SEJARAH AGAMA DI TANAH BATAK
Agama Parmalim
Sebelum
masuknya pengaruh agama Hindu, Islam, dan Kristen ke tanah Batak, orang
Batak pada mulanya belum mengenal nama dan istilah “dewa-dewa”.
Kepercayaan orang Batak dahulu (kuno) adalah kepercayaan kepada arwah
leluhur serta kepercayaan kepada benda-benda mati. Benda-benda mati
dipercayai memiliki tondi (roh) misalnya: gunung, pohon, batu, dll yang
kalau dianggap keramat dijadikan tempat yang sakral (tempat sembahan).
Orang
Batak percaya kepada arwah leluhur yang dapat menyebabkan beberapa
penyakit atau malapetaka kepada manusia. Penghormatan dan penyembahan
dilakukan kepada arwah leluhur akan mendatangkan keselamatan,
kesejahteraan bagi orang tersebut maupun pada keturunan. Kuasa-kuasa
inilah yang paling ditakuti dalam kehidupan orang Batak di dunia ini dan
yang sangat dekat sekali dengan aktifitas manusia.
Sebelum orang Batak mengenal tokoh dewa-dewa orang India dan istilah “Debata”, sombaon yang paling besar orang Batak (kuno) disebut “Ompu Na Bolon”
(Kakek/Nenek Yang Maha Besar). Ompu Nabolon (pada awalnya) bukan salah
satu dewa atau tuhan tetapi dia adalah yang telah dahulu dilahirkan
sebagai nenek moyang orang Batak yang memiliki kemampuan luar biasa dan
juga menciptakan adat bagi manusia. Tetapi setelah masuknya kepercayaan
dan istilah luar khususnya agama Hindu; Ompu Nabolon ini dijadikan
sebagai dewa yang dipuja orang Batak kuno sebagai nenek/kakek yang
memiliki kemampuan luar biasa. Untuk menekankan bahwa “Ompu Nabolon” ini sebagai kakek/nenek yang terdahulu dan yang pertama menciptakan adat bagi manusia, Ompu Nabolon menjadi “Mula Jadi Nabolon” atau “Tuan Mula Jadi Nabolon”.
Karena kata Tuan, Mula, Jadi berarti yang dihormati, pertama dan yang
diciptakan merupakan kata-kata asing yang belum pernah dikenal oleh
orang Batak kuno. Selanjutnya untuk menegaskan pendewaan bahwa Ompu
Nabolon atau Mula Jadi Nabolon adalah salah satu dewa terbesar orang
Batak ditambahkanlah di depan Nabolon atau Mula Jadi Nabolon itu kata ‘Debata’ yang berarti dewa (jamak) sehingga menjadi “Debata Mula Jadi Nabolon”.
Parmalim
sebenarnya adalah identitas pribadi, sementara kelembagaannya disebut
Ugamo Malim. Pada masyarakat kebanyakan, Parmalim sebagai identitas
pribadi itu lebih populer dari “Ugamo Malim” sebagai identitas
lembaganya Berjuang bagi Parmalim bukan hal baru, karena leluhur
pendahulunya dari awal dan akhir hidupnya selalu dalam perjuangan.
Perjuangan dimulai sejak Raja Sisingamangaraja menyatakan “tolak” kolonialisme Belanda yang dinilai merusak tatanan kehidupan masyarakat adat dan budaya
Raja
Monang Naipospos adalah Pengurus Pusat Ugamo Malim, sebuah agama
kepercayaan yang lahir dari kebudayaan Batak. Agama ini merupakan
peninggalan Raja Batak Sisingamangaraja. Kini pusat agama Parmalim
terbesar berada di Desa Hutatinggi, 4 kilometer dari kecamatan Laguboti
Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara. Orang lebih mengenalnya sebagai
Parmalim Hutatinggi. Di desa ini ada rumah ibadah orang Parmalim yang
disebut Bale Pasogit.
Mereka
beribadah setiap hari sabtu dan memiliki dua hari peringatan besar
setiap tahunnya yaitu Sipaha Sada dan Sipaha Lima. Sipaha Sada ini
dilakukan saat masuk tahun baru Batak yang dimulai setiap bulan Maret.
Dan Sipaha Lima yang dilakukan saat bulan Purnama yang dilakukan antara
bulan juni-juli.
Dalam
upacara, laki-laki yang telah menikah biasanya mengunakan sorban
seperti layaknya orang muslim, sarung dan Ulos (selendang batak).
Sementara yang wanitanya bersarung dan mengonde rambut mereka. Semua
acara Parmalin dipimpin langsung oleh Raja Marnokkok Naipospos. Kakek
Raja Marnokkok adalah Raja Mulia Naipospos yang menjadi pembantu utama
Sisingamangaraja XI. Kini penganut Parmalin ini mencapai 7000 orang
termasuk yang bukan orang batak. Mereka tersebar di 39 tempat di
Indonesia termasuk di Singkil Nanggroe Aceh Darussalam.
Kitab-Kitab Dalam Agama Parmalim
Kitab Batara Guru
Kitab
ini berisi seluruh rahasia Allah tentang terjadinya bumi dan manusia
beserta kodrat kehidupan dan kebijakan manusia yang tercermin pada
Batara Guru yang mempunyai lambang hitam.
Kitab Debata Sorisohaliapan
Kitab
ini berisi tatanan hidup manusia, mana yang dapat dilakukan dan mana
yang tidak dapat dilakukan sesuai dengan titah dan peraturan sesuai
dengan budaya masing-masing.
Kitab Mangala Bulan
Kitab
Mangala Bulan menerangkan tentang cerminan kekuatan Allah. Kitab ini
menceritakan kekuatan manusia dalam menjalani hidup termasuk bumi dan
seni bela diri batak dalam menjalani hidup sehari-hari. Kitab ini
terbagi atas dua jenis
Debata Asi-Asi
Kitab
ini menerangkan tentang inti dari Kitab Batara Guru, Debata
Sorisohaliapan, Mangala Bulan (Debata Natolu) dan induk dari segala
kitab. Kitab ini juga berisi tentang ilmu pengetahuan manusia, karena
manusia adalah titisan Debata Asi-asi.
Kitab Boru Debata
Kitab
ini berisikan tentang kehidupan wanita hingga memperoleh anak termasuk
para putri titisan Allah juga mengenai para ratu air.
Kitab Pengobatan
Kitab
ini menerangkan tentang bagaimana manusia agar selalu sehat, bagi orang
sakit menjadi sembuh, bagaimana agar dekat dengan Tuhan dan bagaimana
cara melaksanakan budaya ritual agar manusia itu sehat. Dalam kehidupan
orang batak segala sesuatunya termasuk mengenai pengobatan selalu
seiring dengan budaya ritual dan barang pusaka peninggalan leluhur jaman
dahulu untuk mengetahui bagaimana cara mendekatkan diri pada sang
pencipta agar manusia tetap sehat dan jauh dari mara bahaya. Kitab ini
dibagi empat bagian.
Falsafah Batak
Kitab
ini berisi tentang adat istiadat, budaya, hukum, aksara seni tari, seni
musik terutama bidang pemerintahan kerajaan sosial ekonomi.
Kitab Pane Nabolon
Sejak
zaman dahulu orang batak sudah mengetahui perjalanan bulan dan bintang
setiap harinya. Parhalaan Batak adalah cerminan pane nabolon hukum alam
terhadap setiap manusia. Apa yang akan terjadi besok, kelak menjadi apa
anak yang baru lahirkan , bagaimana nasib seseorang, barang hilang serta
langkah yang baik bagi orang Batak sudah merupakan kebiasaan pada zaman
dahulu kala demikian halnya dalam mengadakan pesta ritual segalanya
lebih dahulu membuka buku parhalaan (Buku Perbintangan). Kitab ini di
bagi dua bagian.
Kitab Raja Uhum Manisia
Kitab ini adalah kitab yang berisi penghakiman.
Agama Islam
Perang
Paderi (Ada yang berpendapat kata ini berasal dari Pidari di Sumatera
Barat, dan ada yang berpendapat kata Paderi berasal dari kata Padre,
bahasa Portugis, yang artinya pendeta, dalam hal ini adalah ulama) di
Sumatera Barat berawal dari pertentangan antara kaum adat
dengan kaum ulama. Sebagaimana seluruh wilayah di Asia Tenggara lainnya,
sebelum masuknya agama Islam, agama yang dianut masyarakat di Sumatera
Barat juga agama Buddha dan Hindu. Sisa-sisa budaya Hindu yang masih ada
misalnya sistem matrilineal (garis ibu), yang mirip dengan yang
terdapat di India hingga sekarang. Masuknya agama Islam ke Sumatera
Utara dan Timur, juga awalnya dibawa oleh pedagang-pedagang dari Gujarat
dan Cina.
Setelah
kembalinya beberapa tokoh Islam dari Mazhab Hambali yang ingin
menerapkan alirannya di Sumatera Barat, timbul pertentangan antara
kaum adat dan kaum ulama, yang bereskalasi kepada konflik bersenjata.
Karena tidak kuat melawan kaum ulama (Paderi), kaum adat meminta bantuan
Belanda, yang tentu disambut dengan gembira. Maka pecahlah Perang
Paderi yang berlangsung dari tahun 1816 sampai 1833. Selama
berlangsungnya Perang Paderi, pasukan kaum Paderi bukan hanya berperang
melawan kaum adat dan Belanda, melainkan juga menyerang Tanah Batak
Selatan, Mandailing, tahun 1816 – 1820 dan kemudian mengIslamkan Tanah
Batak selatan dengan kekera san senjata, bahkan di beberapa tempat
dengan tindakan yang sangat kejam.
Sebelum
masuknya agama Islam dan Kristen ke Tanah Batak, selain agama asli
Batak yaitu Parmalim, seperti di hampir di seluruh Nusantara, agama yang
berkembang di Sumatera Utara adalah agama Hindu dan Buddha. Sedangkan
di Sumatera Barat pada abad 14 berkembang aliran Tantra Çaivite
(Shaivite) Mahayana dari agama Buddha, dan hingga tahun 1581 Kerajaan
Pagarruyung di Minangkabau masih beragama Hindu.
