TAFSIRAN ALKITAB
Matius 24: 45 – 51.
1. Pendahuluan.
Injil Matius adalah kitab pertama dalam Kanon Perjanjian Baru, karena secara kronologis injil inilah yang paling indah dan teratur. Injil ini ditulis oleh Matius sendiri kira-kira tahun 60-65 sebelum kota Yerusalem hancur, pada awalnya surat ini ditujukan untuk bangsa Yahudi, namun pada hakikatnya injil ini bukan semata-mata hanya untuk bangsa Yahudi, namun secara Universal kitab ibi ditujukan kepada semua bangsa, ( Mat 28 : 18-20 ). Tema umum kitab Matius adalah menceritakan silsilah, Pelayanan Tuhan Yesus sebagai Raja, Mesias dan Juruselamat. Mesias yang rohani dan bukan sebagai mesias politis sesuai harapan bangsa Yahudi; Yesus sebagai Mesias politis akan membebaskan mereka dari penjajahan Bangsa Romawi. Adapun sentral pemberitaan mengenai pelayanan Yesus mulai dari Galilea sampai ke Yerusalem. Inti Pengajaran Yesus adalah “ Tentang Kerajaan Allah”.[1]
2. Kritik Nats.
Secara umum Perjanjian Baru di tulis dalam bahasa Yunani, dan bahasa yunani yang populer saat itu adalah bahasa yunani “Koine” dan bahasa Aram, Injil Matius sangat berbeda dengan markus dan Lukas, Gaya bahasa Matius lebih indah dan tersusun secara rapi dari pada injil synopsis lainnya. Injil Markus di tulis dengan bahasa Yunani yang lebih rendah mutunya. Gaya bahasa Lukas sedikit lebih maju dibandingkan dengan Markus. [2] Matius kurang mengutamakan tokoh-tokoh dalam kisahnya daripada Injil Sinopsis lainnya, Namun Injil Matius menulis secara Sistematis dan teratur tentang Khotbah di Bukit dan Doa yang diajarkan Tuhan Yesus kepada muri-murid-Nya. Pengarang Matius menggunakan sumber Markus dan sumber Quelle. Matius sering di sebut dengan injil “Jemaat” karena di tulis untuk satu jemaat yang masih muda dan masih bergolak sebagai suatu penghiburan dan nasihat. Injil Matius juga di sebut injil “Raja” karena di sepanjang injil ini sifat Kristus sebagai Raja sangat menonjol ( Mat 21:5; 27:37). Matius juga di sebut sebagai Injil Pengajaran, karena dalam setiap bagian atau perikop terdapat satu contoh ajaran yang panjang, Misalnya Khotbah di Bukit Fasal 5:1-7, dan 13:1-52 tentang kisah perumpamaan. Perikop ini terdapat juga dalam injil Lukas 12:41-48, dari segi bahasa jelas Matius 24: 45-51 lebih indah dan teratur.[3]
3. Bidang Kehidupan (Sitz im leben).
Hampir semua kitab Perjanjian Baru berlatar belakang KeYahudian “Yudaisme” Kebudayaan ini ditandai dengan suatu kecintaan yang berapi-api tentang Allah dan Hukum Taurat. Hukum yang telah di berikan Tuhan kepada Musa tetap di pelihara, namun banyak terjadi penyimpangan yang di perbuat oleh imam-imam yang bertugas di Sinagoge. Jemaat di sekitar Matius terdiri dari orang Yahudi, yang mengenal adat-istiadat dan peraturan Yahudi (Mat 17: 24-27; 23: 2; 24: 20), tetapi mereka sudah terlepas dari persekutuan Sinagoge (rumah ibadat Yahudi). Boleh jadi situasi jemaat terancam oleh “kekurang percayaan” (krisis iman). Ada situasi dimana orang Kristen hidup “tanpa hukum” sehingga hidup dalam kasih menjadi dingin, “dan karena makin bertambahnya kedurhakaan” (Yun: anomia, yaitu sikap tanpa hukum ) banyak orang yang murtad (tidak setia kepada Allah), dan Tidak memiliki Kasih.
Matius 24: 45-51, adalah sebuah Perumpamaan. Perumpamaan yang menggambarkan tentang kesetiaan sekaligus peringatan kepada pemimpin-pemimpin gereja untuk tetap setia di dalam masa antara, sebelum Kristus datang didalam kemuliaan.
Para murid dipanggil untuk mengikut Tuhan Yesus, yang mengajar hukum kasih sebagai hukum yang utama, dan yang mengajar bahwa belas kasihan adalah lebih utama dari persembahan (lihat, Mat 5: 43-47; 9: 13; 12: 7; 22: 37-40).
