Friday, 25 October 2013

HKBP Sigumpar Tobasa

Sparkline 8670

Jumat, 02 Desember 2011

Jasa Nommensen Dikenang Sepanjang Masa

Oleh: Ludin Panjaitan

Salah satu mata rantai kegiatan panitia jubileum 150 tahun Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) wilayah 2 Medan dan wilayah 3 Pekanbaru berupa napak tilas perjalanan Dr Ingwer Ludwig Nommensen sebagai apostel yang menyebarkan ajaran Kristen ke Tanah Batak ratusan tahun silam.

Tak dapat dipungkiri sebagai ephorus I HKBP, nama misionaris IL Nommensen begitu populer di Tanah Batak berkat hasil karya nyata dan pengorbanannya yang tulus.Anak-anak yang baru masuk sekolah Minggu pun hapal nama Nommensen karena fotonya diabadikan dalam buku-buku dan kalender HKBP. Bagi para majelis lulusan sekolah zending dan pendeta Sipoholon, Tarutung, lulusan sekolah bibelvrow Laguboti, Tobasa dan para pendeta lulusan Sekolah Tinggi Theologia (STT) HKBP Nommensen Pematang Siantar yang mendalami kisah perjalanan dan perjuangan misionar Dr IL Nommensen pasti mengaguminya dengan gelar Ompu i (panggilan bagi kakek yang sangat dituakan di orang Batak). Padahal, dia berdarah Jerman, kelahiran 6 Februari 1834.Ayahnya Peter Nommensen dan ibunya Anna dari keluarga sangat miskin di pulau Nordstrand, antara Denmark dan Jerman.

Dalam perjalanan ke Tapanuli Utara menghadiri pengukuhan panitia jubileum 150 tahun HKBP wilayah 1 Tarutung akhir Mei lalu, penulis bersama Hariadi Situmorang dan Charles Sinaga dari unsur panitia nasional punyai kesempatan baik berjiarah ke makam IL Nommensen di Sigumpar, Toba Samosir (Tobasa).Sebenarnya, penulis sudah sering melintasi kota bersejarah Sigumpar. Apalagi ketika menimba ilmu di sekolah menengah pertama negeri (SMPN) Siraituruk, Porsea tahun 60-an. Tapi karena petunjuk makam Nommensen di sebelah kanan jalan dari arah Medan-Balige kurang menarik perhatian akhirnya terlewatkan. Karena itu, sebelum naik pesawat udara dari Jakarta menuju Medan, kami sepakat berjiarah ke makam misionar Nommensen.

Setelah menikmati penerbangan udara selama dua jam, pesawat yang kami tumpangi mendarat di bandar udara Polonia, Medan, Sumatera Utara sekitar pukul 10.30 WIB.Telepon selular langsung berdering sebagai pemberitahuan, rombongan kami sudah ditunggu mobil jemputan yang disediakan panitia wilayah 1 Tarutung.Fasilitas kendaraan itu kami butuhkan menuju Tarutung, Tapanuli Utara yang berjarak kurang lebih 265 kilometer dari Medan.Sebagai petunjuk, pengemudi mobil yang menjemput kami mengancungkan secarik karton di tengah-tengah kerumunan penjemput tamu bertuliskan,’’Ditunggu Rombongan Panitia Nasional Jubileum 150 Tahun HKBP.’’Sang pengemudi yang ramah itu, saudara Manurung dari dinas pendidikan nasional kabupaten Tapanuli Utara.Tak lama kemudian, kami langsung bertolak menuju Pematang Siantar sekitar 128 kilometer dari kota Medan.Karena suasana hari libur nasional memperingati hari raya Waisak tahun 2554 arus lalu lintas termasuk lancar.Perjalanan ke Pematang Siantar hanya memakan waktu dua jam lebih. Di Pematang Siantar yang dijuluki kota pelajar, kami menghabiskan waktu hampir dua jam karena anggota rombongan melakukan jiarah ke pusara orantua dari Hariadi Situmorang di pemakaman umum jalan Narumonda Atas (kuburan Belanda), Kampung Kristen. Sebelum bertolak dari Siantar menuju kota wisata Parapat, rombongan sempat mencicipi makanan favorit mie pangsit di Simpang Empat, Martoba.