Agama
Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk setempat sebagai
Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol.
Seperti juga di Jawa Timur dan Banten rakyat setempat yang tidak mau
masuk Islam, menyingkir ke utara dan bahkan akibat agresi kaum Paderi
dari Bonjol, tak sedikit yang melarikan diri sampai Malaya. Penyerbuan
Islam ke Mandailing berawal dari dendam k eturunan marga Siregar
terhadap dinasti Singamangaraja dan seorang anak hasil incest (hubungan
seksual dalam satu keluarga) dari keluarga Singamangaraja X.
Ketika
bermukim di daerah Muara, di Danau Toba, Marga Siregar sering melakukan
tindakan yang tidak disenangi oleh marga-marga lain, sehingga konflik
bersenjatapun tidak dapat dihindari. Raja Oloan Sorba Dibanua, kakek
moyang dari Dinasti Singamangaraja, memimpin penyerbuan terhadap
pemukiman Marga Siregar di Muara. Setelah melihat kekuatan penyerbu yang
jauh lebih besar, untuk menyelamatkan anak buah dan keluarganya,
peminpin marga Siregar, Raja Porhas Siregar meminta Raja Oloan Sorba
Dibanua untuk melakukan perang tanding – satu lawan satu sesuai tradisi
Batak. Menurut tradisi perang tanding Batak, rakyat yang pemimpinnya
mati dalam pertarungan satu lawan satu tersebut, harus diperlakukan
dengan hormat dan tidak dirampas harta ben danya serta dikawal menuju
tempat yang mereka inginkan.
Dalam
perang tanding itu, Raja Porhas Siregar kalah dan tewas ditangan Raja
Oloan Sorba Dibanua. Anak buah Raja Porhas ternyata tidak diperlakukan
seperti tradisi perang tanding, melainkan diburu oleh anak buah Raja
Oloan sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke tebing-tebing yang
tinggi di belakang Muara, meningggalkan keluarga dan harta benda. Mereka
kemudian bermukim di dataran tinggi Humbang. Pemimpin Marga Siregar
yang baru, Togar Natigor Siregar mengucapkan sumpah, yang diikuti oleh
seluruh Marga Siregar yang mengikat untuk semua keturunan mereka, yaitu:
Kembali ke Muara untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh
keturunannya. Dendam ini baru terbalas setelah 26 generasi, tepatnya
tahun 1819, ketika Jatengger Siregar ?yang datang bersama pasukan
Paderi, dibawah pimpinan Pongkinangolngolan (Tuanku Rao) memenggal
kepala Singamangaraja X, keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, dalam
penyerbuan ke Bakkara, ibu kota Dinasti Singamangaraja.
Ibu
dari Pongkinangolngolan adalah Gana Sinambela, putri dari
Singamangaraja IX sedangkan ayahnya adalah Pangeran Gindoporang
Sinambela adik dari Singamangaraja IX. Gindoporang dan Singamangaraja IX
adalah putra-putra Singamangaraja VIII. Dengan demikian,
Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Putri Gana
Sinambela dengan Pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela. Gana
Sinambela sendiri adalah kakak dari Singamangaraja X. Walaupun terlahir
sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi dan
memanjakan keponakannya. Untuk memberikan nama marga, tidak mungkin
diberikan marga Sinambela, karena ibunya bermarga Sinambela.
Namun
nama marga sangat penting bagi orang Batak, sehingga Singamangaraja X
mencari jalan keluar untuk masalah ini. Singamangaraja X mempunyai adik
perempuan lain, Putri Sere Sinambela, yang menikah dengan Jongga
Simorangkir, seorang hulubalang. Dalamsuatu upacara adat, secara pro
forma Pongkinangolngolan “dijual” kepada Jongga Simorangkir, dan
Pongkinangolngolan kini bermarga Simorangkir. Namun kelahiran di luar
nikah ini diketahui oleh 3 orang Datu (tokoh spiritual) yang dipimpin
oleh Datu Amantagor Manurung. Mereka meramalkan, bahwa
Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh pamannya, Singamangaraja X.
Oleh karena itu, Pongkinangolngolan harus dibunuh.
Sesuai
hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati atas
keponakan yang disayanginya. Namun dia memutuskan, bahwa
Pongkinangolngolan tidak dipancung kepalanya, melainkan akan
ditenggelamkan di Danau Toba. Dia diikat pada sebatang kayu dan badannya
dib ebani dengan batu-batu supaya tenggelam.
Di
tepi Danau Toba, Singamangaraja X pura-pura melakukan pemeriksaan
terakhir, namun dengan menggunakan keris pusaka Gajah Dompak ia
melonggarkan tali yang mengikat Pongkinangolngolan, sambil menyelipkan
satu kantong kulit berisi mata uang perak ke balik pakaian
Pongkinangolngola. Perbuatan ini tidak diketahui oleh para Datu, karena
selain tertutup tubuhnya, juga tertutup tubuh Putri Gana Sinambela yang
memeluk dan menangisi putra kesayangannya. Tubuh Pongkonangolngolan yang
terikat kayu dibawa dengan rakit ke tengah Danau dan kemudian di buang
ke air. Setelah berhasil melepaskan batu-batu dari tubuhnya, dengan
berpegangan pada kayu
Pongkinangolngolan
berhasil mencapai sungai Asahan, di mana kemudian di dekat Narumonda,
ia ditolong oleh seorang nelayan, Lintong Marpaung. Setelah
bertahun-tahun berada di daerah An gkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan
memutuskan untuk pergi ke Minangkabau, karena selalu kuatir suatu hari
akan dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja
Batak. Di Minangkabau ia mula-mula bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo
sebagai perawat kuda. Pada waktu itu, tiga orang tokoh Islam Mazhab
Hambali, yaitu Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik baru kembali
dari Mekkah dan sedang melakukan penyebaran Mazhab Hambali di
Minangkabau, yang menganut aliran Syi’ah. Haji Piobang dan Haji Sumanik
pernah menjadi pewira di pasukan kavaleri Janitsar Turki.
Gerakan
mereka mendapat dukungan dari Tuanku Nan Renceh, yang mempersiapkan
tentara untuk melaksanakan gerakan Mazhab Hambali, termasuk rencana
untuk mengislamkan Mandailing. Tuanku Nan Renceh yang adalah seorang
teman Datuk Bandaharo Ganggo, mendengar mengenai nasib dan silsilah dari
Pongkinangolngolan.
Ia
memperhitungkan, bahwa Pongkinangolngolan yang adalah keponakan
Singamangaraja X dan sebagai cucu di dalam garis laki-laki dari
Singamangaraja VIII, tentu sangat baik untuk digunakan dalam rencana merebut
dan mengIslamkan Tanah Batak. Oleh karena itu, ia meminta kawannya,
Datuk Bandaharo agar menyerahkan Pongkinangolngolan kepadanya untuk
dididik olehnya.
Pada
9 Rabiu’ulawal 1219 H (tahun 1804 M), dengan syarat-syarat Khitanan dan
Syahadat, Pongkinangolngolan diislamkan dan diberi nama Umar Katab oleh
Tuanku Nan Renceh. Nama tersebut diambil dari nama seorang Panglima
Tentara Islam, Umar Chattab. Namun terselip juga asal usul Umar Katab,
karena bila dibaca dari belakang, maka akan terbaca: Batak!
Penyebaran
Mazhab Hambali dimulai tahun 1804 dengan pemusnahan keluarga Kerajaan
Pagarruyung di Suroaso, yang menolak aliran baru tersebut. Hampi r
seluruh keluarga Raja Pagarruyung dipenggal kepalanya oleh pasukan yang
dipimpin oleh Tuanku Lelo, yang nama asalnya adalah Idris Nasution.
Hanya beberapa orang saja yang dapat menyelamatkan diri, di antaranya
adalah Yang Dipertuan Arifin Muning Alamsyah yang melarikan diri ke
Kuantan dan kemudian meminta bantuan Belanda. Juga putrinya, Puan Gadis
dapat menyelamatkan diri, dan pada tahun 1871 menceriterakan kisahnya
kepada Willem Iskandar.
Umar
Katab alias Pongkinangolngolan Sinambela kembali dari Mekkah dan Syria
tahun 1815, di mana ia sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada
pasukan kavaleri janitsar Turki. Oleh Tuanku Nan Renceh ia diangkat
menjadi perwira tentara Paderi dan diberi gelar Tuanku Rao. Ternyata
Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera seperti Belanda,
yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang Tanah Batak.
Penyerbuan
ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H (tahun 1816 M), dengan
penyerbuan terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan oleh Marga
Lubis. 5.000 orang dari pasukan berkuda ditambah 6.000 infanteri
meluluhlantakkan benteng Muarasipongi, dan seluruh penduduknya dibantai
tanpa menyisakan seorangpun. Kekejaman ini sengaja dilakukan dan
disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan
penaklukkan. Setelah itu, satu persatu wilayah Mandailing ditaklukkan
oleh pasukan Paderi, yang dipimpin oleh Tuanku Rao dan Tuanku Lelo, yang
adalah putra-putra Batak sendiri. Selain kedua nama ini, ada sejumlah
orang Batak yang telah masuk Islam, ikut pasukan Paderi menyerang Tanak
Batak, yaitu Tuanku Tambusai (Harahap), Tuanku Sorik Marapin (Nasution),
Tuanku Mandailing (Lubis), Tuanku Asahan (Mansur Marpaung), Tuanku
Kotapinang (Alamsyah Dasopang), Tuanku Daulat (Harahap), Tuanku Patuan
Soripada (Siregar), Tuanku Saman (Hutagalung), Tuanku Ali Sakti
(Jatengger Siregar), Tuanku Junjungan (Tahir Daulay) dan Tuanku Marajo
(Harahap).
Penyerbuan
terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara, dilaksanakan tahun 1819.
Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin oleh Jatengger Siregar
ikut dalam pasukan penyerang, guna memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar
dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu
Singamangaraja X. Jatengger Siregar menantang Singamangaraja untuk
melakukan perang tanding. Walaupun sudah berusia lanjut, namun
Singamangaraja tak gentar dan menerima tantangan Jatengger Siregar yang
masih muda. Duel dilakukan dengan menggunakan pedang di atas kuda.