Sebagai pengawal-pengawal penyataan Ilahi, mereka telah menutupi dan memadamkan penyataan itu dibawah sejumlah besar hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang picik dan remeh, sehingga hasilnya beban legalisme (perbudakan kepada hukum), yakni mendorong jauh dari Kerajaan Allah. Dan didalam perumpamaan ini Yesus memperingatkan mereka, bahwa hari perhitungan Allah telah dekat. Bilamana hari itu akan dinyatakan saatnya, apakah mereka telah kedapatan setia kepada kepercayaan mereka atau tidak. Itulah yang menjadi pertanyaan sekaligus jawaban akhir dari imannya.
4. Tafsiran.
1. Hamba.
Hamba dalam bahasa Ibrani disebut ‘eved’ yang artinya ‘budak’ hamba atau pelayan : Seseorang yang bekerja untuk kepentingan orang lain, pekerja yang menjadi milik tuannya. Dalam bahasa Yunani “doulos” juga artinya hamba. Dalam kehidupan keagamaan Israel kata ini dipakai untuk menunjukkan kerendahan diri seseorang di hadapan Allah ( Kel 4:10, Mzm 119:17 ).[4] Istilah hamba seringkali digunakan untuk menggambarkan suatu status sosial seseorang yang rendah dalam masyarakat. Istilah hamba juga mengandung adanya suatu keterikatan dan ke-tidakterikatan seseorang karena adanya suatu kuasa yang mengikat, suatu kuasa lebih besar dari dirinya. Seorang hamba berarti seorang yang tidak memiliki kuasa apapun atas dirinya. Bahkan seorang hamba disejajarkan dengan budak yang tidak memiliki hak penuh atas hidupnya, bahkan kemerdekaan untuk hidupnya diberikan seluruhnya untuk mengabdi kepada tuannya.[5] Dalam Yesaya 40, 42”1-4’ 49:1-6; 50:4-9, hamba yang di maksud adalah menuju kepada Yesus Kristus. Kristus akan menggenapi panggilan Israel yang lama menjadi hamba, dan memperanakkan Israel sebagai hamba yang baru.[6]
Dalam Perjanjian Baru, kata hamba juga menitikberatkan kepada tugas untuk melayani. Ketergantungan hidup seorang hamba bukan hanya menyangkut kehidupan sehari-hari, namun juga kehidupan keagamaan dan moralnya (bnd Mat 6: 24).
Perkataan hamba juga merupakan penggambaran keseluruhan pribadi Yesus, dimana orang Kristen mula-mula percaya akan kesamaan Yesus dengan hamba. Yesus Kristus sebagai hamba Allah dasar acuannya ketika peristiwa “Perjamuan Akhir”, dimana Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya (Yoh 13). Dalam peristiwa ini tampak jelas Yesus mau merendahkan kedudukannya sebagai hamba untuk menggenapi kuasa dan kemuliaan Allah. Sama halnya dengan murid-murid Yesus, mereka juga disebut dan hidup sebagai hamba di dalam kerasulannya. Hidup sebagai hamba Tuhan harus “menjadi teladan” dan berbuat baik. Jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaran (Tit 2: 7), mampu mendorong orang untuk berbuat baik (1Tim 6: 17-18; Tit 3: 1,8,14). Oleh karena itu, tujuan Pekerjaan sebagai hamba adalah agar orang lain mempermuliakan Allah (Mat 5: 16; 1 Petr 2: 12)[7] . Hamba yang diberi wewenang untuk mengurus semuanya juga menggambarkan pemimpin-pemimpin Israel, khususnya para Ahli Taurat dan imam-imam mereka inilah, yang di sebut kesetiaannya belum pasti menurut hukum (sub judice) dan hakimnya (judex) adalah Allah sendiri[8]. Hamba yang di angkat menjadi pengurus rumah tangga, memberi makan dan menanggung jawabi semua kebutuhan keluarga itu pada waktunya (en kairoi ) dan ayat ini juga bertujuan supaya orang percaya tetap berjaga-jaga ( waspada ) sebelum hari Tuhan datang ( Parousia) akhir Zaman, atau kedatangan Anak manusia, karena tidak seorang pun yang tahu hari kedatangan-Nya, penekanannya adalah “berjaga-jaga, bersiap” Mat 7:24,26;25:23.[9]
2. Kesetiaan
Setia dalam pengertian sehari-hari dapat kita artikan, tidak berpaling, tidak menduakan, tetap pada pendirian, dan berpegang teguh kepada janji yang di pegangnya, Kesetiaan merupakan kata sifat yang menunjukkan fanatisme, kepada orang di atasnya.