Di Pematang Siantar dan kabupaten Simalungun sebenarnya masih banyak obyek yang perlu ditinjau seperti kompleks penampungan dan perumahan pensiunan bibelvrow HKBP di Sinaksak, gereja bolon HKBP Kampung Kristen, sekolah menengah kejuruan HKBP dan pusat penggodokan calon pendeta di STT HKBP Nommensen.Tapi karena waktu yang terbatas dari Simpang Empat kami langsung bertolak menuju Parapat menempuh jarak 46 kilometer lebih. Tapi, sepuluh kilometer menuju obyek wisata Parapat, kami singgah di sebuah restoran berarsitektur rumah Batak, Pondok Bulu, Tigadolok, Simalungun yang menyajikan kerang rebus dari Tanjung Balai, Asahan dan minuman khas tuak aren.Jarum jam menunjukkan pukul 15.00 WIB. Waktu mencicipi kerang rebus dan minum tuak pun dipersingkat.Tapi, saat itu ada femonena menarik yang tak lazim dijumpai di bona pasogit, Tanah Batak. Di mana sekelompok siswa siswi setingkat SMP tak canggung menenggak minuman tuak berbotol-botol bersama orang dewasa.Padahal, minuman tuak mengandung alkohol yang bisa memabukkan jika over konsumsi.Gaya ABG (anak baru gede) menenggak minum tuak kami abadikan melalui kamera ponsel.Mereka cuek aja tanpa khawatir dipublikasikan ke masyarakat luas. Pengaruh alkohol tampak di wajah para pelajar yang baru menikmati liburan dari Parapat.Suasana demikian, kata pemilik restoran, bukan fenomena baru lagi di restoran Pondok Bulu. Lantas, bagaimana pengawasan dari para orangtua dan aparat Polri agar generasi penerus di Simalungun tidak terkontaminasi alkohol tuak? Dikhawatirkan para pelajar yang mabuk-mabukan alkohol tuak di Pondok Bulu ada yang meniru kebiasaan sang orangtua. Jika itu yang terjadi, tepatlah petuah dari leluhur orang Batak, ‘’Dang dao tubis sian bona na.’’ Secara harafiah dapat diartikan kebiasaan seorang anak biasanya tidak jauh dari organisasi kecil keluarga.

Karena perjalanan masih dilanjutkan ke daerah Toba, rombongan tidak ingin larut dengan kelompok pelajar pecandu alkohol. Dari Pondok Buluh hanya memakan waktu seperempat jam ke Parapat.Tepat pukul 15.30 WIB, rombongan kami sudah menikmati udara sejuk dan panorama indah danau Toba. Dari Pondok Panatapan di Parapat, riak-riak gelombang air tawar danau Toba dan keindahan pegunungan di Pulau Samosir memanjakan wisatawan. Sambil menikmati telor bebek rebus dan minum kopi panas, udara dingin Parapat tidak terasa menyelimuti kulit.Apalagi menjelang mata hari tenggelam (sunset), Pondok Panatapan yang berjarak lima kilometer dari kota Parapat acapkali dipenuhi pengunjung. Sayang, pada sore yang cerah itu kami tak dapat menikmati sunset di Parapat karena mengejar waktu ke makam Nommensen di Sigumpar.

