masa lampau”.
Dalam
pasal tersebut pemazmur menguraikan dengan jelas bagaimana Tuhan
berkarya meelalui Yusuf. Penjualan Yusuf ke Mesir adalah atas rencana
Tuhan. Perhatian tafsir bukanlah terhadap permasalahan penjualan Yusuf,
namun berfokus kepada karya besar
Tuhan dalam peristiwa itu, karena anugerah Tuhan jauh lebih besar dari
dosa manusia. Pemazmur mengulang kembali secara ringkas kisah Yusuf,
ketika terjadi kelaparan, Yusuf dijual menjadi budak, dipenjara, dan
akhirnya menjadi pengusasa di Mesir. Namun firman Tuhan telah genap dan
Yusuf dibenarkan (ay. 19), dia menjadi penguasa dan mereka diberikan
tanah yang subur. Dengan demikian, Yusuf benar di hadapan Tuhan adalah
karena Tuhan sendiri membenarkannya dengan ketetapan-Nya, bukanlah
karena tindakan Yusuf. Oleh karena itu, pemazmur ingin menjelaskan bahwa
Tuhanlah yang membenarkan umat Israel dan memberikan keselamatan dalam
berbagai situasi kehidupan mereka, layaknya Yusuf, karena umat (manusia)
hidup dalam kerangka janji keselamatan dari Tuhan kepada Patriarkh.
- Kis. 7:9-15, Pembelaan Stefanus terhadap tuduhan para orang Yahudi dan Ahli Taurat kepadanya sebagai penghujat sejarah nenek moyang mereka.
9)
Karena iri hati, bapa-bapa leluhur kita menjual Yusuf ke tanah Mesir,
tetapi Allah menyertai dia, 10) dan melepaskannya dari segala penindasan
serta menganugerahkan kepadanya kasih karunia dan hikmat, ketika ia
menghadap Firaun, raja Mesir. Firaun mengangkatnya menjadi kuasa atas
tanah Mesir dan atas seluruh istananya. 11) Maka datanglah bahaya
kelaparan menimpa seluruh tanah Mesir dan tanah Kanaan serta penderitaan
yang besar, sehingga nenek moyang kita tidak mendapat makanan.12 Tetapi
ketika Yakub mendengar, bahwa di tanah Mesir ada gandum, ia menyuruh
nenek moyang kita ke sana. Itulah kunjungan mereka yang pertama;13) pada
kunjungan mereka yang kedua Yusuf memperkenalkan dirinya kepada
saudara-saudaranya, lalu ketahuanlah asal usul Yusuf kepada Firaun.14)
Kemudian Yusuf menyuruh menjemput Yakub, ayahnya, dan semua sanak
saudaranya, tujuh puluh lima jiwa banyaknya.15) Lalu pergilah Yakub ke
tanah Mesir. Di situ ia meninggal, ia dan nenek moyang kita.
Dengan
dorongan Roh Kudus, Stefanus menguraikan sejarah perjalanan nenek
moyang Israel mulai dari Abraham. Pembentangan sejarah tersebut
bertujuan untuk menjelaskan karya penyelamatan Tuhan kepada bangsa
Israel sejak dari bapa leluhur sampai pada karya penyelamatan Kristus di
kayu salib (ay. 52). Janji keselamatan dari Tuhan akan senantiasa
diperbaharui meskipun para nenek moyang Israel melakukan apa yang tidak
baik di mata Tuhan (ay. 51).
Terkhusus
dalam ayat 9-15, Stefanus mencantumkan kisah hidup Yusuf. Dimulai dari
ayat 9, terdapat dua penekanan yang bertolak belakang. Saudara Yusuf iri
hati kepadanya, tetapi Tuhan menyertai dia dan melepaskannya dari segala penindasan serta menganugerahkan kepadanya kasih karunia dan hikmat. Dengan tindakan pemeliharaan Tuhan tersebut, mereka terlepas dari (kelaparan).
Dalam
Kisah Para Rasul pasal 7 ini, dibentangkan sejarah karya keselamtan
manusia. Dengan demikian, sangat jelas dapat dipahami bahwa kisah Yusuf
merupakan salah satu rangkaian keselamatan besar dari Tuhan terhadap
seluruh ciptaan-Nya sepanjang zaman. Urutan yang kronologis dalam pasal
tersebut diakhiri dengan karya keselamatan Yesus Kristus.
- Kisah Yusuf di luar teks Alkitab
Sirakh 49:15,
Dan seperti Yusuf belum seorangpun dilahirkan, pembesar semua
saudaranya dan penyokong bangsanya. Dan tulang-tulangnya banyak
dikunjungi orang.
I Makabe 2:53, Yusufpun di waktu kesesakan tetap menepati perintah, maka ia menjadi penguasa Mesir.
Dengan
penjelasan diatas, pemilihan dan panggilan Yusuf adalah dalam rangka
keselamatan. Tuhanlah yang melakukan tindakan aktif dalam panggilan
tersebut dalam ruang lingkup janji. Oleh karena itu, janji tersebut
tidak hanya berhenti pada zaman Yusuf saja, namun janji tersebut hidup
hingga saat ini dalam kehidupan manusia.
4.2.5. Pesan-Pesan Teologis
- Tuhan mengontrol setiap gerak kehidupan manusia sepanjang sejarah sejak dari zaman penciptaan, para patriarkh sampai saat ini. Tuhanlah yang melukiskan sejarah dunia dan bertujuan untuk menciptakan damai sejahtera bagi ciptaan-Nya.
- Tuhan mengikat janji dengan manusia sebagai gambar dan rupa Tuhan yang bertanggung jawab untuk mengusahakan ciptaan lainnya secara bertanggungjawab. Janji tersebut dimulai kepada adam dan Hawa, dilanjutkan kepada patriarkh, Yusuf dan kepada manusia saat ini. Janji tersebut adalah tanah perjanjian, mempunyai keturunan/menjadi bangsa yang besar dan menjadi berkat.
- Janji keselamatan dari Tuhan bisa saja bersifat presentis dan futuris
- Tuhan mempunyai rencana yang indah pada masa depan dalam setiap kehidupan manusia (sebuah panggilan), oleh karena itu kehidupan sekarang adalah sebagai suatu persiapan dan proses menyongsong kehidupan tersebut. Manusia senantiasa hidup dalam rangka harapan akan janji keselamatan kekal dari Tuhan. Oleh karena itu, ketaatan dan kepatuhan di hadapan Tuhan merupakan hal utama dalam merespon panggilan tersebut. Keegoisan manusia akan menghalanginya untuk melihat rencana Tuhan dalam kehidupannya.