Yesus adalah hamba yang setia dan yang telah dipilih. “Lihatlah, itu Hamba-Ku yang Kupilih, yang Kukasihi, yang kepada-Nya jiwa-Ku berkenan” (Mat 12: 18). Kesetiaan-Nya kepada Allah menjadi cerminan bagi setiap orang-orang percaya. Sebab firman Tuhan itu benar, segala sesuatu dikerjakan-Nya dengan kesetiaan (bnd Mzm 33: 4). Paulus sangat terkesan dengan firman-Nya, Ia (Tuhan) setia dalam memanggil orang-orang untuk masuk kedalam persekutuan dengan anak-anak-Nya (1 Kor 1: 9), dan setia dalam menjaga mereka agar tidak dicobai melebihi iman mereka (1 Kor 10: 13) dan menjaga dari serangan-serangan si jahat (2 Tes 3: 3).
Kesetiaan Allah dipakai Paulus sebagai jaminan bahwa kata-kata-Nya dapat dipercayai ya atau tidak (2 Kor 1: 18). Allah tetap akan setia bahkan bila manusia tidak setia (1 Tim 2: 13)[10]. Kesetiaan Allah adalah bagian dari sifat-sifat-Nya (Yes 49: 7; 1 Kor 1:9). Kesetiaan orang percaya juga merupakan salah satu sifat orang-orang kudus (Ef 1: 1; Kol 1: 2; 1 Tim 6: 2; Why 17: 14), Sebagai orang yang percaya, harus setia dalam pemberitaan firman-Nya, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah yang salah, tegorlah dan nasehatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran (2 Tim 4: 2), dan setialah sampai mati (Why 2: 10). Kesetian adalah : Sikap berjaga-jaga, siap siaga, terus bersiap, tidak berbalik dari tuannya. Dalam hal ini kita bisa menyimpulkan bahwa Hamba yang setia adalah, hamba yang teruji, handal dan benar-benar melaksanakan perintah tuannya.
3. Bijaksana.
Bijaksana dapat di artikan Tidak memihak, tidak berat sebelah dapat menimbang yang baik dan yang jahat. (dapat kita bandingkan dengan Salomo yang adalah raja yang Bijaksana. Wisdom (Kebijaksanan, Hikmat, Habisuhon).
Hamba yang bijaksana adalah hamba yang selalu taat kepada pekerjaan tuannya. Kebijakannya membuat tuannya akan merasa senang dan bahagia. “Kabar tentang ketaatanmu telah terdengar oleh semua orang. Sebab itu aku bersukacita tentang kamu. Tetapi aku ingin supaya kamu bijaksana terhadap apa yang baik, dan bersih terhadap apa yang jahat” (Rom 16: 19), sebab “kebijaksanaan akan memelihara engkau, kepandaian akan menjaga engkau” ( Ams 2: 11).
Tuan yang Bijaksana menggambarkan Tuhan sebagai hakim, Pada hari “Parousia,Eskhat on, akan menimbang siapa yang benar dan percaya, akan masuk ke Sorga Kerajaan Allah, siapa yang jahat ( hamba yang jahat, “kakos”) yang memukul hamba-hamba lain, atau sesamanya manusia dan yang kedapatan mabuk mabukan sehingga tidak mendengar kata tuannya, akan di hukum kepada api neraka “geenna” ke dalam api Zaman akhir (Mat 8:12;13;42).
4. Berbahagia.
Ucapan bahagia atau berbahagia adalah ucapan Tuhan Yesus sendiri kepada orang banyak, dan murid-murid-Nya (Khotbah di bukit) Mat 5 :3-11, kata berbahagia disebut kepada mereka yang percaya, lemah-lembut, lapar dan haus akan kebenaran, murah hati, pembawa damai, orang yang teraniaya karena membela kebenaran. Konteks ini berbahagia, mempunyai arti tersirat, atau penghargaan seorang tuan kepada hambanya “Aku berkata kepadamu:sesungguhnya, artinya Yesus mau menyatakan tuan yang mengangkat hamba itu, menjadi orang yang “berbahagia” karena telah diangkat ke level yang lebih tinggi.( seperti halnya Yusuf yang di angkat Oleh raja Fotipar menjadi kepala pengawas istana/bendahara kerajaan.