Aktualisasi Impian Nommensen

Jarak dari Parapat ke Sigumpar sekitar 45 kilometer dengan waktu tempuh satu jam lebih. Rombongan kami tiba di makam Nommensen Jumat (28/5) pukul 18.00 WIB bertepatan dengan hari pemakaman sang apostel, 92 tahun yang lalu. Beruntung, cuaca dalam keadaan cerah sehingga momen ini masih dapat kami abadikan. Jumat itu kebetulan hari libur nasional sehingga rombongan wisata rohani dari berbagai daerah banyak yang jiarah ke makam Nommensen yang terletak pinggir danau Toba, desa Sitolu Ama kecamatan Sigumpar. Petang itu kami bertemu dengan rombongan peserta didik sidi (parguru malua) dari gereja bolon HKBP Martoba Pematang, Siantar. Mereka mengadakan kebaktian singkat yang dipimpin Pdt J. Banuarea, STh sebagai pendeta resort HKBP Sigumpar. Kesempatan itu dimanfaatkan pendeta Banuarea memberikan pemahaman dan mengaktualisasikan kisah perjuangan misionar pendeta Dr IL Nommensen mengwujudkan sebuah impian hingga wafat di Sigumpar.Hamba Tuhan dari Jerman itu tutup usia 84 tahun, Kamis 23 Mei 1918 pukul 06.00 WIB setelah memanjatkan doa, ‘’Tuhan ke dalam tanganMu kuserahkan rohku, Amin.’’ Karena situasi dan kondisi keamanan di daerah Toba, jenazah almarhum hanya satu malam disamayamkan di gereja HKBP Sigumpar. Jumat sore, 24 Mei 1918 jenazah Ompu i Dr Ingwer Ludwing Nommensen dikebumikan di Sigumpar. Puluhan ribu pelayat dari berbagai penjuru di Sumatera berduyun-duyun mengucapkan salam perpisahan kepada almarhum. Rekor pelayat yang begitu fantastis baru kali pertama tercatat dalam sejarah pada jaman penjajahan Belanda di Tanah Batak.

Penghormatan atas jasa dan pengorbanan Dr IL Nommensen yang membebaskan bangsa Batak dari animisme, kebodohan dan keterbelakangan diwujudkan dalam bentuk mmonumen dan makam Ompu i secara parmanen dilapisi marmer dengan latar belakang danau Toba. Di samping makam Nommensen terdapat makam Cristine, Frieda, zuster Liezette Niemann, Hans Marrech Klaus Hulda, istri Hulda dan M Brink Schmidt. Semasa hidup mereka mempunyai ikatan batin dan hubungan keluarga dengan Nommensen sehingga dimakamkan dalam satu kompleks yang ditata rapih di Sigumpar. Di pelataran makam tersedia fasilitas tempat duduk bagi para pengunjung yang ingin mengadakan kebaktian di tempat peristirahatan sementara Nommensen.Kapasitas tempat duduk 50 orang lebih. Bagi pengunjung yang tidak kebagian tempat duduk layak memanfaatkan pelataran makam yang dilapisi marmer ratusan meter persegi. Di gapura pintu masuk dapat juga dilihat peranan pemerintah kabupaten Tapanuli Utara dan yayasan Pasopar dalam pembangunan obyek wisata rohani makam Nommensen tahun 1996.

Pada tahun 1998, kabupaten Toba Samosir (Tobasa) melepaskan diri dari kabupaten induknya Tapanuli Utara. Pengelolaan obyek wisata makam Nommensen pun berada di bawah naungan pemerintah kabupaten Tobasa bekerja sama dengan pimpinan pusat HKBP Pearaja, Tarutung.Tahun 2004, di masa kepemimpinan bupati Sahala Tampubolon dihasilkan maket pembangunan di kompleks makam Nommensen.Lahan milik HKBP di Sigumpar ini seluas empat hektare. Di atas areal tersebut diperuntukkan bangunan gereja, ruang konsistori majelis, perumahan pendeta, perumahan guru huria, perumahan Bibelvro, gedung sekolah Minggu, gedung sekolah taman kanak-kanak dan perumahan tenaga kebersihan. Di samping itu, harus disediakan uang ganti ganti rugi bagi 500 kepala keluarga yang kini berdomisi di lahan milik HKBP.

Infrastruktur jalan ke kompleks pemakaman Nommensen tampaknya kurang mendapat perhatian serius dari dinas pekerjaan umum kabupaten, Tobasa. Akibatnya kendaraan pengunjung terutama yang berbody besar sulit keluar, masuk kompleks makam. Akses jalan ke sana kini banyak yang berlubang-lubang sehingga mengganggu arus kendaraan pengunjung. Petunjuk masuk makam pun perlu inovasi sehingga bisa menarik perhatian orang awam untuk berwisata rohani ke makam Nommensen. Padahal, wisatawan mancanegara termasuk cicit IL Nommensen dari generasi kelima yang kini tinggal di Jerman tak mau ketinggalan berjiarah ke Sigumpar. Dua cicit almarhum yang menjadi tamu kehormatan HKBP Sigumpar tahun 2009 merasa bersyukur karena makam kakek mereka tetap dirawat dengan baik. Apalagi arus wisatawan domistik terus mengalir ke Sigumpar terutama pada hari Sabtu, Minggu dan hari libur nasional lainnya. Kegiatan napak tilas perjalanan IL Nommensen juga cukup menggembirakan seperti yang diprogramkan panitia jubileum 150 tahun HKBP wilayah 2 Medan dan wilayah 3 Pekanbaru, Riau.