Duel
yang tak seimbang berlangsung tak lama. Singamangaraja kalah dan
kepalanya dipenggal oleh pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah
dendam yang tersimpan selama 26 generasi. Kepala Singamangaraja X ditusukkan ke ujung satu tombak dan ditancapkan ke tanah. Orang-orang marga Siregar masih belum puas dan menantang putra-putra Singamangaraja X untuk perang tanding. Sebelas putra-putra Singamangaraja memenuhi tantangan ini, dan hasilnya adalah 7/4 untuk kemenangan putra-putra Singamangaraja. Namun setelah itu, penyerbuan terhadap Benteng Bakkara terus dilanjutkan, dan sebagaimana di tempat-tempat lain, tak tersisa seorangpun dari penduduk Bakkara, termasuk semua perempuan yang juga tewas dalam pertempuran.
Penyerbuan pasukan Paderi terhenti tahun 1820, karena berjangkitnya penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara Paderi yang memasuki Tanah Batak tahun 1818, hanya tersisa sekitar 30.000 orang dua tahun kemudian. Sebagian terbesar bukan tewas di medan petempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit. Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, tahun 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengIslaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan.
Namun Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak, untuk menghadang masuknya tentara Belanda. Ketika keadaan bertambah parah, akhirnya Tuanku Rao melakukan pembangkangan terhadap perintah Tuanku Imam Bonjol, dan memerintahkan sisa pasukannya keluar dari Tanah Batak Utara dan kembali ke Selatan. Enam dari panglima pasukan Paderi asal Batak, yaitu Tuanku Mandailing, Tuanku Asahan, Tuanku Kotapinang, Tuanku Daulat, Tuanku Ali Sakti dan Tuanku Junjungan, tahun 1820 memberontak terhadap penindasan asing dari Bonjol/Minangkabau dan menanggalkan gelar Tuanku yang dipandang sebagai gelar Minangkabau. Bahkan Jatengger Siregar hanya menyandang gelar tersebut selama tiga hari. Mereka sangat marah atas perilaku pasukan Paderi yang merampok dan menguras Tanah Batak yang telah ditaklukkan.
Namun hanya karena ingin balas dendam kepada Singamangaraja, Jatengger Siregar menahan diri sampai terlaksananya sumpah
Togar Natigor Siregar dan ia behasil membunuh Singamangaraja X. Mansur
Marpaung (Tuanku Asahan) dan Alamsyah Dasopang (Tuanku Kotapinang) dengan tegas menyatakan tidak mau tunduk lagi kepada Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Nan Renceh, dan kemudian mendirikan kesultanan/kerajaan sendiri. Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan dan mengangkat dirinya menjadi sultan, sedangkan Dasopang mendirikan Kerajaan Kotapinang, dan ia menjadi raja.
Tuanku
Rao tewas dalam pertempuran di Air Bangis pada 5 September 1821,
sedangkan Tuanku Lelo (Idris Nasution) tewas dipenggal kepalanya dan
kemudian tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan selirnya.
Berikut
adalah angka tahun Islam di tanah Batak. Yang meliputi tanah Batak
pedalaman yang sering disebut pusat tanah Batak atau Batak utara, Barus,
Mandailing, Angkola atau Batak selatan, Gayo, Simalungun, Karo dan
kawasan Batak di sekitar sungai Asahan sampai ke hilir sungainya di
sumatera bagian timur.
633-661
Disinyalir
pemerintahan Khulafa’ Al Rasyidin telah menjalin hubungan dengan
beberapa kerajaan di Sumatera, termasuk Batak. Tapi hubungan itu masih
sekedar hubungan antar negara dalam sebuah upaya untuk menjalin hubungan
kerjasama ekonomi. Kapur barus, emas, merica dan rempah-rempah lainnya.
Sumatera dikenal dengan istilah Zabag. Beberapa catatan mengenai
kedatangan utusan dan pelaut muslim ke Barus dan pelabuhan sumatera
lainnya yang dikuasasi Sriwijaya pernah didokumentasikan.
661-750
Pelaut-pelaut Arab yang Islam mulai berdatangan secara intens di masa
pemerintahan Dinasti Umayyah. Kedatangan mereka untuk misi dagang
tersebut telah membentuk kantong-kantong muslim di tanah Batak,
khususnya Barus, yang tentunya terjadinya transfer ilmu pengetahuan
kepada penduduk setempat melalui medium non-formal.
718-726
Islam berkembang pesat di tanah Barus. Di lain pihak Islam berkembang di Sumatera masuknya beberapa raja Sriwijaya kepada Islam. Diantaranya Sri Indra Warman di Jambi.
Islam berkembang pesat di tanah Barus. Di lain pihak Islam berkembang di Sumatera masuknya beberapa raja Sriwijaya kepada Islam. Diantaranya Sri Indra Warman di Jambi.
730
Pedagang Arab di pesisir Sumatera mendapat persaingan dari pedagang
Cina yang sangat aktif menyebarkan agama buddha mahayana.
Kerajaan-kerajaan buddha dengan Sriwijaya-nya menjadi kekuatan yang
sangat kuat menguasai sebagian besar pelabuhan-pelabuhan penting di
Nusantara. Diyakini orang-orang Sriwijaya ini juga berhasil memasukkan
ajaran Buddha ke komunitas Batak khusunya yang di Mandailing.
851
Seorang pedagang Arab berhasil mendokumentasikan kedatangannya di kota Barus. Laporan Sulaiman itu pada tahun 851 M membicarakan tentang penambangan emas dan perkebunan barus (kamper) di Barus (Ferrand 36). Disinyalir bahwa para pendatang asing seperti Romawi, Yunani, Arab, Cina, India, Persia dan dari kepulauan Indonesia lainnya telah membangun kantong-kantong pemukiman yang lengkap dengan prasarana pendukungnya di Barus. Penambangan emas dan perkebunan kamper tersebut merupakan contoh bahwa kedua komoditas ini telah diolah secara modern dan bukan didapat secara tradisional di hutan-hutan.
Seorang pedagang Arab berhasil mendokumentasikan kedatangannya di kota Barus. Laporan Sulaiman itu pada tahun 851 M membicarakan tentang penambangan emas dan perkebunan barus (kamper) di Barus (Ferrand 36). Disinyalir bahwa para pendatang asing seperti Romawi, Yunani, Arab, Cina, India, Persia dan dari kepulauan Indonesia lainnya telah membangun kantong-kantong pemukiman yang lengkap dengan prasarana pendukungnya di Barus. Penambangan emas dan perkebunan kamper tersebut merupakan contoh bahwa kedua komoditas ini telah diolah secara modern dan bukan didapat secara tradisional di hutan-hutan.
Sekarang
ini ahli sejarah menemukan bukti-bukti arkeologis yang memperkuat
dugaan bahwa sebelum munculnya kerajaan-kerajaan Islam yang awal di
Sumatera seperti Peurlak dan Samudera Pasai, yaitu sekitar abad-9 dan
10, di Barus telah terdapat kelompok-kelompok masyarakat Muslim dengan
kehidupan yang cukup mapan (Dada Meuraxa dalam Ali Hasymi,
Sejarah Masuk dan Perkembangan Islam di Indonesia, bandung PT Al
Ma’arif 1987). Kehidupan yang mapan itu pula memungkinkan mereka untuk
hidup secara permanen di kawasan ini yang sudah pasti didukung oleh
sarana pengembangan ilmu pengetahuan agar mereka tidak tertinggal dengan
pesaing lainnya.
Sebagai
pelabuhan yang sangat masyhur, Barus menjadi tujuan pendidikan tertua
bagi masyarakat Batak. Hal ini dikarenakan bahwa Barus merupakan wilayah
Batak yang paling mudah dicapai oleh orang-orang Batak dari pedalaman
yang ingin menimba ilmu. Jalan-jalan menuju Barus telah dirintis rapi
oleh pedagang-pedagang Batak yang ingin menjual kemenyan dan membeli
produk jadi dari Barus. Sampai era tahun 1980-an, madrasah-madrasah
tradisional Barus masih menjadi primadona tujuan pendidikan di tanah
Batak sebelum akhirnya digantikan oleh Mandailing dengan
pesantren-pesantrennya yang sudah modern.
Masuknya
gelombang pedagang dan saudagar ke Barus mengakibatkan penduduk lokal
Batak di lokasi tersebut; Singkil, Fansur, Barus, Sorkam, Teluk Sibolga,
Sing Kwang dan Natal memeluk Islam setelah sebelumnya beberapa elemen
sudah menganutnya. Walaupun begitu, mayoritas masyarakat Batak di
sentral Batak masih menganut agama asli Batak. Kelompok Marga Tanjung di
Fansur, marga Pohan di Barus, Batu Bara di Sorkam kiri, Pasaribu di
Sorkam Kanan, Hutagalung di Teluk Sibolga, Daulay di Sing Kwang
merupakan komunitas Islam pertama yang menjalankan Islam dengan kaffah.
900
Ibnu Rustih kurang lebih pada tahun 900 M menyebut Fansur, nama kota
di Barus, sebagai negeri yang paling masyhur di kepulauan Nusantara
(Ferrand 79). Sementara itu tahun 902, Ibn Faqih melaporkan bahwa Barus
merupakan pelabuhan terpenting di pantai barat Sumatera (Krom 204).
Sambil
berdagang, para saudagar-saudagar Batak, marga Hutagalung, Pasaribu,
Pohan dan Daulay biasanya akan memberikan ceramah dan majlis pendidikan
kepada penduduk Batak pedalaman. Tradisi ini masih berlangsung sampai
era 1980-an di negeri Rambe, Sijungkang dan lain sebagainya. Di daerah
Bakkara, komunitas yang aktif dalam pendidikan Islam adalah kalangan
Marpaung sejak abad-15. Pembelajaran secara cuma-cuma dan gratis ini
bisa diartikan sebagai taktik dagang untuk mendekatkan mereka dengan
penduduk setempat.
976-1168
Paham syiah mulai datang ke daerah Barus. Hal itu karena ekspansi perdagangan Dinasti Fatimiyah Mesir.