- Penyertaan Tuhan dan panggilan Tuhan bukanlah jaminan bagi manusia untuk lepas dari penderitaan di dunia, namun justru penderitaan bisa menjadi salah satu jalan untuk mendewasakan iman umat-Nya. Namun penderitaan bukanlah akhir segalanya, karena tuhan menyediakan keselamatan bagi manusia itu sendiri. Namun, penyertaan Tuhan yang direspon manusia dengan ketaatan akan mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam bidang ekonomi.
- Tuhan bisa saja memakai suatu bangsa, suku ataupun kelompok dalam rangka mewujudkan keselamatan bagi umat pilihan-Nya, namun kejahatan bukanlah dari Tuhan, itu berasal dari dunia yang telah penuh dengan dosa. Tuhan tidak pernah kompromi dengan kejahatan yang dilakukan manusia terhadap sesamanya sesamanya ataupun terhadap ciptaan lainnya. Tuhan tidak pernah setuju dengan tindakan anak-anak Yakub yang melakukan kejahatan kepada Yusuf. Justru Tuhan menentang ketidakadilan dengan anugerah.
- Kejahatan yang dilakukan setiap orang akan menimbulkan rasa bersalah secara berkelanjutan sehingga timbul juga rasa takut dan keraguan, dalam kaitan tersebut pengampunan yang tulus terhadap orang lain akan menimbulkan rasa penyesalan dan pertobatan baginya, dengan demikian, akan muncul perdamaian. Tuhan juga menghendaki agar manusia menjadi konselor sesamanya.
- Tuhanlah yang berkuasa menyelamatkan manusia dari berbagai bentuk penderitaan yang dialaminya dan juga merawat keturunan manusia untuk membawa penyataan-Nya dalam sejarah.
- Keagungan manusia terletak pada sikap kerendahan hati dan pengampunan terhadap sesama. Kerendahan hati dan pengampunan terwujud ketika manusia hidup dalam kebenaran. Tuhan diperlukan dalam mencipta dn menata hidup yang benar tersebut. Ketika manusia mampu dengan iman melihat rencana Tuhan dalam tempatnya maka dia akan hidup dalam kebenaran. Ketika manusia mampu dengan iman merasakan tangan Tuhan dalam segala situasi yang dihadapinya, maka dia akan hidup dalam kebenaran. Ketika manusia mampu dengan iman menerima baik tempat dan situasinnya, bahkan ketika ada kejahatan dalam proses tersebut, maka sikapnya akan menjadi benar dan bijaksana. Satu-satunya cara menemukan kebahagiaan dalam kehidupan adalah melakukannya dengan iman.
4.2.5. Pesan-Pesan Teologis
- Tuhan mengontrol setiap gerak kehidupan manusia sepanjang sejarah sejak dari zaman penciptaan, para patriarkh sampai saat ini. Tuhanlah yang melukiskan sejarah dunia dan bertujuan untuk menciptakan damai sejahtera bagi ciptaan-Nya.
- Tuhan mengikat janji dengan manusia sebagai gambar dan rupa Tuhan yang bertanggung jawab untuk mengusahakan ciptaan lainnya secara bertanggungjawab. Janji tersebut dimulai kepada adam dan Hawa, dilanjutkan kepada patriarkh, Yusuf dan kepada manusia saat ini. Janji tersebut adalah tanah perjanjian, mempunyai keturunan/menjadi bangsa yang besar dan menjadi berkat.
- Janji keselamatan dari Tuhan bisa saja bersifat presentis dan futuris
- Tuhan mempunyai rencana yang indah pada masa depan dalam setiap kehidupan manusia (sebuah panggilan), oleh karena itu kehidupan sekarang adalah sebagai suatu persiapan dan proses menyongsong kehidupan tersebut. Manusia senantiasa hidup dalam rangka harapan akan janji keselamatan kekal dari Tuhan. Oleh karena itu, ketaatan dan kepatuhan di hadapan Tuhan merupakan hal utama dalam merespon panggilan tersebut. Keegoisan manusia akan menghalanginya untuk melihat rencana Tuhan dalam kehidupannya.
- Penyertaan Tuhan dan panggilan Tuhan bukanlah jaminan bagi manusia untuk lepas dari penderitaan di dunia, namun justru penderitaan bisa menjadi salah satu jalan untuk mendewasakan iman umat-Nya. Namun penderitaan bukanlah akhir segalanya, karena tuhan menyediakan keselamatan bagi manusia itu sendiri. Namun, penyertaan Tuhan yang direspon manusia dengan ketaatan akan mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam bidang ekonomi.
- Tuhan bisa saja memakai suatu bangsa, suku ataupun kelompok dalam rangka mewujudkan keselamatan bagi umat pilihan-Nya, namun kejahatan bukanlah dari Tuhan, itu berasal dari dunia yang telah penuh dengan dosa. Tuhan tidak pernah kompromi dengan kejahatan yang dilakukan manusia terhadap sesamanya sesamanya ataupun terhadap ciptaan lainnya. Tuhan tidak pernah setuju dengan tindakan anak-anak Yakub yang melakukan kejahatan kepada Yusuf. Justru Tuhan menentang ketidakadilan dengan anugerah.
- Kejahatan yang dilakukan setiap orang akan menimbulkan rasa bersalah secara berkelanjutan sehingga timbul juga rasa takut dan keraguan, dalam kaitan tersebut pengampunan yang tulus terhadap orang lain akan menimbulkan rasa penyesalan dan pertobatan baginya, dengan demikian, akan muncul perdamaian. Tuhan juga menghendaki agar manusia menjadi konselor sesamanya.
- Tuhanlah yang berkuasa menyelamatkan manusia dari berbagai bentuk penderitaan yang dialaminya dan juga merawat keturunan manusia untuk membawa penyataan-Nya dalam sejarah.
- Keagungan manusia terletak pada sikap kerendahan hati dan pengampunan terhadap sesama. Kerendahan hati dan pengampunan terwujud ketika manusia hidup dalam kebenaran. Tuhan diperlukan dalam mencipta dn menata hidup yang benar tersebut. Ketika manusia mampu dengan iman melihat rencana Tuhan dalam tempatnya maka dia akan hidup dalam kebenaran. Ketika manusia mampu dengan iman merasakan tangan Tuhan dalam segala situasi yang dihadapinya, maka dia akan hidup dalam kebenaran. Ketika manusia mampu dengan iman menerima baik tempat dan situasinnya, bahkan ketika ada kejahatan dalam proses tersebut, maka sikapnya akan menjadi benar dan bijaksana. Satu-satunya cara menemukan kebahagiaan dalam kehidupan adalah melakukannya dengan iman.