Menyimak kisah perjuangan dan perjalanan hidup IL Nommensen yang begitu dramatis, tak heran jika muncul usulan dari St. Drs Joni Tampubolon, anggota seksi seminar dan study dari panitia jubileum wilayah 3 Pekanbaru untuk pembuatan film dokumenter Ompu i Ephorus I HKBP Dr IL Nommensen. Dengan kalkulasi jika film dokumenter ini terealisasi bisa dijual Rp 100.000 per DVD/CD kepada tiga juta jemaat HKBP.Hasilnya, luar biasa karena mencapai Rp 300 miliar. Namun, usulan dari Pekanbaru ini sementara dianggap belum layak direalisasikan dalam penggalangan dana yang dibutuhkan panitia nasional jubileum 150 tahun HKBP sebesar Rp 55 miliar.

Kekuatan Doa

Dalam catatan sejarah, salah satu kisah menarik dari perjalanan hidup Nommensen pada September 1864. Waktu itu, Nommensen mau dipersembahkan ke sombaon (roh alam) Siatas Barita di Onan Sitahuru. Ribuan orang datang ke sana ingin menyaksikan peristiwa itu. Dia akan dibunuh menjadi kurban persembahan kepada sombaon. Tapi, Nommensen tetap tegar menghadapi tantangan dari orang Batak yang menolak misinya. Sebelum kurban dipersembahakan, hamba Tuhan itu berdoa. Tiba-tiba berembus angin puting beliung dan hujan deras membubarkan massa.Nommensen selamat dari bahaya maut. Sejak itu terbuka jalan akan firman Tuhan di Tanah Batak.Karena itu, Nommensen pantas dijuluki sebagai apostel di Tanah Batak.

Dalam sepucuk surat yang dikirimkan ke lembaga zending Rheinische Mission Gesselschaft (RMG) Barmen, Jerman, Nommensen juga menulis suatu penglihatannya dalam iman tentang hari depan orang Batak yang dilayaninya. "Dalam roh saya melihat di mana-mana jemaat-jemaat Kristen, sekolah-sekolah dan kelompok orang Batak tua dan muda yang berjalan ke gereja-gereja. Di setiap penjuru saya mendengar bunyi lonceng gereja yang memanggil orang-orang beriman datang ke rumah Allah. Saya melihat pendeta-pendeta dan guru-guru orang pribumi Sumatera berdiri di panggung-panggung dan di atas mimbar-mimbar, menunjukkan cara hidup Kristen kepada yang muda maupun yang tua.’’Anda mengatakan, saya seorang pemimpi tetapi saya berkata:Tidak, saya tidak bermimpi. Iman saya melihat ini semua.Hal ini akan terjadi karena seluruh kerajaan akan menjadi milikNya dan setiap lidah akan mengetahui bahwa Kristus adalah Tuhan bagi kemuliaan Allah Bapa.Karena itu, saya merasa gembira walaupun rakyat mungkin menentang firman Allah.Yang mereka lakukan tepat seperti mudahnya mereka mencegah firman Allah dari hati mereka. Hari sudah mulai terbit. Segera cahaya terang akan menembus. Kemudian Matahari Kebenaran dalam segala kemulianNya akan bersinar atas seluruh tepi langit tanah Batak dari selatan sampai ke pantai-pantai danau Toba." Berbagai sumber menyebutkan, penglihatan tersebut diperoleh Nommensen ketika berdoa di gunung Siatas Barita, Tarutung, obyek wisata rohani Salib Kasih sekarang.

