Monday, 28 October 2013

Kisah Lingga dan Purba

Kisah Lingga dan Purba, Asal mula Emas di Dolok Pinapan

27122010187Matahari semakin meninggi, awan putih tipis berarak perlahan melewati gunung. Desiran angin menerpa dedaunan pohon-pohon yang menjulang. Tak seperti biasanya, kali ini hanya angin kering. Tak ada butiran air yang menyatu dengan awan. Dedaunan itu berguguran, kini. Lumut-lumut itu telah lama menanti hujan. Warnanya kini menguning, seolah terkelupas dari kulit-kulit pohon-pohon yang meranggas. Ini benar-benar kemarau!.
Keduanya masih berkingkrak kegirangan, menari dan bernyanyi, berpelukan terus menari tidak memperdulikan cuaca. Tarian mereka seolah diiringi lengkingan Imbo yang kehausan mencari seteguk air, dan siulan sepasang Lali Hulis-hulis terbang mengitari puncak bukit dengan mata yang awas mengamati tikus-tikus pohon yang mencari makanan.
Doa mereka terkabul. Berkali mereka mungucak mata, tak yakin apa yang ada dihadapan mereka  adalah nyata. Seolah semuanya adalah mimpi. Bukan fatamorgana dan bukan pula ilusi. Ini emas asli!. Emas sebesar kepala kuda kini teronggok di depan mereka.
Semula keduanya ragu melakukan pertapaan seperti yang diwangsitkan oleh suara yang datang kedalam mimpi mereka. “Pergilah ke puncak Pinapan, bertapa dan berdoalah disana, Ompu Mula Jadi Nabolon akan mengabulkan.
Berawal dari mimpi yang aneh di siang bolong kala mereka tertidur pulas. Kelaparan membuat mereka nekad merebus batu. Berharap batu itu bisa dimakan, mengisi perut yang sudah dua hari tidak dihinggapi makanan, secuil pun.
“Abang, aku lapar sekali. Tak sanggup lagi menahan rasa ini. Masaklah singkong untukku”, ujar Purba, pemuda tanggung yang tergolek lemah.
Mereka adalah kakak beradik yatim piatu, Lingga dan Purba, yang hidup dari belaskasihan para tetangganya. Kadang mereka bekerja membajak sawah sebagai buruh upahan. Dan bila musim panen tiba, merekapun menjajakan tenaga untuk membantu tetangga yang sedang menuai.
Sesekali mereka mencari soban, –kayu bakar– ke hutan dikaki Dolok Pinapan dan memberikanya kepada tetangga yang membutuhkan. Sebagai gantinya, tetangga yang baik hati itu akan memberikan beberapa mug beras, ubi, atau apa saja makanan yang bisa dimakan.
“Aku sudah memasak ubi, Anggia, bersabarlah sedikit” ujar Lingga. Ia tahu kalau batu itu takkan bisa dimakan. Dan ia juga tahu kalau batu yang sekepalan tangan itu tidak akan bisa berubah menjadi ubi. Ia sengaja membohongi adiknya yang menghiba meminta makanan, supaya Purba tertidur.
“Abang, aku lapar”
“Iya, aku tahu, tapi bersabarlah sebentar lagi”
Kemarau panjang ini sepertinya belum akan berakhir. Sunga-sungai mengering, sawah pun tidak menghasilkan apa-apa. Ubi tumbuh dengan kerempeng, pohon-pohon kemenyaan tidak mengeluarkan getahnya.
Beberapa penududuk mencoba peruntungan dinegri orang, menjadi buruh tani bahkan ada yang sengaja ‘manombang’, membuka lahan pertanian baru nun jauh disana didaerah yang lebih subur yang tidak mengalami kemarau. Hanya anak-anak dan orang yang sudah renta, kini mendiami kampung itu.