1128-1204
Kota Barus, dan beberapa daerah Batak lainnya seperti Gayo pernah
direbut oleh Kesultanan Daya Pasai, dengan rajanya Kafrawi Al Kamil.
Ekspanasi ini terlaksana dengan motif monopoli perekonomian. Sistem
pendidikan yang lebih sitematis dari kalangan syiah menjadi marak di
Barus dan daerah Batak lainnya. Kalangan intelektual Batak mulai unjuk
gigi. Khususnya mereka kawin campuran dengan pedagang asing dari Arab,
India dan Persia. Namun penguasaan pihak Aceh tersebut berlangsung hanya
sementara. Di Barus kepemimpinan Dinasti Pardosi yang menjadi penguasa
tunggal menjadi kesultanan Batak muslim yang sangat kuat. Kesultanan ini
mempunyai aliansi yang kuat dengan Aceh, khusunya Singkel dan Meulaboh.
Kerajaan
Batak Hatorusan yang menjadi penguasa di Barus dan pesisir Sumatera
bagian barat sejak abad sebelum masehi tidak tampak hegemoninya.
Disinyalir keturunannya menjadi raja-raja huta di Sorkam dengan
penduduknya yang bermarga Pasaribu. Pada abad ke-16, Kerajaan Hatorusan
ini muncul kembali dengan naiknya Sultan Ibrahimsyah Pasaribu menjadi
Sultan Barus Hilir. Dinasti Pardosi kemudian dikenal sebagai Sultan
Barus Hulu.
Persaingan
politik antar mereka membuat kedua kesultanan ini sering berpecah.
Sultan di Hulu lebih dekat kepada Aceh dan yang di Hilir lebih dekat
kepada Minang. Minang dan Aceh sendiri merupakan dua kekuatan yang
saling berkompetisi dalam memperebutkan pengaruh di Barus. Baik pada
saat mereka Islam maupun Buddha dan Hindu
.Kalangan
intelektual Arab mulai berdatangan ke Barus. Ekspor kapur barus
meningkat tajam seiring dengan meningkatnya permintaan. Barus menjadi
rebutan banyak kekuatan asing dan lokal. Pada permulaan abad ke-12,
seorang ahli geografi Arab, Idrisi, memberitakan mengenai ekport kapur
di Sumatera (Marschall 1968:72). Kapur bahasa latinnya adalah camphora
produk dari sebuah pohon yang bernama latin dryobalanops aromatica
gaertn. Orang Batak yang menjadi produsen kapur menyebutnya hapur atau
todung atau haboruan.
Beberapa
istilah asing mengenai Sumatera adalah al-Kafur al-Fansuri dengan
istilah latin Canfora di Fanfur atau Hapur Barus dalam bahasa Batak
dikenal sebagai produk terbaik di dunia (Drakard 1990:4) dan produk lain
adalah Benzoin dengan bahasa latinnya Styrax benzoin. Semua ini adalah
produk-produk di Sumatera Barat Laut dimana penduduk aslinya adalah
orang-orang Pakpak dan Toba (Associate Prof. Dr Helmut Lukas, Bangkok
2003).
1275-1292
Orang-orang Hindu Jawa mulai unjuk gigi dengan Ekspedisi Pamalayu
kerajaan Singosari. Beberapa daerah Batak dijadikan menjadi kerajaan
Hindu, khususnya yang di Simalungun. Pihak Hindu Jawa yang menggantikan
kekuatan Buddha mengancam perdagangan saudagar-saudagar muslim yang
didukung oleh Kesultanan Daya Pasai dengan beberapa sekutunya seperti
Kesultanan Samudera Pasai, Kesultanan Kuntu Kampar, Aru Barumun, Bandar
Kalipah dan lain-lain.
1285-1522
Kesultanan Samudera Pasai mulai tampak ke permukaan dengan raja
pertamanya Sultan Malik Al Shaleh, seorang putera Batak Gayo, bekas
prajurit Kesultanan Daya Pasai. Samudera Pasai berdiri di atas
puing-puing kerajaan Nagur di sungai Pasai, yang dirobohkan oleh orang
Batak Karo.
Uniknya,
kesultanan ini telah memakai paham syafii yang menjadi kompetitor
terhadap syiah yang sudah lama menancapkan kekuatan politik dan
budayanya kepada masyarakat Indonesia. Sistem pendidikan ala syafii
mulai masuk ke tanah Batak.
Kesultanan
Samudera Pasai sekarang ini dikenal sebagai kesultanan Aceh karena
secara geografis memang terletak di tanah Aceh. Namun sebagai sebuah
kesultanan yang dibangun oleh maha putera Batak Gayo dari Nagur,
posisinya tidak dapat dihilangkan dalam percaturan sistem budaya dan
pendidikan di tanah Batak.
Kerabat
Sultan Malik Al Shaleh, yakni Syarif Hidayat Fatahillah merupakan tokoh
yang mendirikan kota Jakarta dan menjadi Sultan Banten (Emeritus) dan
ikut serta mendirikan Kesultanan Cirebon. Dia, yang dikenal sebagai
Sunan Gunung Jati, adalah tokoh yang berhasil menyelamatkan penduduk
pribumi dari amukan bangsa Portugis.
Sultan
Malik Al Shaleh sendiri lahir di Nagur, di tanah Batak Gayo. Dia adalah
mantan prajurit Kesultanan Daya Pasai. Sebuah kerajaan yang berdiri di
sisa-sisa kerajaan Nagur atau tanah Nagur. Nama lahirnya adalah Marah
Silu. Marah berasal dari kata Meurah yang artinya ketua. Sedangkan Silu
adalah marga Batak Gayo.
Sepeninggalannya
(1285-1296) dia digantikan oleh anaknya Sultan Malik Al Tahir
(1296-1327). Putranya yang lain Malik Al Mansyur pada tahun 1295
berkuasa di barumun dan mendirikan Kesultanan Aru Barumun pada tahun
1299. Malik Al Mansyur sangat berbeda keyakinannya dengan keluarganya
yang sunni. Dia adalah penganut taat syiah yang kemudian menjadikan
kesultanannya sebagai daerah syiah. Dengan demikian dia dapat dijadikan
sebagai tokoh Batak Syiah (Gayo). Semua ini dikarenakan karena dia
menikah dengan putri Nur Alam Kumala Sari binti Sultan Muhammad Al
Kamil, pemimpin di Kesultanan Muar Malaya yang syiah.
Kekuasaan
Kesultanan Aru Barumun terletak di sekitar area sungai Barumun yang
menjadi titik penting perdagangan antara Padanglawas sampai Sungai
Kampar. Penghasilan negara didapat dari ekspor dan impor merica dan lain
sebagainya. Kesultanan Aru barumun berhubungan baik dengan pihak Cina
pada era Dinasti Ming (1368-1643). Pada periode 1405-1425 beberapa
utusan dari Cina pernah singgah, di antaranya Laksamana Ceng Ho
dan Laksamana Haji Kung Wu Ping. Di era ini paham Hanafi ikut serta
dalam memperkaya khazanah sistem pendidikan di tanah Batak, karena para
utusan dari Cina yang muslim tersebut menganut faham hanafi dalam
praktek sehari-hari. Dinasti Batak Gayo di Kesultanan Barumun adalah
sebagai berikut:
- Sultan Malik Al Mansyur (1299-1322)
- Sultan Hassan Al Gafur (1322-1336)
- Sultan Firman Al Karim (1336-1361), pada era nya banyak bertikai dengan kekuatan imperialis Jawa Majapahit. Di bawah panglima Laksamana Hang Tuah dan Hang Lekir, pasukan marinir Aru Barumun berkali-kali membendung kekuatan Hindu Majapahit dari Jawa.
- Sultan Sadik Al Quds (1361). Wafat akibat serangan jantung. Sultan Alwi Al Musawwir (1361-1379)
- Sultan Ridwan Al Hafidz (1379-1407). Banyak melakukan hubungan diplomatik dengan pihak Cina
- Sultan Hussin Dzul Arsa yang bergelar Sultan Haji. Pada tahun 1409 dia ikut dalam rombongan kapal induk Laksamana Cengho mengunjungi Mekkah dan Peking di zaman Yung Lo. Dia terkenal dalam annals dari Cina pada era Dinasti Ming dengan nama ‘Adji Alasa’ (A dji A La Sa). Orang Batak yang paling dikenal di Cina.
- Sultan Djafar Al Baki (1428-1459). Meninggal dalam pergulatan dengan seekor Harimau.
- Sultan Hamid Al Muktadir (1459-1462), gugur dalam sebuah pandemi.
- Sultan Zulkifli Al Majid. Lahir cacat; kebutaan dan pendengaran. Pada tahun 1469, kesultanan Aru Barumun diserang oleh kesultanan Malakka, atas perintah Sultan Mansyur Syah yang memerintah antara tahun 1441-1476. Kota pelabuhan Labuhanbilik dibumihanguskan dan Angkatan Laut Kesultanan Aru Barumun dimusnahkan.
- Sultan Karim Al Mukji (1471-1489)
- Sultan Muhammad Al Wahid (1489-1512). Gugur dalam pertempuran melawan bajak laut Portugis.
- Sultan Ibrahim Al Jalil (1512-1523) ditawan dan diperalat oleh Portugis.
Semua
anggota dinasti di atas adalah bersuku Batak Gayo. Saat menurunnya
kekuasaan Kesultan Aru, maka pihak Aceh mulai menancapka hegemoninya di
Aru Barumun. Pihak Aceh berkompetisi dengan para bajak laut Eropa di
kekosongan kekuatan politik di daerah tersebut.
Pada
tahun 1802-1816, di bawah pimpinan Fachruddin Harahap, seorang Batak
Mandailing, dengan gelar Baginda Soripada, penduduk khususnya dari
Gunung Tua merebut bagian hulu dari bekas Kesultanan Aru Barumun. Semua
lambang kerajaan disita termasuk cap dan simbol-simbol lainnya.