Pascapenahbiskannya sebagai hamba Tuhan (pendeta) Oktober 1861, IL Nommensen mendapat tantangan baru sebagai misionar ke Tanah Batak. Sebelum berangkat, dia belajar bahasa Batak dan budaya Batak dari Dr Van Der Tuuk di Belanda selama dua bulan. Desember 1861, Nommensen berangkat dari Amsterdam menuju Sumatera dengan kapal Pertinar. Pelayaran butuh waktu 142 hari.Kapal yang ditumpanginya mendarat di Padang, Mei 1862 setelah mengalami banyak cobaan ddalam perjalanan laut. Lima bulan kemudian, Nommensen melakukan perjalanan ke daerah pedalaman. Dari sana dia pindah ke Sipirok dan mendirikan sebuah sekolah. Nopember 1863, dia masuk ke daerah Silindung. Dia harus berhadapan dengan sifat permusuhan dari raja-raja Batak.Karena sudah paham sifat orang Batak, lambat laun dia bisa beradaptasi dengan tokoh-tokoh Batak.

Dengan pola hidup sederhana ditopang sifat penyangkalan diri, ketekunan dan keahliannya di bidang pengobatan membuat Nommensen akhirnya diterima di tengah-tengah etnis Batak. Untuk merealisasikan cita-citanya, dia mendirikan huta Dame (kampung Pardamean) dengan sebuah gereja sederhana, sekolah dan beberapa rumah.Baru Juli 1864, dia membangun rumahnya yang sangat sederhana di Saitnihuta, Tarutung melalui perjuangan yang berat. Akhir Juli 1864, Nommensen menempuh langkah berani menjumpai Raja Panggalamei ke Pintubosi, Lobupining. Padahal, Raja Panggalamei adalah provokator atas pembantaian pendeta Hendry Lyman dan Samuel Munson. Kedua misionar ini diutus zending Gereja Baptis dari Amerika Serikat di Sisangkak, Lobupining tahun 1834 bertepatan dengan hari lahir IL Nommensen.

Tanggal 16 Maret 1866, IL Nommensen/Karoline diberkati menjadi suami-isteri di Sibolga. Karoline datang dari Jerman beserta rombongan Pdt Johansen yang dikirim kongsi Barmen untuk membantu IL Nommensen di Silindung. Tahun 1864, Karoline melahirkan anak pertama diberi nama Benoni namun beberapa hari kemudian meninggal dunia.Tahun 1872, Pargodungan Saitnihuta yang disebut Huta Dame pindah ke Pearaja. Tahun 1873, sekolah berpindah-pindah diciptakan Nommensen agar orang Batak bisa lebih cepat menjadi guru. Siswa mendatangi Nommensen di Pearaja, Johansen di Pansurnapitu dan Mohri di Sipoholon di mana para misionar tersebut bertugas.Atau misionar yang mendatangi siswanya di tempat tertentu.Tahun 1875, misionar Nommensen bersama Johansen dan Simoneit bekunjung ke Toba. Tahun 1876, telah dibaptis lebih dari 7.000 orang di Silindung. Tahun itu juga Nommensen selesai menterjemahkan Perjanjian Baru ke dalam Bahasa Batak Toba. Tahun 1877, Nommensen dan Johansen mendirikan sekolah guru zending di Pansurnapitu. Lokasi ini dulunya dikenal sebagai parsombaonan (tempat angker). Kini berdiri gereja HKBP di Pansurnapitu.

Karena pengaruh para misonar semakin luas di Tanah Batak, Raja Sisingamangaraja XII marah besar sehingga mengancam akan membumihanguskan kegiatan misioner. Tapi, ancaman sang raja tidak menjadi kenyataan. Tahun 1878, Silindung masuk kolonisasi Belanda. Dua tahun kemudian, Nommensen beserta istri dan anak-anaknya diungsikan dari Silindung dengan jalan kaki selama dua hari ke Sibolga untuk kembali ke Eropa. Tahun 1881, menjelang Natal, Nommensen kembali dari Jerman ke Pearaja tanpa didampingi isteri dan anak-anaknya.Tahun itu pula, kongsi Barmen menetapkan IL Nommensen menjadi ephorus pertama HKBP dan digelari ‘‘Ompu i.
’’

No comments:

Post a Comment