4.3. Refleksi Teologis
Hidup
manusia adalah panggilan. Hal tersebut dimulai dari penciptaan manusia
yang seturut gambar dan rupa Allah. Manusia sebagai gambar dan rupa
Allah berarti bahwa sifat dan karakter Ilahi terpancar dalam hidup
manusia. Pemahaman tersebut mempunyai pengertian bahwa totalitas hidup
(penciptaan) manusia adalah inisiatif dan otoritas mutlak Allah. Oleh
karena itu, terkandung rencana Ilahi yang hendak diwujudkan dalam
ciptaan yang baik tersebut yaitu mengahadirkan keselamatan,
kesejahteraan dan keadilan bagi ciptaan.
Hidup
manusia adalah panggilan Tuhan yang bertujuan untuk damai sejahtera
bagi ciptaan-Nya. Namun kerapkali manusia melihat panggilan hidupnya
sebagai penderitaan, bukanlah damai sejahtera. Dengan demikian muncul
pertanyaan, apakah dipanggil Tuhan identik dengan penderitaan? atau,
apakah harus mengalami penderitaan? dan dalam ruang lingkup yang lebih
luas lagi, bagaimanakah kita memahami totalitas hidup manusia sebagai
panggilan? Tuhan tidak pernah merancangkan penderitaan bagi umat-Nya
melainkan rancangan damai sejahtera. Semua gerak hidup manusia merupakan
proses panggilan Tuhan dalam rangka keselamatan (bnd Yes. 55:8).
Firman
Tuhan bukan hanya berarti bagi nasib baik bagi keluarga Yakub di masa
depan mereka. Namun Tuhan hendak memberikan kesaksian akan kekuasaan-Nya
kepada dunia melalui keluarga Yakub. Segala hal akan dilakukannya dalam
rangka mewujudkan rencana-Nya (bnd Mzm 86:10). Perpindahan keluarga
Yakub ke Mesir adalah salah satu proses perwujudan janji kepada Abraham.
Mereka akan menjadi berkat di negeri Mesir. Tuhan akan menghempang
segala rintangan yang menghambat rencana-Nya (bnd Yes. 49:24-26). Tuhan
akan membinasakan bangsa yang menghalangi rencana keselamatan bagi
umat-Nya (bnd Yer. 18:4, Rm 8:31). Tuhanlah yang berkuasa melukiskan
perjalanan sejarah kehidupan manusia dalam rangka keselamatan bagi manusia
itu sendiri. Jika manusia terjatuh karena penderitaan dunia akibat
dosa, Tuhan akan menguatkan kembali dengan kuasa-Nya (bnd Yer. 31:4).
Tuhan turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan
bagi mereka yang mengasihi Dia. Sementara itu, gereja juga terpangil
untuk hidup di tengah dunia. Gereja tidak terpanggil hanya untuk dirinya
sendiri. Seperti halnya Yusuf yang diutus Tuhan ke negeri Mesir. Dalam
proses panggilan tersebut tidak tertutup kemungkinan terjadi
kesengsaraan bagi gereja itu sendiri.
Akhir-akhir
ini sejak permulaan tahun 1996, terutama umat kristani di Indonesia
diperhadapkan dengan sederetan peristiwa yang mengejutkan. Hal tersebut
dapat dilihat dalam kehidupan gereja di Indonesia. Sejak tahun 1945-1997
telah terjadi penutupan, pengrusakan dan atau pembakaran gedung gereja
oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Jumlah terbesar terjadi
pada tahun 1995-1997 yaitu sebanyak 105 buah gereja.[148] Peristiwa pengrusakan tersebut terjadi di berbagai daerah di Idonesia dan berlanggung hingga akhir-akhir ini.
Peristiwa
penyerangan terhadap umat kristiani juga terjadi pada bulan September
2007. Penyerangan tersebut terjadi di HKBP Rejeg resort Kuta Bumi,
Tangerang. Ketika jemaat sedang melaksanakan ibadah, tiba-tiba lebih
dari seratus orang massa melempari gereja secara brutal. Selain itu,
banyak juga jemaat yang luka-luka akibat terkena lemparan batu. Laporan
yang dihimpun menyebutkan bahwa motif penyerangan tersebut adalah
pemilihan kepala desa. Diduga pihak yang kalah tidak senang dengan pihak
yang menang, karena menurut mereka akan memberikan ijin pembangunan
gedung gereja HKBP yang selama ini tidak pernah diberikan.[149]
Peristiwa
yang disebutkan di atas hanyalah sebagian dari deretan peristiwa
kekerasan yang dialami gereja. dalam keadaan seperti itu, gereja
dituntunt dan ditantang untuk menunjukkan jati dirinya dalam panggilan.
Terlepas dari motif-motif penyerangan tersebut, gereja harus tampil
sebagai pembawa damai. Seperti Yusuf yang tampil sebagai konselor
terhadap saudara-saudaranya. Jika gereja mengharapkan kesembuhan, maka
gereja juga membutuhkan pengampunan.[150]
Bagaimana seandainya Yusuf menaruh dendam terhadap saudara-saudaranya?
Tentunya ceritanya akan lain. Demikian juga halnya gereja, tindakan yang
frontal dan mendendam tidaklah karakter gereja. Justru sebaliknya,
gereja harus tampil sebagai berkat bagi seluruh ciptaan Tuhan. kehadiran
Yusuf di Mesir membawa berkat bagi kemakmuran bangsa Mesir. Mengapa
Yusuf menjadi berkat? Karena janji Tuhan yang akan memberkati dan
menyertainya senantiasa. Tentunya janji Tuhan tersebut juga berlangsung
bagi gereja sat ini. Yusuf merespon Tuhan dengan ketaatan dan kesetiaan,
apakah demikian halnya gereja saat ini?
B A B V
K E S I M P U L A N
- Cerita Yusuf dalam kitab Kejadian merupakan suatu kesaksian iman bangsa Israel akan pemeliharaan Tuhan dalam kehidupan mereka. Cerita Yusuf merupakan kisah yang utuh dan berasal dari dua sumber yaitu Y dan E. Sumber Y berasal dari zaman Daud dan Salomo sedangkan sumber E pada zaman Yerobeam setelah kerajaan Salomo berakhir. Masing-masing konteks kedua sumber tersebut hidup berdampingan dengan bangsa asing khususnya Mesir. Bangsa asing tersebut terkadang menjadi musuh nasional Israel. Selanjutnya kedua sumber tersebut digubah redaktor dalam kitab Kejadian pada abad ke-4.
- Dalam tafsiran naratif, kedua sumber tersebut tidak dipisahkan lagi. Cerita tersebut sudah menjadi satu cerita yang utuh, yang dikarang oleh seorang narator yang kemudian ditambahkan ke dalam kitab Kejadian oleh Redaktor. Materi-materi dari sumber Y dan E sudal saling menjalin menjadi satu kesaksian yang utuh tentang panggilan dan pemeliharaan Tuhan dalam kehidupan manusia yang diikat dengan janji. Diyakini bahwa cerita tersebut digubah kembali oleh satu orang penggubah.