Akhirnya, keduanya terlelap. sejenak melupakan permasalahan yang ada. Terlelap tidur atau mungkin juga pingsan karena kelaparan, tidak ada yang tahu. Mereka terbuai oleh mimpi, dimana tidak ada rasa lapar. Semuanya indah dan bahagia.
Itulah awal segalanya.
Mimpi itu memberikan petunjuk kepada mereka berdua. “Pergilah, berdoalah dipuncak Pinapan…Yang Maha Kuasa akan memberikan sesuatu kepada kalian”.
Mereka mendaki Pinapan yang menjulang itu. Selangkah demi selangkah, bergerak menuju puncak gunung, sebagaimana diwangsitkan didalam mimpi mereka. Puncak Dolok Pinapan masih jauh di depan.
Dolok Pinapan berada di Simanullang Toruan. Ada beberapa desa di kaki gunung ini. Pulogodang, Sipagabu, Banuarea, Siatas-Batunagodang, Panggugunan. Puncak Pinapan adalah salah satu tujuan wisata lokal penduduk disana, khususnya kaum muda. Dari puncak Pinapan, memandang ke barat, laut Barus hingga pelabuhan Sibolga nun jauh disana akan terlihat. Bila petang hari, maka perahu-perahu nelayan di pesisir akan terlihat di laut Barus. Pemandangan yang sangat indah sekali. Cakrawala akan menguning saat petang hari, dan Matahari seperti bola api berwana merah bisa dilihat dengan mata telanjang, perlahan mengilang bak ditelan bumi. Seolah dilukis, untuk dinikmati setiap orang yang berada di puncak tertinggi Dolok Pinapan.
Memandang arah Barat Laut, pegungungan Bukit Barisan yang berbaris indah, terhampar dipelupuk. Dolok Pinapan adalah salah satu gunung tertinggi di gugusan Bukit Barisan. Dengan tinggi 2037 meter DPL, menjadikan Gunung ini selalu diselimuti oleh awan putih disetiap harinya.
Biasanya para pendaki gunung ini akan mulai petualangannya di pagi hari. Menjelang siang, puncak gunung ini akan diselimuti oleh awan putih yang tebal. Banyak Rotan tumbuh gunung ini, juga tumbuhan siborutiktik,– semacam bayam liar–. Sayuran khas dari dolokpinapan. Rute pendakian yang biasanya dipilih adalah dari Banuarea dan turun di Batu Nagodang. Selama pendakian, anda akan dihibur oleh suara Imbo–Siamang Hitam– yang menurut beberapa peneliti, komunitas hewan liar ini masih banyak disana. Bagi masyarakat di sekitar kaki gunung Dolok Pinapan, suara Imbo ini bisa menjadi pertanda. Pertanda baik dan pertanda buruk. Itulah gambaran puncak Dolok Pinapan.—-
***
Mereka mulai menyadari kalau perut mereka belum berisi sejak lima hari lalu. Rasa itu kembali mendera mereka. Setelah puas mereka menari, merayakan emas yang ada dihadapan mereka, rencana pun disusun.
“Anggia, aku lapar”
“Iya”
“Tunggulah disini, aku akan kembali mencari sesuatu yang bisa dimakan. Kalau kita lapar, bagaimana mungkin bisa membawa emas ini?”
“Iya, Abang, pergilah, aku akan tinggal disini menjaganya”
Harta membuat mata hati seseorang menjadi buta tiba-tiba.  Cinta akan harta benda bisa mendatangkan kemungkaran. harta menjadi sekat pemisah diantara sesama saudara kandung.
Ada bisikan kuat menghinggapi Purba di kesendirianya. “Bukankah lebih bagus kalau harta itu akan menjadi milikmu seorang?, lihatlah, abangmu, selama ini apa dia memperhatikan dirimu?. Jadi, lakukanlah sesuatu, milikilah emas ini hanya untuk dirimu sendiri”.