1331-1364
Era Majapahit. Hegemoni kekuatan Imperialisme Hindu Jawa di Nusantara, tak terkecuali tanah Batak. Perkembangan pendidikan di tanah Batak sedikit tidak mengalami penambahan yang signifikan. Kekuatan penduduk yang menjadi militer di tanah Batak sibuk membendung kekuatan Majapahit dengan bantuan pihak Aceh. Panglima Mula Setia dan Samudera Pasai berhasil mengusir kekuatan Majapahit dari Sumatera bagian Utara. Pada tahun 1409, tentara Majapahit dimusnahkan oleh kekuatan tentara Pagarruyung di Minang, Sumatera Barat. Kekuatan Majapahit melemah
Era Majapahit. Hegemoni kekuatan Imperialisme Hindu Jawa di Nusantara, tak terkecuali tanah Batak. Perkembangan pendidikan di tanah Batak sedikit tidak mengalami penambahan yang signifikan. Kekuatan penduduk yang menjadi militer di tanah Batak sibuk membendung kekuatan Majapahit dengan bantuan pihak Aceh. Panglima Mula Setia dan Samudera Pasai berhasil mengusir kekuatan Majapahit dari Sumatera bagian Utara. Pada tahun 1409, tentara Majapahit dimusnahkan oleh kekuatan tentara Pagarruyung di Minang, Sumatera Barat. Kekuatan Majapahit melemah
1345
Kedatangan para intelektual Arab dan asing kembali terjadi di beberapa kota pelabuhan di Sumatera. Tidak terkecuali Barus. Pada abad-13 Ibnu Said membicarakan peranan Barus sebagai pelabuhan dagang utama untuk wilayah Sumatera (Ferrand 112).
Kedatangan para intelektual Arab dan asing kembali terjadi di beberapa kota pelabuhan di Sumatera. Tidak terkecuali Barus. Pada abad-13 Ibnu Said membicarakan peranan Barus sebagai pelabuhan dagang utama untuk wilayah Sumatera (Ferrand 112).
1450-1515
Samudera Pasai menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan sosial mazhab syafii yang bersaing melawan pusat-pusat pendidikan dan sosial syiah yang banyak bertebaran di beberapa tempat di Sumatera termasuk tanah batak.
Samudera Pasai menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan sosial mazhab syafii yang bersaing melawan pusat-pusat pendidikan dan sosial syiah yang banyak bertebaran di beberapa tempat di Sumatera termasuk tanah batak.
1451
Misi pedagang dari Malaka yang menjadi sekutu Samudera Pasai berhasil menjalin kerjasama ekonomi dengan para saudagar Batak di sepanjang sungai Asahan. Tokoh seperti Datuk Sahilan menjadi inspirator bagi saudagar Batak untuk masuk agama Islam (Syafii). Di pedalaman Batak pada tahun 1450-1500 M, Islam menjadi agama resmi orang-orang Batak Toba, khususnya dari kelompok marga Marpaung yang bermukim di aliran sungai Asahan. Demikian juga halnya dengan Batak Simalungun yang bermukim di Kisaran, Tinjauan, Perdagangan, Bandar, Tanjung Kasau, Bedagai, Bangun Purba dan Sungai Karang.
Misi pedagang dari Malaka yang menjadi sekutu Samudera Pasai berhasil menjalin kerjasama ekonomi dengan para saudagar Batak di sepanjang sungai Asahan. Tokoh seperti Datuk Sahilan menjadi inspirator bagi saudagar Batak untuk masuk agama Islam (Syafii). Di pedalaman Batak pada tahun 1450-1500 M, Islam menjadi agama resmi orang-orang Batak Toba, khususnya dari kelompok marga Marpaung yang bermukim di aliran sungai Asahan. Demikian juga halnya dengan Batak Simalungun yang bermukim di Kisaran, Tinjauan, Perdagangan, Bandar, Tanjung Kasau, Bedagai, Bangun Purba dan Sungai Karang.
Antara tahun
1450-1818 M, kelompok marga Marpaung menjadi supplaier utama komoditas
garam ke Tanah Batak di pantai timur. Mesjid pribumi pertama didirikan
oleh penduduk setempat di pedalaman Tanah Batak; Porsea, lebih kurang
400 tahun sebelum mesjid pertama berdiri di Mandailing. Menyusul setelah
itu didirikan juga mesjid di sepanjang sungai Asahan antara Porsea dan
Tanjung Balai. Setiap beberapa kilometer sebagai tempat persinggahan
bagi musafir-musafir Batak yang ingin menunaikan sholat. Mesjid-mesjid
itu berkembang, selain sebagai termpat ibadah, juga menjadi tempat
transaksi komoditas perdagangan.
Dominasi
pedagang muslim marga Hutagalung dalam bidang ekonomi di Tanah Batak
terjadi antara 1513-1818 M. Komunitas Hutagalung dengan karavan-karavan
kuda menjadi komunitas pedagang penting yang menghubungkan Silindung,
Humbang Hasundutan dan Pahae. Marga Hutagalung di Silindung mendirikan
mesjid lokal kedua di Silindung. Marga Hutagalung menjadi komunitas
Islam syiah di pedalaman Batak.
Abad 15-16
Barus dengan
kepemimpinan Dinasti Pardosi yang menjadi Sultan Hulu dan Dinasti
Pasaribu yang menjadi Sultan Hilir Barus, membangun sistem pendidikan
yang modern di Barus. Zaman kejayaan pendidikan Islam muncul di era ini.
Beberapa tokoh intelektual lokal bermunculan. Barus menjadi kota tujuan
utama musafir asing.
Pada
permulaan abad-16, Tome Pires-seorang pengembara Portugis- yang
terkenal dan mencatat di dalam bukunya “Suma Oriental” bahwa Barus
merupakan sebuah kerajaan kecil yang merdeka, makmur dan ramai didatangi
para pedaganga asing.
Dia
menambahkan bahwa di antara komoditas penting yang dijual dalam jumlah
besar di Barus ialah emas, sutera, benzoin, kapur barus, kayu gaharu,
madu, kayu manis dan aneka rempah-rempah (Armando Cartesao, The Suma
Oriental of Tome Pires and The Book of Rodrigues, Nideln-Liechtenstein:
Kraus Reprint Ltd,.1967; hal. 161-162).
Seorang
penulis Arab terkenal Sulaiman al-Muhri juga mengunjungi Barus pada
awal abad ke-16 dan menulis di dalam bukunya al-Umdat al-Muhriya fi Dabt
al-Ulum al-Najamiyah (1511) bahwa Barus merupakan tujuan utama
pelayaran orang-orang Arab, Persia dann India. Barus, tulis al-Muhri
lagi, adalah sebuah pelabuhan yang sangat terkemuka di pantai Barat
Sumatera
Pada pertengahan
abad ke-16 seorang ahli sejarah Turki bernama Sidi Ali Syalabi juga
berkunjung ke Barus, dan melaporkan bahwa Barus merupakan kota pelabuhan
yang penting dan ramai di Sumatera. (Lihat. L.F. Brakel, Hamza Pansuri,
JMBRAS vol. 52, 1979).
Sebuah
misi dagang Portugis mengunjungi Barus pada akhir abad ke-16, dan di
dalam laporannya menyatakan bahwa di kerajaan Barus, benzoin putih yang
bermutu tinggi didapatkan dalam jumlah yang besar. Begitu juga kamfer
yang penting bagi orang-orang Islam, kayu cendana dan gaharu, asam
kawak, jahe, cassia, kayu manis, timah, pensil hitam, serta sulfur yang
dibawa ke Kairo oleh pedagang-pedagang Turki dan Arab. Emas juga
didapatkan di situ dan biasanya dibawa ke Mekkah oleh para pedagang dari
Minangkabau, Siak, Indragiri, Jambi, Kanpur, Pidie dan Lampung. (Lihat
B.N. Teensma, “An Unkown Potugese Text on Sumatera from 1582″, BKI, dell 145, 1989)
Agama Kristen
Pekabaran
Injil atau Zending sudah memasuki Indonesia pada masa pendudukan
Portugis di kepulauan Maluku (1512-1605) ditandai dengan menetapnya
beberapa misionaris Yesuit (Katolik Roma) di Ternate, pada tahun 1522.
Penakluk
VOC (Verenigde OosIndicshe Compagine) terhadap Portugis di Maluku pada
tahun 1605 memulai babak baru Pekabaran Injil oleh Gereja Protestan.
Akan tetapi, awal abad ke-19 tetap dicatat sebagi masa-masa bersejarah
Pekabaran Injil di Indonesia, dengan bekerjanya sejumlah organisasi
Zending oleh Gereja-gereja Protestan dari Belanda dan Jerman (baca :
Pekabaran Injil di Indonesia).
Organisasi
Pekabaran Injil Belanda yang sudah melakukan misinya di Indonesia
adalah Nederlandse Zendeling Genootschap (NZG), dimulai selama Belanda
di bawah kekuasaan Perancis (1795-1813) dan Indonesia di bawah
pemerintahan sementara Inggris (Gubenur Jenderal Refles (1811-1816).
Perhimpunan Belanda lainnya yang menyusul adalah Nederlandse
Zendingsvereniging (NZV),
Utrechtse
Zendingsvereniging (UZV), sedangkan dari Jerman adalah Rheinische
Missinsgesekkschaft (RM). Biasanya pekabaran Injil dilakukan tersebar di
koloni-koloni pemerintah Belanda di sejumlah pulau di Indonesia, antara
lain di Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, Irian, Halmahera,
Buru, Poso, Sangir, dan Talaud.
Ketika
pekabaran Injil sudah dilakukan secara sistematis di sejumlah daerah di
Indonesia tidak demikian halnya di Tanah Batak (Utara). Kawasan ini
masih sangat tertutup seperti dikelilingi kabut misteri. Suku Batak Toba
yang mendiaminya tetap asyik dengan kehidupan sosial yang dicengkeram
agama suku, masih pele begu, peradaban yang cenderung primitif karena
hidup dalam permusuhan, perbudakan, penculikan, perampokan, perjudian,
dan kanibalisme. Maka istilah “Jangan coba-coba mendekati orang Batak”
memaksa Burton dan Ward menarik langkah mereka mundur dari Tanah Batak
saat berkunjung Juli 1824. Burton dan Ward adalah utusan Babtist Church
of England, tercatat sebagai misionaris pertama yang mengunjungi Tanah
Batak.