Bahagia; Berbahagia (happy), Yunani Makarios. Ungkapan “Berbahagialah”, sering kita jumpai Dalam sastra hikmat. Menyatakan seseorang “bahagia”dalam hidup sekarang, berarti mengucapkan hidup selamat atas pemberian yang diterimanya, atas suatu keadaan bahagia yang sedang dinikmatinya, Menyatakan seseorang “bahagia” dalam hidup yang akan datang, searti dengan mensyukuri suka cita yang akan di alaminya, mensyukuri berkat Tuhan yang diterima, sukacita ataupun dukacita.Yang menjadi pertanyaan sekarang, siapakah yang disebut berbahgia? Jawabannya adalah orang mendengarkan Firman Allah serta memeliharanya Luk 11: 28[11].
5. Pengawas.
Penjaga / pengawas merupakan tugas setiap hamba Allah. Yehezkiel dipanggil Allah untuk di tugaskan sebagai penjaga Israel (Yeh 2: 16-21). Tugas sebagai penjaga / pengawas bukan pekerjaan yang mudah, sebab segala tugas yang dikerjakan akan diminta sebuah pertangguan jawaban. Paulus berkata, aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku dan aku telah memelihara iman, sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya. Tetapi kuasailah dirimu dalam segala hal, sabarlah menderita, lakukanlah pemberitaan injil dan tunaikanlah tugas panggilanmu. Pengawas tidak memandang bulu.
Sebagai pengawal-pengawal penyataan Ilahi, mereka telah menutupi dan memadamkan penyataan itu dibawah sejumlah besar hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang picik dan remeh, sehingga hasilnya beban legalisme (perbudakan kepada hukum), yakni mendorong jauh dari Kerajaan Allah. Dan didalam perumpamaan itu Yesus memperingatkan mereka, bahwa hari perhitungan Allah telah dekat. Bilamana hari itu akan dinyatakan saatnya, apakah mereka telah kedapatan setia kepada kepercayaan mereka atau tidak. Itulah yang menjadi pertanyaan sekaligus jawaban akhir dari imannya.
6. Kedatangan Anak Manusia (Parousia)
Kedatangan Anak Manusia (Tuhan untuk yang kedua kalinya), adalah akhir dari segala zaman. Kedatangan-Nya tidak seorangpun yang mengetahui kapan saatnya. Tujuan kedatangan-Nya yang kedua kali adalah sebagai hakim, yakni menghakimi orang-orang yang tidak percaya akan kebenaran dan yang suka kejahatan (1 Tes 2: 12; 2 Tim 4: 1). Dalam hukuman Tuhan, orang berdosa akan menerima siksaan, yang meyedihkan. Ratapan dan kertakan gigi adalah melambangkan kepedihan siksaan bagi orang bedosa.
7. Scopus
Jadilah bijak, hiduplah sebagai hamba yang yang selalu Bersiap, dan berjaga-jaga, setia dan percayalah kepada Tuhan, Sebab kamu tidak tahu pada harimana Tuhanmu datang.
Kepustakaan.
Alkitab (Lembaga Alkitab Indonesia) Jakarta, 2008
Tafsiran Alkitab Masa Kini 3, Jakarta, YKBK/OMF, Jakarta 2006
D.F Drewes “Satu Injil Tiga Pekabar”, Jakarta, BPK Gunung Mulia
Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan (LAI), Malang Gandum Mas.
Ensiklopedi Perjanjian Baru, Yogyakarta, Kanisius. 1996
DR.JT Nielsen “Tafsiran Alkitab Injil Matius 23-28” Jakarta BPK GM 2010
[1] M.E Duyverman “Pembimbing ke dalam Perjanjian Baru” Jakarta BPK Gunung Mulia
[2] Jhon Drane “Memahami Perjanjian Baru” Jakarta BPK Gunung Mulia Hal 194-195
[3] Merry C Tennei “Survei Perjanjian Baru” Malang Gandum Mas Hal 194- 195
[4] Dj Douglas dkk Ed “Ensiklopedi Alkitab Masa Kini”, Jakarta YKBK/OMF jilid 1(A-L) Hal 360
[5] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
[6] Dj Douglas Op-Cit Hal 360
[7] Chris J. Samuel, 2005, “Pedoman Pokok-Pokok Isi Alkitab, Bandung, Yayasan Kalam Hidup, hal.117
[8] Ibid
[9] DR.JT Nielsen “Tafsiran Alkitab injil Matius 23-28” Jakarta BPK GM 2010 Hal 55
[10] Ibid, hal. 91.
[11] Xavier Leon, 1990, “Ensiklopedi Perjanjian Baru”, Yokyakarta, Kanasius, hal. 148.