- Cerita Yusuf juga tidak dapat dipisahkan dari kitab Kejadian secara keseluruhan. Cerita Yusuf merupakan bagian penting dalam memahami kiab Kejadian bahkan Pentateukh. Cerita Yusuf merupakan jembatan sejarah janji akan karya keselamatan yang dilakukan Tuhan sejak penciptaan, pemanggilan patriarkh dan peristiwa keluaran. Dengan demikian, keseluruhan teks dalam kitab Kejadian dipahami dalam kanon janji.
- Terkhusus pasal 45 yang dibahas penulis, menceritakan Yusuf yang memperkenalkan dirinya kepada para saudaranya. Setelah dia dijual ke Mesir, dia selalu disertai Tuhan sehingga dia menjadi berkat bagi bangsa Mesir. Yusuf menyaksikan imannya bahwa Tuhanlah yang memanggil dan mengutusnya ke Mesir untuk memelihara kehidupan bangsa mereka. Melalui kesaksian terserbut, disimpulkan bahwa Tuhan mengontrol setiap gerak kehidupan manusia sepanjang sejarah sejak dari zaman penciptaan, para patriarkh sampai saat ini. Tuhanlah yang melukiskan sejarah dunia dan bertujuan untuk menciptakan damai sejahtera bagi ciptaan-Nya.
- Penciptaan manusia merupakan panggilan Tuhan. dalam panggilan tersebut, Tuhan mengikat janji dengan manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Sebagai gambar dan rupa Allah, manusia bertanggung jawab untuk mengusahakan ciptaan lainnya secara bertanggungjawab sebagai respon terhadap panggilan Tuhan. Janji tersebut dimulai kepada adam dan Hawa, dilanjutkan kepada patriarkh, Yusuf dan kepada manusia saat ini. Janji tersebut adalah dalam rangka keselamatan manusia melalui pemberian tanah perjanjian, mempunyai keturunan/menjadi bangsa yang besar dan menjadi berkat bagi dunia.
- Panggilan terhadap manusia merupakan tindakan aktif Allah. Tuhanlah yang berkuasa untuk mewujudkan panggilan tersebut dengan penggenapan janji-Nya. Dengan demikian manusia hanya mempunyai otoritas untuk taat atau tidak taat dalam janji tersebut. Janji Tuhan tersebut bisa saja bersifat presentis dan futuris.
- Dalam proses panggilan, manusia akan menghadapi berbagai tantangan kehidupan dunia. Manusia bisa saja menderita dalam proses tersebut. Namun Tuhan akan selalu menyertai kehidupan manusia sebagai anak janji. Penyertaan Tuhan dan panggilan Tuhan bukanlah jaminan bagi manusia untuk lepas dari penderitaan di dunia, namun justru penderitaan bisa menjadi salah satu jalan untuk mendewasakan iman umat-Nya. Namun penderitaan bukanlah akhir segalanya. Karena anugerah Tuhan lebih besar dari penderitaan yang dialami manusia. Dengan demikian, kehidupan manusia dipahami sebagai proses kematangan iman dalam panggilan tersebut.
- Tuhan mempunyai rencana yang indah pada masa depan dalam setiap kehidupan manusia (sebuah panggilan), oleh karena itu kehidupan sekarang adalah sebagai suatu persiapan dan proses menyongsong kehidupan yang lebih baik. Manusia senantiasa hidup dalam rangka harapan akan janji keselamatan kekal dari Tuhan. Oleh karena itu, ketaatan dan kepatuhan di hadapan Tuhan merupakan hal utama dalam merespon panggilan tersebut. Keegoisan manusia akan menghalanginya untuk melihat rencana Tuhan dalam kehidupannya.
- Tuhan bisa saja memakai suatu bangsa, suku ataupun kelompok dalam rangka mewujudkan keselamatan bagi umat pilihan-Nya, namun kejahatan bukanlah dari Tuhan, itu berasal dari dunia yang telah penuh dengan dosa. Tuhan tidak pernah kompromi dengan kejahatan yang dilakukan manusia terhadap sesamanya sesamanya ataupun terhadap ciptaan lainnya. Tuhan tidak pernah setuju dengan tindakan anak-anak Yakub yang melakukan kejahatan kepada Yusuf. Justru Tuhan menentang ketidakadilan dengan anugerah.
- Kejahatan yang dilakukan setiap orang akan menimbulkan rasa bersalah secara berkelanjutan sehingga timbul juga rasa takut dan keraguan, dalam kaitan tersebut pengampunan yang tulus terhadap orang lain akan menimbulkan rasa penyesalan dan pertobatan baginya, dengan demikian, akan muncul perdamaian. Tuhan juga menghendaki agar manusia menjadi konselor sesamanya.
- Keagungan manusia terletak pada sikap kerendahan hati dan pengampunan terhadap sesama. Kerendahan hati dan pengampunan terwujud ketika manusia hidup dalam kebenaran. Tuhan diperlukan dalam mencipta dan menata hidup yang benar tersebut. Ketika manusia mampu dengan iman melihat rencana Tuhan dalam tempatnya maka dia akan hidup dalam kebenaran. Ketika manusia mampu dengan iman merasakan tangan Tuhan dalam segala situasi yang dihadapinya, maka dia akan hidup dalam kebenaran. Ketika manusia mampu dengan iman menerima baik tempat dan situasinnya, bahkan ketika ada kejahatan dalam proses tersebut, maka sikapnya akan menjadi benar dan bijaksana. Satu-satunya cara menemukan kebahagiaan dalam kehidupan adalah melakukannya dengan iman.
[1] Brian P. Hall, Panggilan Akan Pelayanan-Citra Pemimpin Jemaat (Jakarta: BPK- Gunung Mulia, 1992) hal. 12.
[2] Paul. E. Billheimer (terj.), Kemuliaan di Balik Penderitaan (Surabaya: Yakin, 1977) hal. 28.
[3] Paul E. Berheillmer, Ibid, hal. 30.
[4] V. Tinambunan, Gereja dan orang Percaya: Oleh Rahmat Menjadi Berkat di Tengah Krisis Multi Dimensi, Pematangsiantar: L-SAPA STT HKBP) hal. 35-36.
[5] Charles R. Swindoll, Yusuf: Seorang yang Berintegritas dan Pengampun, (Bandung: Cipta Olah Pustaka, 2001) hal. 34.
[6] James L. Crenshaw, Story and Faith (Hendrikson Publisher) hal. 56.
[7] Charles R. Swindoll, Op. Cit. hal. 11.
[8] Gerhard von Rad (terj.) Genesis- A Commentary, (Philadelpia: The Westerminster Press, 1956) hal.392.
[9] Claus Westerman, Genesis 37-50 A Commentary (Minneapolis, Augsburg Publishing House, 1986) hal 18-19
[10]G. Ch. Aalders, Bible Students Commentary- Genesis Vol. I (Grand Rrapids: Zondervan Publishing House, 1992) hal. 45-47.
