SEJARAH
TINJAUAN SEJARAH AWAL DAN ARAH KEMANDIRIAN HKBP
Beberapa Catatan Historis tentang Awal dan Arah Kemandirian HKBP
(1861-2011)
Pdt. Dr. J.R. Hutauruk
I. Periode 1860an – 1940an
a. Tiga Kekuatan
Dari segi sejarah kepemimpinan Sending
RMG (1861-1940) dan HKBP (1940-2011) ada tiga kekuatan yang mengawali
sekaligus jadi tiang penopang kemandirian HKBP. Pertama,
lahirnya jemaat – jemaat desa atas keterbukaan menerima Injil ,
prakarsa dan swadaya kaum elit desa ( para raja/ pendiri desa dan
warganya, khususnya dalam pengadaan pertapakan dan pembangunan gedong
gerejanya. Sejak 1881 jemaat setempat berhak memilih pendeta pribumi
menjadi pelayan sekaligus pemimpin jemaat di bawah pimpinan tuan pandita
yang memimpin resort, seperti tertuang pada pasal 19 Tata Gereja 1881.
Isi pasal ini tidak pernah diberlakukan. Mengapa pasal tentang hak
jemaat untuk diikutsertakan menentukan siapa yang akan menjadi
pimpinannya tidak pernah disebutkan. Terbentuknya badan majelis jemaat
(kerkeraad dan kasbestur) telah meningkatkan hak kemandirian jemaat
setempat sejak 1920. Majelis jemaat yang terdiri dari para sintua jemaat
mengurusi soal-soal kerohanian dan badan kebendaharaan “kasbestuur”
mengurusi keuangan dan inventarsi jemaat. Anggotanya terdiri dari
anggota jemaat yang dianggap mampu mengemban tugas kebendaharaan itu.
Majelis jemaat dibentuk oleh jemaat sendiri. Jemaat dipimpin oleh
pendeta pribumi atau guru pribumi. Kelembagaan jemaat ini mencerminkan
sistem presbiterial – sinodal HKBP, yang kemudian tertuang dalam tata
gereja 1930. Kemudian 1960an mengalami perubahan, di mana golongan
kasbestuur ditiadakan dengan alasan hanya mereka yang pemangku jabatan
gereja ( sintua ) yang diijinkan jadi anggota majelis sedang seorang
warga jemaat tidak. Dan itulah yang berlaku hingga kini. Sistem
presbiterial-sinodal , yang dulu terdiri dari pemangku jabatan dan
anggota jemaat sudah tiada, dan yang ada kini ialah kumpulan para
pejabat gereja. Dulu ada golongan “kas bestuur”, kini sudah bagian dari
masa tempo dulu.
Pada awalnya keberadaan majelis jemaat itu menandakan kemandirian sebuah
jemaat, karena hanya jemaat yang mampu membiayai diri sendiri dapat
diakui sebagai sebuah jemaat. Kemandirian yang ditopang oleh kekuatan
finansial jemaat menentukan mutu kemandiriannya.
Kekuatan kedua. Pada awalnya, penataan otoritas
tertinggi di atas semua jemaat yang sedang tumbuh dan berkembang ialah
kepemimpinan para pendeta utusan di bawah pimpinan seorang ephorus.
Ephorus yang menempatkan guru dan pendeta. Dan pada gilirannya guru atau
pendeta yang ditempatkan itu jadi pimpinan jemaat atas otoritas yang di
atasnya yaitu para pendeta utusan yang berfungsi sebagai misionar dan
pendeta resort. Pendeta resort yaitu para tuan pendeta, di aatsnya ada
praeses dan diatasnya ada ephorus yang dapat langsung setiap saat
berkunjung dan mengawasi semua jemaat. Kepemimpinan sedemikian rupa
mencerminkan apa yang dikenal dengan sebutan episkopal, dan disebut
sinodal-episkopal, karena ephorus,praeses, pendeta resort dan guru atau
pendeta yang memimpin setiap rapat atau sinode mulai dari jemaat hingga
ke sinode godang. Lihat Tata gereja 1881 pasal 20-25 dan tata gereja
berikutnya. Kedudukan ephorus berada pada tiingkat tertinggi dari
kerucut kepemimpinan itu.
Sejarah sending RMG dan HKBP (1861-2011) telah mencatat adanya
kontradiksi kedua unsur itu, dan itu paling sering nampak di tengah
jemaat HKBP yang jauh dari pusat hirakhi-episkopal itu, ketika
jemaat-jemaat itu menuntut hak dan tanggungajwabnya sebagai jemaat yang
mandiri. Contoh: jemaat-jemaat parserahan di Medan dan Jakarta (Batavia)
pada tahun 1920an dan 1930an. Kedua unsur itu tetap dipertahankan
hingga kini. HKBP selalu berupaya menarik manfaatnya secara konstruktif
dan kreatif. Itulah dua kekuatan yang menopang kemandirian HKBP,
kekuatan-kekuatan yang dalam dirinya sendiri menyimpakan kontradiksi
dalam dirinya sendiri.
Kekuatan yang ketiga ialah pemangku jabatan kependetaan
itu. Adanya jabatan kependetaan yang sejak awal melekat pada pribadi
setiap misionaris sekaligus pendeta utusan. Karena alasan praktis di
mana pertambahan tenaga pendeta utusan tidak bakal dapat memenuhi
kebutuhan perluasan sending yang melahirkan jemaat, maka sejak 1868
dibuka pendidikan ( guru pribumi dan sejak 1885 dibuka pendidikan
pendeta pribumi, yang nanti dapat menjadi perpanjangan tangan kaum
pendeta utusan untuk melaksanakan tugas pelayanan di bidang khotbah
termasuk kedua sakramen baptian dan perjamuan kudus, pengajaran,
penggembalaan dan pengelolaan administrasi jemaat. memimpin jemaat
Status mereka sebagai pembantu, menunut loyalitas tinggi terhadap bapa
rohani mereka, tuan pandita Jerman. Semua tugas pelayanan mereka dan
kebijakan mereka harus dilaporkan kepada atasannya.
Perhatian kita selanjutnya lebih focus pada jabatan pendeta pribumi
sebagai pendeta pembantu.
No comments:
Post a Comment