Matius 24: 45 – 51.
1. Pendahuluan.
Injil Matius adalah kitab pertama dalam Kanon Perjanjian Baru, karena secara kronologis injil inilah yang paling indah dan teratur. Injil ini ditulis oleh Matius sendiri kira-kira tahun 60-65 sebelum kota Yerusalem hancur, pada awalnya surat ini ditujukan untuk bangsa Yahudi, namun pada hakikatnya injil ini bukan semata-mata hanya untuk bangsa Yahudi, namun secara Universal kitab ibi ditujukan kepada semua bangsa, ( Mat 28 : 18-20 ). Tema umum kitab Matius adalah menceritakan silsilah, Pelayanan Tuhan Yesus sebagai Raja, Mesias dan Juruselamat. Mesias yang rohani dan bukan sebagai mesias politis sesuai harapan bangsa Yahudi; Yesus sebagai Mesias politis akan membebaskan mereka dari penjajahan Bangsa Romawi. Adapun sentral pemberitaan mengenai pelayanan Yesus mulai dari Galilea sampai ke Yerusalem. Inti Pengajaran Yesus adalah “ Tentang Kerajaan Allah”.[1]
2. Kritik Nats.
Secara umum Perjanjian Baru di tulis dalam bahasa Yunani, dan bahasa yunani yang populer saat itu adalah bahasa yunani “Koine” dan bahasa Aram, Injil Matius sangat berbeda dengan markus dan Lukas, Gaya bahasa Matius lebih indah dan tersusun secara rapi dari pada injil synopsis lainnya. Injil Markus di tulis dengan bahasa Yunani yang lebih rendah mutunya. Gaya bahasa Lukas sedikit lebih maju dibandingkan dengan Markus. [2] Matius kurang mengutamakan tokoh-tokoh dalam kisahnya daripada Injil Sinopsis lainnya, Namun Injil Matius menulis secara Sistematis dan teratur tentang Khotbah di Bukit dan Doa yang diajarkan Tuhan Yesus kepada muri-murid-Nya. Pengarang Matius menggunakan sumber Markus dan sumber Quelle. Matius sering di sebut dengan injil “Jemaat” karena di tulis untuk satu jemaat yang masih muda dan masih bergolak sebagai suatu penghiburan dan nasihat. Injil Matius juga di sebut injil “Raja” karena di sepanjang injil ini sifat Kristus sebagai Raja sangat menonjol ( Mat 21:5; 27:37). Matius juga di sebut sebagai Injil Pengajaran, karena dalam setiap bagian atau perikop terdapat satu contoh ajaran yang panjang, Misalnya Khotbah di Bukit Fasal 5:1-7, dan 13:1-52 tentang kisah perumpamaan. Perikop ini terdapat juga dalam injil Lukas 12:41-48, dari segi bahasa jelas Matius 24: 45-51 lebih indah dan teratur.[3]
3. Bidang Kehidupan (Sitz im leben).
Hampir semua kitab Perjanjian Baru berlatar belakang KeYahudian “Yudaisme” Kebudayaan ini ditandai dengan suatu kecintaan yang berapi-api tentang Allah dan Hukum Taurat. Hukum yang telah di berikan Tuhan kepada Musa tetap di pelihara, namun banyak terjadi penyimpangan yang di perbuat oleh imam-imam yang bertugas di Sinagoge. Jemaat di sekitar Matius terdiri dari orang Yahudi, yang mengenal adat-istiadat dan peraturan Yahudi (Mat 17: 24-27; 23: 2; 24: 20), tetapi mereka sudah terlepas dari persekutuan Sinagoge (rumah ibadat Yahudi). Boleh jadi situasi jemaat terancam oleh “kekurang percayaan” (krisis iman). Ada situasi dimana orang Kristen hidup “tanpa hukum” sehingga hidup dalam kasih menjadi dingin, “dan karena makin bertambahnya kedurhakaan” (Yun: anomia, yaitu sikap tanpa hukum ) banyak orang yang murtad (tidak setia kepada Allah), dan Tidak memiliki Kasih.
Matius 24: 45-51, adalah sebuah Perumpamaan. Perumpamaan yang menggambarkan tentang kesetiaan sekaligus peringatan kepada pemimpin-pemimpin gereja untuk tetap setia di dalam masa antara, sebelum Kristus datang didalam kemuliaan.
Para murid dipanggil untuk mengikut Tuhan Yesus, yang mengajar hukum kasih sebagai hukum yang utama, dan yang mengajar bahwa belas kasihan adalah lebih utama dari persembahan (lihat, Mat 5: 43-47; 9: 13; 12: 7; 22: 37-40).