[11] Stuart Briscoe, Mastering The Old Testament (Dallas: Word Publishing, 1987) hal. 368-369.
[12] Don Anderson, Joseph-Fruitfull in Affliction (Neptune, New Jersey: Loizeaux Brothers, 1988) hal.16-17.
[13] David F. Hinson, Sejarah Israel pada Zaman Alkitab (Jakarta: BPK-GM Mulia, 1995) Hal. 146.
[14] Ibid, hal 822.
[15] Ibid, hal. 304.
[16] J.D. Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1994) hal. 198
[17]
Tanah antara sungai Tigris dan Efrat. Bagian selatan daerah tersebut
dikuasai oleh Babel, dan bagian Selatan dikuasai oleh Assyur.
[18] John Bright, A History Of Israel (Philadelpia: The Westminster Press) hal. 59-61.
[19] Blommendaal, Pengantar Kepada Perjanjian Lama ((Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2003) hal 24.
[20] Raymond E. Brown S.S, dkk (ed.), The Jerome Biblical Commentary (New Jesrey: Prentice Hall, Inc, 1968) hal. 37.
[21] E.A. Speiser, The Anchor Bible, Genesis (New York: Doubleday & Company, 1964) hal. 337
[22] Pada
masa ini, pemerintahan Daud, mempertahankan kekuasaannya dengan
mengawini anggota keluarga bangsa lain yang berkuasa dan kaya (politik).
Dalam bidang ekonomi, kerajaan Daud makmur karena mendapatkan banyak
bahan makanan, bahkan ia menjadi tuan tanah yang kaya dari hasil
perkawinannya. Segi kultus, Abyatar dari kaum Eli membangun
kembali sisa-sisa kultus di Silo. Mereka mengenal Yahweh, sebagai Tuhan
yang selalu melindungi mereka dari serangan bangsa asing. (Robert B. Coote dan mary P. Coote, Kuasa, Politik dan Proses Pembuatan Alkitab (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2004) hal. 32.
[23] Ibid, hal. 36.
[24]
Suatu kombinasi dari dua agama, terjadi di bagi bangsa Israel, ketika
mereka dalam perjalanan padang Gurun, agama baalistis (penyembah patung
dan berhala, dewa El) menyusup kedalam kepercayaan bangsa Israel.
[25] Robert B. Coote dan mary P. Coote, Kuasa...Ibid, hal. 51.
[26] Ibid, hal. 52.
[27] G.Ch Aalders, Op. Cit, hal. 42.
[28] John hargraves, A Guide To The Book Genesis (London: Hollen Street Press, 1969) hal. 1.
[29] Hans-Ruedi Webwer¸ Kuasa, Sebuah Studi Teologi Alkitabiah (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1997) hal. 2.
[30] Derek Kidner, Genesis, An Introduction and Commentary (London: The Tyndale Press, 1971) hal.. 32.
[31] Ibid, hal. 33.
[32]
Banyak pendapat para ahli yang memberi penjelasan tentang arti kata
“kita”. Diantaranya, ada yang menyebutkan bahwa hal itu menunjukkan
ke-Mahabesaran Allah, sehingga merupakan bahasa kiasan saja. Ada yang
menyebutkan hal tersebut dipengarui tradisi Timur Dekat Kuno yang
mempunyai dewa yang majemuk politeisme). Ada juga yang menyebutkan bahwa
hal tersebut menunjukkan kemajemukan Allah yang maha kuasa, artinya
menunjukkan kuasanya yang besar. (band. G.Ch. Aalders, Bible student is Commentary Genesis Vol. I, G. Rapids-Michigan: Zondervan Publishing House, 1992, hlm 68-69.
[33] Jaroslav Pelikan (ed.), Luther’s Works Vol. I, Lecturer on Genesis Chapter 1-5 (Saint Louis, Missouri: Concordia Publishing House, 1958) hal. 68.
[34] Yongki Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2004) hal. 51.
[35] Ibid, hal. 34-35.
[36] William A. Dyrness, Agar Bumi Bersuka Cita, Misi Hollistis dalam Teologi Alkitab,(BPK-Gunung Mulia: 2001) hal 39.
[37] Andrew E. Hill dan John H. Walton, Survey Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas, 2000) hal. 159-160.
[38] W.S. Lasor, dkk, Pengantar Perjanjian Lama II (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2006) hal. 126-128.
[39] Ibid, hal. 130-132.
[40] Ibid, hal. 134-135.
[41] D. Guthrie (ed.), The New Bible Commentary-Revised, (London: Inter-Varsity Press, 1972) hal.26-27.
[42] Menciptakan (Ibr. ברא-bara)
artinya, menciptakan dan memperbaharui dari yang tidak ada menjadi ada,
terdapat sebanyak 49 kali dalam Perjanjian Lama. Dipakai bagi
penciptaan ilahi, tidak pernah digunakan dengn material sebagai
pelengkap penderitanya.
[43]
Baik berarti bagus, indah, menyenangkan, tepat dan sempurna. Secara
lebih luas baik artinya cocok atau sesuai dengan tujuan Tuhan. Yongki
Karman, Bunga Rampai...Op. Cit, hal. 30.
[44] Walter Brueggemann, Genesis Interpretation, A Bible Commentary For Teaching and Preaching, (Atlanta: John Knox Press, 1982) hal. 1.
[45] Ibid, hal. 1-2.
[46]A. Kuenen dan J. Wellhausen
adalah teolog Jerman abad 18 yang berpendapat bahwa kitab pentateukh
dibangun dengan empat sumber, yaitu Y,E,D dan P. sumber inilah kemudian
digunakan redaktor meredeaksi kitab tersebut.
[48] R.K. Harrison, Introduction to The Old Testament (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1969) hal. 542-543.
[49] Istilah toledot
diterjemahkan dengan “keturunan” atau “riwayat” yang dipahami
tergantung konteksnya, apakah berkenaan dengan suatu silsilah (mis; Kej.
5:1) ataupun berkenaan dengan suatu riwayat. (R.K. Harrison, Ibid, hal. 543-544.)
[50] Ibid, hal. 547.
[51] Ibid, hal. 548.
[52] W.S. Lasor, dkk, Pengantar...Op. Cit, hal. 116-117.
[53] Gerhard von Rad, Genesis A Commentary (terj.) (London: SCM Press, 1956) hal. 23-24.