Setelah
kunjungan Burton dan Ward, ditaksir pada tahun 1825, pasukan Padri dan
Bonjol, Minagkabau yang dipimpin Tuanku Rao menyerang Tanah Batak.
Serangan mendadak berkekuatan 15.000 pasukan berkuda membasmi lebih dari
separuh komunitas Batak Toba, peristiwa genocide (pembantaian suku)
yang sangat mengerikan dalam sejarah Batak. Sebagian korban meninggal
diakibatkan epidemi ganas yang berasal dari bangkai binatang peliharaan
dan mayat-mayat yang tidak sempat dikubur.
Penyerangan
Padri menimbulkan trauma di kalangan suku Batak Toba dan sangat menaruh
curiga pada setiap pendatang. Bisa jadi sikap itulah yang diperlihatkan
peristiwa Samuel Munson dan Henry Lyman yang mati martir di Sisangkak
(sekarang masuk Kecamatan Adiankoting) 28 Juli 1834. Dua misionaris
utusan Gereja Amerika dibunuh Raja Panggalamei. Mayat mereka di
pertontonkan di sebuah pekan di Lobupining, tidak jauh dari Sisangkak,
sebagai tanda kemenangan. Konon, mayat kedua martir itu dimakan hingga
tinggal kerangka.
Mundurnya
Burton Ward serta tewasnya Munson-Lyman menjadi alasan pembenaran bagi
pemeritah Hindia Belanda melarang para misionaris memasuki Tanah Batak.
Belanda sendiri sudah menguasai Sumatera Barat dan Tanah Batak Bagian
selatan (Mandailing dan Angkola) setelah berhasil menaklukkan pasukan
Padri dalam perang yang disebut Padri Oorlog (perang Padri) pada tahun
1837. Pada tahun itu juga Belanda telah menarik garis-garis perbatasan
antara daerah-daerah Batak yang mereka kuasai dengan daerah Batak yang
belum dikuasai. Daerah Batak yang diuasai Belanda adalah pantai Barus,
Natal, Mandailing, Barumun, Sosa, Padang, Batak Angkola, dan Sisirok.
Daerah-daerah itu disebut Keresidenan Tapanuli dipimpin seorang residen
berkedudukan di Sibolga. Sedangkan daerah Batak yang belum dikuasai
Belanda disebut “Daerah Batak Merdeka” (De Onafhankelijke Bataklanden) terdiri dari kawasan yang didiami Batak Toba, yaitu Silindung, Humbang, Toba, dan Samosir.
Misionaris Ermelo
Secara
umum Pekabaran Injil di dunia adalah mengkuti pembukaan segala benua
melalui gerakan imperialisme dan kolonialisme. Maka, tak heran apabila
mesionaris perintis di Tanah Batak tertahan di Sipirok dan Angkola yang
sudah masuk dalam penaklukan Belanda, belum masuk ke Tanah Batak sebelum
daerah itu betul-betul masuk dalam kekuasaan Belanda .
Setelah
Burton-Ward dan Munson-Lyman, misionaris perintis lain yang menyusul
adalah Gerrit van Asselt. Dia diutus Ds Wetteven dari kota Ermello,
Belanda, tiba di Sumatra Mei 1856 dan berpos di Sipirok ,1857.
Organisasi yang megirimkan Gerrit van Asselt sangat kecil, bahkan dalam
buku Sejarah Gereja, karangan Dr.H .Berkog dan Dr. IH Enklar sama sekali
tidak disebut-sebut. Ada yang mencatat Zending Ermello berada di bawah
naungan Nederlandse Zendingsvereniging (NZV). Akan tetapi, karena NZV
baru berdiri pada tahun 1856, besar kemungkinan Zending Ermello berada
di bawah naungan Nederandse Zending-Genootschap (NZG) yang berdiri pada
tahun 1797, sebuah organisasi Zending dari mana NZV berasal.
Karena
ketiadaan dana Gerrit van Asselt pun membiayai sendiri tugas–tugasnya
sebagai penginjil. Hasilnya tentu tidak maksimal karena konsentrasinya
terbagi sebagai opzichter (pelaksana) pembangunan jalan di Sibolga dan
kemudian menjadi opzichter (administrator) gudang kopi milik Belanda di
sipirok. Zending Ermelo mengirimkan lagi beberapa misionaris
mendaampingi Gerrit van Asselt, yaitu FG Betz, Dammerboer, Koster, dan
van Dallen. Misionaris menyusul ini bekerja sebagai tukang, mengingatkan
model Pekabaran Injil yang dilakukan Ds. OG Heldring di Irian, Sangir
dan Talaud.
Koster
dan van Dalen ditempatkan di Pargarutan. Van Dallen kemudian pindah ke
Simapilapil. Dammerbooer jadi opzichter di sekolah Belanda sebelum ke
Huta Rimbaru dan masuk ke Mission Java Komite. Gerrit van Asselt sendiri
pada 31 Maret 1961 membaptis orang Batak Kristen pertama, Simon Siregar
dan Jakobus Tampubolon di Sipirok.
Misionaris Utasan Rheinische Missionsgesellschaft
Semangat
Pekabran Injil de Eropah tak lagi tergantung pada kerjasama suatu
Gereja dengan pemerintahnya yang melakukan kolinialisasi ke berbagai
benua. Di Jerman, di tepi sungai Zending. Rheinische
Missionsgesellschaft (RM) yang berdiri pada tahun 1818 mengutus
misionaris ke daratan luas dan suku-suku bangsa besar di Afrika dan
Tiongkok, termasuk ke Indonesia yang berada di bawah penguasaan Belanda.
Di
Indonesia, RM pertama sekali mengkosentrasikan perkerjaannya di
Kalimantan Tenggara sejak tahun 1836. Pada tahun 1859 meletus Perang
Banjar yang dipimpin Pangeran Hidayat. Perang tersebut menelan banyak
korban tewas-termasuk 4 pendeta, 3 istri, dan 2 anak Mereka. RM terpaksa
mengundurkan Pekabaran Injil di sana lalu memindahkannya ke Tanah Batak
(1861), Nias (1865), Mentawai (1901), dan Enggano (1903), Pekabaran
Injil yang ditinggalkan RMG di Kalimantan Tenggara diteruskan Basler
Mission Dari Swiss.
Pemindahan
Zendeling dari Kalimantan ke Tanah Batak terkait dengan penugasan
pimpinan RM, Inspektur Dr.Friedrich Fabri kepada misionaris yang
tertahan di Batavia akibat Perang Banjar, pada tahun 1860. Ketika itu
Febri berkunjung ke Amsterdam, Belanda. Dia sangat tertarik pada dokumen
van der Took mengenai suku Batak Toba yang ditelitinya pada tahun 1849.
Fabri mengutus Hoefen mengunjungi Tanah Batak, dan berdasarkan laporan
Hoefen RM menugaskan dua misionaris, Klammer yang bertahan di Batavia
dan Heine yang langsung didatangkan dari Barmen, ke Tanah Batak.
Keduanya tiba di Sibolga 17 Agustus 1961 dan memilih Sipirok sebagai pos
utama. Heine dan Klammer tinggal melapor ke residen Tapanuli di Sibolga
karena Fabri sudah lebih dahulu meminta izin atas penugasan kedua
misionaris itu ke pemerintahan Belanda.
Dengan
demikian telah bertugas misionaris Sending Emelo dan RM di perbatasan
Tanah Batak Utara dan Tanah Batak Selatan. Karena Pekabaran Injil
bersifat supra nasional, atas koordinasi Zending Emelo dan RM, Betz dan
van Asset bergabung dengan Heine dan Klammer di bawah naungan RM.
Keempat misionaris itu melakukan rapat pembagian tugas pada 7 Oktober
1861. Bentz mendapat tugas di tempat pelayanan yang telah dia buka
sebelumnya, yaitu Bungabondar, Klammer di Sipirok, sedangkan Heine dan
van Asselt di Pangaloan. Tanggal pembagian tugas inilah yang kemudian
dicatat sebagai hari jadi atau lahirnya HKBP (Huria Kristen Batak
Protestan).
Missionaris Nommensen
Ingwer
Ludwig Nommensen (1834-1918) merupakan tokoh sentral Pekabaran Injil di
Tanah Batak. Dialah yang kemudian dijuluki sebagai “Rasul Batak” yang menjadikan suku Batak Toba menjadi suku bangsa maju.
Dia
menginjakkan kaki di Barus Juni 1862, ditempatkan oleh rekan-rekan
pendahulunya di Parausorat Desember 1862, lalu menginjakkan kaki di
Silindung November 1863. Pekerjaan di perbatasan, menurutnya tidak
memadai karena dominan penduduknya sudah memeluk agama Islam. Tak ada
cara lain kecuali memasuki Tanah Batak, Silindung adalah pilihan utama
karena jumlah penduduknya sangat besar, meskipun ditentang pemerintah
Hindia Belanda, harus ditempuh melalui medan yang berat yaitu hutan
belantara yang penuh marabahaya, serta kemungkinan ditolak bahkan bisa
terbunuh.
Dr.H.Berkof dan Dr.IH Enklaar dalam sejarah Gereja mencatat, ”sungguhpun
mula-mula pekerjaannya (pekerjaan Nommensen) amat susah dan ia sering
ditimpa sengsara dan bahaya, tetapi ia bernubuat: Aku melihat seluruh
daerah ini ditaburi dengan gedung-gedung gereja dan sekolah! Sekarang
ramalan itu sudah di genapi, karena oleh strategi Zending yang cakap,
pimpinan yang kuat, pekerja yang banyak dan latihan pengantar-pengantar
jemaat dan guru sekolah dengan secukupnya dari permulaan, maka lama
kelamaan Gereja Kristus di Tanah Batak meluas sampai menjadi Gereja muda
paling besar di dunia.”
Lothar
Schreiner,dalam bukunya Adat dan Injil membuat tahapan sejarah
pengkristenan orang Batak denga merujuk pada tugas pelayanan Ingwer
Ludwig Nommensen dan di mulainya pekabaran Injil oleh RMG (Rheinische
Mission Gesellschaft) di tanah Batak.