Sebagai pengawal-pengawal penyataan Ilahi, mereka telah menutupi dan memadamkan penyataan itu dibawah sejumlah besar hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang picik dan remeh, sehingga hasilnya beban legalisme (perbudakan kepada hukum), yakni mendorong jauh dari Kerajaan Allah. Dan didalam perumpamaan ini Yesus memperingatkan mereka, bahwa hari perhitungan Allah telah dekat. Bilamana hari itu akan dinyatakan saatnya, apakah mereka telah kedapatan setia kepada kepercayaan mereka atau tidak. Itulah yang menjadi pertanyaan sekaligus jawaban akhir dari imannya.
4. Tafsiran.
1. Hamba.
Hamba dalam bahasa Ibrani disebut ‘eved’ yang artinya ‘budak’ hamba atau pelayan : Seseorang yang bekerja untuk kepentingan orang lain, pekerja yang menjadi milik tuannya. Dalam bahasa Yunani “doulos” juga artinya hamba. Dalam kehidupan keagamaan Israel kata ini dipakai untuk menunjukkan kerendahan diri seseorang di hadapan Allah ( Kel 4:10, Mzm 119:17 ).[4] Istilah hamba seringkali digunakan untuk menggambarkan suatu status sosial seseorang yang rendah dalam masyarakat. Istilah hamba juga mengandung adanya suatu keterikatan dan ke-tidakterikatan seseorang karena adanya suatu kuasa yang mengikat, suatu kuasa lebih besar dari dirinya. Seorang hamba berarti seorang yang tidak memiliki kuasa apapun atas dirinya. Bahkan seorang hamba disejajarkan dengan budak yang tidak memiliki hak penuh atas hidupnya, bahkan kemerdekaan untuk hidupnya diberikan seluruhnya untuk mengabdi kepada tuannya.[5] Dalam Yesaya 40, 42”1-4’ 49:1-6; 50:4-9, hamba yang di maksud adalah menuju kepada Yesus Kristus. Kristus akan menggenapi panggilan Israel yang lama menjadi hamba, dan memperanakkan Israel sebagai hamba yang baru.[6]
Dalam Perjanjian Baru, kata hamba juga menitikberatkan kepada tugas untuk melayani. Ketergantungan hidup seorang hamba bukan hanya menyangkut kehidupan sehari-hari, namun juga kehidupan keagamaan dan moralnya (bnd Mat 6: 24).
Perkataan hamba juga merupakan penggambaran keseluruhan pribadi Yesus, dimana orang Kristen mula-mula percaya akan kesamaan Yesus dengan hamba. Yesus Kristus sebagai hamba Allah dasar acuannya ketika peristiwa “Perjamuan Akhir”, dimana Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya (Yoh 13). Dalam peristiwa ini tampak jelas Yesus mau merendahkan kedudukannya sebagai hamba untuk menggenapi kuasa dan kemuliaan Allah. Sama halnya dengan murid-murid Yesus, mereka juga disebut dan hidup sebagai hamba di dalam kerasulannya. Hidup sebagai hamba Tuhan harus “menjadi teladan” dan berbuat baik. Jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaran (Tit 2: 7), mampu mendorong orang untuk berbuat baik (1Tim 6: 17-18; Tit 3: 1,8,14). Oleh karena itu, tujuan Pekerjaan sebagai hamba adalah agar orang lain mempermuliakan Allah (Mat 5: 16; 1 Petr 2: 12)[7] . Hamba yang diberi wewenang untuk mengurus semuanya juga menggambarkan pemimpin-pemimpin Israel, khususnya para Ahli Taurat dan imam-imam mereka inilah, yang di sebut kesetiaannya belum pasti menurut hukum (sub judice) dan hakimnya (judex) adalah Allah sendiri[8]. Hamba yang di angkat menjadi pengurus rumah tangga, memberi makan dan menanggung jawabi semua kebutuhan keluarga itu pada waktunya (en kairoi ) dan ayat ini juga bertujuan supaya orang percaya tetap berjaga-jaga ( waspada ) sebelum hari Tuhan datang ( Parousia) akhir Zaman, atau kedatangan Anak manusia, karena tidak seorang pun yang tahu hari kedatangan-Nya, penekanannya adalah “berjaga-jaga, bersiap” Mat 7:24,26;25:23.[9]
2. Kesetiaan
Setia dalam pengertian sehari-hari dapat kita artikan, tidak berpaling, tidak menduakan, tetap pada pendirian, dan berpegang teguh kepada janji yang di pegangnya, Kesetiaan merupakan kata sifat yang menunjukkan fanatisme, kepada orang di atasnya.