Von Rad
mengkaji teologia sumber-sumber tersebut, secara umum dapat disebutkan
sebagai berikut: Yahwist merupakan kisah yang sangat mengagumkan, karena
mengetengahkan kisah permulaan manusia secara mendalam. Manusia menjadi
salah satu penekanan utama Yahwist. Sehingga dalam berteologi, terutama
dalam memperkenalkan Tuhan, Yahwist sering mempergunakan gambaran
kehidupan manusia (antromorfis). Elohist mengetengahkan kisah narasi
yang sangat dekat dengan tradisi (mis. cerita Abraham), Elohist juga
menekankan segi spritualitas yang terkandung dalam naskah tersebut.
Elohist menampilkan Tuhan yang menampakkan diri kepada orang beriman
melalui mimpi dan malaikatnya. Dengan demikian Elohist membangun suatu
teologi, dimana Allah memilih dan memanggil orang pilihan-Nya. Ia
menampakkan diri melalui mimpi ataupun malaikatnya (bnd. Mimpi Yusuf).
Elohist juga sangat dekat dengan tradisi kenabian, yaitu pola nubuatan
dan penggenapannya. Secara keseluruhannya, Priest merupakan doktrin.
Teksnya sangat artistik yang menggunakan simbol-simbol yang memiliki
kandungan ajaran (doktrin). Oleh karena itu, memahami teks Priest, harus
mengkaji arti terdalam dari setiap ayat yang penuh dengan kiasan
tersebut (Ibid, hal. 25-27).
[54] Robert Pfeiffer, Introduction to The Old Testament, (New York: Harper and Brothers Publisher, 1948) hal. 160
[55] Andrew E. Hill dan John H. Walton, Survey...Op. Cit, hal. 141.
[56] Ibid, hal. 143.
[57] Nolan B. Harmon (ed.), The Interpreter’s Bible (New York: Abingdom Press, 1939), hal. 798.
[59] C.F. Keil & F. Delitzsch, Biblical Commentary on The Old Testament Vol. 1, The Pentateuch (Michigan: W.M. Eerdmans Publishing Company, 1949) hal. 365-366.
[60]Nolan B. Harmon (ed.), The Interpreter’s... Op.Cit, hal. 799-800.
[62] C.F. Keil & F. Delitzsch, Op. Cit, hal. 365-366.
[63] Bandingkan dengan 1 Makkabe 51:40-42 yang menyebutkan “Tuan dari rumah ini dan pengambil keputusan di seluruh tanah Mesir.
[64]Nolan B. Harmon (ed.), The Interpreter’s... Op.Cit, hal. 798.
[66]Bandingkan dengan pendapat E. A. Speiser, menurutnya
setelah melewati masa yang menegangkan dari cerita sebelumnya, pasal
ini merupakan antiklimaks. Yusuf mengungkapakan kepribadiannya terhadap
saudara-saudaranya, permasalahan yang dimunculkan narator sebelumnya
terjawab dan diakhiri dengan kebahagiaan dalam pasal ini. Yusuf yang
memperkenalkan diri dimulai dengan konflik. Konflik batin yang terjadi
pada Yusuf yang memaksanya memperkenalkan diri. Yusuf memperkenalkan
diri sebanyak dua kali (ay. 3 dan 4). Hal tersebut membuktikan bahwa
teks tersebut dibangun dua tradisi yaitu Y dan E. (E.A Speiser, The Anchor... Op. Cit, hal. 339-340).
[67] John Calvin, Commentary on The Book of Genesis Vol. 2 (Michigan: W.M. Eerdmans Publishing Company, 1948) hal. 375-376
[69] John Calvin, Op. Cit, hal. 378-379.
[70] Gerhard von Rad, Genesis A Commentary (terj.) (London: SCM Press, 1956) hal. 342-343.
[71] Gerhard von Rad, Genesis... Op. Cit, hal. 392-393.
[72] William Neil, Harper’s Bible Commentary (New York: Harper and Row Publisher, 1962) hal. 63.
[73] Ibid, hal. 64.
[74] A.S. Herbert, Genesis 12-50, Introduction and Commentary (London: SCM Pres, 1962) hal. 139-140.
[75] Ibid, hal.114.
[76] Ibid, hal.141.
[77] Raymond E. Brown S.S, dkk (ed.), Op. Cit, hal. 43.
[78] Gosyen
merupakan salah satu daerah yang subur di daerah Delta, Timur Dekat.
Pada masa kekuasaan Hyksos, daerah ini digunakan sebagai tempat berdiam
para pengembara ataupun orang asing yang datang ke Mesir.
[79] Derek Kidner, Genesis... Op. Cit, hal. 206.
[80] Jelaskan arti idiomatik
[81]
Hyksos adalah kepala dari tanah luar Mesir yang merupakan suku semitik
yang menyerang Mesir dan menguasainya sekitar tahun 1720-1580 BC.
[82] Penguasa Mesir pada abad ke 13 BC.
[83] J.T.E. Renner, ChiRho Commentary Series on Genesis (Adelaide: Lutheran Publishing House,1984) hal. 276.
[84] Ibid, hal. 277.
[85]Stuart Briscoe, Mastering... Op. Cit, hal. 367-368.
[86] Ibid, hal. 368-369.
[88] Matthew Henry’s, Commentary on The Whole Bible Vol. 1 Genesis to Deuteronomy (Virginia: Macc Donald Publishing Company, 1995) hal. 244.
[89] Ibid, hal. 244.
[90] John Barton dan John Muddiman (ed.), The Oxford Bible Commentary (Oxford: Oxford University Press, 2000) hal. 62.
[91] Don Anderson, Joseph Fruitful in Affliction, (Naptune, New Jesrey: Loizeaux Brothers, 1988) hal. 224.
[92] Stuart Briscoe, Mastering... Op. Cit, hal. 369.
[93] Gerhard von Rad, Genesis...Op. Cit, hal. 393.
[94] Don Anderson, Joseph...Op. Cit, hal. 227.
[95] John H. Hayes dan Carl R. Holladay, Pedoman Penafsiran Alkitab, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2005) hal. 86.
[97] A.A. Sitompul dan Ulrich Bayer, Metode Penafsiran Alkitab 9lihat aa sitompul hal 305 dst.
[98] John H. Hayes, Pedoman…Op.Cit, hal. 87.
[99] John H. Hayes (ed.) Methods Of Biblical Interpretation (Nashville, USA: Abingdon Press, 1999) hal.169-170.
[103]Dalam
bahasa Yunani kata ini berarti “penggaris” atau “ukuran” dan dikenakan
pada kitab-kitab dalam Alkitab yang dianggap otoritatif. Proses
penyeleksian kitab tersebut berlangsung dalam waktu yang lama dan
bertahap.
[104]Dengan
memahami perkataan “pada mulanya”, maka terkandung pengertian, bahwa
kitab Kejadian mengisahkan permulaan dunia dalam ruang dan waktu. Namun
dibutuhkan pertimbangan terhadap konsep ke-Yahudian tersebut, karena
banyak pikiran modern melihat proses penciptaan tersebut sebagai hal
yang irrasional. Jawaban yang lebih tepat lagi akan terhadap perkataan
“pada mulanya” adalah bahwa tidak ada sesuatupun sebelum pada mulanya.