1861-1881:
di sebut sebagai peletakan dasar-dasar pertama perkabaran Injil oleh Nommensen dan PH johansen di lembah silindung,dengan sokongan kuat dari penguasa lokal Raja Pontas Lumbantobing,di susul dengan penerjemahan kitab-kitab dasar untuk jemaat-jemaat, yakni Katekismus Kecil pada tahun 1874 dan perjanjian baru pada tahun 1878.Tata Gereja yang pengaruhnya paling dalam serta lama karena berlaku sampai tahun 1930, diberlakukan mula-mula pada tahun 1881.
di sebut sebagai peletakan dasar-dasar pertama perkabaran Injil oleh Nommensen dan PH johansen di lembah silindung,dengan sokongan kuat dari penguasa lokal Raja Pontas Lumbantobing,di susul dengan penerjemahan kitab-kitab dasar untuk jemaat-jemaat, yakni Katekismus Kecil pada tahun 1874 dan perjanjian baru pada tahun 1878.Tata Gereja yang pengaruhnya paling dalam serta lama karena berlaku sampai tahun 1930, diberlakukan mula-mula pada tahun 1881.
1881-1901:
Nommensen memindahkan tempat kediamannya ke Toba dan merencanakan
serta memimpin sendiri pekerjaannya. Didirikanlah jemaat-jemaat dalam
wilayah yang semakin luas di daerah-daerah danau Toba dan di tampung
golongan-golongan besar, sehingga terbentuklah suatu gereja suku. Pada
tahun 1885 pendeta-pendeta pertama ditahbiskan. Sampai dengan tahun 1901
sudah 48.000 orang Batak dibaptiskan.
1901-1918:
masih dicirikan
oleh prakarsa Nommensen termasuk melakukan pekabaran Injil ke Batak
Simalungun. Di Simalungun pengkristenan tidak lagi berlangsung begitu
sistematis sebagaimana terjadi di kalangan Batak Toba. Barulah setelah
tahun 1940 sebagian besar orang-orang Batak Simalungun berhasil
dikristenkan.
1918-1940:
ditandai dengan
pekerjaan J.Warneck sebagai Ephorus menggantikan Nommensen yang
meninggal dunia pada tahun 1918, melalui suatu tata gereja yang baru
membuat Gereja Batak mandiri secara yuridis. (Dalam bukunya Lothar
Schreiner menyebut HKBP dengan Gereja Batak). Barulah pada 1940 HKBP
berhasil mandiri dalam arti yang sebenarnya, yakni ketika para zendeling
jerman diinternir dan sinode memilih seorang pendeta Batak, K.Sirait
menjadi ephorus.
1940-1954:
ditandai dengan
masa pendudukan Jepang dan masa revolusi di Indonesia. Pendidikan
pendeta dan penyelenggaraan jemaat-jemaat dilakukan tanpa bantuan dan
sokongan luar negeri. Hubungan-hubungan dengan luar negeri pulih ketika
HKBP menjadi anggota yang ikut mendirikan Dewan Gereja-gereja se-Dunia
(1948) dan dengan pengakuan Iman sendiri (1951) memasuki Federasi
Gereja-gereja Lutheran se-Dunia(1952).
1954-hingga buku Gereja dan Injil,ini diterbitkan pada tahun 1972:
Ditandai dengan
didirikannya Universitas Nommensen (1954) dengan kira-kira 3.000
mahasiswa pada tahun 1971,dan suatu tata gereja baru (1962) yang
dengannya dihapuskan sinode distrik. HKBP juga mengembangkan usaha
pendidikan dan penginjilan dikalangan orang-orang Jawa di Sumatera
Timur, orang-orang Sakai di Riau, dan di Malaysia. Pada permulaan tahun
1960-an HKBP hampir mempunyai 900.000 anggota di sumatera dan banyak
jemaat di pulau lainnya dan di Singapura.
Dalam perkembangannya HKBP beberapa kali mengalami peristiwa “ditinggalkan jemaat”,
di mulai tahun 1927 dengan berdirinya Mission Batak, disusul Huria
Christen Batak (HCB), Punguan Kristen Batak (PKB), dan Huria Kristen
Indonesia (HKI). Pada tahun 1964 sejumlah anggota keluar dan menamakan
diri Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI). Atas kemelut HKBP yang
terjadi pada tahun 1990-an sejumlah anggota juga banyak yang pindah ke
Gereja lain. Menurut Almanak HKBP tahun 2007 HKBP memiliki 3.139 gereja
yang tersebar di Indonesia bahkan di Singapura dan Amerika Serikat.
Dengan jumlah lebih dari 5 juta jemaat HKBP di catat sebagai lembaga
keagamaan dengan jumlah angota terbesar ketiga setelah Nahdatul Ulama
(NU) dan Muhamadiyah.
Kehidupan Nomensen
Berbicara
tentang peradaban Batak, barangkali akan lain ceritanya jika Dr. Ingwer
Ludwig Nommensen tidak pernah menginjakkan kakinya di Tanah Batak.
Siapakah dia dan mengapa ia dijuluki sebagai “Apostel Batak”?
Nommmensen
adalah manusia biasa dengan tekad luar biasa. Perjuangan pendeta
kelahiran 6 Februari 1834 di Marsch Nordstrand, Jerman Utara itu untuk
melepaskan animisme dan keterbelakangan dari peradaban Batak patut
mendapatkan penghormatan. Maka tak heran, suatu kali dalam sidang
zending di Barmen, ketika utusan Denmark dan Jerman mengklaim bahwa
Nommensen adalah warga negara mereka, Pendeta Dr. Justin Sihombing yang
hadir waktu itu justru bersikeras mengatakan bahwa Nommensen adalah
orang Batak. Nommensen muda, ketika genap berusia 28 tahun telah hijrah
meninggalkan Nordstrand dan hidup di Tanah Batak hingga akhir hayatnya
dalam usia 84 tahun.
Masa
mudanya, ia lewati dengan menjalani pendidikan teologia (1857-1861) di
Rheinische Missions-Gesselscha ft (RMG) Barmen, setelah menerima sidi
pada hari Minggu Palmarum 1849, ketika berusia 15 tahun. Sebenarnya,
kedatangan penginjil-penginjil Eropa ke Tanah Batak pun sudah dimulai
sejak 1820-an. Pada 1824 Gereja Baptis Inggris mengirimkan dua
penginjil: Pendeta Burton Ward dan Pendeta Evans yang terlebih dahulu
tiba di Batavia. Pendeta Evans menginjil di Tapanuli Selatan, Pendeta
Burton Ward di wilayah Silindung. Sayangnya, mereka ditolak. Animesme
masih kuat dalam kehidupan suku Batak.
Sepuluh
tahun kemudian, dua penginjil Amerika: Samuel Munson dan Henry Lyman
pun tiba di Silindung. Tapi, mereka malah mendapati ajalnya di sana
setelah dibunuh oleh sekelompok orang di Saksak Lobu Pining, sekitar
Tarutung. Pembunuhan dilakukan atas perintah Raja Panggalamei. Kedua
missionaris dimakamkan di Lobu Pining, sekitar 20 kilometer dari Kota
Tarutung, menuju arah Kota Sibolga.
Impian
Nommensen untuk menjadi penginjil sudah muncul sejak kecil, meski pada
pada masa-masa itu ia sudah terbiasa hidup sederhana. Dalam
kesederhanaan itu, disebabkan orangtuanya yang tunakarya dan sering
sakit-sakitan, ia bahkan sering kelaparan karena tidak punya makanan
sehingga terpaksa mencari sisa-sisa makanan di rumah-rumah orang kaya
bersama teman-temannya. Maka, sejak usia 8 tahun pun ia sudah menjadi
gembala upahan hingga umur 10 tahun.
Tapi,
rintangan tak luput menghambat cita-cita mulia itu. Sekali waktu,
ketika berusia 12 tahun, Nommensen mengalami kecelakaan ketika
berkejar-kejaran dengan temannya dan tertabrak kereta kuda sehingga
membuat kakinya lumpuh. Akan tetapi Tuhan berkehendak lain.
Ketika
dokter yang merawatnya menganjurkan agar kakinya diamputasi, ia menolak
dan meminta agar didoakan oleh ibunya dengan syarat, jika doa itu
terkabul maka ia akan memberitakan injil kepada orang yang belum
mengenal Kristus. Tak lama kemudian doa itu terkabul, ia pun sembuh.
Pada
1853, dengan keputusan yang matang, berbekal sepatu dan pakaian
seadanya, ia pun pergi meninggalkan kampung halamannya untuk meraih
cita-cita dan janjinya itu, yang juga sempat tertunda karena gagal
menjadi kolesi di pelabuhan Wick. Ia kemudian bertemu dengan Hainsen,
mantan gurunya di Boldixum. Hainsen lalu mempekerjakannya sebagai guru
pembantu di Tonderm setelah beberapa waktu menjadi koster. Di sinilah ia
bertemu dengan Pendeta Hausted dan mengungkapkan cita-citanya itu. Ia
pun melamar di Lembaga Pekabaran Injil Rhein atau RMG Barmen.
Nommensen lalu
mematangkan pengetahuannya tentang injil dengan kuliah teologia pada
1857, ketika berusia 23 tahun. Pada masa itu, pekerjaan sebagai tukang
sapu, pekerja kebun dan juru tulis sekolah, turut disambinya, hingga ia
lulus dan ditahbiskan menjadi pendeta pada 13 Oktober1861, yang kemudian
membawanya ke Tanah Batak pada 23 Juni 1862.
Dari Norsdtrand ke Silindung
Nommensen, yang kini tetap dikenang dan dipanggil dengan gelar kehormatan “Ompu I, Apostel Batak”,
dalam perjalanan misi zendingnya bukanlah tanpa rintangan. Bahkan,
dalam beberapa kali ia pernah akan dibunuh dengan cara menyembelih dan
meracunnya. Alasannya, ia dicurigai sebagai mata-mata “si bottar mata”
(stereotip ini ditujukan kepada Belanda).
Tapi ia tidak takut sebab janjinya kepada Tuhan harus dipenuhi. Sekali waktu ia pun berkata, ”Tidak mungkin, seujung rambut pun tidak akan bisa diambil kalau tidak atas kehendak Allah.”