Yesus adalah hamba yang setia dan yang telah dipilih. “Lihatlah, itu Hamba-Ku yang Kupilih, yang Kukasihi, yang kepada-Nya jiwa-Ku berkenan” (Mat 12: 18). Kesetiaan-Nya kepada Allah menjadi cerminan bagi setiap orang-orang percaya. Sebab firman Tuhan itu benar, segala sesuatu dikerjakan-Nya dengan kesetiaan (bnd Mzm 33: 4). Paulus sangat terkesan dengan firman-Nya, Ia (Tuhan) setia dalam memanggil orang-orang untuk masuk kedalam persekutuan dengan anak-anak-Nya (1 Kor 1: 9), dan setia dalam menjaga mereka agar tidak dicobai melebihi iman mereka (1 Kor 10: 13) dan menjaga dari serangan-serangan si jahat (2 Tes 3: 3).
Kesetiaan Allah dipakai Paulus sebagai jaminan bahwa kata-kata-Nya dapat dipercayai ya atau tidak (2 Kor 1: 18). Allah tetap akan setia bahkan bila manusia tidak setia (1 Tim 2: 13)[10]. Kesetiaan Allah adalah bagian dari sifat-sifat-Nya (Yes 49: 7; 1 Kor 1:9). Kesetiaan orang percaya juga merupakan salah satu sifat orang-orang kudus (Ef 1: 1; Kol 1: 2; 1 Tim 6: 2; Why 17: 14), Sebagai orang yang percaya, harus setia dalam pemberitaan firman-Nya, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah yang salah, tegorlah dan nasehatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran (2 Tim 4: 2), dan setialah sampai mati (Why 2: 10). Kesetian adalah : Sikap berjaga-jaga, siap siaga, terus bersiap, tidak berbalik dari tuannya. Dalam hal ini kita bisa menyimpulkan bahwa Hamba yang setia adalah, hamba yang teruji, handal dan benar-benar melaksanakan perintah tuannya.
3. Bijaksana.
Bijaksana dapat di artikan Tidak memihak, tidak berat sebelah dapat menimbang yang baik dan yang jahat. (dapat kita bandingkan dengan Salomo yang adalah raja yang Bijaksana. Wisdom (Kebijaksanan, Hikmat, Habisuhon).
Hamba yang bijaksana adalah hamba yang selalu taat kepada pekerjaan tuannya. Kebijakannya membuat tuannya akan merasa senang dan bahagia. “Kabar tentang ketaatanmu telah terdengar oleh semua orang. Sebab itu aku bersukacita tentang kamu. Tetapi aku ingin supaya kamu bijaksana terhadap apa yang baik, dan bersih terhadap apa yang jahat” (Rom 16: 19), sebab “kebijaksanaan akan memelihara engkau, kepandaian akan menjaga engkau” ( Ams 2: 11).
Tuan yang Bijaksana menggambarkan Tuhan sebagai hakim, Pada hari “Parousia,Eskhat on, akan menimbang siapa yang benar dan percaya, akan masuk ke Sorga Kerajaan Allah, siapa yang jahat ( hamba yang jahat, “kakos”) yang memukul hamba-hamba lain, atau sesamanya manusia dan yang kedapatan mabuk mabukan sehingga tidak mendengar kata tuannya, akan di hukum kepada api neraka “geenna” ke dalam api Zaman akhir (Mat 8:12;13;42).
4. Berbahagia.
Ucapan bahagia atau berbahagia adalah ucapan Tuhan Yesus sendiri kepada orang banyak, dan murid-murid-Nya (Khotbah di bukit) Mat 5 :3-11, kata berbahagia disebut kepada mereka yang percaya, lemah-lembut, lapar dan haus akan kebenaran, murah hati, pembawa damai, orang yang teraniaya karena membela kebenaran. Konteks ini berbahagia, mempunyai arti tersirat, atau penghargaan seorang tuan kepada hambanya “Aku berkata kepadamu:sesungguhnya, artinya Yesus mau menyatakan tuan yang mengangkat hamba itu, menjadi orang yang “berbahagia” karena telah diangkat ke level yang lebih tinggi.( seperti halnya Yusuf yang di angkat Oleh raja Fotipar menjadi kepala pengawas istana/bendahara kerajaan.