Suara ini semakin kuat dan Purba semakin lemah, tak mampu menahan godaan itu. Pada akhirnya, iblis menang atas dirinya. Ia mempersiapkan perangkap kematian. Dengan menggunakan sepotong kayu, ia membuat lubang di jalan yang akan dilalui Lingga. Lalu di dalam lubang itu ditaburi semak berduri, kayu runcing, batu-batu yang tajam dan apa saja yang bisa mencelakakan nyawa bila terperosok kedalamnya. Iblis tertawa melihat hasil kerjanya.
Tidak hanya Purba, Lingga pun tak luput dari godaan iblis. “Hei, Lingga. Bukankah hanya dirimu sendiri yang berkorban demi adikmu?, sementara adikmu hanya tahu meninta dan merengek?. Sepantasnya emas itu hanya milikmu seorang. Lakukanlah sesuatu, singkirkanlah adikmu, lenyapkan dia, maka kau akan berkuasa penuh atas harta itu”.
Kembali iblis itu bersorak kegirangan ketika Lingga berniat meracuni adiknya lewat makanan yang akan dibawanya ke puncak, nantinya. “Emas itu adalah milikku sorang. Kau hanya menjadi beban bagiku. Kau harus mati. Racun ini akan membunuhmu”, lalu makanan itu dibungkus rapi seolah tak ada racun didalamnya.
Jauh di sana, Purba melambaikan tanganya melihat kedatangan Lingga. “Cepatlah, abang, berlarilah, aku sudah tidak kuat menahan lapar ini”, teriaknya.
Tergesa, Lingga pun berlari kecil. Ia tidak menyangka akan terperosok kedalam lubang yang dibuat oleh Purba. Terjerembab dan lengkingan kematian menghantarkanya kealam baka. Usunya terburai dan kepalanya pecah, mati seketika.
Purba bersorak kegirangan dan kembali dia menari seorang diri seperti orang kesurupan. Kini, hanya dirinyalah pemilik emas itu. Ia membayangkan menjadi seorang yang paling kaya di kampung itu. Matanya tertuju pada bungkusan yang dibawa abangnya. Dan tanpa pikir panjang, ia pun menyantap makanan itu.
Pandanganya mengabur, kerongkonganya tercekat, ia merasakan darahnya berhenti mengalir seketika. Seolah seluruh tulang-tulangnya lebas dari persendian. Perlahan, ia pun menghembuskan nafas terakhirnya.
Detik berganti, menit berlalu, hingga bertahun-tahun lamaya, tak ada yang tahu kemana emas sebesar kepala kuda itu menghilang. Hanya lumut yang mengering, menjadi saksi keserakahan kedua kaka beradik itu. Lolongan kematian keduanya disaksikan oleh tatapan lali Hulis-hulis diatas sana. Seolah tahu dan mencium adanya aroma kematian dipuncak bukit yang sepi itu.
Jaman sekarang pun banyak orang berbuat seperti Lingga dan Purba. Harta menjadi segala-galanya dalam kehidupan. Kadang, sesama saudara kandung sudah seperti orang lain. Segalanya dihitung dengan untung-ruginya. Semboyan ‘mardomu di tano rara’ acap kali kembali diperlakukan oleh yang bersaudara. Seperti perumpamaan halak hita ”dang di ho dang diau, tumagon tu begu” artinya, tidak untukmu, tidak unuk saya lebih baik dibuang.
Bagi penduduk di kaki Dolok Pinapan, ucapan “Unang songon si Lingga dohot si Purba hamu,–Jangan seperti Lingga dan Purba–” adalah lumrah dan menjadi petuah orang tua kepada anak-anak. Dan Lingga dan Purba ini juga menjadi gelar yang disematkan bila orang dua orang saudara kandung berselisih. “Nunga mangolu be si Lingga dohot si Purba”. Kisah ini selalu diceritakan kepada anak-anak supaya tidak meniru kelakuan keduanya.
Akankah kisah ini akan menghilang seiring dengan kemajuan jaman dan teknologi informasi?.

No comments:

Post a Comment