Sebelumnya, setelah resmi diutus dari RMG Barmen ia terlebih dahulu
menemui Dr. H. N. Van der Tuuk, yang sebelumnya pada 1849 telah diutus
oleh Lembaga Alkitab Belanda untuk mempelajari Bahasa Batak.
Setelah mendapatkan mendapatkan informasi lebih jauh tentang Batak, maka pada 24 Desember 1861 ia pun berangkat dengan kapal “Partinax”
menuju Sumatra dan tiba di Padang pada 16 Mei 1862. Dari sana ia
kemudian meneruskan perjalanannya ke Barus melalui Sibolga. Di sinilah
pertama kali ia bertemu langsung dengan orang Batak kemudian mempelajari
bahasa dan adatnya. Hanya saja, ia tak lama di sana. Selain karena
sudah masukya agama Islam, ia melihat adanya nilai pluraritas antarsuku
yang sudah menyatu di sana: Toba, Angkola, Melayu, Pesisir.
Maka,
setelah beberapa bulan tinggal di sana, ia pun memutuskan untuk pergi
ke daerah lain: Sipirok. Lalu, atas keputusan rapat pendeta yang ke-2
pada 7 Oktober 1862 di Sipirok (setelah sebelumnya melayani penduduk di
Parau Sorat, dan mendirikan gereja yang pertama di sana), pergilah ia
menuju wilayah perkampungan Batak yang dikenal dengan Silindung.
Di
sana, suatu kali di puncak (dolok) Siatas Barita (sekarang puncak Taman
Wisata Rohani Salib Kasih, Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara),
Nommensen pernah hendak dibunuh. Waktu itu sedang berlangsung ritual
penyembahan kepada Sombaon Siatas Barita, ialah roh alam yang disembah
orang Batak. Kerbau pun disembelih. Akan tetapi, pemimpin ritual
(Sibaso) tidak menyukainya dan menyuruh pengikutnya untuk membunuhnya.
Lalu, kata Nommensen kepada mereka, “Roh yang berbicara kepada
Sibaso bukanlah roh Siatas Barita, nenek moyangmu, melainkan roh setan.
Nenek moyangmu tidak mungkin menuntut darah salah satu keturunannya.” Sibaso jatuh tersungkur dan mereka tidak mengganggunya lagi.
Setelah
berhasil menjalin persahabatan dengan raja-raja yang paling berpengaruh
di Silindung: Raja Amandari dan Raja Pontas Lumban Tobing, maka pada 29
Mei 1864, Nommensen mendirikan gereja di Huta Dame, sekitar Desa Sait
ni Huta, Tarutung. Kemudian atas tawaran Raja Pontas, maka turut
didirikan jemaat di Desa Pearaja, yang kini menjadi pusat gereja HKBP.
Setelah
itu ia pergi ke Humbang dan tiba di Desa Huta Ginjang. Kemudian pada
1876 ia berangkat ke Toba ditemani Pendeta Johannsen dan sampai di
Balige. Tetapi, akibat situasi yang gawat waktu itu, ketika pertempuran
antara pasukan Sisingamangaraja XII dengan pasukan Belanda sedang
terjadi, mereka pun menangguhkan perjalanan dan kembali ke Silindung.
Pada
1886 Nommensen kembali ke Toba (Laguboti dan Sigumpar), setelah pada
1881 Pendeta Kessel dan Pendeta Pilgram tiba dan berhasil menyebarkan
injil di sana. Misi kedua pendeta ini kemudian dilanjutkan oleh Pendeta
Bonn yang telah mendapat restu dari Raja Ompu Tinggi dan Raja Oppu
Timbang yang menyediakan lahan gedung sekolah di Laguboti.
Pendeta
Boon pindah dari Sigumpar ke Pangaloan dan Nommensen menggantikan
tugasnya. Sepeninggalan Boon, Nommensen mendapat rintangan di mana
sempat terjadi perdebatan sesama penduduk atas izin sebidang tanah.
Setelah akhirnya mendapat persetujuan dari penduduk, ia pun mendirikan
gereja, sekolah, balai pengobatan, lahan pertanian dan tempat tinggalnya
di sana. Konsep pembangunan satu atap ini disebut dengan “pargodungan”, yang menjadi karakter setiap pembangunan gereja Protestan di Tanah Batak.
Dari Sigumpar, Nommensen bersama beberapa pendeta lainnya melanjutkan zending dengan menaiki “solu”
(perahu) melintasi Danau Toba yang dikaguminya menuju Pulau Samosir.
Maka, pada 1893 Pendeta J. Warneck pun tiba di Nainggolan, 1898 Pendeta
Fiise di Palipi, 1911 Pendeta Lotz di Pangururan dan 1914 Pendeta
Bregenstroth di Ambarita.
Misi
zending tak berhenti sampai di sana. Nommensen lalu mengajukan
permohonan kepada RMG Barmen agar misinya diperluas hingga wilayah
Simalungun. Permohonan itu ditanggapi dengan mengutus Pendeta Simon,
Pendeta Guillaume dan Pendeta Meisel menuju Sigumpar pada 16 Maret 1903.
Dari sana mereka pergi ke Tiga Langgiung, Purba, Sibuha-buhar,
Sirongit, Bangun Purba, Tanjung Morawa, Medan, Deli Tua, Sibolangit dan
Bukum. Bersama Nommensen, mereka pun melanjutkan perjalanan melalui
Purba, Raya, Pane, Dolok Saribu hingga Onan Runggu.
Misi
Nommensen memang penuh pengorbanan. Tapi, ia tulus. Demi misinya, ia
bahkan tak sempat melihat Caroline Gutbrod, yang wafat setelah
sebelumnya jatuh sakit dan terpaksa dipulangkan ke Jerman. Nommensen
juga banyak menyisakan kenangan, yang barangkali menjadi simbol
pengorbanan dan jasanya kelak. Kenangan-kenangan itu ibarat benih, meski
sang penabur kelak telah tiada. Barangkali, Gereja Dame adalah salah
satu benih itu, yang ketika penulis berkunjung ke sana, tampak kondisiya
sudah mulai usang tapi masih berfungsi. Gereja kecil itu adalah gereja
yang pertama kali didirikannya ketika menginjakkan kakinya di daerah
Silindung, Tarutung.
Lokasinya
di Desa Onan Sitahuru Saitni Huta, sekitar 2 kilometer ke arah selatan
Kota Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara. Di gereja ini, Nommensen mulai
mengajar umatnya dengan teratur. Selain mengajar Alkitab (termasuk
menerjemahkan kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Batak), ia juga
mengajar pertanian serta mulai menyusun tata pelaksanaan ibadah gereja
dengan teratur.
Onan Sitahuru sendiri, sekitar 1816-1817 merupakan pusat perdagangan terbesar di Tanah Batak karena terdapat sebuah “hariara”
(pohon beringin) di sana. Menurut penuturan warga setempat, di pohon
inilah Nommensen pernah akan dipersembahkan kepada Dewa Siatas Barita,
tapi ia berhasil diselamatkan pembantunya. Pohon berusia 190 tahun itu
kini masih dapat ditemui di sana.
Tercatat
pula bahwa sejak tahun 1861 telah berdiri gereja-gereja kecil (resort)
di Sipirok dan Bunga Bondar atas misi zending sebelumnya. Kemudian atas
Nommensen pada 1862 di Parau Sorat, Pangaloan, Sigompulon; 1864 di
Pearaja; 1867 di Pansur Napitu; 1870 di Sipoholon, Sibolga, Aek Pasir;
1875 di Simorangkir; 1876 di Bahal Batu; 1881 di Balige; 1882 di
Sipahutar, Lintong ni Huta; 1883 di Muara; 1884 di Laguboti, 1888 di
Hutabarat, Sipiongot; 1890 di Sigumpar, Narumonda, Parsambilan,
Parparean; 1893 di Nainggolan; 1894 di Silaitlait; 1897 di Simanosor
Batangtoru; 1898 di Palipi; 1899 di Lumban na Bolon, 1900 di Tampahan,
Butar; 1901 di Sitorang; 1902 di Lumban Lobu, Silamosik, Nahornop; 1903
di Paranginan, Pematang Raya; 1904 di Dolok Sanggul; 1905 di
Parmonangan, Sipiak; 1906 di Parsoburan; 1907 di Pematang Siantar; 1908
di Sidikalang; 1909 di Bonan Dolok, Tukka; 1910 di Purbasaribu; 1911 di
Barus; 1912 di Medan; 1914 di Ambarita dan 1922 di Jakarta.
Sekarang,
benih-benih itu telah berbuah dengan lahirnya gereja-gereja HKBP, GKPI,
HKI, GKPS, GBKP dan GKPA, sebagai buah misi zending inkulturatif, yang
tidak melupakan keaslian budaya setempat dalam pelaksanaan rutinitas
ibadah. Atas jasanya itu, RMG kemudian mengangkat Nommensen menjadai
ephorus pada 1881 hingga akhir hayatnya dan digantikan oleh Pendeta
Valentine Kessel (1918-1920). Pada 6 Februari 1904, ketika genap berusia
70, Universitas Bonn menganugerahinya gelar Doktor Honoris Causa.
Namanya lalu ditabalkan untuk dua universitas HKBP yang ada di Medan dan
Pematangsiantar yang hingga saat ini masih berdiri.
Kemudian,
pada Oktober 1993 dibangun pula Kawasan Wisata Rohani Salib Kasih
(KWRSK) di puncak Siatas Barita, di mana ia pertama kali menginjakkan
kakinya di Silindung. Salib sepanjang 31 meter terpancang di sana,
seakan-akan melukiskan kisah karyanya yang agung.
Nommensen
wafat pada 23 Mei 1918 dan dimakamkan di sisi makam istrinya yang kedua
Christine Hander dan putrinya serta missionaris lainnya di Desa
Sigumpar, Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir. Sejak 1891 ia telah
tinggal di sana hingga akhir hidupnya. Kemudian pada 29 Juni 1996
Yayasan Pasopar, lembaga yang peduli dengan kelestarian sejarah
kekristenan di Tanah Batak, memugar makamnya dan mengabadikannya menjadi
“Nommensen Memorial”.
No comments:
Post a Comment