Bahagia; Berbahagia (happy), Yunani Makarios. Ungkapan “Berbahagialah”, sering kita jumpai Dalam sastra hikmat. Menyatakan seseorang “bahagia”dalam hidup sekarang, berarti mengucapkan hidup selamat atas pemberian yang diterimanya, atas suatu keadaan bahagia yang sedang dinikmatinya, Menyatakan seseorang “bahagia” dalam hidup yang akan datang, searti dengan mensyukuri suka cita yang akan di alaminya, mensyukuri berkat Tuhan yang diterima, sukacita ataupun dukacita.Yang menjadi pertanyaan sekarang, siapakah yang disebut berbahgia? Jawabannya adalah orang mendengarkan Firman Allah serta memeliharanya Luk 11: 28[11].
5. Pengawas.
Penjaga / pengawas merupakan tugas setiap hamba Allah. Yehezkiel dipanggil Allah untuk di tugaskan sebagai penjaga Israel (Yeh 2: 16-21). Tugas sebagai penjaga / pengawas bukan pekerjaan yang mudah, sebab segala tugas yang dikerjakan akan diminta sebuah pertangguan jawaban. Paulus berkata, aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku dan aku telah memelihara iman, sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya. Tetapi kuasailah dirimu dalam segala hal, sabarlah menderita, lakukanlah pemberitaan injil dan tunaikanlah tugas panggilanmu. Pengawas tidak memandang bulu.
Sebagai pengawal-pengawal penyataan Ilahi, mereka telah menutupi dan memadamkan penyataan itu dibawah sejumlah besar hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang picik dan remeh, sehingga hasilnya beban legalisme (perbudakan kepada hukum), yakni mendorong jauh dari Kerajaan Allah. Dan didalam perumpamaan itu Yesus memperingatkan mereka, bahwa hari perhitungan Allah telah dekat. Bilamana hari itu akan dinyatakan saatnya, apakah mereka telah kedapatan setia kepada kepercayaan mereka atau tidak. Itulah yang menjadi pertanyaan sekaligus jawaban akhir dari imannya.
6. Kedatangan Anak Manusia (Parousia)
Kedatangan Anak Manusia (Tuhan untuk yang kedua kalinya), adalah akhir dari segala zaman. Kedatangan-Nya tidak seorangpun yang mengetahui kapan saatnya. Tujuan kedatangan-Nya yang kedua kali adalah sebagai hakim, yakni menghakimi orang-orang yang tidak percaya akan kebenaran dan yang suka kejahatan (1 Tes 2: 12; 2 Tim 4: 1). Dalam hukuman Tuhan, orang berdosa akan menerima siksaan, yang meyedihkan. Ratapan dan kertakan gigi adalah melambangkan kepedihan siksaan bagi orang bedosa.
7. Scopus
Jadilah bijak, hiduplah sebagai hamba yang yang selalu Bersiap, dan berjaga-jaga, setia dan percayalah kepada Tuhan, Sebab kamu tidak tahu pada harimana Tuhanmu datang.
Kepustakaan.
Alkitab (Lembaga Alkitab Indonesia) Jakarta, 2008
Tafsiran Alkitab Masa Kini 3, Jakarta, YKBK/OMF, Jakarta 2006
D.F Drewes “Satu Injil Tiga Pekabar”, Jakarta, BPK Gunung Mulia
Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan (LAI), Malang Gandum Mas.
Ensiklopedi Perjanjian Baru, Yogyakarta, Kanisius. 1996
DR.JT Nielsen “Tafsiran Alkitab Injil Matius 23-28” Jakarta BPK GM 2010
[1] M.E Duyverman “Pembimbing ke dalam Perjanjian Baru” Jakarta BPK Gunung Mulia
[2] Jhon Drane “Memahami Perjanjian Baru” Jakarta BPK Gunung Mulia Hal 194-195
[3] Merry C Tennei “Survei Perjanjian Baru” Malang Gandum Mas Hal 194- 195
[4] Dj Douglas dkk Ed “Ensiklopedi Alkitab Masa Kini”, Jakarta YKBK/OMF jilid 1(A-L) Hal 360
[5] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
[6] Dj Douglas Op-Cit Hal 360
[7] Chris J. Samuel, 2005, “Pedoman Pokok-Pokok Isi Alkitab, Bandung, Yayasan Kalam Hidup, hal.117
[8] Ibid
[9] DR.JT Nielsen “Tafsiran Alkitab injil Matius 23-28” Jakarta BPK GM 2010 Hal 55
[10] Ibid, hal. 91.
[11] Xavier Leon, 1990, “Ensiklopedi Perjanjian Baru”, Yokyakarta, Kanasius, hal. 148.
No comments:
Post a Comment