Segala sesuatu tersebut berawal dari tindakan Tuhan. Dengan demikian,
konsep perkataan tersebut menembus dan melampaui pentarikhan tahun yang dicipta manusia. (G.Ch Aalders, Bible... Op. Cit, hal. 42.)
[105]
Geneanalogis maksudnya melihat kitab Kejadian sebagai buku yang
merupakan petunjuk terhadap garis keturunan umat manusia. Dengan
pemahaman geneanalogis terhadap kitab Kejadian, maka asal-usul bangasa
Israel menjadi jelas.
[106] Gerhard von Rad, Genesis... Op.Cit, hal. 13-16.
[107]John Barton, Teologi Perjanjian Lama, dalam buku Studi Perjanjian Lama bagi Pemula oleh John Rogerson (Jakarta: BPK-Guning Mulia,1997) hal. 105.
[108] Namun
Martin Noth seperti yang dikutip Lasor menolak teori Hexateukh.
Menurutnya, kitab Yosua lebih mungkin dipahami sebagai satu kesatuan
dengan Hakim-hakim, I-II Samuel, dan I-II Raja-raja, daripada harus
disatukan dengan Pentateukh. Menurutnya, pasal 1-12 disusun oleh seorang
sejarawan Deuteronomik dengan melakukan beberapa penambahan seperti
nama-nama kota dan juga pasal 13-21. Namun jika menganalisa perkataan
“sampai hari ini” mengindikasikan bahwa kitab tersebut ditulis pada masa
Yosua. Disamping itu, penggalian Arkeologis di beberapa kota Kanaan
mengindikasikan pernah terjadi penyerbuan ke daerah
tersebut sekitar abad ke-13 sM. Dengan alasan-alasan tersebut disamping
yang lainnya, lebih baik memahami Kitab Yosua sebagai bagian yang
terpisah dengan Hexateukh seperti yang dipahami juga oleh teolog Amerika
seperti Bright dan Albright (W.S. Lasor, dkk, Pengantar...Op. Cit, hal. 284-285).
[109] George W. Coats, Genesis, with an Introduction To Narrative Literature Vol. I (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans Publishing Company, 1987) hal. 15-18.
[110] Ibid, hal. 19-20.
[111]
Teks Alkitab ibarat sebuah tikar yang sudah dijalin rapat dan baik.
Jika harus menguraikan satu persatu bahan yang membentuknya (benang,
plastik, dll), maka kemungkinan akan terjadi kesulitan ketika menyusun
kembali bahan tersebut seperti pada awalnya. Hal yang lebih fatal lagi
ketika suatu teks diuraikan berdasarkan bahan pembentukannya, namun
terjadi “salah tafsir” ketika melakukan hermeutis. Oleh karena itu,
penafsiran kanonis akan dapat menghindari hal tersebut.
[112] Gerhard von Rad, Genesis...Op. Cit, hal. 27.
[113] Ibid, hal. 28.
[114]
On disebut juga Heliopolis, atau kota matahari di Mesir Utara, yang
mempunyai tempat ibadah yang amat besar dan berbagai patung.
[115] John Bright, A History...Op. Cit, hal. 77-79.
[116] S.H. Hooke, The Clarendon Bible, old Testament Vol. VI, In The Beginning (London: Oxford at the Clarendon Press, 1955) hal. 117-118.
[118] Robert B. Coote dan mary P. Coote, Kuasa, Politik dan Proses Pembuatan Alkitab (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2004) hal. 32.
[119] Ibid, hal. 32-35.
[120] Ibid, hal. 36.
[121] Ibid, hal. 51.
[122] Ibid, hal. 52.
[123] Langkah peredaksian kitab Pentateukh: Pertama menggabungkan cerita yang berasal dari sumber Y (950-850 BC) dengan sumber E (750 BC) sekitar tahun 650 sM dengan simbol RJE dan diredaksi oleh satu tangan. Pada bagian terpisah dalam waktu yang bersamaan, E2 (penambahan redaktor) sudah dimasukkan ke dalam peredaksian sumber E. Sumber D dengan code 621 juga telah diperkenalakan terhadap Y dan E dalam bagian yang terspisah dengan RJE. Dengan demikian, muncul dua kitab dalam bagian yang terpisah di Yerusalem sekitar tahun 586, yaitu RJE dan J,E. Langkah kedua adalah penambahan D code621 ke
J,E. Dikatakan penambahan karena sebelumnya juga unsur sumber E telah
ditemukan di J,E. Misalnya, cerita tentang Musa, telah ditemukan dalam
bagian biografi J dan E namun tentang kematiannya ditambahkan kembali
dari sumber D code 621. Penambahan ini diberi tanda RD yang
juga termasuk didalamnya Deuteronomist kitab Yosua, Hakim-hakim, Samuel
dan II Raja-raja. Penambahan ini sangat berpengaruh dalam Pentateukh
sekitar tahun 550 sM terutama dalam kitab Yosua. Pada langkah ketiga yang dilakukan redaktor adalah penambahan sumber P ke dalam JED atau yang diberi tanda RD
Selanjutnya tahun 400 sM, memasukkan kode perjanjian ke dalam JEDPS.
Itulah bagian yang terakhir dengan penyempurnaan beberapa bagian PS (P
yang sudah diedit). Beberapa abad kemudian proses pengeditan selesasi
dan Pentateukh mendapat status kanon dan penutupannya dilakukan tahun 90
pada sidang di Jamnia. (RJE, E2, D code621, RD, PS;
merupakan kode-kode atau tanda yang dibuat redaktor ketika melakukan
redaksi terhadap kitab-kitab dalam Pentateukh sehingga muncul kitab
seperti dalam bentuk sekarang (termasuk munculnya kitab Kejadian).
(Robert Pfeiffer, Introduction...Op. Cit, hal. 282-288).
[124] Ibid, hal. 282.
[125] S. Wismoady Wahono, Disisni Kutemukan, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2004) hal. 262.
[126] Ibid, hal. 263.
[127] Andrew E. Hill dan John H. Walton, Survey...Op. Cit, hal. 147.
[128]
Hal inilah yang membedakan kisah Kejadian dengan cerita yang terdapat
di Mesopotamia. Bagi mereka, dunia diciptakan pertama sekali adalah yang
mereka pikirkan adalah dewa. Dengan demikian, mereka yang menentukan
dewa pencipta bagi mereka. Hal ini sangat berbeda dengan konsep yang
terdapat dalam Kejadian,,meskipun terdapat kesejajaran diantara
keduanya.
[129] Andrew E. Hill dan John H. Walton, Survey...Op. Cit, hal. 149-150.
[130] Raymond E. Brown S.S, dkk (ed.), The Jerome... Op. Cit, hal. 37.
[131] Sehubungan dengan hal tersebut, ada beberapa karakteristik dapat disebutkan:
a)
Cerita Abraham Yakub yang terdiri dari bagian yang berkaitan dan tidak
utuh. Beberapa bagian dalam saga tersebut seakan-akan hilang, sementara
kisah Yusuf merupakan sebuah kisah tunggal yang berkelanjutan dengan
cerita yang utuh. Mempunyai plot maju dengan awal yang jelas dan juga
akhir yang membahagiakan tanpa adanya suatu pemisahan cerita Hal ini
mengindikasikan bahwa cerita tersebut dirancang di bawah keahlian
seorang narator. b) Dalam cerita patriarkh, Tuhan secara berkelanjutan
memperkenalkan diri secara langsung kepada mereka secara individu.
Sementara dalam cerita Yusuf, Tuhan digambarkan sebagai penyebab,
pengontrol dan mendesain seluruh cerita. c) Dalam cerita patriarkh,
beberapa bagian cerita sering dihubungkan dengan tempat-tempat suci.
Sementara cerita Yusuf tidak mempunyai visualisasi dari Tuhan. Dia tidak
membangun altar tetapi hanya mengungkapkan keberuntungan yang
diperolehya dengan keberpihakan Tuhan atas dirinya melalui mimpi. d)
Perpindahan Patriarkh dihubungkan dengan gambaran suatu tradisi kuno
yang melakukan perpindahan suatu klan ataupun suku. Sementara dalam
cerita Yusuf, dia hanya seorang pribadi. Hal ini menandakan bahwa cerita
Yusuf adalah karya seorang narator yang seniman. (S.H. Hooke, The Clarendon...Op. Cit, hal. 113-115).
[132] Gerhard von Rad, Genesis...Op. Cit, hal. 342.
[133] John Barton dan John Muddiman (ed.), The Oxford Bible Commentary (Oxford: Oxford University Press, 2000) hal. 60.
[134] Bersifat cerita sebab akibat.
[135] Walter Lempp, Tafsiran Kejadian ((Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1974) hal. 23.
[136] E.A Speiser, The Anchor Bible Genesis (Garden City, New York: Doubleday and Company Inc., 1964) hal. 59.
[137] John Barton dan John Muddiman (ed.), The Oxford...Op. Cit, hal. 60.
[138] Nolan B. Harmon (ed.), The Interpreter’s... Op. Cit, hal. 798.
[139]
Nah gas, bukan hanya menunjuk kepada hubungan yang renggang, tetapi
kepada kedekatan yang intim. Istilah ini sering dipakai untuk
menunjukkan sikap yang mendekati dengan tujuan memeluk dan mencium
seseorang.
[140]
Dikatakan pastoral resolusi konflik, karena ungkapan tersbut merupakan
suatu upaya pastoral konseling terhadap perasaan bersalah
saudara-saudara Yusuf yang selalu membayangi kehidupannya, karena
kejahatan yang dilakukannya terhadap Yusuf. Hal tersbut dilakukan dengan
mengampuni mereka melalui anugerah Tuhan yang selalu menyelamatkan
mereka, melalui tokoh Yusuf.
[141] Derek Kidner, Genesis, An Introduction and Commentary (London: The Tyndale Press, 1971) hal. 32.
[142] Bandingkan dengan pendapat Paul Tournier, sperti yang
dikutip Charles L. Windoll Perkataan Yusuf (45:5,8) menyingkapkan tabir
naratif dan mengizinkan pembaca untuk melihat pembaca apa yang sedang
terjadi di balik layar. Bukan saudara-saudaranya yang mengirim Yusuf ke
Mesir, melainkan Tuhan yang memiliki satu tujuan untuk itu. Dengan
demikian, penulis memunculkan satu tokoh utama yang bertanggung jawab
akhir atas seluruh rencana dan sub rencana naratif yang sebelumnya yang
menyatakan rencana dan tujua Ilahi di balik semuanya. (Charles R. Swindoll, Yusuf, seorang... Op. Cit. hal. 207).
[143] Bandingkan: Mzm105:17 diutus-Nyalah seorang mendahului mereka: Yusuf, yang dijual menjadi budak.
[144] Analisis penulis
[145]
Bandingkan dengan Kej. 46:2-5, melalui teks tersebut tercermin
kehidupan Yakub yang belum benar-benar yakin terhadap kabar yang
disampaikan anak-anaknya tentang Yusuf yang masih hidup bahkan menjadi
penguasa di Mesir. Dia yakin setelah Tuhan berbicara dan menampakkan
diri kepadanya.
[146]Mazmur
81 merupakan karangan Asaf dengan judul “nyanyian pada waktu pembaruan
perjanjian”. Mazmur ini dibagi ke dalam dua bagian besar, yaitu: ayat
1-6b yang merupakan undangan untuk bermadah dan ayat 6c-17 yang isinya
peringatan dan janji bersyarat.
(M.C. Barth dan B.A. Pariera, Tafsiran Alkitab, Mazmur 73-150, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, ) hal. 81.
[147]Maz. 105: 16-24, 16)
Ketika Ia mendatangkan kelaparan ke atas negeri itu, dan menghancurkan
seluruh persediaan makanan, 17) diutus-Nyalah seorang mendahului mereka:
Yusuf, yang dijual menjadi budak. 18) Mereka mengimpit kakinya dengan
belenggu, lehernya masuk ke dalam besi, 19) sampai saat firman-Nya sudah
genap, dan janji TUHAN membenarkannya. 20) Raja menyuruh melepaskannya,
penguasa bangsa-bangsa membebaskannya. 21) Dijadikannya dia tuan atas
istananya, dan kuasa atas segala harta kepunyaannya, 22 untuk memberikan
petunjuk kepada para pembesarnya sekehendak hatinya dan mengajarkan
hikmat kepada para tua-tuanya. 23) Demikianlah Israel datang ke Mesir,
dan Yakub tinggal sebagai orang asing di tanah Ham. 24) TUHAN membuat
umat-Nya sangat subur, dan menjadikannya lebih kuat dari pada para
lawannya;
[150] Bandingkan dengan pendapat Wayne Zweck,
The massage of forgiveness is the heart and soul of God’s revelation to
humanity and it is basic to proclamation of God’s people throughout
history. The church healed by forgiveness. That is as true of the HKBP
as it is to any church organization. It is a body which lives under the
all covering umbrella of God’s forgiveness. It is a body which serves
under that umbrella and is thus able to be a blessing to others. (Wayne Zweck, Joseph and His Brothers: Forgiveness Brings Healings, dalam buku Pelayanan yang Kritis di Alam Demokratis (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2006) hal. 297-298.
No comments:
Post a Comment